"Gimana, Vin? Ini udah ganti hari tapi kenapa belum ada juga kabar tentang putraku?" tanya Rio begitu Alvin, sang asisten masuk ke ruangannya.
"Karena itu saya ke sini, Pak! Tadi siang saya sudah bertemu dengan pihak pengelola taman tempat pertama kali Atan hilang. Dan dari kamera CCTV, kita bisa melihat kalau Bu Shilla meninggalkan Atan cukup lama sehingga Atan berjalan sendirian keluar taman."Belum selesai penjelasan Alvin, rasanya darah Rio mendidih karena emosi. "Lanjutkan!" titahnya."Melalui rekaman CCTV di traffic control system, dari taman kota, Atan berjalan menyusuri Jl. Kangean hingga berhenti di sebuah halte dekat restoran kita. Atan di sana sampai malam karena tak ada seorang pun yang berhasil membujuknya. Ada beberapa polisi juga yang datang tapi tak berhasil membuat Atan angkat bicara. Sekitar pukul sepuluh malam kemudian, ada seorang wanita yang tiba-tiba saja membuat Atan bereaksi. Atan langsung menghambur ke pelukan wanita itu dan mereka kemudian pergi.""Cepat lacak siapa perempuan itu dan temukan tempat tinggalnya. Saya beri waktu tiga puluh menit, setelah itu siapkan mobil, kita ke rumah wanita itu sekarang!"Alvin hanya mengangguk lalu menjalankan tugasnya. Tak sampai tiga puluh menit, informasi pribadi perempuan itu kini sudah ada di tangan Rio.*Ify baru saja selesai memanggang cookie percobaannya yang pertama dan sedang asyik memakannya dengan Atan serta Ray saat beberapa iringan mobil berhenti di depan kos-kosan yang membuat beberapa tetangga kos keluar dari kamar dengan wajah heran.Ify sebenarnya malas kepo, tapi karena mobil itu berhenti tepat di depan pintu kamarnya, mau tak mu ia pun keluar kamar diikuti oleh Ray yang menggendong Atan.Seorang laki-laki gagah berusia akhir dia puluhan, keluar dari sebuah mobil paling mewah. Atan yang ada di gendongan Ray memberontak meminta turun dan langsung berlari sembari berteriak."Ayaaahhhhh!"Ify dan Ray melongo. Keduanya terpaku tanpa sepatah kata yang terucap sampai Atan dan sang ayah berasa di depan Ify dan Ray."Terima kasih karena sudah menampung Atan. Sebagai ucapan terima kasih, katakan apa yang kalian inginkan," ucap Rio sambil mengusap-usap punggung Atan yang ada di gendongannya. Tak terperi betapa bahagia Rio karena sudah menemukan sang buah hati."Om ini ngomongnya kaya jin botol ya, Kak!" bisik Ray kepada Ify yang membuat gadis itu kemudian menggeplak Ray dan melotot untuk memintanya diam."Bukan masalah besar. Sa-saya melihat Atan yang tidak mau bicara atau disentuh siapapun, dan tiba-tiba memeluk saya. Saya jadi tidak tega untuk mengantarkan ke kantor polisi atau meninggalkan di sana," ucap Ify sedikit tergagap. Bagaimana pun, aura orang kaya dan berkuasa dari Rio sungguh membuat jiwa miskinnya tergencet."Ayah, ayah tau nggak, masakan mama enak banget, loh!" Atan yang tadi diam, tiba-tiba saja menyeletuk membuat Ify melotot horor dan Rio memandang sang anak bingung."Mama?" tanyanya.Atan mengangguk. Ia kemudian meminta turun dari gendongan Rio, berlari ke arah Ify dan meminta gendong gadis itu."Mama Fy masakannya enak banget