Share

Honestly, I'm Pregnant!
Honestly, I'm Pregnant!
Author: Nirv

Anggur

Author: Nirv
last update Last Updated: 2021-08-27 16:42:44

Universitas Utpala, atau yang lebih dikenal sebagai "Kampus Biru," adalah salah satu institusi pendidikan swasta paling prestisius di Jakarta. Para mahasiswa yang berhasil masuk ke sini bukan hanya harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata, tetapi juga tekad dan ambisi yang kuat. Di antara mereka, ada satu nama yang sedang menjadi perbincangan hangat di kalangan mahasiswa Fakultas Teknik—Lyora Joschellyn.

Gadis berusia sembilan belas tahun itu adalah mahasiswa baru di jurusan Teknik Informatika. Dengan rambut hitam kecoklatan yang jatuh dalam potongan medium berlapis, serta poni lembut yang membingkai wajahnya yang berbentuk hati, Lyora memiliki kecantikan yang tak bisa diabaikan. Bukan tipe kecantikan yang mencolok seperti selebgram dengan wajah sempurna hasil editan, tetapi lebih kepada pesona alami yang memikat. Mata coklat gelapnya membawa kesan misterius, bibirnya penuh dengan semburat merah alami, dan kulitnya yang cerah bersinar dalam balutan kesederhanaan.

Namun, bukan hanya wajahnya yang menarik perhatian. Di Fakultas Teknik, tempat di mana mayoritas mahasiswa adalah pria, keberadaan seorang wanita seperti Lyora tentu menjadi anomali yang mencolok. Fakultas ini dikenal dengan dominasi kaum lelaki, di mana jumlah mahasiswa perempuan tak lebih dari sepertiga dari total keseluruhan. Oleh karena itu, kehadiran Lyora bagaikan sekuntum bunga yang tumbuh di tengah gurun pasir—langka, eksotis, dan tentu saja, menjadi pusat perhatian.

Bukan hanya karena kelangkaannya di antara populasi teknik yang membuat Lyora disebut sebagai "bunga fakultas." Ia memiliki tubuh yang semampai dengan lekuk tubuh yang terbentuk sempurna berkat kegemarannya berolahraga. Rutin melakukan yoga dan latihan kebugaran membuat tubuhnya tetap proporsional—langsing, tetapi bertenaga, dengan kulit yang tampak selalu kencang dan sehat. Payudaranya yang bulat dan berisi, pinggang ramping yang menonjolkan lekuk indah tubuhnya, serta postur tegap penuh percaya diri menambah pesonanya sebagai seorang wanita.

Banyak mata yang selalu mengikuti setiap langkahnya di kampus. Entah itu mahasiswa yang menoleh ketika ia melintas di lorong, atau bahkan dosen-dosen muda yang diam-diam mencuri pandang. Tak jarang, Lyora menerima pesan-pesan dari orang yang bahkan tidak dikenalnya—sekadar sapaan, ajakan makan, atau bahkan ungkapan perasaan dari mereka yang terlalu berani untuk langsung mengungkapkannya. Suatu hari, seorang mahasiswi satu jurusan dengannya pernah mengutarakan perasaannya secara terang-terangan. Namun, Lyora dengan lembut menolak, menyatakan bahwa ia masih lebih tertarik pada laki-laki. Meski demikian, ia tetap menjaga hubungan baik dengan gadis itu, tanpa membuatnya merasa malu atau tersinggung.

Namun, dari sekian banyak pria yang terpikat olehnya, hanya satu yang berhasil menaklukkan hati Lyora. Namanya adalah Nathan—pria yang dikenal sebagai salah satu mahasiswa paling populer di jurusan Teknik Informatika. Bukan tanpa alasan, Nathan adalah bintang lapangan basket, seorang pivot handal yang selalu menjadi ujung tombak tim basket jurusan. Dengan tinggi badan yang menjulang lebih dari 185 cm, tubuh atletis yang dibangun dari latihan bertahun-tahun, serta wajah tampan dengan mata sipit yang sedikit tajam, ia adalah sosok yang sulit diabaikan. Rambutnya yang hitam pendek selalu tertata rapi, dan senyumnya yang jarang ia keluarkan justru menjadi daya tarik tersendiri—misterius, tetapi memikat.

