Mentari pagi bersinar cerah, musim semi memberi kehangatan di pagi hari menyapa hati yang dingin karena rindu. Udara segar berhembus mengisi paru-paru dengan energi baru. Sejak hari masih gelap, orang-orang sudah berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Munchen memang kota yang sibuk, penduduknya berjalan lebih cepat dua kali lipat dari pada orang-orang di kota Batu.
Esok pernikahan Alvin dan Nirmala akan dilangsungkan. Ayana sedang menemani calon pengantin putri itu ke salon hari ini. Aku yang memaksa Nirmala. Dia harus melakukan perawatan terbaik agar besok terlihat cerah. Meski cantik Mala sama sekali tak paham tentang perawatan. Aku masih lebih baik darinya.
Alvin berdiri menatap keramaian kota melalui balkon. Hanya dalam hitungan jam dia akan punya istri lagi. Dari sini kita bisa melihat halaman rumah Alvin yang amat luas. Konsep pernikahan ini nantinya pesta kebun. Panitia pesta sedang menghias berbagai sudut halaman dengan ornamen-ornamen ala aristokrat
Hari ini aku berniat menemuinya, meski dengan nafas yang sesak. Orang itu, entah siapa dia. Sudah berapa lama juga ada diantara aku dan suamiku? Ponsel pemimpin rumah tanggaku itu tergeletak di meja. Pemiliknya sedang membasuh diri. Ini kesempatanku.Tanganku bergetar, mencari kontak nomor orang itu terburu-buru diponselya. Keringat dingin mulai membasahi dahi. Lihat apa yang bisa kulakukan nanti. Saat ini aku hanya ingin tahu sehebat apa dia. Kenapa dia bisa mengambil sebagian besar perhatian imamku? Ketemu! Tidak ada namanya, tapi sering sekali menelpon, ada ratusan pesan dari nomor yang sama. Pasti ini.Astagfirullah.Jari-jari basah karena peluh, bergerak lincah menyalin nomor itu ke ponselku. Dug.... Jantungku membuat gerakan tangan ini lebih lambat. "Save.” Beruntung aku berhasil menjebolsmartphoneyang diberi password itu.
Namaku Dinda Kayyisah, yang menikah dengan pria bernama Sultan Arya Pamungkas melalui perjodohan. Seorang pemuda dengan tubuh tidak terlalu tinggi sekitar 170cm. Aku paling suka bulu matanya yang lentik. Meski kami pernah bertemu sebelumnya beberapa kali, tapi tak begitu saling kenal. Darinya, ada banyak pelajaran mengenai hidup. Tentang beratnya perjuangan dan keikhlasan dalam cinta. Bersama Sultan membuatku mengerti sisi lain dunia. Jika pelangi itu ada tujuh, maka bersama Sultan menjadi tujuh ratus warna.“Saya terima nikah dan kawinnya Dinda Kayyisah Binti Siddiq Abu Sofyan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Bagaimana para saksi, sah?”“Sah.”Do’a pun dilantunkan. Detik itu juga Sultan resmi menjadi suamiku. Setelah menandatangani dokumen dan menyerahkan mahar ia mengecup keningku untuk pertama kalinya. Rasa dingi
Kecurigaanku muncul di hari ketiga pernikahan kami. Saat itu aku baru memasuki rumah mertua. Setelah acara resepsi kedua, malamnya kami berbincang-bincang ringan. Sebagai anggota baru, aku lebih banyak mendengar.Kami memang pernah bertegur sapa saat tahap perkenalan. Tapi, rasanya masih canggung untuk langsung ikut menyahut saat pembicaraan santai begini. Perlu waktu untuk memahami dulu bagaimana selera perbincangan keluarga ini.Rumah mertuaku tidak jauh dari Kantor Kepala Desa Oro Oro Ombo, sebuah daerah yang terletak di Kota Batu. Gedung sederhana dengan cat berwarna hijau muda. Dekat sini ada tempat wisata Batu Night Spectaculer. Dari rumah ibu, kita bisa melihat Gunung Panderman yang berwarna kehijauan. Meski tidak terlalu besar, tapi rumah ini cukup nyaman.Sultan anak kedua, kakaknya perempuan tinggal dekat dengan rumah ibu, hanya berbeda desa. Suamiku itu anak kesayangan. Dahu
