Sesampainya di depan pintu ruangan inap itu, Sean mempersiapkan dirinya karena tadi dia buru-buru kemari. Mungkin wajahnya terlihat kusam.
Pintu terbuka dari luar, Auris yang sadar langsung menengok. Seketika ekspresi wajah Auris berubah menjadi bahagia. Ia turun dari tempat tidurnya lalu melangkah perlahan menghampiri Sean sedangkan pria itu kemudian tersenyum. Ia menitipkan barang yang ditangannya pada Bibi Etna.Sean merentangkan kedua tanganya langsung memeluk tubuh hangat gadis itu. Begitupun Auris membalas pelukannyaSean menempelkan bibirnya di rambut halus Auris dan menghirup wangi rambutnya. Rasa rindunya begitu mencuat sampai bertemu lagi dengan orang yang dirindukan Sean sangat bahagia, apalagi Auris adalah orang yang pantas menjadi separuh hidupnya.Sean dan Auris sudah sangat mengenal sejak kecil saat usia Auris 8 tahun, Sean yang berusia 11 tahun. Selama kurang lebih 15 tahun mengenal, Auris menganggap Sean orang yang penting dalam hidupnya. Meski beberapa saat mereka berpisah karena Sean mengurus perusahaan orangtuanya.Setelah berpelukan, Sean mengusap rambut Auris dengan lembut."Gadis kecil, bagaimana keadaan?" tanya Sean yang masih membelai puncak rambut Auris."Baik, Pangeran Sean" ucap Auris senang.Sean menaruh tangannya di pinggang lalu berdecak kala melihat tubuh Auris yang terlihat kurus. Dirinya senang bisa bertemu lagi namun ia sedih Auris masih berjuang melawan penyakitnya."Gadis kecil, lihatlah tubuhmu semakin mungil dan pendek" ejek Sean, Auris tingginya hanya sedagu.Auris memukul lengan Sean lalu menatapnya "Sepertinya Pangeran Sean salah, tinggi badanku sudah naik 5 cm!"Sean mengangkat jari telunjuknya "Tidak, kau masih menjadi gadis pendek", senang sekali bisa membuat Auris kesal. Sean memang sering menganggunya dan mengejeknya."Oh ya kapan kau datang? Kemarinkah?"Sean tidak menjawabnya dahulu, ia mengambil bingkisan dan sebuah buket bunga lily kesukaan Auris."Untukmu" Sean memberikannya pada Auris yang sudah senang mendapatkannya."Begitu sampai, aku langsung kemari" ucap Sean, Auria tersenyum karena Sean langsung menemuinya."Kau tidak pulang ke rumah terlebih dahulu, nanti ayah ibumu memarahiku lagi"Sean tertawa kecil lalu berkata "Pasti, karena kau yang menculikku"Auris mendesis "Jangan menuduhku""Oh iya, kenapa kau tidak menanyakan kabarku?" Sean memicingkan matanya.Auris meletakkan buket bunga lili berwarna putih itu di atas nakas."Sepertinya Pangeran Sean dalam keadaan baik-baik saja bukan?"Sean mengangguk, ia senang sekali Auris memanggilnya dengan sebutan Pangeran, jadi teringat saat kecil.Bibi Etna memilih untuk keluar mencari angin dan membiarkan kedua anak itu berbincang.Sean duduk di samping Auris, matanya tidak bosan untuk melihat wajah Auris yang semakin cantik dan terlihat dewasa namun menurut Sean, dia tetap gadis kecilnya dengan warna yang sama. Tidak menyangka Auris sudah dewasa, waktu terasa cepat berlalu jika di sampingnya namun saat berjauhan, waktu terasa sangat lambat."Apa kau lelah?" Auris melihat wajah Sean yang terlihat lesu."Sedikit tapi setelah melihatmu aku sama sekali tidak lelah" jawab Sean tersenyum. Auris menggelengkan kepalanya, Sean memang sering menggodanya."Gadis kecil, apa kau bosan disini?" tanya Sean yang sudah tau jawabannya."Jika bosan bagaimana kalau besok aku akan menemanimu seharian?"Auris tersenyum "Memangnya kau tidak sibuk?".Sean menggelengkan kepalanya "Aku punya waktu 2 hari, karena ayahku tau jika aku pulang dari Berlin lusa. Jadi masih bisa menemanimu" jelasnya."Ternyata kau masih pintar berbohong ya?" sindir Auris. Sean tidak berubah sedikitpun."Maka dari itu aku akan bersembunyi disini" ucap Sean yang sudah berniat dari jauh-jauh hari ingin menemani Auris."Terserah tapi jangan mengangguku oke""Tenang saja, gadis kecil" Sean menyentuh pipi Auris dan mencubitnya sedikit."Baru saja kau mengatakan tidak akan menganggu. Tanganmu usil!" protes Auris. Sean mengangguk lalu