Nama lengkapnya, Nathan Jeju Soegirapadjra, sering kali membuat orang bertanya-tanya. Nama "Jeju" di tengah namanya membuat banyak yang mengira ia memiliki darah Korea. Padahal, kenyataannya jauh berbeda. Nathan sama sekali tidak memiliki keturunan dari negeri ginseng itu. Nama "Jeju" disematkan kepadanya karena tempat kelahirannya yang unik.

Dua puluh satu tahun yang lalu, ketika ibunya tengah menikmati bulan-bulan terakhir kehamilannya, ia dan suaminya memutuskan untuk berlibur ke Pulau Jeju, Korea Selatan. Seharusnya, bayi mereka lahir sebulan lagi, tetapi takdir berkata lain. Kantung ketuban ibunya tiba-tiba pecah saat mereka masih berada di hotel, dan dalam kepanikan, mereka segera mencari rumah sakit terdekat. Di sanalah, di negeri asing yang jauh dari rumah, Nathan lahir ke dunia.

Kelahirannya yang prematur sempat membuat orang tuanya khawatir, tetapi Nathan tumbuh menjadi anak yang kuat. Sebagai bentuk penghormatan pada tempat kelahirannya, mereka menyelipkan nama "Jeju" di tengah namanya. Kini, nama itu menjadi ciri khasnya—misterius, unik, dan sedikit membingungkan bagi mereka yang baru mengenalnya.

Nathan dan Lyora adalah pasangan yang sempurna di mata banyak orang. Pria yang tampan, populer, dan berbakat dengan wanita yang cantik, anggun, dan memikat. Mereka sering terlihat bersama di lingkungan kampus—entah itu di lapangan basket saat Nathan berlatih, atau di perpustakaan saat Lyora sibuk dengan buku-bukunya. Banyak yang iri, banyak yang mengagumi, tetapi tidak ada yang bisa menyangkal bahwa mereka memang terlihat cocok satu sama lain.

Namun, hubungan mereka bukan hanya tentang kesempurnaan di mata orang lain. Di balik layar, mereka adalah sepasang kekasih yang saling memahami dan melengkapi. Nathan, dengan sifatnya yang sedikit dingin dan pendiam, menemukan kehangatan dalam sikap ceria Lyora. Sementara itu, Lyora yang sering kali dikelilingi oleh perhatian banyak orang, menemukan ketenangan dalam pelukan Nathan yang selalu memberinya rasa aman.

Meski demikian, hubungan mereka tentu tidak selalu mulus. Nathan yang lebih tua dua tingkat sering kali merasa perlu menjaga Lyora dari godaan banyak pria di kampus. Sementara Lyora, meskipun sangat mencintai Nathan, terkadang merasa kesal dengan sikap protektif kekasihnya yang berlebihan. Namun, di balik perdebatan kecil mereka, ada kasih sayang yang begitu dalam, sesuatu yang tidak bisa digoyahkan hanya oleh godaan dari luar.

Matahari di atas langit kampus terasa lebih menyengat dari biasanya, membakar ubin trotoar dan memaksa setiap mahasiswa mencari tempat berteduh. Siang itu, tepat saat jam istirahat makan siang dimulai, Andro dan Gede keluar dari kelas dengan langkah berat. Keringat mengalir di pelipis mereka, bukan hanya karena cuaca yang panas, tetapi juga karena efek dari kuliah Kalkulus 1 yang baru saja mereka hadapi.

"Hah… ternyata gua masih hidup," keluh Andro, mengembuskan napas panjang seolah baru saja melewati pertempuran sengit.

Gede yang berjalan di sebelahnya hanya tertawa kecil, menepuk punggung sahabatnya dengan nada bercanda. "Tenang, Ndro. Dewa pasti kasih nyawa lebih banyak buat manusia yang butuh bimbingan kaya lu."

"Satire lu, njing!" Andro mendelik, tapi tidak benar-benar marah.

"Haha, kalem, bli." Gede mengelus lengan Andro, mencoba menenangkan sahabatnya yang tampak frustrasi.

Tapi tidak butuh waktu lama sebelum Gede sendiri ikut mengeluh. "Tapi beneran deh, Ndro. Ini antara mata kuliahnya yang susah dipelajari atau dosennya yang ngomong kaya bahasa alien?"