Pernikahanku dan Sultan sudah berjalan lebih dari satu tahun, saat ini kami tinggal di Kota Batu. Dulunya kota ini termasuk bagian dari kota Malang tapi sejak tahun 2001 Kota Batu berdiri sendiri sebagai kota yang otonom. Sebuah kota kecil dengan pesona yang unik, orang sering menyebutnya sebagai kota wisata. Karena kota ini ada di daerah yang tinggi, dekat dengan pegunungan yang indah. Suhu daerah ini antara 12 sampai 19 derajat Celsius. Cukup dingin untuk ukuran negara tropis kan?Setiap bagian kota Batu begitu berarti. Ada banyak tempat wisata murah. Meski baru satu tahun, aku merasa inilah kota yang kuimpikan. Tidak seperti Jakarta atau kota lain yang bising dan terlalu padat, di sini tenang. Hanya ada tiga kecamatan yaitu Kecamatan Batu, Bumiaji, dan Junrejo. Selain itu ada lima kelurahan dan sembilan belas desa.Aku dan suami memilih untuk tinggal di daerah Oro Oro Ombo. Sebuah rumah Cluster Emerald di Perumahan Villa Exotic Panderman
Hampir setiap ada kesempatan Sultan selalu menyempatkan diri berlibur. Pria itu pekerja keras, wawasannya luas, dan suka bercanda. Ia selalu mudah diterima di mana saja. Setiap kali ada Sultan, selalu ada tawa. Kepiawaian dalam mengolah kata menjadi kalimat yang lucu menjadikannya sebagai sosok yang humoris, renyah, dan dekat dengan siapa saja.“Sayang. Aku karokean ya?”“Karoke lagi? Kemarin kan udah,” aku protes.“Bentar kok. Satu jam aja ya. Kamu mau aku bawain apa?”Aku menggeleng malas.Berbeda dengan Sultan, aku tidak suka musik atau hal-hal berisik lainnya. Pria muda berambut sedikit ikal itu lebih sering bepergian sendiri atau dengan teman-temannya. Jika ke bioskop aku tidak keberatan ikut. Itupun kalau filmnya kartun anak-anak, drama keluarga, atau film Islami. Selain itu, lebih bai
Sultan mengajakku berlibur, kali ini kami mengunjungi Alun Alun Kota Batu. Kalau dari tempat tinggal kami sekitar 4,5 km. Bisa ditempuh selama kurang lebih 15 menit menggunakan mobil pribadi. Dengan kondisi jalan yang mulus, perjalanan terasa nyaman. Apalagi untukku yang sedang hamil sembilan bulan. Alun-alun ini selalu ramai, terutama saat akhir pekan.“Akhir-akhir ini kan kamu sering murung. Itu gak bagus untuk ibu hamil. Makanya aku ajak kamu jalan-jalan biar seneng.” Sultan tersenyum merekah, membuat lesung pipinya tampak jelas.Aku menjawabnya dengan senyum datar. Dia menggandeng tanganku berjalan-jalan. Tidak ada pungutan biaya masuk. Ada tempat yang bersaing keindahannya dengan Alun Alun Kota Batu ini namanya Taman Selecta. Kami sudah pernah ke sana saat pertama kali ke Kota Batu. Di sini ada banyak spot unik untuk berfoto.Ruang informasi alun-alun bentuknya menyerupai
