Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_
“Sofi, bisa kau beritahu apa yang Steven dan Nina bicarakan malam itu? Kau tahu kalau ini darurat, kan? Kau tidak bisa merahasiakannya lagi dariku,” pintaku pada Sofi setelah sambungan telepon antara aku dan Steven berakhir.Setelah melihat dirinya seperti memaksa senyum, Sofi menghela napas sebelum menjawab pertanyaanku, “Sebenarnya kami tidak tahu apa yang Tuan dan Nina bicarakan, Nyonya. Kami hanya diminta menjaga rahasia dari Anda. Tuan meminta kami untuk tidak memberitahu Anda jika Tuan dan Nina malam itu meminta kami meninggalkan mereka agar dapat berbicara berdua saja.”“Apa?!”“...”“Ah..., dia mungkin tidak ingin aku salah sangka dan cemburu?”“Ya. Nyonya.”“Berarti dugaanku mungkin benar. Bagaimana menurutmu, Sofi?”Sofi mengangguk sebelum menjawab, “Saya juga berpikir seperti yang Anda pikirkan.”“Haaahhh…” Aku menghela napas panjang setelah meyakini apa yang sudah kupikirkan selama dalam perjalanan dari Kalimantan ke Jakarta.“Kemungkinan besar memang seperti itu, kan?”Aku
“Kau terluka? Siapa yang melakukannya?” Tanya Steven sambil memperhatikan salah satu kakiku.“Bukan siapa-siapa, aku hanya terjatuh. Aku baik-baik saja, ini sudah diobati kok.”Steven sepertinya tidak senang melihat kakiku yang dibaluti perban. Dia langsung berpaling menatap Lintang seperti hendak memarahinya, membuatku akhirnya berbicara kembali untuk mencegahnya, “Alam yang melakukannya. Ada badai besar di hutan sana dan aku terpeleset saat berlari. Kalau mau marah, marahlah pada alam.”“...”“...”“...Be-begitu…”Agak kesal dengan tanggapannya, aku berpaling dan melihat Sofi sedang berusaha menahan tawa. Aku pun berkedip padanya.Setelah melepas rindu dengan pelukan yang sangat singkat itu, Steven membimbingku masuk ke dalam rumah dan mengajakku duduk di ruang keluarga —tempat aku dan Nina bercengkrama saat terakhir kali kami bertemu seminggu yang lalu.Steven meminta maaf lagi padaku sebelum menjelaskan ke mana ia pergi selama beberapa hari terakhir. Ternyata ia sengaja melakukanny
“Walau begitu tetap saja Nina dalam bahaya, kan?”“Tidak juga. Sebenarnya aku sudah tahu kalau suatu saat dia pasti akan menculik salah satu di antara kau atau Nina.”“A-apa?!”“Maafkan aku. Tapi memang begitulah keadaannya.”“Kenapa kau baru memberitahuku?” Aku langsung menoleh ke arah Sofi setelah mengajukan pertanyaan pada Steven.“Sofi tidak tahu. Aku merahasiakannya dari siapa pun kecuali dari Jason yang diam-diam membantuku untuk menyelidiki mereka dengan peralatan canggih milik tentara bayarannya.”“Astaga. Jadi kau tahu jika aku dan Nina akan berada dalam bahaya?”“Maafkan aku…”Aku tidak menanggapi lagi permintaan maafnya. Ingin rasanya aku marah saat mengetahui jika dia tahu bahwa aku dan Nina akan dalam bahaya. Tapi setelah memikirkan apa penyebabnya, aku mulai bisa memaklumi pemikirannya. Untungnya aku masih diam tidak langsung menanggapi dengan kemarahan, tidak seperti kebanyakan orang yang ku kenal, mengumpat terlebih dulu lalu menyesal kemudian. Ada gunanya juga kebiasaa
“Biarkan aku ikut,” kataku lagi, saat tidak ada seorangpun dari mereka yang merespon permintaanku sebelumnya.Setelah itu barulah mereka menatapku dengan hampir bersamaan —aku juga mendengar helaan napas pelan dari mereka semua seakan sudah bisa menebak jika aku akan mengatakan apa yang baru saja kuucapkan.Sofi, Lintang, dan Cakra kemudian menoleh ke arah Steven seakan menanti keputusan apa yang akan tuannya ambil.‘Saat sedang mengatur strategi tadi, mereka kan tidak membahas akan mengantarkanku ke mana. Tidak mungkin aku tinggal di sini, kan? Bukankah akan lebih baik jika aku ikut?’Bukan maksudku ingin ikut langsung ke garis terdepan, tengah, ataupun di belakang mereka, aku hanya ingin berada di garis yang benar-benar terbelakang. Maksudku berada di paling belakang. Yah… itu hanya menurutku sih karena aku juga tidak tahu apa memang ada istilah seperti itu, tapi apapun istilahnya, yang ku maksud adalah di titik terjauhnya, itu saja.Lagian aku kan tidak seberani itu juga, makanya ak
