Setelah kejadian di depan toilet 2 hari berlalu Alicia tampak sedikit menjadi lebih pendiam, lebih pendiam dari biasanya. Ia juga mempunyai masa lalu yang tidak mengenakan dengan Enzi, walaupun sekarang ia lebih memilih untuk tidak memedulikan itu, namun melihatnya begitu kasar membuatnya merasa risih. Adapun alasan mengapa Enzi enggan berurusan dengan Alicia kembali.
“Felix, mau pergi belanja bersama?” tanya Alicia yang sedang menulis jawaban Biologi di bukunya.
“Boleh, jam berapa?”
“Pulang sekolah, bersama Letta probably.” Felix menganggukkan kepalanya dan kembali berdiskusi bersama anak laki-laki lainnya yang sedang membahas tentang game online. Begotulah kehidupan saat tidak ada guru.
***
“Di mana Letta?” tanya Felix kepada Alicia. Mereka berangkat menggunakan mobil milik Felix dan sebelum itu Letta berkata akan menyusul karena ada suatu hal yang harus ia selesaikan. Awalnya Felix ingin menunggu, namun Letta menolak agar mereka segera pergi saja.
Saat Alicia dan Felix baru saja membeli minuman terlihat dari kejauhan Letta berlari menghampiri mereka sambil terengah-engah. Dan setelah itu mereka langsung saja mencari keperluan yang mereka perlukan karena gadis berkuncir kuda ini merasa telah menghabiskan waktu teman barunya.
Semenjak kejadian di depan toilet Alicia terus menegurnya dengan caranya. Tidak terang-terangan, dan membuat Letta yang dijauhi merasa memiliki teman. Di satu sisi ia senang akan kehadiran gadis berambut hitam legam itu dan di satu sisi ia takut jika Enzi, Gilbert dan Adelio semakin senang untuk menjadikannya mainan.
Mereka berkeliling pusat perbelanjaan, berjalan-jalan dan tertawa bersama-sama, setidaknya itu yang mereka rasakan. Have fun.
"Apakah kamu tidak berniat membebaskan diri?" tanya Alicia sembari menjilati es krimnya.
"Ingin, namun seperti yang kalian tahu saja," jawab Letta seadanya.
Karena malam keakraban akan terjadi 2 malam, dan mereka kakak kelas hanya akan bercerita kesenangannya saja di malam kedua mereka menginap. Diceritakan mereka akan bermain, mengadakan pensi perkelompok, masak bersama, acara api unggun dan lain sebagainya. Mana mereka tahu anak OSIS membuat kejutan.
Saat asik mengobrol tiba-tiba Adelio muncul di hadapan mereka yang membuat Alicia dan Felix terkejut, setahu mereka laki-laki di depan mereka ini tidak akan mau repot-repot mencari barang untuk hal sepele seperti malam keakraban itu.
Awalnya mereka terkejut, tapi setelah itu Alicia menyeret teman-temannya untuk pindah dari sana karena melihat wajah Adelio saja ia sudah sangat muak. Entah mengapa ia tidak suka saja.
Dua jam mengelilingi pusat perbelanjaan akhirnya mereka pun melangkahkan kaki ke arah parkiran sambil membawa banyak belanjaan yang kebanyakan berisi makanan ringan dan soft drink.
“Felix, Alicia aku tidak bisa ikut bersama kalian,” ucap Letta secara tiba-tiba.
“Mengapa?” tanya Alicia dengan wajah yang heran.
“Nanti … aku dijemput.” Alicia pun mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil. Awalnya Alicia menawarkan untuk menemaninya sampai ia pulang. Namun, Letta menolak dengan alasan ia akan pergi ke toko buku sebentar karena ada yang ingin ia beli.
Felix pun melajukan mobilnya dan lekas meninggalkan pusat perbelanjaan itu dengan firasat yang kurang enak. Ia sebenarnya tidak mau berpikiran negatif, tetapi gadis di sampingnya ini memulai pembicaraan jika dia juga merasakan hal yang daritadi Felix rasakan.
“Cih, mengelesnya bisa saja,” ujarnya sembari membuka botol air mineral.
Felix mencebik, "Now what?"
"Dia saja tidak memiliki orang tua, pasti ada yang ia sembunyikan."
***
Adelio menunggu seorang gadis untuk ia beri sesuatu. Dan gadis itu adalah Letta.