loh," ucapnya bangga sambil melingkarkan tangannya di leher Ify yang kini terasa kesusahan mengeluarkan suara."Mama...mama, nanti mama ikut pulang sama Atan kan? Tadi kue Atan juga belum abis."Rio total mengernyit tak mengerti. Ia memandang Ify tajam yang membuat gadis itu tergagap. Ray yang melihat sang kakak kesusahan untuk menjelaskan pun maju, ia tak mau sang kakak disalahpahami."Begini, Om! Sejak pertama bertemu entah kenapa Atan memanggil kakak saya dengan sebutan Mama. Berkali-kali kita mengoreksi dan panggilan Atan tak berubah. Sekiranya Om mau menjelaskan kepada anak Om, tapi saya dan kakak saya sama sekali tidak ada maksud apa-apa. Kalau Om khawatir mungkin Atan kami cuci otaknya, Om bisa menggunakan saya sebagai jaminan asal Om tidak berbuat apapun kepada kakak saya."Ify terperangah, tak mengira jika sang adik yang dulu sangat kekanakan kini bisa bersikap begitu dewasa dan pasang badan untuknya."Ah, tidak tidak!" Rio menggeleng tergagap. "Saya hanya merasa bingung. Atan susah berbaur dengan orang lain. Tetapi ada seseorang yang dia panggil Mama dan itu membuat saya bingung.""Kalau itu coba tanyakan kepada Atan nanti. Oh iya, apakah Om mau duduk dulu?" tawar Ray sambil menunjuk kursi yang ada di belakangnya.Rio hanya mengangguk dan berakhir duduk di kursi teras, sementara para bodyguard-nya tetap stay di sekitar mobil. Sungguh, Ify merasa menjadi artis dadakan karena banyak tetangga kos yang menonton mereka. Untung saja, hari ini termasuk hari kerja sehingga kebanyakan yang menonton mereka adalah para ibu-ibu yang tidak bekerja."Om mau minum apa?" tawar Ray."Rio, panggil saya Rio, dan tidak usah repot-repot, saya hanya ingin menjemput anak saya."*Butuh usaha extra untuk memisahkan Atan dan Ify. Bocah itu benar-benar serius untuk mengajak pulang Ify. Menangis meraung dan memohon kepada sang ayah untuk mengajak sang 'mama' ikut pulang ke rumah."Atan, sekarang Atan pulang dulu, ya? Nanti Atan bisa main lagi sama tante.""Ndak mau, Mama ayo ikut Atan pulang," Atan menjawab dengan sesenggukan membuat Ify sedikit tidak tega. Rio dan Ify saling berpandangan, mereka sama sekali tidak punya ide."Atan pulang dulu, ya? Nanti kalau Atan mau ketemu tante, Ayah bakal anterin kapan pun Atan mau, ya?" Rio terus mencoba membujuk sang anak dengan berbagai cara, sampai menawarkan berbagai mainan mahal yang anehnya sama sekali tidak menggoyahkan keinginan Atan.Atan kembali menggeleng. Ia memeluk Ify lebih erat dari biasanya."Atan, nanti tante nyusul aja gimana?" ucapan Ify membuat Atan mengangkat kepalanya dari ceruk leher Ify."Mama mau nyusul?""Iya, nanti tante nyusul kalau masak kue-nya udah selesai. Atan suka kue buatan tante kan? Nanti Atan bawa kuenya ke rumah. Kalau Atan jadi anak baik, nanti tante bakal nyusul pulang dan bawa kue banyak," Ify sedikit mengutuk dalam hati karena tak tega membohongi bocah polos ini."Janji?""Iya, sekarang Atan sama Ayah dulu, ya? Tante mau bungkusin kue buat dibawa Atan pulang," Ify tersenyum menenangkan, mencoba meyakinkan Atan.Atan mengangguk, lalu meraih uluran tangan Rio, dan