Alisa baru saja keluar dari rumah kontrakannya tapi tiba-tiba saja dia mendengar omongan yang tidak sedap dari para tetangganya. Mereka membicarakan tentang dirinya yang menolak lamaran dari Zaki kemarin. Samar-samar Alisa mendengar ada yang mengatakan bahwa dia wanita sombong dan aku. Merasa sok cantik menolak laki-laki seperti Zaki. "Iya, ibu-ibu. Kemaren itu memang dia nolak itu laki-laki. Saya aja heran kenapa bisa dia nolak laki-laki kayak gitu. Kan seharusnya dia beruntung, apalagi melihat laki-laki itu yang kayaknya suka banget sama dia. Sayang banget, ya Bu." gosip sana sini mulai terdengar dan itu membuat Alisa merasa tidak nyaman. Dia merasa sedikit terganggu dengan omongan-omongan para tetangganya. Mereka tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Alisa hanya berusaha menjalani hidupnya dengan baik tanpa harus merusak kebahagiaan orang lain. Dia jika tidak mungkin menikah dan menerima lamaran dari Zaki. Apalagi dengan keadaannya saat ini. Alisa tidak ingin membuat siap
"Alisa ..." Zaki kembali mendatangi rumah Alisa. Dia benar-benar merasa penasaran dengan wanita itu. Entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya hingga membuatnya kembali mendatangi rumah Alisa. Zaki merasa bahwa saat ini wanita itu sudah tidak baik-baik saja. Ternyata benar dugaannya, saat Dia mengetuk pintu rumah Alisa. Wanita itu tidak menjawabnya. Bahkan tidak ada sahutan apapun dari dalam sana. Tapi, ternyata tetangganya datang dan menghampirinya. "Cari Alisa ya, Mas?" tanya ibu-ibu itu ketika melihat Zaki kembali datang menghampiri rumah Alisa. Zaki langsung berbalik arah dan melihat ke arah wanita yang baru saja mendatanginya. "Iya, Bu. Alisa-nya ada?" tanya Zaki pada wanita itu karena dia penasaran kemana perginya Alisa. Kenapa tidak ada sahutan apapun dari dalam sana. Itu benar-benar membuat Zaki merasa penasaran. "Alisa ada di dalam, Mas. Cuma mungkin dia nggak mau keluar. Saya yakin beliau dengar, tapi beliau sengaja nggak mau dengar. Soalnya kemarin
Puas menangis seharian, Alisa sampai lupa bahwa dia menjual makan dari pagi. Perutnya terasa lapar dan dia membutuhkan tenaga untuk bayinya saat ini. Kembali lagi, bahwa dia telah menyiksa anak yang ada di kandungannya. Dia keluar dari dalam kamarnya dan semuanya gelap. Alisa lupa menghidupkan lampu rumahnya. Ini benar-benar sangat mengerikan sekali. Dia terjun dengan begitu lamanya, hingga hari berganti malam. "Astaghfirullah, aku melewatkan sholat," ucapnya yang merasa menyesal karena dia tertidur dengan begitu lamanya hingga melewatkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Alisa benar-benar merasa berdosa karena dia tidak melakukan kewajibannya. Maka dari itu cepat-cepat pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya lalu menunaikan ibadahnya. Setalah selesai dengan kegiatannya, Alisa keluar dari rumahnya. Dia ingin mencari makanan, untuk mengganjal perutnya. Karena tidak ada apapun di rumah dan memutuskan untuk keluar dan mencari makanan. Alisa berjalan keluar dari r