menyandar di sofa berkata "Menggemaskan" Sean sedikit mengantuk, ia berusaha untuk tetap terjaga."Matamu hitam seperti panda" ejek Auris saat melihat bulatan hitam disekitar mata Sean, pria itu menyentuh kantung matanya."Ini tandanya aku terlalu sering begadang setiap malam""Tapi aku tetap tampankan?" Sean bertanya dengan sedikit percaya diri.Auris mengangguk.Sean meluruskan kakinya dengan tangan dilipat didadanya, ia memejamkan matanya sejenak."Tidurlah, aku akan keluar sebentar" ucap Auris, Sean membuka matanya "Mau kemana?" tanyanya."Bibi Etna, dia ada di luar"."Bibi sudah pulang, tadi aku menyuruhnya" ujar Sean dalam perjalanan bersama Bibi Etna, mereka berbincang dan Sean menyuruh Bibi Etna untuk pulang dan beristirahat sampai besok. Sean akan menjaga Auris."Kau yang mengusirnya?""Tidak, aku hanya memberi waktu untuknya beristirahat" Sean berdiri lalu menarik pelan lengan Auris kemudian berjalan menuju tempat tidur."Ini sudah malam, harus istirahat""Baru pukul 9.30 pm. Masih sore"Sean berdecak "Ini sudah malam bukan sore lagi".Sean meraih bahu Auris menuntunnya ke tempat tidur.Setelah mengantar Auris, Sean merapikan selimut gadis itu. Ia tersenyum, padahal dirinya ingin terus mengobrol dengan Auris namun besok saja waktunya masih panjang dan Sean tidak mau menganggu waktu istirahat Auris."Sean" panggil Auris."Iya?"Auris terlihat tengah menimbang-nimbang."Tidak jadi nanti saja""Dasar" Sean mengusap puncak kepala Auris dan menatapnya. Ia sedikit menunduk untuk bisa melihat lebih jelas wajah Auris."Sean, kenapa kau melihatku seperti itu? Apa ada yang aneh?" Auris ingin bangun namun Sean menahannya."Tidak ada, hanya saja terlalu lama melihatmu sepertinya aku jatuh cinta pada gadis kecil ini" ujar Sean, Auris menganggapnya hanya sebuah candaan. Ia memukul lengan Sean."Menyebalkan!" Auris menarik selimutnya sampai ke wajah.Sedangkan Sean tertawa lalu kembali duduk di sofa. Ia akan tidur di sofa ini.Setengah jam kemudian Sean melihat Auris yang sudah terlelap. Dari sofa dirinya bisa melihat gadis yang tidur tanpa mendengkur sedikitpun. Sean lalu tertawa kecil."Kebiasaan burukmu saat tidur ternyata sudah tidak ada" gumam Sean, meski mengantuk dirinya tetap terjaga untuk menemani Auris. Rasa rindunya sudah terobati sedikit, Sean ingin mengajak Auris ke suatu tempat saat kecil dahulu mereka bermain disana. Auris selama ini terus diawasi oleh ayah ibunya dengan mengurungnya saat kecil di kamar Auris. Ia tidak bisa keluar seenaknya, Sean jika ingin bertemu Auris meminta izin kepada orang tua Auris terkadang dilarang namun Sean tetap akan mengambil kesempatan.Hubungan orang tua Sean dan Auris terjalin dalam ikatan bisnis, dengan hubungan ini Sean bisa menemani Auris. Awalnya keduanya bersekolah bersama di sekolah menengah pertama namun hanya satu tahun Auris tidak melanjutkannya dan orang tuanya memilih untuk belajar di rumah dengan guru yang sudah dipilih orang tuanya. Sean merasa kasihan Auris gadis itu tidak bisa bebas. Dan saat menginjak usia 17 tahun Auris ditemukan gejala penyakit yang ada, saat itulah Auris mendapatkan perawatan dari dokter.Sean bersyukur bisa membujuk kedua orang tua Auris untuk membiarkan dirinya mendapatkan pengobatan di rumah sakit bukan di rumah keluarga George. Dahulu dia tidak bisa meyakinkan orangtua Auris sekarang dia bisa mengambil hatinya meski Tuan George masih tidak berubah.Auris membutuhkan kebebasan san waktu untuk berkembang. Sean sangat menjaga hubungan pertemanan dengan Auris, meski gadis itu sering mengusirnya dan tidak mau ditemani.Sejauh ini, Sean juga mengirim orang untuk mencari setiap kabar, ia akan tenang jika Auris dalam keadaan aman dan tentunya Sean berharap dia akan sembuh."Baru sebentar disini aku bisa merasakan kesepian yang dirasakanmu, Auris" ujar Sean, ia menyentuh wajahnya gusar.Semalam Sean sudah tidak sadarkan diri dan tidak ingat lagi langsung terlelap. Auris yang sudah bangun lebih awal memperhatikan