gendongan berpindah kepada sang ayah."Tunggu sebentar ya, Pak! Saya mau ngemas kuenya dulu biar dibawa Atan."Rio hanya mengangguk, menunggu Ify yang tak berapa lama kemudian, kembali dengan satu toples kue yang diterima Atan dengan mata berbinar."Makasih, Mama! Atan bakalan jadi anak baik biar mama ikut pulang."Sungguh, Ify tak tega melihat binar penuh harapan dari mata balita polos ini. Bagaimana kalau dia tahu ini adalah pertemuan terakhir mereka? Ify rasanya ingin menangis. Entah kenapa ia sudah merasakan ikatan yang kuat dengan balita ini meski baru satu hari bersama."Terima kasih sekali lagi. Tolong terima pemberian kecil dari saya sebagai ucapan terima kasih," melalui sudut mata, Rio memberi isyarat kepada Alvin yang sejak tadi hanya berdiri menonton."Ini cek kosong, kamu bisa isi berapapun yang kamu mau."Ify melotot memandang cek kosong yang disodorkan kepadanya. Ia melirik Ray yang memberi isyarat dg mengedipkan matanya.Memangnya siapa yang bisa menolak rejeki? Apalagi ini cek kosong dan kita bebas untuk mengisinya. Mungkin mereka bisa membeli rumah, membuat usaha kecil-kecilan dan kehidupan dirinya dan Ray akan sedikit membaik. Ya, hanya orang gila yang akan menolak itu."Maaf, tapi saya menolong Atan ikhlas kok, saya tidak meminta imbalan apa-apa." MULUT PENGKHIANAT!! Ify ingin menabok mulutnya sendiri karena mengatakan hal yang berbeda dengan pikirannya."Serius? Ini hanya ucapan terima kasih kecil dari saya."Mau menerima, udah kepalang malu."Serius, Pak! Saya ikhlas, lagipula Atan lucu, saya suka."Rio tersenyum kecil menanggapi jawaban Ify."Ya sudah, ini kartu nama saya, kalau kalian butuh bantuan, jangan ragu untuk menghubungi saya. Saya berhutang budi pada kalian."Ify menerima kartu nama itu dengan berat, menatap cek kosong yang perlahan kembali masuk ke dalam tas."Kami pamit dulu!"Ify mengangguk."Mama! Atan pergi dulu ya, dadaahhh! Sampai jumpa nanti ya, Ma!"Ify membalas lambaian tangan Atan, hingga semua orang itu masuk ke mobil dan menghilang dari pandangan."Lo gila, Kak?" pekik Ray gemas."Gue kayaknya emang gila, Ray! Laknat bener emang mulut ini," ucapnya sambil menepuk mulutnya sendiri."Whattt? Lo gilaaa!!"Ify meletakkan jarinya di depan mulut, meminta Via agar tak terlalu berisik karena semua pengunjung kafe kini menatap mereka dengan pandangan terganggu. "Jangan teriak! Malu-maluin aja sih," bisik Ify sambil tersenyum dan mengucapkan maaf kepada semua pengunjung yang terganggu. "Tapi kita-kita sudah menduga sih, soalnya pas Pak Riko turun tuh dia kaya kesakitan dan megangin selangkangan. Tapi gue nggak nyangka kalau si brengsek itu sampai mecat lo. Tapi syukurlah, lo lepas dari orang brengsek kaya dia," ucap Via dengan emosi menggebu. "Syukur pala lo pitak, gue pengangguran anjir!" sungut Ify. "Terus lo kenapa nggak ada kabar setelahnya? Gue hubungin nggak pernah lo angkat, gue ke kos nggak ada orang."Ify menghela napas, sampai juga mereka ke cerita yang sebenarnya. "Mama gue meninggal, Vi!"Via terdiam, ia menatap sosok sahabatnya itu dengan mata yang mulai memburam. Ikut merasakan sakit yang menyayat, melihat sang sahabat yang mencoba tetap tegar ditengah