Alisa terus menangis ketika mengetahui bahwa dia adalah Zaki harus dinikahkan saat itu juga. Dia sendiri masih belum percaya dengan semuanya. Bagaimana bisa tiba-tiba saja hidupnya kembali berantakan, di saat dia ingin memulai semuanya dari awal lagi. Tapi, hanya dengan sesaat saja hidupnya kembali hancur berantakan. Ini benar-benar membuatnya takut. "Alisa, saya mohon sudah. Ini sudah terjadi dan kita harus menerimanya. Aku akan bertanggung jawab dan menjadi suami yang baik untuk kamu, Alisa," ucap Zaki yang berusaha untuk memenangkan wanita itu. Dia tahu bahwa ini memang tidak mudah bagi Alisa. Tapi, semuanya sudah terjadi dan mereka harus menerimanya. Lagi pula pernikahan ini sah. Mereka menikah secara agama. Setelah ini, aku akan mengurus pernikahan kita. Kita akan menikah secara hukum negara setelah ini, Alisa." ujar Zaki pada Alisa. Berharap bahwa wanita itu bisa sedikit merasa lebih tenang dengan apa yang dia katakan saat ini. Tapi, tidak seperti itu karena Alisa bukan m
Setelah malam itu, Alisa tidak tau harus melakukan apa lagi. Bagaimana hidupnya setelah ini. Kenapa lagi-lagi dia mengalami ujian yang mengerikan seperti ini. Baru saja Alisa bangun tidur, tiba-tiba saja pintu rumahnya kembali di ketuk. Siapa yang datang ke rumahnya pagi-pagi seperti ini? "Assalamualaikum, Alisa...ini saya, Zaki," ucap laki-laki itu setelah dia mengetuk pintu rumah Alisa. "Alisa, Saya tahu kamu ada di dalam. Saya juga tahu kalau kamu sudah bangun, Alisa. Tolong buka pintunya karena kita harus bicara." lanjut Zaki karena mereka ingin bicara. Dia harus membicarakan tentang hal ini dengan Alisa. Bagaimanapun pernikahan mereka itu sah, dan mereka harus bicara berdua. Banyak hal yang ingin mereka bicarakan. Terutama tentang apa yang akan terjadi selanjutnya nanti. "Biar ibu saja, Zaki." ucap Fatimah pada putranya itu. Dia harus membicarakan tentang hal ini juga, karena bagaimana pun dia juga harus terlibat dengan hubungan ini. Apalagi dia tahu jika Alisa past
Zahra mulai curiga karena tidak ada siapapun di toko hari ini. Dia mulai mencari tahu di mana keberadaan Zaki dan juga ibunya. Kenapa sudah siang seperti ini mereka belum juga datang. Entah mengapa rasanya dia berpikir bahwa mereka pasti mendatangi Alisa.Ya, pasti mereka berdua mendatangi wanita itu. Mengingatnya membuat Zahra mulai kesal. "Sebenarnya apa yang membuat mereka semua tertarik dengan Alisa. Aku yang sedang berusaha selama ini untuk menarik perhatian mas Zaki. Tapi, kenapa Alisa terus-terusan yang menjadi perhatiannya. Kenapa hanya wanita itu saja yang ditujunya, sedangkan aku ada di sini. Di depan matanya. Aku yang selalu bersamanya tapi kenapa harus Alisa. Kenapa, Mas?" gumam Zahra.Dia sudah berusaha melakukan banyak hal selama ini agar Zaki melihatnya. Tapi, tetap saja dia kalah dengan wanita yang baru datang beberapa saat dalam hidup Zaki. Zahra yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu. Tapi, apa yang disembunyikannya. Dia terlihat sebatang kara dan tida
Zaki pulang ke rumah Alisa malam, setelah dia pulang dari bengkelnya. Malam itu, dia pulang ke rumah Alisa dengan membawa sekotak martabak yang mungkin saja Alisa suka. Sayang, saat dia pulang ke rumah Alisa sedang berada di dalam kamar mandi. Zaki memilih untuk menunggu sampai wanita itu keluar dari kamar mandi baru dia masuk, karena Zaki takut jika Alisa kaget atau merasa tidak nyaman dengan kehadirannya nanti.Mendengar suara Alisa yang sudah keluar dari kamar mandi membuat Zaki langsung mengantuk pintu rumahnya. Dia berharap bahwa wanita itu segera membuka pintu kamarnya nanti. "Assalamualaikum, Alisa." terdengar suara Zaki yang memanggil namanya membuat Alisa langsung menuju depan dan membuka pintu rumahnya."Waalaikumsalam, Mas." jawab Alisa setelah membuka pintu untuk Zaki.Terlihat jika saat itu Zaki membawa sekotak martabak yang berada di dalam kantung kresek yang membuat Alisa terlihat begitu menginginkannya."Kamu, mau Alisa?" terlihat wanita itu yang langsung mengangguk