Sampai di rumah kami kelelahan. Sultan langsung tidur. Perutku berteriak parau. Si jabang bayi bergerak-gerak lincah. Jika ibu lapar, maka janinlah yang meronta-meronta. Saat hendak mengambil makanan, aku melihat ponsel Sultan tergeletak di meja.Kebetulan benda elektronik keramat itu hidup, biasanya selalu dalam keadaan kosong baterai kalau di rumah.Tidak dikunci. Aku membuka akun Facebook miliknya. Ah, ini memang memang akun asli. Lega rasanya. Rupanya, itu hanya sementara. Saat membuka mesin pencari dan melihat jejak riwayat, ada Facebook lagi dengan akun bernama Dorres.“Kay....kamu di mana?”Jantungku renyut kencang. Tidak terduga Sultan akan terbangun. Dia melihatku sedang menyentuh ponselnya. Wajahnya berubah putih. Segera ia rebut gawai itu.“Liat apa kamu?”“Tadinya mau
Sultan pulang dengan mata berair. Tangannya bergetar, ia nampak pucat, keringat dingin membasahi keningnya. Tak biasanya ia terlihat begitu takut. Apa dia baru saja melihat neraka? Aku harap begitu. Mungkin Allah tunjukkan sesuatu yang membuatnya menggigil. Malaikat maut mungkin.“Mas, ada apa?”Dia melihat kearahku.“Cak Boby meninggal Kay, teman-teman bilang kecelakaan. Kata orang yang nemuin jenazahnya, dia seperti habis dirampok.”“Astaghfirullahaladzim.” Aku berseru. Bulu kudukku berdiri, jantung melompat semaunya.Menurut cerita Sultan, Cak Boby sedang dalam perjalanan ke Malang. Seseorang menemukan jasadnya berada di tengah perkebunan milik salah satu warga. Ada banyak luka lebam di wajah dan sekujur tubuhnya. Polisi sedang menyelidiki kasus ini. Beberapa or
Mentari pagi bersinar cerah, musim semi memberi kehangatan di pagi hari menyapa hati yang dingin karena rindu. Udara segar berhembus mengisi paru-paru dengan energi baru. Sejak hari masih gelap, orang-orang sudah berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Munchen memang kota yang sibuk, penduduknya berjalan lebih cepat dua kali lipat dari pada orang-orang di kota Batu.Esok pernikahan Alvin dan Nirmala akan dilangsungkan. Ayana sedang menemani calon pengantin putri itu ke salon hari ini. Aku yang memaksa Nirmala. Dia harus melakukan perawatan terbaik agar besok terlihat cerah. Meski cantik Mala sama sekali tak paham tentang perawatan. Aku masih lebih baik darinya.Alvin berdiri menatap keramaian kota melalui balkon. Hanya dalam hitungan jam dia akan punya istri lagi. Dari sini kita bisa melihat halaman rumah Alvin yang amat luas. Konsep pernikahan ini nantinya pesta kebun. Panitia pesta sedang menghias berbagai sudut halaman dengan ornamen-ornamen ala aristokrat
Harusnya, hidup memberikan kebahagiaan setelah kita terkubur dalam luka. Nyatanya, takdir terlalu rumit untuk ditebak. Aku baru tahu, apa yang dialami Sultan setelah kembali dari menemui pembunuh Adnan. Sebuah cerita yang mengikis sanubari. Mataku tak sanggup menekan air yang tumpah sendiri mendengar kisah darinya.***“Rasakan pembalasanku Sultan. Anakmu mati sama seperti anak-anakku. Aku puas. Maaf, kau pasti kecewa.”Dodi tertawa di hadapan Sultan. Mereka hanya terpisah dengan meja kayu yang berwana cokelat tua. Mata Sultan menatap Dodi dengan kebencian. Giginya berbunyi gemerutuk menahan amarah. Setan apa yang ada di hadapannya ini?“Kau marah? Aku sudah minta tolong padamu. Tapi apa yang kau katakan. Atasi masalahku sendiri, begitu kan?”Tak tahan lagi. Tangan Sultan meninju wajah Dodi tepat mengenai pipi. Tak puas ia menambah pukulan pada dagu pria bertubuh tegap itu. Dodi terjengkang dari kursi. Petugas kepolisi