“Bukankah kau terlalu mencolok dengan pakaian itu?” Aku menggerakkan kepala menunjuk ke arah pakaian pantai yang dikenakan pria berkacamata itu sebelum duduk di sebelahnya.“Oh ayolah, ini kemeja keberuntunganku,” Jacob tertawa menanggapi komentarku.Jacob adalah orang kepercayaan Jason, juga sahabat baiknya sejak kecil. Jason sengaja mengirimnya karena kebetulan sedang berposisi dekat dengan kota ini —karena Jason masih berada di mansionku jadi dia hanya memantau segalanya dari sana.“Ternyata kau masih ingat minuman kesukaanku, kau manis sekali,” ledek Jacob sebelum akhirnya tertawa dan menegak minumannya hingga tersisa setengah botol.Aku mendengar suara tawa terbahak di telingaku —siapa lagi kalau bukan Jason. Andai dia sekarang ada di depanku, aku ingin sekali memukulnya karena sudah mengejekku seakan aku sedang berkencan dengan Jacob.Memahami arti tawa Jason —yang juga didengarnya dari earphone— Jacob kembali tertawa sembari memukulkan botol minumannya pada botol yang ada di tan
‘Bedebah!’Aku tidak langsung merespon sapaan Robi Mochtar. Perhatianku tertuju pada sosok yang berada di tengah kolam renang. Nina.Tubuhnya terikat dan terendam dalam air kolam hingga sebatas dadanya, entah sudah berapa lama dia ditempatkan di sana, tapi kemudian aku akhirnya bisa memperkirakan dia mungkin sudah berada di sana tidak cukup lama. Terlihat dari tubuhnya yang tidak tampak menggigil kedinginan —setidaknya itu sedikit melegakan.Setelah memastikan keadaan Nina —dengan sudah berusaha untuk mengabaikan Nina yang menatapku dengan putus asa sembari berusaha berteriak dalam keadaan mulutnya yang terikat— barulah aku berpaling pada Robi Mochtar dan tersenyum sinis padanya.“Kau sangat memalukan. Bagaimana bisa orang yang terkenal di organisasi bawah sepertimu memperlakukan wanita seperti ini? Persis seperti seorang pengecut,” ucapku berlagak tenang, padahal sedang berusaha menahan kemarahan dan menahan diri untuk tidak ceroboh dalam mengambil tindakan. Sebenarnya aku ingin seger
“Akan ku turuti maumu setelah kau mengeluarkannya dari kolam,” sahutku, dan ia merespon permintaanku dengan siulan riang.Ia kemudian memerintah anak buahnya —yang sebenarnya sedang menarik Nina dari dalam kolam memanfaatkan tali tambang yang terikat di tubuh Nina— agar melakukan pekerjaannya dengan lebih cepat.“Heh, bocah… jangan lupakan senjatamu,” kata Robi Mochtar yang akhirnya menyadari jika Jacob masih belum membuang senjata di tangannya karena perhatiannya terlalu fokus kepadaku.“Bolehkah aku hanya membuang pelurunya saja? Ini senjata favoritku, harganya sangat mahal,” Jacob mengelus senjatanya seakan sangat menyayangi benda itu. “Lihat, sudah habis. Kosong,” katanya lagi mengayun-ayunkan senjatanya setelah mengosongkan peluru yang tersisa.“Tsk, dasar bocah! Tendang semua pelurunya ke dalam air!” umpatnya pada Jacob.Aku sebenarnya hendak tertawa saat melihat tingkah Jacob barusan, ia benar-benar seperti seorang anak kecil yang tidak ingin kehilangan mainan kesayangannya. Tap
Aku menyentuh pangkal lenganku yang mulai terasa nyeri. Darah yang mengalir sampai ke ujung jariku bukan hanya membasahi lengan kemeja dan jaket, namun juga merembes sampai ke hampir setengah kemejaku —membuat Nina yang terlambat menyadarinya menangis histeris.Untungnya luka yang kualami tidak terlalu serius, karena peluru yang Robi tembakkan padaku hanya menyerempet otot dan kulitku saja, tanpa meninggalkan serpihan peluru di sana.Tak lama kemudian Sofi —yang sepertinya melihatku terluka dari kejauhan— berlari mendekatiku bersama kain panjang yang entah didapatkannya dari mana. Ia menuntunku ke kursi malas yang berada di samping meja lalu mengikat dan menutup luka tembakan di lenganku sementara aku memusatkan pikiran untuk tidak merasakan nyeri yang mulai terasa sangat menusuk, sembari menenangkan Nina yang menangis terisak di sampingku.“Ka-kakak… hiks… Baik… baik… saja…?”Aku mengangguk dan tersenyum padanya, sebenarnya lebih merasa kasihan padanya. Ia pasti akan merasakan trauma