Zaki benar-benar kecewa setelah mengetahui apa yang terjadi sebenarnya di sini. Dia tidak menyangka bahwa ternyata Alisa sedang mengandung anak orang lain. Tapi, bagaimana bisa dia sedang mengandung anak orang lain dan tidak meminta pertanggungjawaban dari orang tersebut. Sungguh, rasanya Zaki sangat kecewa. Dia benar kecewa dengan apa yang terjadi saat ini. Fatimah menghampiri putranya yang terlihat sedang memikirkan beban berat saat ini. Entah apa yang ada di pikiran Zaki, jadi sebagai seorang ibu dia menghampiri putranya. "Ada apa, Nak? kenapa kamu terlihat seperti memikirkan beban berat?" tanya Fatimah pada putranya. Dia ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya di sini. Apakah memang benar ada beban berat yang sedang dipikirkan Zaki. Zaki melirik ke arah ibunya sekilas lalu kembali menghembuskan nafasnya dengan berat. Rasanya sulit sekali untuk mengendalikan dirinya saat ini. Dia benar-benar tidak bisa percaya dengan apa yang dia jalani sekarang. "Ada apa, Zaki? ceritakan pada
Tika berusaha untuk membujuk Alisa agar mau membawa Abidzar. Tapi, wanita bernama Alisa itu tidak mau melakukannya. Egonya masih setinggi langit dan dia belum bisa menerima keadaan saat ini, bahwa Abidzar memang membutuhkan perawatan yang lebih baik dari di negara ini."Ayolah, Alisa. Kamu tidak bisa egois terus-terusan seperti ini. Bagimana pun kamu harus memikirkan keadaan putramu. Bukan aku menyayangkan pengobatan di sini, hanya bisa jadi luar negeri lebih baik fasilitasnya. Tolong jangan pikirkan apapun tentang laki-laki itu. Fokus saja pada kesehatan mentalmu dan juga putramu, karena saat ini hanya itu yang bisa menolong dirimu sendiri." jelas Tika. Dia berharap bahwa Alisa benar-benar bisa mengontrol dirinya dan tidak terus berputar dalam masa lalunya. Dia tidak menyalahkan siapa-siapa di sini, hanya saja Alisa harus memikirkan keadaan putranya yang membutuhkan penanganan secepatnya. Abidzar masih memiliki kesempatan untuk kembali pulih, dan mungkin saja jalan satu-satunya memb
Damian sudah memutuskan bahwa dia akan bicara dengan Alisa perihal tentang rencana pemindahan Abidzar ke rumah sakit yang lebih besar lagi. Seperti sekarang ini, Damian memberanikan dirinya untuk bertemu dengan Alisa, walau dia tahu kemungkinan besar wanita itu akan menolaknya. Tapi dia akan tetap mencobanya lagi karena bagaimanapun Damian ingin yang terbaik untuk putranya. Alisa dan ketika langsung menatap ke arah pintu ruangannya ketika mendengar ada seseorang yang mengetuk pintunya. "Masuk," ucap Tika mempersilahkan seseorang tersebut untuk masuk. Deg!Jantung Alisa seperti berhenti berdetak ketika melihat siapa yang datang. Walau dia sudah bisa mengendalikan dirinya, tapi tetap saja dia merasakan hal yang sama. Masih ada rasa takut yang tertinggal dalam dirinya dan itu masih dirasakan hingga saat ini ketika melihat Damian. "Bisa aku bicara?" tanya Damian untuk pertama kalinya, saat dia sudah dipersilakan untuk masuk. "Pergi, aku tidak ingin melihatmu lagi. Aku tidak ingin mel