Andro mendengus, masih kesal. "Dua-duanya, njing! Tau ah, pusing gue!"

Merasa percuma membahas Kalkulus lebih lanjut, mereka pun segera bergegas ke kantin, mencari sesuatu untuk mengisi perut yang kosong. Namun sebelum mereka melangkah lebih jauh, suara familiar terdengar dari belakang.

"Tunggu..."

Sebuah suara nyaring memecah keributan kantin. Seorang pria kurus dengan rambut hitam berlari kecil mengejar mereka, tali tasnya terus melorot dari bahunya.

Puput.

Namun, Andro tampaknya tidak peduli. Ia terus berjalan tanpa menoleh. Gede, yang mendengar teriakan itu, menengok ke belakang dan menyadari sesuatu—Puput hampir saja menggandeng tangan Andro, kebiasaannya yang sudah berlangsung lama.

Sebelum itu terjadi, Gede dengan sigap menarik tubuh Puput, menghentikannya.

Puput mengernyit, kebingungan. "Ada apa?" bisiknya pada Gede.

Gede tidak langsung menjawab. Ia hanya menaikkan telunjuknya ke kening, lalu menggesek-gesekkan jarinya secara vertikal, memberikan kode bahwa Andro sedang dalam mode ‘gak bisa diganggu’.

Puput semakin penasaran. "Kenapa?" tanyanya lagi, kali ini tanpa suara, hanya gerakan bibir.

Gede pun menjawab dengan kecapan bibir yang nyaris tanpa suara.

"Stresss..."

Mendengar itu, Puput langsung menutup mulutnya dengan tangan dan tertawa kecil.

Akhirnya, mereka bertiga berjalan bersama menuju kantin di lantai dua. Suasana kantin seperti biasa, penuh sesak dengan mahasiswa dari berbagai fakultas yang sibuk memesan makan siang. Dinding putih bersih dan lantai yang mengkilap memberikan kesan modern, meskipun udara pengap tetap tak terhindarkan akibat banyaknya orang berkumpul dalam satu ruangan.

Mereka memilih meja kaca yang cukup luas untuk enam orang. Dari atas meja, bayangan kaki mereka terlihat jelas, memberi sedikit hiburan di tengah kelelahan mereka.

"Lu mau makan apa, Ndro?" tanya Gede, menatap daftar menu di tangan.

"Bubur ayam," jawab Andro tanpa ekspresi.

Gede terdiam sejenak, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. "Ha? Bwahahaha! Tampang lu kaya singa, makannya bubur?! Seriusan lu?"

Andro mendengus kesal. "Bawel lu! Perut gua mual, njing!"

"Dasar bayi!" Gede masih sempat mengejek.

"Berisik lu! Kalo gak suka bubur, lu pesan yang lain aja, ngentot!" balas Andro dengan nada tajam.

Gede hanya mengangkat bahu. Karena bingung memilih makanan, akhirnya ia ikut memesan bubur ayam.

"Tiga bubur ayam, Put!" perintah Gede kepada Puput.

Puput mengerucutkan bibir. "Tapi aku pengen yang manis-manis..."

Gede mendengus. "Gak usah banyak protes, sono beli!" katanya sambil menarik tubuh Puput agar berdiri.

Puput mendesah pasrah. Seperti biasa, ia tak pernah bisa menolak permintaan mereka berdua. Dengan langkah enggan, ia pergi memesan tiga piring bubur ayam meskipun tak menginginkannya.

Ketika makanan sudah dihidangkan di meja, Gede mengambil sendoknya dan bertanya, "Eh, kalian tim diaduk atau enggak?"

Puput menatap buburnya dengan ekspresi malas. "Aku nggak suka bubur," jawabnya kesal, mulai mengaduk-aduk makanannya tanpa niat.

"Gua enggak," jawab Andro tegas. Baginya, bubur ayam yang diaduk hanya akan membuatnya semakin eneg.

Tiba-tiba, seseorang menepuk pundak Andro dari belakang.

"Kalau aku, tim diaduk," sahut suara familiar.

Andro menoleh dengan ekspresi datar. Di belakangnya, tiga orang berdiri dengan nampan makanan di tangan.

"Eh, elu, Nat," gumamnya, mengenali salah satu pria itu sebagai Nathan, teman satu klub basketnya.

Nathan meletakkan makanannya di meja dan menatap Andro. "Boleh duduk di sini?"