Sean yang baru bangun tidur. Sean duduk lalu mengusap wajahnya lalu tersenyum pada Auris."Selama pagi" sapa Sean, Auris menanggapinya dengan tersenyum "Pagi".Pria itu berdiri lalu mendekati Auris, matanya sudah tidak mengantuk dan Semalam Auria juga tidur nyenyak hanya satu kali suster mengontrol saat tengah malam. Sean juga ikut terbangun."Bagaimana keadaanmu?" tanya Sean."Membaik" jawab Auris, Sean tersenyum lalu melihat arloji yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah pukul 06.16 am.Di ruang operasi, Arsen tengah memimpin berjalannya operasi pengangkatan batu empedu yang di derita pasien wanita itu. Operasi dilakukan di pagi hari karena hari ini sudah ada 3 pasien yang akan di operasi dan semuanya pasien prioritas. Semalam Arsen pulang pukul 11, dan tadi pukul 5 dia sudah berada di rumah sakit. Arsen sama sekali belum sarapan hanya meneguk segelas a
Dari belakang anak laki-laki muncul seseorang yang langsung menariknya dan menghindari tabrakan.Srakkk.. Mobil muatan banyak itu mengerem sampai berbekas di jalan. Orang-orang refleks berteriak, namun ada satu orang yaitu Sean yang tengah memegang dua minuman itu langsung berlari di seberang sana karena melihat Auris berlari menghadang mobil. Ia meletakkan sembarang minuman itu.Tubuh Auris terguling beberapa kali karena terserempet bagian samping mobil, sampai akhirnya dia bisa menahan anak laki-laki itu agar tidak terluka dalam dekapannya. Keduanya berhasil menghindari hantaman mobil dan anak laki-laki selamat namun Auris meringis kesakitan memegangi perut bagian atas.Anak yang bernama Leo terbangun dan melihat orang yang menyelamatkannya kesakitan. Leo menangis dan merasa bersalah."Kak.. kakak".Beberapa orang berlari menghampiri keduanya namun takut membantu korban kecelakaan. Auris menatap Leo dengan berkaca-kaca, dia juga tersenyum anak itu baik-baik saja."Auris" Sean langsu
Sean menghirup dalam-dalam udara kemudian terdiam sesaat. Kakinya mulai terasa apalagi dengan posisi berdiri seperti ini. Ia menatap Auris lagi dan merasa Auris sedikit mengobatinya meski gadis itu tidak berbuat apa-apa."Pangeran?".Lamunan Sean terbuyar, Auris lalu bertanya "Minumanku dimana? Aku haus"."Maaf, aku akan membelinya nanti ya. Sekarang Tuan putri harus sembuh dulu"Auris terlihat kecewa "Tidak bisa sekarang?""Air putih saja oke. Aku akan mengambilnya""Tuan putriku. Saat aku pergi kau jangan kemana-mana" titah Sean."Iya iya, ayolah nanti aku mati kehausan!" pekik Auris, Sean langsung meminta suster untuk membawa air mineral karena jika harus ke luar, Sean tidak kuat untuk saat ini. Ia menunggu di luar ruangan saja.Sean mengetik sebuah pesan untuk sekretarisnya dan meminta beberapa orang untuk menjaga Auris mengganti menjaganya. Ia terpaksa meninggalkan Auris untuk sesuatu yang penting dan tidak boleh terlambat.Air mineral sudah datang, Sean berterimakasih pada suster
Ketika sampai di Mansion Keluarga Leander, empat perawat langsung menyiapkan brankar tempat tidur lalu Sean dibantu Lian untuk berbaring di sana. Akhirnya sampai juga di sebuah ruangan yang cukup luas disana ada satu dokter laki-laki berumur 40 tahun yang sudah menunggu kedatangan Sean. Dokter pribadinya bernama Dokter Brader Louis, yang selama 8 tahun menangani Sean. Dokter Brader terkenal dengan keahliannya di bidang ortodoks."Selamat malam, Tuan Sean. Saya akan segera melakukan penanganan secepat mungkin dan mengurangi rasa sakitnya" ucap Dokter Brader, Sean mengangguk lalu berkata "Cepatlah aku sudah tidak tahan".Keringat halus memenuhi kening Sean, padahal ruangan ini sangat dingin. Dirinya tengah menahan sakit akibat berlari tadi sore dan menggendong Auris. Sean sudah mengenakan pakaian khusus untuk mendapatkan perawatan. Saat Dokter menaikkan kain yang menutupi kaki Sean, terlihat kaki kanannya dipasang sebuah kaki palsu bionik yang digunakan oleh Sean. "Apa anda membawa be