Alisa pergi ke Mushola setelah melihat keadaan putranya yang belum sadarkan diri hingga saat ini. Bahkan setelah mendapatkan penanganan cepat, Abidzar belum menunjukkan kemajuan apapun. Hal itu pula yang membuat Alisa semakin sedih. Hatinya hancur berkeping-keping melihat begitu banyaknya alat-alat yang menunjang kehidupan untuk putranya. "Kapan aku bisa merasa tenang ya, Allah? kenapa harus Abidzar. Kenapa harus putraku yang merasakannya. Andai waktu bisa di putar, lebih baik aku yang merasakan semua rasa sakitnya. Jangan putraku lagi." Alisa menangis dalam sembah sujudnya. Sajadah yang menjadi teman untuknya saat ini juga mengetahui seberapa hancurnya hati wanita itu. Dia seorang ibu yang berjuang sendiri untuk putranya. Dia telah bertahan selama ini dengan segala rasa sakit yang di alaminya. Alisa pikir, setelah melewati begitu banyaknya cobaan dia tidak akan mendapatkan cobaan apapun lagi. Sayangnya dia salah. Alisa salah besar. Karena semua ini dia harus merasakan rasa sakit
Setelah mendapatkan kabar dimana keberadaan suaminya, Claudia langsung menuju lokasinya. Ternyata rumah sakit, dan bahkan dari informasi yang dia dapatkan dari orang suruhannya, Claudia mengetahui jika Damian berada di rumah sakit. Entah siapa yang di tunggunya, yang jelas Claudia tidak bisa menahan amarahnya lagi. Sejak tadi, dia terus saja gelisah memikirkan siapa yang di temui suaminya di rumah sakit. Sampai tiba-tiba ingatannya tertuju pada sebuah nama yang sering di sebut Damian saat tidur. "Sh*t!" umpat Claudia saat dia mengingat nama Alisa. Supir yang berada di depan juga kaget saat Claudia menyikut kaca jendela mobil yang mereka tumpangi saat ini. "Lebih cepat lagi!" titah Claudia pada supirnya karena dia sudah tidak bisa menahannya lagi. Tujuan utamanya saat ini memang rumah sakit, dan dia ingin melihat sejauh mana Damian berani bertindak. "Baik, Nyonya." jawab sopirnya dan dia menambah lagi kecepatan mobil mereka agar bisa lepas sampai ke rumah sakit. Sedangkan di
Mendengar kabar Abidzar yang kritis membuat Damian langsung berlari menuju ruangan tempat dimana putranya di rawat. Tepat saat dia sampai disana, Alisa langsung menatapnya dengan tajam. "Bagaimana keadaan Abidzar, Alisa?" tanya Damian panik. Dari raut wajahnya saja sudah sangat tentara sekali jika laki-laki itu begitu mengkhawatirkan keadaan putranya. Walau hingga saat ini dia belum mendapatkan validasi atas semua itu, kaki tetap saja dia yakin bahwa Abidzar memang benar-benar putranya. Mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Damian membuat Alisa berusaha untuk menguatkan dirinya. Dia maju beberapa langkah hingga tepat di depan Damian, hingga tanpa di duga oleh siapapun, Alisa menampar wajah Damian. Plak! "Alisa?" Tika kaget saat melihat Alisa menampar wajah Damian. Sumpah demi apapun, mereka tidak menyangka dengan semua ini. "Tampar lagi, Alisa. Lakukan itu jika bisa membuatmu memaafkan ku. Tampar aku lagi, Alisa. Plak! Alisa kembali melakukannya. Bahkan tanpa di
Saat darahnya di ambil, Damian terus saja merasa gelisah. Dia bingung dengan semua ini. Apalagi saat melihat Alisa yang terlihat ketakutan saat bertemu dirinya. Itu membuat hati Damian terasa hancur. Belum lagi kenyataan yang baru diketahuinya, bahwa Abidzar ternyata putranya. "Sudah selesai, Pak." ujar suster yang mengambil darah Damian tadi. Mengetahui semua ini sudah selesai membuat Damian langsung ingin bangkit dari tempat tidurnya. Melihat Damian yang ingin pergi begitu saja membuat susternya langsung panik. Apalagi darah yang mereka ambil cukup banyak. Jadi Damian harus istirahat lebih dulu. "Anda harus istirahat sebentar, Pak." ucap susternya, saat melihat Damian ingin turun dari ranjang pasiennya. "Tidak bisa, Suster. Saya harus melihat anak saya. Saya juga harus melihat ibu dari anak saya." jawab Damian karena memang dia mengkhawatirkan kedua orang tersebut. Dia tidak peduli dengan dirinya, karena saat ini yang harus dia pikirkan adalah Abidzar dan juga Alisa.