Rio benar-benar tak bisa mengalihkan pandang dari sang buah hati yang tengah makan dengan sangat lahap. Selama tiga tahun, Rio tak pernah sekalipun melihat sang anak yang begitu menikmati hidangan di hadapannya. Padahal jika Rio bisa berkomentar, makanan yang kini dimakan sang anak sangatlah sederhana dibanding apa yang mereka makan sehari-hari. Hal lain yang membuat Rio semakin takjub adalah kenyataan jika Atan sebenarnya sangat susah untuk makan sayur dan buah, chef di rumah mereka pun harus memutar otak agar nutrisi Atan tetap terjaga dengan membuat berbagai hidangan sayur yang dimodifikasi. Namun kini di depannya, Atan makan dengan lahap tanpa protes sedikitpun, padahal Ify hanya memasak menu sederhana. Nasi ayam jamur, dengan rebusan brokoli dan wortel. Ify juga memotong satu buah apel sebagai pencuci mulut saat Atan selesai makan. "Ayah, mau coba masakan mama, nggak?" celetuk Atan yang membuat semua atensi orang dewasa di sana tertuju padanya."Atan makan yang banyak dulu aja, y
Rio menatap tumpukan berkas yang ada di depannya dengan lelah. Memijit pangkal hidungnya pelan, Rio menghembuskan napas panjang saat menyadari jika tanggungannya untuk hari ini masih sangat banyak.Sebentar lagi waktu makan siang, Rio baru saja berniat untuk menelepon putranya saat pintu ruangannya diketuk."Masuk!"Alvin masuk dengan sebuah amplop coklat di tangan. "Sudah dapat informasinya?" tanya Rio langsung yang membuat Alvin mengangguk. "Nona Ify pernah bekerja di Jade Imperial sebagai chef dan berhenti bekerja tiga minggu yang lalu. Menurut kesaksian para karyawan, malam itu Nona Ify dipanggil oleh Riko ke ruangan, tapi tak berapa lama Nona Ify keluar dalam keadaan marah, membereskan semua barang-barangnya dan tidak pernah kembali setelahnya.""Lalu?" "Karena di kantor Riko tidak ada CCTV, saya agak kesulitan untuk mencari tahu apa yang terjadi malam itu. Tapi menurut informan saya, malam hari sebelumnya Riko menyatakan cinta kepada Nona Ify dan ditolak."Seketika sebuah ske
Pikiran adalah salah satu pembunuh secara tak langsung. Tak ada kegiatan di saat tengah hari yang sunyi, membuat Ify lagi-lagi tenggelam dalam pikiran yang akhir-akhir ini membuatnya sakit kepala. Semua tak berjalan sesuai rencana. Banner promosi katering miliknya yang direncanakan oleh Ray tak berjalan sesuai ekspekstasi. Memang, ada satu dua yang pesan atau beli, tapi itu tak bisa menutup modal awal yang lagi-lagi membuat Ify harus memutar otak. Apalagi saat kabar menggembirakan dimana sang adik diterima di kampus ternama Universitas Airlangga. Meski beasiswa penuh, tak memungkiri kebutuhan lain juga membesar. Ongkos dan uang saku sang adik yang sudah pasti. Tak mungkin juga Ify membiarkan sang adik memegang uang pas-pasan. Ify harus memikirkan alternatif lain untuk menopang hidup mereka.Air mata tanpa sadar mulai menitik, Ify merasa pundaknya terasa sangat berat. Memikul beban sebegitu besar dalam waktu yang tak singkat, sampai Ify sendiri tak sempat untuk mengerti arti bahagia.
