Auris mengangguk, "Aku belum pernah merasakan kasih sayang dari keluargaku sendiri, mereka menganggap aku adalah pembawa sial dan mengecam hidupku. Setelah dipikirkan siapa yang ingin dilahirkan dari keluarga yang penuh dengan kekangan, aku juga tidak pernah menginginkan itu" jelas Auris pada Arsen yang bersedia menjadi pendengarnya."Mereka bilang aku adalah manusia yang paling tidak berguna bahkan hanya menyusahkan saja. Namaku saja diambil dari marga ibuku bukan ayah karena dia membenci kelahiranku, ayahku membenci putrinya sendiri dan lebih memilih putri angkatnya, bukankan itu tidak adil?. Kakakku yang tidak mempunyai darah ayah dan ibu dia dirawat dengan penuh kasih sayang dan perhatian sedangkan aku hanya beban bagi mereka" mata Auris mulai berkaca-kaca sampai Arsen yang mendengarnya merasa sakit."Sebenarnya sudah tidak aneh lagi mereka mengambil apa yang telah diberikan kepadaku, jadi aku tidak pernah senang dengan apa yang mereka pernah berikan" sambung Auris, Arsen tak tega
-Kamar 504-"Perih" lirih Auris saat lengannya tengah diberi obat oleh di sekitar area jahitan, Arsen mengolesnya pelan agar Auris tidak kesakitan."Tahan sebentar" Arsen yang duduk di samping tempat tidur Auris tengah fokus mengganti perban. Luka Auris sudah mulai membaik dan kering namun Arsen masih merawatnya secara teliti.Setelah selesai memasang perbannya, Arsen membereskan kembali tempat tidur Auris."Apa AC-nya terlalu dingin?" tanya Arsen melihat ke arah pendingin ruangan itu, ia menaikkan suhunya agar Auris tidak kedinginan apalagi sekarang sudah memasuki musim hujan dan anginnya kencang.Saat Arsen ingin pergi, ia melihat dua nampan makanan Auris yang masih utuh di atas nakas."Kenapa kau tidak memakannya?"."Aa..itu nanti saja" kata Auris yang tidak bernafsu makan, dengan inisiatif Arsen membaca catatan dinampan itu ada makan pagi dan makan siang, ia mengambil jatah makan siang Auris kemudian duduk lagi lalu membuka penutup makanan."Makanlah" ujar Arsen."Nanti saja"."Apa
Tuan George langsung menarik lengan Auris yang masih luka. Gadis itu menahan rasa sakit dari cengkraman ayahnya.Nyonya Aleda langsung menjerit melihat Tuan George menyeret Auris.Auris tersenyum pada ibunya, baru bertemu lagi namun dalam situasi ini.Tuan George membanting tubuh Auris sampai tersungkur di tanah keluar rumahnya. Auris berusaha bangun namun karena terlalu keras tubuhnya seperti mati rasa. Belum sembuh lukanya saat kecil kini ayahnya menambah luka fisik.Auris sudah siap mati ditangan ayahnya karena percuma saja dia hidup. Tidak ada cinta dan kasih sayang dari keluarganya sedikit pun. Auris seperti putri yang dibuang. Memang dari dulu Auris sudah berusaha mengakhiri hidupnya namun takdir masih berjalan.Tuan George meletakkan tangannya di pinggang lalu berkata "Belum saatnya kau mati dan tanganku tidak mau dikotori oleh darah menjijikan itu sebentar lagi kau juga akan segera mati dengan penyakit terkutukmu! Aku tidak pernah mencarikan pendonor karena itu hanya membuang w
Tidak mau berlama-lama berdiri di depan pintu Arsen turun lagi dan mengurungkan niatnya untuk mengganti pakaiannya yang sedikit basah. Arsen memilih menuju kamar tamu, sebelumnya dia membawa sebuah box sedang berisi perkakas.Lengan kemeja putihnya, Arsen gulungkan sampai ke sikut, ia mengecek kran shower. Arsen mencoba untuk memperbaiki sendiri dengan beberapa alar perkakas. Jika ada masalah yang berkaitan dengan rumahnya seperti kran air bocor atau tidak menyala, atap rumah juga. Rumah minimalisnya ini sudah ditempati selama empat tahunan. Kran shower di kamar ini pertama kali tidak berfungsi dengan baik mungkin karena jarang digunakan jadi mudah rusak.Sedangkan di lantai dua, Auris yang ingin mandi menatap takjub ke arah dekat cermin ada sebuah laci yang ditempel di tembok berisi pasta gigi, shampo, krim pencukur, sabun-sabun dan perawatan tubuh lainnya yang berjejer rapi. Auris baru melihat seseorang yang sangat rapi, ia juga tadi memperhatikan rumah ini enak dilihat, rapi dan n