“Ya Allah Mbak Kay, cepetan dikit dong!” Seru Ayana.Dia mulai kesal sejak tadi aku tidak juga selesai mengepak barang-barang yang akan kubawa ke Jerman. Gadis ini sewot sekali, padahal penerbangan masih dua jam lagi. Nampaknya ia terlalu antusias. Aku maklum, ini pertama kalinya kami terbang keluar negeri. Gratis pula. Semua akomodasi sudah dibayar oleh Alvin.“Masih lama kan berangkatnya. Santai aja kali.”“Ih, Mbak Kay kita kan mau belanja oleh-oleh untuk Nirmala. Dia udah enam bulan sekolah di negeri yang gak ada Susu KUD atau Ketan Legendaris.”Ya tentu saja. Jangankan Jerman, rumah ibu di Klaten juga tidak menjual pemanja lidah itu. Ayana bersungut-sungut karena aku nampak tak bersemangat. Akhirnya dia sendiri yang pergi ke alun-alun kota membeli segala oleh-oleh. Aku duduk diam menunggu kendaraan online. Harusnya ini menyenangkan, ini perjalanan yang diimpikan banyak orang. Dulu semangatku menggebu, ketika kabar
Sultan meraih tanganku, aku masih enggan menatapnya. Sejak masalah ini terungkap, aku sudah terlanjur memasang tameng untuk mengacuhkannya. Tapi kini, rasa itu berbalik. Aku merasa tak ingin kehilangan dirinya.“Lihat aku, sebelum kujatuhkan talak. Bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kalinya?”Kepala ini terasa berat hanya sekadar untuk melihat wajahnya. Sungguh, aku tak tahu bagaimana ekspresinya saat ini. Tanpa mendengar persetujuan dariku ia tetap memelukku erat, sambil terguncang. Wajahnya ia tenggelamkan di bahuku yang membuatnya harus terbungkuk.Aku balas memeluknya, dengan air mata yang sama derasnya. Lama sekali kami saling melepaskan kerinduan. Terkadang rindu bukan hanya karena kita berjauhan, tapi saat kita selalu dekat namun jiwa kita yang saling menjauh.Dia menatapku lekat-lekat. Aku bisa melihat ada harapan, tapi tertahan karena keputusasaan yang lebih menyeruak. Tangannya menyentuh wajahku. Aku tak kuat mengeluarkan sepatah
Selama ini, tidak ada orang yang bermasalah dengan orang lain. Setahuku, dia bersikap baik kepada siapa saja. Terlepas tentang pengkhianatannya terhadapku. Ungkapan tentang siapa Dodi, membuat jantungku tertusuk. Lukanya masih belum sembuh. Cerita ini memperparah sakitnya. Luka jiwa yang akan selalu melekat dalam ingatan.***“Tan, bisa gak lo ke sini? Gue butuh bantuan lo. Istri gue tahu tentang dunia itu. Dia marah banget Tan?”Sebuah suara menghubungi Sultan yang tengah sibuk mempersiapkan makanan bagi pengunjung restonya. Siang ini ramai benar. Semua kursi penuh, bahkan beberapa orang harus menunggu di luar pintu untuk bisa menempati kursi mana yang baru ditinggalkan pengunjung. Pembicaraan ini sepertinya serius, Sultan beringsut mundur ke dalam ruangan pribadinya.“Terus gue harus apa? Nemuin istri lo berlutut minta maaf. Buat apa?”“Setidaknya lo ke sini, istri gue kabur entah ke mana Tan. Gue bingung,” jaw