Selama dua puluh empat tahun, Ify tak pernah menginjakkan kaki di restoran mewah kecuali Jade Imperial dan beberapa restoran sebelum ia bekerja untuk proses interview. Namun sekarang, ia berdiri di depan sebuah hotel bintang lima yang terkenal dengan fine diningnya. Untuk bisa makan dan menginap di hotel ini, mereka harus reservasi satu minggu sebelumnya."Kak, serius kita mau makan di sini?" bisik Ray.Ify terdiam, menatap pantulan dirinya di kaca mobil. Sial! Dirinya terlihat seperti gembel saat melihat Rio yang begitu rapi dengan setelan jas sementara dirinya dan Ray hanya menggunakan pakaian santai karena tak mengira jika Rio akan membawa mereka ke tempat semewah ini."Mas, kita nggak salah tempat?" tanya Ify memastikan. Ia bahkan takut melangkah lebih jauh, membuat Rio pun menghentikan langkahnya."Kenapa? Kalian nggak suka makan di sini?""Bukannya kita nggak suka, Mas! Tapi lihat, kita salah kostum. Udah macem gembel aja kita, ntar kalau disangka mau ngemis gimana?""Sebenarny
"Makasih untuk makan siangnya, Mas! Hati-hati di jalan!" ucap Ify begitu turun dari mobil. Rio hanya mengangguk dengan senyum singkat lalu mulai menjalankan mobilnya meninggalkan kosan milik Ify. Ray dan Ify, keduanya tak langsung masuk tetapi memilih untuk duduk di kursi teras. "Kak, lo kelihatan badmood daritadi, kenapa?" tanya Ray setelah sekian lama berdiam diri. "Hah? Siapa?""Yang tanya?""Gue tanya beneran!""Ya elo lah, emang di sini ada siapa lagi? Mbak kunti?" jawab Ray kesal karena sang kakak yang sedang dalam mode lemot. Ia sudah cukup kesal lantaran waktu makan siangnya yang nikmat harus dinodai dengan datangnya entitas tante-tante bohay yang entah ada hubungan apa dengan Om Rio (yang jelas Ray bisa menyimpulkan jika keduanya lumayan dekat), yang sangat berisik membuat Ray gatal ingin menyumpal mulut tante itu dengan piring dessert di depannya. "Gue nggak badmood dih, perasaan biasa aja," jawab Ify lalu membuka ponsel, sekedar mengecek riwayat pesan yang ternyata pen
Sekian lama bersahabat dengan Ify, Sivia tidak pernah dikejutkan dengan sebegini hebatnya. Kehidupan Ify itu cenderung flat, kalau Sivia boleh bilang, sangat membosankan. Karena kehidupan Ify hanya berputar antara restoran dan rumah. Tak pernah berminat jika Sivia mengajak Ify untuk sekedar bersenang-senang di luar. Karena Ify cenderung menghindari hal-hal yang akan membuatnya repot, dan Sivia tak pernah bisa memaksa. Akhirnya, hanya Sivia yang sering berkunjung ke kosan Ify jika sedang ingin bermain bersama.Namun akhir-akhir ini, Sivia sudah tidak bisa menghitung berapa kali ia terkejut karena Ify. Puncaknya adalah saat ini, di depan pintu apartemen milik sahabatnya itu, melihat bos besar yang dengan santai keluar dari apartemen, dengan bocah cilik yang memanggil Ify dengan sebutan 'Mama'. Sungguh, Sivia merasa sedang berada diantara nyata dan mimpi. "Mama, tadi Atan di sekolah diajarin menggambar. Dipuji sama Bu guru katanya gambar Atan bagus," celoteh bocah tiga tahun menceritaka