Puput, yang awalnya murung, mendadak berseri-seri. Pipinya merona saat melihat Nathan berdiri begitu dekat. Dengan penuh semangat, ia menarik kemeja Andro pelan, berusaha meyakinkannya.

"Apaan sih, Put?" Andro mendelik, merasa risih.

"Biarin Nathan duduk, please," bisik Puput dengan wajah memelas.

Nathan, yang masih menunggu jawaban, tersenyum tipis. "Boleh gak?"

Melihat situasi kantin yang semakin penuh dan tidak ada meja kosong lainnya, Andro akhirnya menghela napas panjang. "Serah lu dah," katanya akhirnya.

Nathan mengangguk puas, langsung duduk di sebelah Andro. Diikuti oleh Jena dan Axel, dua teman dekatnya yang ikut bergabung.

"Makasih, ganteng," kata Jena sambil tersenyum menggoda sebelum duduk.

Mereka pun mulai menyantap makan siang bersama. Suasana meja itu menjadi lebih ramai dengan obrolan ringan dan candaan. Namun, tak lama setelah selesai makan, Andro mengeluarkan rokok dari kantongnya dan menyalakannya tanpa ragu.

"Fuuuh..." Asap rokok mengepul di udara, langsung mengarah ke wajah Gede.

Andro bersandar ke kursi, satu kakinya dinaikkan ke kursi lain. Tatapannya kosong, menatap langit-langit kantin. "Kangen arak, kangen amer..." gumamnya.

Gede menyeringai. "Minum amer di puncak, sepertinya nikmat," timpalnya.

Nathan tiba-tiba menyelipkan sebuah ide. "Ngomong-ngomong soal puncak, nanti malam kami ada rencana nginep di villa. Kalian mau ikut?"

Puput langsung berseru, "Mau!" tanpa sadar.

Andro dan Gede saling berpandangan, masih ragu.

Nathan merangkul Andro. "Gimana, Ndro?"

Andro menghela napas. "Enggak dulu deh, angkut aja tuh Puput, gua skip."

Nathan tersenyum licik. "Gua traktir anggur merah dua krat."

Tanpa ragu, Andro dan Gede langsung menjawab serempak, "Gua ikut!"

Puput tersenyum sumringah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Honestly, I'm Pregnant!   Persik

    Langit siang tampak mendung, awan-awan tebal menggantung rendah, mengaburkan sengatan matahari yang biasanya menyiksa di musim kemarau. Angin berembus lembut, membawa serta aroma tanah basah yang khas di musim penghujan. Di halaman depan Kampus Utpala, tiga sosok duduk di bawah pohon besar, menanti dengan kesabaran yang semakin menipis. Andro mengangkat kepalanya, memandang patung dewi bersayap yang berdiri anggun di tengah taman air mancur. Matanya menelusuri ukiran halus pada wajah patung itu, setiap lekuk sayap yang membentang, buku di tangan kirinya, dan globe di tangan kanannya. Ia melamun, pikirannya melayang entah ke mana. Gede, yang sedari tadi memperhatikannya, menyeringai jahil. Dengan gerakan cepat, ia memetik sehelai rumput, lalu tanpa aba-aba, memasukkan ke dalam mulut Andro. "Bwak!" Andro tersedak, rasa pahit klorofil menyentak lidahnya. Ia segera meludahkan rumput itu dan menatap Gede dengan tatapan penuh dendam. "Anjing lu, De!" makinya dengan suara serak. Gede ter

    Last Updated : 2021-08-29
  • Honestly, I'm Pregnant!   Stroberi

    Hari ini langit Bogor tidak menunjukkan warna jingga sama sekali meskipun hampir menjelang malam. Hanya ada warna abu abu awan tebal yang menyelimuti atap bumi di sepanjang jalan.Rintik - rintik hujan membasahi kaca depan mobil Expander Cross berwarna merah itu. Ke kiri, ke kanan, ke kiri lagi, begitu saja seterusnya wiper kaca depan mobil itu bergerak. Memang sudah menjadi tugas wiper untuk mengusap air yang Mulai membanjiri kaca depan mobil.Entah sudah berapa lama Lyora memandangi gerakan konsisten dari wiper itu. Seakan membuat gadis bermata coklat itu terhipnotis. Rasa kantuk mulai menguasai seluruh tubuhnya. Kelopak matanya perlahan mulai sayup."Cit..."Terdengar suara rem berdecit hingga menusuk telinga. Pria berkaos putih yang mengemudikan mobil mendadak menginjakkan pedal remnya. Sontak membuat badan Lyora terhentak ke depan, tak hanya Lyora, lima orang yang duduk di jok belakang juga ikut terhentak ke depan."Woy, ada apa Nat?"Andro yang duduk tepat dibelakang Nathan menep