Malam kian larut. Tidak ada satu orang pun yang beranjak tidur. Wajah-wajah tegang berkumpul di ruang keluarga. Televisi menyala terang menampilkan acara penuh gurau. Tidak ada muatan pendidikan atau nasihat sama sekali. Hanya canda tawa yang tidak lucu.Duduk di sana ibu, ibu mertua, Bapak dan Bapak mertua. Mbak Widya masih di sini bersama suaminya berbincang entah apa. Rara tenggelam dengan musik jaz yang ia dengarkan sendiri. Aku duduk membaca novel karangan ibu. Tak lama terdengar suara pintu diketuk dan seseorang mengucapkan salam. Jam 11 malam, mungkin itu Sultan.Benar. Sultan masuk dengan lunglai. Matanya menatap lantai berwarna merah bata yang licin mengkilap. Semua orang mengamatinya dengan arti yang berbeda. Bapak mertuaku berdiri mendekatinya. Tangannya langsung menghantam pipi kanan Sultan. Bunyinya bak petir. Tak cukup sekali, ada empat kali tamparan bahkan akan terus berlanjut jika saja Mas Salman tidak segera melerai. Ibu dan ibu mertua masing-mas
“Adnan, ayo Nak! Cepet! Sarapan, terus pakai sepatu kita berangkat sekolah sebentar lagi!”Kubuka pintu kamar Adnan. Ia tidak ada, mungkin sudah turun ke bawah untuk makan. Aku terus menyebut nama Adnan sambil berlari-lari kecil menuruni anak tangga.“Adnan.”Semua orang di hadapan meja makan menoleh. Ibu, Bapak, ibu dan Bapak mertua, Rara, Mbak Widya, Mas Salman. Mereka menatapku dengan sendu. Jantungku seperti berhenti berdetak. Baru kusadari Adnan tidak mungkin ada di ruang makan, dapur, taman, atau sekolah. Aku jatuh terduduk menutup wajah dengan kedua tangan agar tak nampak air mata yang menetes.Suasana ruang makan hening, hanya terdengar sesekali bunyi air yang diteguk. Tak ada yang bisa makan dengan lahap. Kepergian Adnan yang terlampau tiba-tiba membuat ruang kosong dalam di jiwa. Masing-masing sibuk dengan pikiran dan hanya menatap makanan dengan hampa.“Kalau terus begini sepertinya Adnan akan menyiram
“Adnan ketemu,” suara berat Alvin seperti cahaya yang membuyarkan kegelapan hari ini. Setelah berjam-jam akhirnya terdengar juga kabar yang lebih terang. Adnan ditemukan.“Di mana anakku,” tanya Sultan.“Di rumah sakit. Ayo!”Alvin mengajakku, tapi Sultan sedang menggenggam erat tanganku.“Aku ikut Mas Sultan aja.”“Ya sudah aku bawa mobil kamu. Kalian ikuti aku.”Apa yang sebenarnya telah terjadi? Adnan ada di rumah sakit, artinya dia mengalami hal buruk. Pikiranku kacau sekali. Bayangan-bayangan perkataan tadi pagi terngiang terus mengisi kepalaku bergantian. Perjalanan ke rumah sakit yang hanya sekitar satu jam terasa seperti bertahun-tahun. Ulu hatiku nyeri membayangkan wajah Adnan yang entah seperti apa sekarang.Sampai di rumah sakit Alvin berjalan cepat. Kami tiba di sebuah ruangan di mana seorang anak kecil tengah terbaring lemah. Kepalanya diperban. Seluruh tub
Pagi ini Adnan sibuk dengan peralatan sekolah barunya. Tak terasa dia sudah memasuki Sekolah Dasar. Adnan tumbuh begitu cepat. Dia makin tampan, banyak tetangga yang mendadak suka berfoto dengan Adnan sembari memamerkannya di media sosial. Sejak masih TK, Adnan bahkan sering mendapat hadiah dari teman-teman bermainnya. Dia seperti selebriti kecil di sekolah barunya.“Ibu, Adnan sayang sama Ibu. Ibu Jangan sering nangis ya!”Alisku berkerut. Memang, selama ini Adnan sering melihatku menangis dalam do’a. Kadang tak terasa bulir-bulir perih menetes tanpa sebab. Adnanlah yang selalu ada dan menghibur hati yang sudah tidak berbentuk lagi. Putraku ini kini sudah berusia 7 tahun. Ia berpikir dewasa. Mungkin karena terlalu sering bercakap-cakap dengan Pak Haryono.“Adnan tidak suka melihat Ibu menangis?”“Menangis tidak apa-apa ibu. Kata Kakek menangis akan membuat hati seorang perempuan lega. Tapi, nanti Adnan tidak bisa lagi