Ketika sampai di Mansion Keluarga Leander, empat perawat langsung menyiapkan brankar tempat tidur lalu Sean dibantu Lian untuk berbaring di sana. Akhirnya sampai juga di sebuah ruangan yang cukup luas disana ada satu dokter laki-laki berumur 40 tahun yang sudah menunggu kedatangan Sean. Dokter pribadinya bernama Dokter Brader Louis, yang selama 8 tahun menangani Sean. Dokter Brader terkenal dengan keahliannya di bidang ortodoks."Selamat malam, Tuan Sean. Saya akan segera melakukan penanganan secepat mungkin dan mengurangi rasa sakitnya" ucap Dokter Brader, Sean mengangguk lalu berkata "Cepatlah aku sudah tidak tahan".Keringat halus memenuhi kening Sean, padahal ruangan ini sangat dingin. Dirinya tengah menahan sakit akibat berlari tadi sore dan menggendong Auris. Sean sudah mengenakan pakaian khusus untuk mendapatkan perawatan. Saat Dokter menaikkan kain yang menutupi kaki Sean, terlihat kaki kanannya dipasang sebuah kaki palsu bionik yang digunakan oleh Sean. "Apa anda membawa be
Rutinitas di pagi hari sebelum pergi ke perusahaan Chintya tengah menyantap sarapannya bersama Tuan George dan Nyonya Aleda Georgia. Ketiganya tengah menyantap dengan keheningan di meja makan keluarga itu."Sean ternyata sudah kembali" ucap Nyonya Aleda, Chintya melirik ibunya."Benarkah Mom?"."Iya namun Sean pulang dalam keadaan sakit" tambah Nyonya Aleda yang menghentikkan suapannya.Tuan George hanya menyimak namun pikirannya terlintas untuk segera menemui Sean membicarakan sebuah investasi.Beberapa menit kemudian suara bel dari pintu utama. Nyonya Aleda segera berdiri untuk melihat siapa yang bertamu, ia melangkah cukup jauh jarak ruang makan antara ruang tamu.Nyonya Aleda membuka pintunya lalu melihat dua orang laki-laki bertubuh tetap dengan mengenakan setelan jas hitam."Selamat pagi, maaf mengganggu kenyamanan dan waktu Nyonya Aleda. Saya kemari karena diperintah oleh Tuan Leander untuk memperingati putri anda agar tidak menghasut dan mendekati Tuan Muda Givano Sean Leander"
Auris tidak memperdulikan siapa yang masuk."Auris kau benar-benar ya" ucap seseorang yang tak lain adalah Chintya."Ada apa? Datang-datang langsung mengomel" "Kau tahu ayah marah padamu" ucap Chintya, Auris menatapnya bingung."Marah? Apa yang membuatnya marah perasaan aku tidak pernah berbicara pada ayah" Auris menghampiri Chintya."Itu semua karena kau yang sudah menggoda Sean untuk menemanimu di sini" ujar Chintya dengan menegaskan perkataannya."Orang suruhan Tuan Leander tadi pagi mendatangi ke rumah dan mengancam jika kau menemuinya lagi maka tidak segan untuk mengusirmu"Chintya menatap rendah Auris, ia juga melihat lengan Auris yang diperban."Sean pulang dengan keadaan tidak baik-baik saja. Yang ingin aku tanyakan adalah apa yang kau perbuat sampai dia terluka?""Sungguh aku tidak mengerti perkataanmu Kak, apa maksudnya aku melukai Sean? Semalam dia pulang tanpa memberitahuku" jelas Auris, Chintya hanya tertawa kecil."Kau berpura-pura bodoh apa memang bodoh?" Chintya menunj
Auris mengangguk, "Aku belum pernah merasakan kasih sayang dari keluargaku sendiri, mereka menganggap aku adalah pembawa sial dan mengecam hidupku. Setelah dipikirkan siapa yang ingin dilahirkan dari keluarga yang penuh dengan kekangan, aku juga tidak pernah menginginkan itu" jelas Auris pada Arsen yang bersedia menjadi pendengarnya."Mereka bilang aku adalah manusia yang paling tidak berguna bahkan hanya menyusahkan saja. Namaku saja diambil dari marga ibuku bukan ayah karena dia membenci kelahiranku, ayahku membenci putrinya sendiri dan lebih memilih putri angkatnya, bukankan itu tidak adil?. Kakakku yang tidak mempunyai darah ayah dan ibu dia dirawat dengan penuh kasih sayang dan perhatian sedangkan aku hanya beban bagi mereka" mata Auris mulai berkaca-kaca sampai Arsen yang mendengarnya merasa sakit."Sebenarnya sudah tidak aneh lagi mereka mengambil apa yang telah diberikan kepadaku, jadi aku tidak pernah senang dengan apa yang mereka pernah berikan" sambung Auris, Arsen tak tega