Rutinitas di pagi hari sebelum pergi ke perusahaan Chintya tengah menyantap sarapannya bersama Tuan George dan Nyonya Aleda Georgia. Ketiganya tengah menyantap dengan keheningan di meja makan keluarga itu."Sean ternyata sudah kembali" ucap Nyonya Aleda, Chintya melirik ibunya."Benarkah Mom?"."Iya namun Sean pulang dalam keadaan sakit" tambah Nyonya Aleda yang menghentikkan suapannya.Tuan George hanya menyimak namun pikirannya terlintas untuk segera menemui Sean membicarakan sebuah investasi.Beberapa menit kemudian suara bel dari pintu utama. Nyonya Aleda segera berdiri untuk melihat siapa yang bertamu, ia melangkah cukup jauh jarak ruang makan antara ruang tamu.Nyonya Aleda membuka pintunya lalu melihat dua orang laki-laki bertubuh tetap dengan mengenakan setelan jas hitam."Selamat pagi, maaf mengganggu kenyamanan dan waktu Nyonya Aleda. Saya kemari karena diperintah oleh Tuan Leander untuk memperingati putri anda agar tidak menghasut dan mendekati Tuan Muda Givano Sean Leander"
Auris tidak memperdulikan siapa yang masuk."Auris kau benar-benar ya" ucap seseorang yang tak lain adalah Chintya."Ada apa? Datang-datang langsung mengomel" "Kau tahu ayah marah padamu" ucap Chintya, Auris menatapnya bingung."Marah? Apa yang membuatnya marah perasaan aku tidak pernah berbicara pada ayah" Auris menghampiri Chintya."Itu semua karena kau yang sudah menggoda Sean untuk menemanimu di sini" ujar Chintya dengan menegaskan perkataannya."Orang suruhan Tuan Leander tadi pagi mendatangi ke rumah dan mengancam jika kau menemuinya lagi maka tidak segan untuk mengusirmu"Chintya menatap rendah Auris, ia juga melihat lengan Auris yang diperban."Sean pulang dengan keadaan tidak baik-baik saja. Yang ingin aku tanyakan adalah apa yang kau perbuat sampai dia terluka?""Sungguh aku tidak mengerti perkataanmu Kak, apa maksudnya aku melukai Sean? Semalam dia pulang tanpa memberitahuku" jelas Auris, Chintya hanya tertawa kecil."Kau berpura-pura bodoh apa memang bodoh?" Chintya menunj
Auris mengangguk, "Aku belum pernah merasakan kasih sayang dari keluargaku sendiri, mereka menganggap aku adalah pembawa sial dan mengecam hidupku. Setelah dipikirkan siapa yang ingin dilahirkan dari keluarga yang penuh dengan kekangan, aku juga tidak pernah menginginkan itu" jelas Auris pada Arsen yang bersedia menjadi pendengarnya."Mereka bilang aku adalah manusia yang paling tidak berguna bahkan hanya menyusahkan saja. Namaku saja diambil dari marga ibuku bukan ayah karena dia membenci kelahiranku, ayahku membenci putrinya sendiri dan lebih memilih putri angkatnya, bukankan itu tidak adil?. Kakakku yang tidak mempunyai darah ayah dan ibu dia dirawat dengan penuh kasih sayang dan perhatian sedangkan aku hanya beban bagi mereka" mata Auris mulai berkaca-kaca sampai Arsen yang mendengarnya merasa sakit."Sebenarnya sudah tidak aneh lagi mereka mengambil apa yang telah diberikan kepadaku, jadi aku tidak pernah senang dengan apa yang mereka pernah berikan" sambung Auris, Arsen tak tega
-Kamar 504-"Perih" lirih Auris saat lengannya tengah diberi obat oleh di sekitar area jahitan, Arsen mengolesnya pelan agar Auris tidak kesakitan."Tahan sebentar" Arsen yang duduk di samping tempat tidur Auris tengah fokus mengganti perban. Luka Auris sudah mulai membaik dan kering namun Arsen masih merawatnya secara teliti.Setelah selesai memasang perbannya, Arsen membereskan kembali tempat tidur Auris."Apa AC-nya terlalu dingin?" tanya Arsen melihat ke arah pendingin ruangan itu, ia menaikkan suhunya agar Auris tidak kedinginan apalagi sekarang sudah memasuki musim hujan dan anginnya kencang.Saat Arsen ingin pergi, ia melihat dua nampan makanan Auris yang masih utuh di atas nakas."Kenapa kau tidak memakannya?"."Aa..itu nanti saja" kata Auris yang tidak bernafsu makan, dengan inisiatif Arsen membaca catatan dinampan itu ada makan pagi dan makan siang, ia mengambil jatah makan siang Auris kemudian duduk lagi lalu membuka penutup makanan."Makanlah" ujar Arsen."Nanti saja"."Apa