Pyar...Alisa yang sedang membersihkan kamar putrinya tiba-tiba saja kaget ketika melihat foto dirinya bersama dengan Abidzar tiba-tiba saja jatuh dan pecah hingga berserakan di lantai. Penasaran, Alisa melihat kaca yang berserakan di lantai. Saat dia hendak membersihkan serpihan kacanya, tiba-tiba saja tangannya tergores oleh pecahan kaca tersebut. "Astaghfirullah, ada apa ini?" Alisa melihat jarinya yang berdarah. Dadanya juga merasa sesak ketika dia memikirkan tentang putranya. Dia takut jika terjadi sesuatu pada anak laki-lakinya itu, karena tadi Dia pamit untuk bertemu dengan paman yang memberikannya begitu banyak mainan. Alisa memang sudah mengatakan pada Abidzar untuk mengembalikan semua barang-barang tersebut. Tapi, kenapa hingga saat ini putranya itu belum bisa kembali. Terlebih lagi saat ini perasaanmu semakin tidak karuan. Pikiran buruk mulai menghantuinya. Dia terus saja memikirkan Abidzar.Saat dia sedang membersihkan serpihan kaca tersebut, tiba-tiba saja Tika datang
Sudah beberapa hari ini Damian terus saja menunggu, Abidzar. Dia merasa begitu sangat merindukan anak laki-laki itu. Namun, sayangnya hingga saat ini dia belum bisa bertemu dengannya. Dia belum bisa bertemu dengan Abidzar, bahkan dia tidak berani hanya untuk mendatangi rumah anak itu, walau dia tahu di mana tempat tinggalnya. Damian masih ingin menghargai privasi keluarga, Abidzar, karena dia tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga seorang dokter dan dia tidak mungkin mengganggu privasi mereka.Sampai di mana, saat dia sudah lelah menunggu anak laki-laki itu di taman, tiba-tiba saya terdengar ada seseorang yang memanggil namanya. "Om, Damian!" mendengar suara teriakan itu membuat Damian langsung berbalik arah, dan dia kaget ketika melihat siapa yang datang. Abidzar, anak laki-laki itu datang dengan senyum yang begitu lebar. Begitu juga dengan Damian, dia langsung menyambut kedatangan Abidzar dengan penuh kebahagiaan. "Abidzar?" Damian tersenyum ketika melihat anak laki-laki itu da
Melihat Abidzar sudah pulang membuat Alisa langsung mencari keberadaan anaknya itu. Dia benar-benar sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan anak itu, jadi dia langsung datang menghampirinya ke kamar. "Dari akan saja kamu, Abidzar?" tanya Alisa dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya. Abidzar tahu jika saat ini ibunya pasti sangat marah. Tidak pernah-pernahnya dia melihat wanita itu terlihat marah seperti ini. Jadi, Abidzar harus bisa meminta maaf atas semua ini."Maafkan, Abi, Ibu. Abi-""Apa ini? apa ini Abidzar?" tanya Alisa melihat barang-barang yang dibawa pulang oleh anaknya. Dia tahu bahwa barang itu bukan barang sembarangan. Itu barang-barang mahal yang memiliki harga jual yang cukup tinggi. Tidak pernah sedikitpun dia bermimpi untuk membelikan anak yang mainan seperti itu karena menurutnya percuma. "Apa ini Abidzar?" tanya Alisa dengan tegas. Dia ingin tau dari mana anak yang bisa mendapatkan barang-barang mahal itu. "Ibu tak pernah mengajari kamu untuk meminta p