-Kamar 504-"Perih" lirih Auris saat lengannya tengah diberi obat oleh di sekitar area jahitan, Arsen mengolesnya pelan agar Auris tidak kesakitan."Tahan sebentar" Arsen yang duduk di samping tempat tidur Auris tengah fokus mengganti perban. Luka Auris sudah mulai membaik dan kering namun Arsen masih merawatnya secara teliti.Setelah selesai memasang perbannya, Arsen membereskan kembali tempat tidur Auris."Apa AC-nya terlalu dingin?" tanya Arsen melihat ke arah pendingin ruangan itu, ia menaikkan suhunya agar Auris tidak kedinginan apalagi sekarang sudah memasuki musim hujan dan anginnya kencang.Saat Arsen ingin pergi, ia melihat dua nampan makanan Auris yang masih utuh di atas nakas."Kenapa kau tidak memakannya?"."Aa..itu nanti saja" kata Auris yang tidak bernafsu makan, dengan inisiatif Arsen membaca catatan dinampan itu ada makan pagi dan makan siang, ia mengambil jatah makan siang Auris kemudian duduk lagi lalu membuka penutup makanan."Makanlah" ujar Arsen."Nanti saja"."Apa
Tuan George langsung menarik lengan Auris yang masih luka. Gadis itu menahan rasa sakit dari cengkraman ayahnya.Nyonya Aleda langsung menjerit melihat Tuan George menyeret Auris.Auris tersenyum pada ibunya, baru bertemu lagi namun dalam situasi ini.Tuan George membanting tubuh Auris sampai tersungkur di tanah keluar rumahnya. Auris berusaha bangun namun karena terlalu keras tubuhnya seperti mati rasa. Belum sembuh lukanya saat kecil kini ayahnya menambah luka fisik.Auris sudah siap mati ditangan ayahnya karena percuma saja dia hidup. Tidak ada cinta dan kasih sayang dari keluarganya sedikit pun. Auris seperti putri yang dibuang. Memang dari dulu Auris sudah berusaha mengakhiri hidupnya namun takdir masih berjalan.Tuan George meletakkan tangannya di pinggang lalu berkata "Belum saatnya kau mati dan tanganku tidak mau dikotori oleh darah menjijikan itu sebentar lagi kau juga akan segera mati dengan penyakit terkutukmu! Aku tidak pernah mencarikan pendonor karena itu hanya membuang w
Tidak mau berlama-lama berdiri di depan pintu Arsen turun lagi dan mengurungkan niatnya untuk mengganti pakaiannya yang sedikit basah. Arsen memilih menuju kamar tamu, sebelumnya dia membawa sebuah box sedang berisi perkakas.Lengan kemeja putihnya, Arsen gulungkan sampai ke sikut, ia mengecek kran shower. Arsen mencoba untuk memperbaiki sendiri dengan beberapa alar perkakas. Jika ada masalah yang berkaitan dengan rumahnya seperti kran air bocor atau tidak menyala, atap rumah juga. Rumah minimalisnya ini sudah ditempati selama empat tahunan. Kran shower di kamar ini pertama kali tidak berfungsi dengan baik mungkin karena jarang digunakan jadi mudah rusak.Sedangkan di lantai dua, Auris yang ingin mandi menatap takjub ke arah dekat cermin ada sebuah laci yang ditempel di tembok berisi pasta gigi, shampo, krim pencukur, sabun-sabun dan perawatan tubuh lainnya yang berjejer rapi. Auris baru melihat seseorang yang sangat rapi, ia juga tadi memperhatikan rumah ini enak dilihat, rapi dan n
***Di kediaman keluarga Leander, Sean tengah duduk di depan laptopnya. Kali ini dia tidak mau membuang waktu mencoba memaksimalkan waktunya untuk bekerja. Sean adalah seorang arsitek ternama yang kini menangani pembangunan resort di sebuah pulau. Semenjak kuliah di Berlin, Sean sudah mengeluarkan desain-desain baru yang cukup banyak diminati para kliennya.Meski pikirannya terus tertuju pada Auris, Sean berusaha fokus untuk menyelesaikan semua ini dan menemui Auris. Ia sangat bersalah pada gadis itu.Sean kembali mengambil pena digital di atas layar iPadnya lalu membuat garis melintang. Ia duduk sedikit tidak nyaman di kursi rodanya. Tapi mau bagaimana lagi.Dini hari, Arsen sudah menyelesaikan penanganan darurat ke tiga pasien baru masuk tanpa henti. Semua dokter di kelompoknya sudah bekerja keras dan hampir kewalahan karena salah satu pasien harus dioperasi pengangkatan gumpalan darah di otak.Kini Arsen keluar dari mobil lalu melangkah menuju pintu rumahnya.Arsen mengganti sepatun