***Di kediaman keluarga Leander, Sean tengah duduk di depan laptopnya. Kali ini dia tidak mau membuang waktu mencoba memaksimalkan waktunya untuk bekerja. Sean adalah seorang arsitek ternama yang kini menangani pembangunan resort di sebuah pulau. Semenjak kuliah di Berlin, Sean sudah mengeluarkan desain-desain baru yang cukup banyak diminati para kliennya.Meski pikirannya terus tertuju pada Auris, Sean berusaha fokus untuk menyelesaikan semua ini dan menemui Auris. Ia sangat bersalah pada gadis itu.Sean kembali mengambil pena digital di atas layar iPadnya lalu membuat garis melintang. Ia duduk sedikit tidak nyaman di kursi rodanya. Tapi mau bagaimana lagi.Dini hari, Arsen sudah menyelesaikan penanganan darurat ke tiga pasien baru masuk tanpa henti. Semua dokter di kelompoknya sudah bekerja keras dan hampir kewalahan karena salah satu pasien harus dioperasi pengangkatan gumpalan darah di otak.Kini Arsen keluar dari mobil lalu melangkah menuju pintu rumahnya.Arsen mengganti sepatun
Sebelum ke rumah sakit keduanya bersiap-siap karena jadwal pemeriksaan Auris ada di jam sembilanan. Arsen yang sudah siap duluan turun dan menunggu Auris sedangkan gadis itu belum ada tanda selesai.Lima belas menit berlalu, Auris tidak kunjung selesai Arsen yang menunggunya sudah tidak sabar lagi. "Auris cepatlah" panggil Arsen, ia tidak menyukai jika menunggu apalagi membuang waktunya.Tidak ada sahutan, Arsen berjalan menaiki tangga. Dirinya yang sudah rapi mengenakan kemeja warna hitam berdasi itu sedangkan Auris belum kunjung selesai.Arsen mengetuk pintu kayu dengan cat putih itu."Auris kau sedang apa?" Arsen mengetuk pintu itu lagi.Tidak suara yang menyahutnya, Arsen menunggu di luar pintu sembari menyandarkan tubuhnya di tembok. Ia melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya."Auris cepatlah nanti kau terlambat" ujar Arsen yang masih bersabar.Sedangkan di dalam, Auris masih mencoba mengeringkan rambutnya dengan susah payah. Ia terlalu fokus dengan keribetan ramb
Auris berjalan berjauhan, ia masih kesal dengan Arsen yang memarahinya begitu juga Arsen yang kesal Auris membuat keributan apalagi bersama Galen.Setelah berjalan cukup jauh akhirnya sudah sampai di depan pintu utama ruang radiologi. Arsen membuka pintu dan mencari Dokter Louis.Dokter Louis baru saja keluar dari tempat pemeriksaan. Ia tersenyum melihat Arsen."Dokter Arsen ternyata sudah datang" sapa Dokter Louis.Arsen tersenyum "Bagaimana kabarmu?" tanyanya, keduanya baru bertemu lagi meski satu rumah sakit namun jarang sekali bertemu karena tugas dan kesibukan masing-masing. Jika ada urusan pekerjaan yang terkait akan ada perawat yang menjadi perantara.Keduanya berjabat tangan "Baik meski tubuhku sudah remuk, bagaimana denganmu? Arsen semakin hari sepertinya kau semakin tampan" puji Dokter Louis membuat Auris yang mendengarnya bergedik ngeri.Apa Dokter Louis baru saja memuji seorang pria? "Geli sekali" gumam Auris, Arsen meliriknya."Apa?" tanya Arsen yang sudah menatapnya taj
Ketika dipersimpangan, Arsen berhenti laku berkata pada Laura."Laura kau duluan saja, aku pergi dulu"Terlihat Laura kecewa "Kemana Arsen?"."Masih ada tiga jam jadi aku ingin istirahat dirumah saja" jawab Arsen, Laura paham terlihat juga Arsen kelelahan."Oke kalau begitu sampai jumpa, hati-hati dijalan"Arsen mengangguk sebelum pergi.Di sepanjang perjalanan Arsen menerima panggilan dari ibunya yang merindukannya, akhir pekan jika tidak sibuk Arsen akan mengunjunginya.'Arsen jangan terlalu memporsir tenagamu nak, kau harus istirahat. Suaramu terdengar parau apa kau tidak merasa?' ucap ibunya."Aku baik-baik saja ma sebentar lagi aku akan pulang" 'Baiklah nanti istirahat jangan keluar malam-malam cuacanya tidak bagus'"Hmm, iya" "Dokter Arsen" sapa Dokter Maurin, Arsen menyapanya terdengar oleh sang ibunda.'Siapa tadi?'"Dokter ahli saraf Maurin" beritahu Arsen.'Suaranya terdengar cantik, Arsen ibu meminta kau jangan terlalu fokus pada pekerjaanmu sesekali bersenang-senanglah da