Hari pertama kembali bekerja disambut dengan antusias oleh Ify. Bahkan ia sudah bangun sejak jam lima pagi, sibuk membuat sarapan di dapur. Pukul enam, semua sudah terhidang rapi di meja makan. Ia kemudian masuk ke dalam kamar untuk mandi dan bersiap. Restoran buka pukul delapan, tetapi karyawan datang pukul tujuh, karena mereka harus menyiapkan banyak hal sebelum benar-benar membuka restoran. Memang derita shift pagi, tapi shift malam pun juga harus melakukan yang sama, banyak hal yang harus dibereskan sebelum akhirnya bisa pulang. Jadi, restoran yang tutup pukul sepuluh, mereka baru bisa pulang pukul sebelas. Rambutnya masih setengah basah saat Ify keluar dari kamar bersamaan dengan pintu kamar sebelah yang terbuka, memperlihatkan Ray yang baru bangun dengan mata yang belum sempurna terbuka."Tumben lo udah rapi?" komentarnya saat melihat sang kakak yang tak biasa. Mandi pagi adalah hal yang sangat jarang Ify lakukan. Oke, ini memalukan tapi bagi Ify, mandi pagi itu tidak wajib kal
"Bawa seperlunya saja, Sayang! Kita nanti bisa beli di sana," ucap Rio saat melihat sang istri yang kebingungan karena kopernya yang tidak muat."Apakah boleh?" tanya Ify polos yang membuat Rio terkekeh."Kamu masih belum terbiasa dengan dompet suamimu ini?"Ify mendengus, meski Rio sudah memberinya black card, terkadang Ify terus saja lupa. Kebiasaannya berhemat ternyata sangat susah dihilangkan. "Baiklah, aku akan menghabiskan seluruh uangmu nanti," ancam Ify yang diangguki dengan semangat oleh Rio."Habiskan Sayang! Memang sudah tugasmu menghabiskan uangku. Aku takut pihak bank nanti kewalahan menyimpan uangku.""Sombong sekali," cibir Ify yang membuat Rio gemas dan mencuri kecupan kecil di bibir sang istri."Tapi, Mas! Atan tidak apa-apa ditinggal?" Entah ini pertanyaan ke-berapa kali yang Rio dengar saat mereka akhirnya memutuskan untuk bulan madu selama satu bulan penuh dengan mengunjungi beberapa negara.Rio menutup koper lalu membimbing istrinya untuk duduk di ranjang."Sayang
"Taruh di sana, awas jangan sampai telurnya pecah!" "Sayurannya di sini."Ify terus memberikan pengarahan demi kenyamanan dapurnya. Agar ia bisa bergerak cepat, ia juga harus mengetahui letak bahan-bahannya dengan baik. Ify melihat lawan-lawannya yang juga melakukan hal yang sama. Sebagai yang terpilih mewakili Jade Imperial, Lintang memiliki harapan yang tinggi dan itu sedikit membuat gugup. Apalagi head chef-nya itu hadir di barisan para juri.Tangan Ify terasa agak gemetar karena gugup. Ini adalah kali pertama ia mengikuti acara kontes memasak. Tidak seperti saat ia mengikuti tes interview, kali ini semua orang akan melihat karena acaranya diliput secara exclusif oleh salah satu stasiun TV terkenal."Semangatt!! Kamu bisa!!" Sivia mengepalkan tangannya, memberi semangat kepada sang sahabat yang dibalas Ify dengan senyuman tipis. Apron sudah terpasang apik di tubuhnya. Ia kembali mengingat semua resep yang telah dihapalnya. Matanya memejam sembari berdoa agar ia bisa menyelesaika