    Last Updated : 2021-08-29

Latest chapter

  • Honestly, I'm Pregnant!   Stroberi

    Hari ini langit Bogor tidak menunjukkan warna jingga sama sekali meskipun hampir menjelang malam. Hanya ada warna abu abu awan tebal yang menyelimuti atap bumi di sepanjang jalan.Rintik - rintik hujan membasahi kaca depan mobil Expander Cross berwarna merah itu. Ke kiri, ke kanan, ke kiri lagi, begitu saja seterusnya wiper kaca depan mobil itu bergerak. Memang sudah menjadi tugas wiper untuk mengusap air yang Mulai membanjiri kaca depan mobil.Entah sudah berapa lama Lyora memandangi gerakan konsisten dari wiper itu. Seakan membuat gadis bermata coklat itu terhipnotis. Rasa kantuk mulai menguasai seluruh tubuhnya. Kelopak matanya perlahan mulai sayup."Cit..."Terdengar suara rem berdecit hingga menusuk telinga. Pria berkaos putih yang mengemudikan mobil mendadak menginjakkan pedal remnya. Sontak membuat badan Lyora terhentak ke depan, tak hanya Lyora, lima orang yang duduk di jok belakang juga ikut terhentak ke depan."Woy, ada apa Nat?"Andro yang duduk tepat dibelakang Nathan menep

  • Honestly, I'm Pregnant!   Persik

    Langit siang tampak mendung, awan-awan tebal menggantung rendah, mengaburkan sengatan matahari yang biasanya menyiksa di musim kemarau. Angin berembus lembut, membawa serta aroma tanah basah yang khas di musim penghujan. Di halaman depan Kampus Utpala, tiga sosok duduk di bawah pohon besar, menanti dengan kesabaran yang semakin menipis. Andro mengangkat kepalanya, memandang patung dewi bersayap yang berdiri anggun di tengah taman air mancur. Matanya menelusuri ukiran halus pada wajah patung itu, setiap lekuk sayap yang membentang, buku di tangan kirinya, dan globe di tangan kanannya. Ia melamun, pikirannya melayang entah ke mana. Gede, yang sedari tadi memperhatikannya, menyeringai jahil. Dengan gerakan cepat, ia memetik sehelai rumput, lalu tanpa aba-aba, memasukkan ke dalam mulut Andro. "Bwak!" Andro tersedak, rasa pahit klorofil menyentak lidahnya. Ia segera meludahkan rumput itu dan menatap Gede dengan tatapan penuh dendam. "Anjing lu, De!" makinya dengan suara serak. Gede ter

  • Honestly, I'm Pregnant!   Anggur

    Universitas Utpala, atau yang lebih dikenal sebagai "Kampus Biru," adalah salah satu institusi pendidikan swasta paling prestisius di Jakarta. Para mahasiswa yang berhasil masuk ke sini bukan hanya harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata, tetapi juga tekad dan ambisi yang kuat. Di antara mereka, ada satu nama yang sedang menjadi perbincangan hangat di kalangan mahasiswa Fakultas Teknik—Lyora Joschellyn. Gadis berusia sembilan belas tahun itu adalah mahasiswa baru di jurusan Teknik Informatika. Dengan rambut hitam kecoklatan yang jatuh dalam potongan medium berlapis, serta poni lembut yang membingkai wajahnya yang berbentuk hati, Lyora memiliki kecantikan yang tak bisa diabaikan. Bukan tipe kecantikan yang mencolok seperti selebgram dengan wajah sempurna hasil editan, tetapi lebih kepada pesona alami yang memikat. Mata coklat gelapnya membawa kesan misterius, bibirnya penuh dengan semburat merah alami, dan kulitnya yang cerah bersinar dalam balutan kesederhanaan. Namun, bukan hany

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status