"Mas, bangun! Mas ....!" Ify terus menggoyang-goyangkan tubuh Rio, berharap suaminya itu terbangun. Pasalnya, Rio tengah merintih dalam tidurnya dengan air mata yang berderai."Sudah bangun suamimu, Fy?" "Belum, Ma! Mas Rio susah banget dibangunin. Nggak tahu mimpi apa sampai nangis kaya gini." Ify terus mengusap peluh dan air mata Rio. Sedikit khawatir karena Rio seperti sedang berada di dimensi mimpi yang sangat jauh sehingga sulit meraih kesadaran."Coba guyur pake air, Fy!" Zahra sudah datang dengan segayung air setelah sebelumnya masuk ke kamar mandi pengantin baru itu."Kasihan Mas Rio dong, Ma!""Ya terus gimana? Takutnya mimpinya terlalu jauh itu, Fy! Susah banget dibilangin jangan tidur menjelang maghrib juga, malah istrinya ditinggal sendirian," omel Zahra."Mas Rio kecapekan, Ma! Biar Ify usap aja siapa tahu Mas Rio bangun." Ify lantas mengambil alih gayung air dari tangan mertuanya, mencelupkan tangan lantas mengusapkan di wajah Rio. Dua kali usapan, kerjapan mata dari s
Gugup. Satu kata yang cukup menggambarkan bagaimana kacaunya Rio. Berkali-kali ia merapikan jas yang sudah rapi. Berjalan bolak-balik dari ranjang ke depan kaca karena takut penampilannya tidak memuaskan. Tangannya menggenggam tisu karena keringat dingin yang terus keluar. "Tenang Rio, tenang ... tarik napas ... buang ..." Rio terus menyugesti dirinya sendiri agar tak terlalu gugup. Suara pintu terbuka membuat Rio berjengit kaget. Ia menekan dadanya sendiri karena detak jantung yang semakin menggila seolah jantung itu bisa keluar dari dadanya dengan sendirinya."Mama ngangetin!" pekik Rio begitu mendapati entitas penyebab jantungnya semakin berdetak anomali."Padahal mama udah ketuk pintu, loh!" Zahra berjalan masuk perhalan. Menahan senyum melihat kegugupan sang anak yang terlihat sangat jelas."Gugup? Padahal bukan pertama kali loh!""Ish, Mama! Meskipun ini bukan pertama kali buat Rio, tapi sensasinya tetep aja bikin gugup, Ma!""Cih, cemen!" cibir Zahra yang membuat Rio melotot
Ify menghela napas panjang usai mendengar semua penjelasan Rio dan melihat rekaman CCTV. Memang terlihat jelas bagaimana Rio mencoba untuk menjaga jarak, tetapi perempuan itu mengambil kesempatan, dan entah kenapa momen itu tepat saat Ify tiba. Klasik, seperti momen-momen yang sering Ify baca di novel. Namun, itu juga alasan kenapa Ify mau mendengarkan penjelasan dari Rio. Ify hanya tak ingin menjadi orang yang menyesal karena kesalahpahaman."Sayang, jangan marah lagi ya! Aku minta maaf," Rio menatap Ify dengan pandangan memelas. Ify hanya mengangguk singkat. Meski tak lagi marah, tapi rasa kesal masih ada. Ingin rasanya ia menjambak rambut wanita itu hingga botak.Rio menghela napas melihat Ify yang setia dengan kebungkamannya. Harusnya ia memang mulai membuat peraturan tak tertulis kalau wanita itu kini dilarang datang ke kantornya."Aku harus apa biar kamu maafin aku?"Ify menoleh, mendapati Rio dengan ekspresi putus asa."Aku sudah maafin kamu, Mas! Lagian bukan salah Mas juga,
"Ikut aku ke kantor aja gimana?" tawar Rio sebelum masuk ke mobil. "Mau ngapain, Mas? Jadwalku nanti masuk siang."Rio mencebik. "Kalau gitu nanti makan siang bareng ya?""Aku kan harus siap-siap ke restoran, Mas!""Sayaaang, nggak bisa apa bolos sehari gitu nemenin aku kerja?" Ify terkikik geli, Rio yang bertingkah clingy benar-benar sesuatu yang baru. Sisi yang cukup mengejutkan mengingat kesan pertama yang Ify lihat dari Rio adalah hot daddy."Ada ya, bos yang nyuruh karyawannya bolos?" "Ya lagian kamu sibuk banget, padahal di sini bosnya aku.""Kan aku ikut bantu ngurus persiapan pernikahan kita, Mas! Justru yang sibuk itu Mas Rio tau. Masa kita yang mau nikah tapi Mas Rio pasrah aja gitu nyerahin semuanya ke WO."Kali ini Rio menyengir dengan penuh rasa bersalah. "Maaf, sayang! Aku lagi ngebut kerjaan buat tiga bulan ke depan biar abis kita nikah, bisa honeymoon keliling dunia."Mendengar ucapan Rio, tak ayal dada Ify kembang kempis, perutnya terasa tergelitik mengundang sen
Mas Rio :Sayang, aku nanti agak telat nggak apa-apa ya? Masih ada sedikit pekerjaan mendesak :( Me :Nggak apa-apa, Mas!Lagian aku nanti juga mau belanja bentar di supermarketMas Rio : Belanjanya nggak pas kita pulang aja?Me :Nggak deh Mas! Takutnya nanti keburu capek, kita kan nggak tahu fitting-nya nanti sampai jam berapaMas Rio: Ya udah deh, hati-hati ya sayang!Belanja pake kartu yang aku kasih aja!Me :Iya Mas sayaang!Lagian aku cuma belanja dikit doang kok, Mas!Mas Rio: Pokoknya pake aja, Sayang! Aku nungguin notifikasi kartu yang kamu pake, nih!Me :Kamu aneh deh, Mas! Nggak takut apa kalau aku cuma mau porotin kamu doang?Mas Rio: Ngapain takut? Duitku banyak dan tugasmu buat habisinIfy tercengang tanpa bisa berkata melihat balasan terakhir dari Rio. Memang aneh orang kaya satu ini. Saat yang lain menyeleksi calonnya dengan ketat karena takut dimanfaatkan, Rio justru menyodorkan diri untuk diporoti. Jika sudah begini, maka Ify pun tak akan ragu lagi. Dengan se
"Pulang aja, ya! Aku lebih suka masakanmu."Ini adalah kelima kalinya Rio meminta untuk pulang. Ify hanya terdiam tanpa berniat merespon."Ify .... Sayaaang!" Rio merengek bak anak kecil, sama sekali tidak malu dengan Pak Aziz, sang supir yang tersenyum tipis melihat tingkah majikannya."Apa sih, Mas! Diem, kita hampir sampai!" Rio merengut. Menegakkan tubuhnya dengan tangan bersedekap dan memandang ke depan dengan penuh permusuhan. Bangunan hotel bintang lima itu seolah ingin ia musnahkan dalam sekali pandang."Nggak mau turun, Mas!"Ify tersenyum tipis melihat Rio yang merajuk. Sangat mirip dengan Atan. Sampai merek ke dalam hotel dan masuk ke restoran, Rio sama sekali tak berniat untuk mengubah ekspresi wajahnya yang penuh permusuhan. Semua orang yang menyapanya dengan ramah ia balas dengan pandangan dingin dan menusuk. Terutama saat melihat entitas seseorang yang kini tengah berjalan ke arah mereka dengan senyum lebarnya."Hai, Cantik! Aku udah siapin meja yang spesial buat ka
Keadaan hening di dalam lobi saat Agni, selaku mantan istri dari Rio berhasil diusir meski melibatkan satpam. Ify menghela napas sekali lagi saat Rio tak juga membuka suara."Mau sampai kapan kita kaya gini?" Ify membuka suara yang membuat Rio terlonjak kaget. Sedikit tergagap dan melihat Ify dengan sendu."Maaf," ucapnya lirih."Maaf kenapa?""Maaf karena aku selalu membuatmu dalam posisi yang sulit, aku juga selalu membuatmu berada dalam bahaya."Ify melangkahkan kakinya ke kursi yang memang tersedia di lobby dekat receptionist, duduk disana diikuti oleh Rio."Jadi itu alasan Mas Rio pergi?"Lidah Rio kelu, tak sanggup menatap Ify yang kini memusatkan perhatian padanya.Rio kembali membisu, Ify menghela napas tajam. Meskipun ada rasa tak tega melihat Rio yang sangat kacau, tapi Ify harus melakukannya. Agar Rio tak lagi mencoba kabur dan berani menghadapi ketakutannya."Itukah cara Mas untuk kabur dari tanggungjawab?" Lagi-lagi Rio tak membuka suara."Mau tahu cerita nggak, Mas? Ak