Karena Letta berhasil merebut simpati Alicia, maka Adelio akan memanfaatkannya karena ia mulai tertarik Alicia sejak upacara bendera senin itu. Apalagi saat ia berani dengan Enzi yang notabene pentolan sekolah yang tidak bisa diganggu barang sedikit pun, atau kau akan menerima akibatnya jika berurusan dengan Enzi.
Letta berjalan dengan sesekali menoleh ke belakang karena takut jika Alicia dan Felix atau yang lainnya mengikutinya. Ia menemui Adelio di parkiran belakang yang sepi. Di sana terlihat Adelio bersama dengan seseorang. Oh Gilbert, kakak kelasnya.
Dengan wajah yang sendu Letta mendatangi dua laki-laki itu yang sedang asik bercengkrama. “A-Adelio.”
Fokus Gilbert pun terpecah, ia melihat gadis di hadapannya ini dengan remeh karena sudah pasti dia adalah suruhan Adelio saat mereka di sekolah. Gilbert melihat dengan jelas saat Adelio menarik gadis itu dari depan kelas ke halaman belakang sekolah dengan paksa.
Adelio pun berbalik untuk menyuruhnya agar mendekat dan tidak takut kepadanya. Gadis ini hanya menangguk menuruti apa kata laki-laki yang berwangikan vanilla ini. “Sudah kamu cari tahu tentang Alicia?”
Letta mengangguk lemah dengan tatapannya ke mata Adelio. “Bagus, laporanlah denganku setiap ada sesuatu, oke?!”
Sebelum benar-benar pergi Adelio membuka kaca helmnya dan berkata, “Jika kau gagal dengan misimu lihat saja apa yang akan terjadi.”
Merasa selesai dengan Letta mereka berdua pun meninggalkan gadis itu sendirian yang masih berada di sana, memang setega itu mereka meninggalkan seorang gadis yang mereka anggap lemah dan tidak ada apa-apanya ditambah lagi hari mulai menggelap.
Berulang kali Letta menenangkan dirinya dengan cara mengatur napasnya karena dadanya berdebar-debar dan mulai terasa sesak. “Ayolah, Letta jangan lagi.”
Gadis ini mencoba berjalan ke arah depan untuk berbaur dengan keramaian. Setidaknya jika ia tidak sadarkan diri ia dapat ditemukan orang-orang. Beruntung rasa sesak di dadanya mulai hilang secara perlahan dan membuat napasnya kembali normal tidak seperti tadi.
Terkadang rasa cemasnya yang berlebihan itu sangat mengganggunya.
Di perjalanan pulang Letta menangisi dirinya dan memukul-mukul kepalanya karena merasa tidak ada apa-apanya dengan Alicia yang membelanya kemarin. Ia iri dengan Alicia yang memiliki berbagai privillage.
Ia bahkan terkadang sampai merasa pesimis tentang masa depannya yang akan secerah apa jika selalu berdekatan dan berurusan dengan orang-orang seperti Adelio. Namun, ia percaya setiap ada pertemuan pasti akan ada perpisahan dan pembalasan dendam.
Merasa mulai dekat dengan tempat tinggalnya ia pun langsung menghapus sisa-sisa airmatanya dan mulai masuk ke dalam flatnya dengan sehening mungkin karena jika anak sekolahan seperti dia menimbulkan suara sudah pasti akan diejek macam-macam oleh tetangganya.
“Lihat saja, cintamu akan jadi neraka, Adelio.”
***
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, angkatan mereka dan beberapa guru penanggung jawab sedang berkumpul di tengah lapangan untuk memulai absen antarkelas.
Banyak dari mereka telah datang ke sekolah dari jam setengah tujuh pagi, karena jika terlambat sedikit saja kamu akan ditinggal oleh bus dan ya seperti yang kalian tahu mereka tidak akan mau tertinggal.
Jarak perjalanan cukup memakan waktu kurang lebih 2 jam dari sekolah, karena lokasi yang dipilih oleh anggota OSIS berada di daerah pinggiran hutan yang memiliki pemandangan indah jika di pagi hari selain itu juga ada air terjun di sekitar sana yang menjadi spot yang cocok bagi mereka.
Semua merasa enjoy dengan suasana di dalam bus, mereka bernyanyi, tertawa dan bersenda gurau sebelum pada akhirnya akan mendapatkan kejutan dari anggota OSIS.
Sampai di tempat tujuan mereka semua langsung diarahkan untuk membangun tenda yang telah disiapkan dalam waktu 15 menit. Jika lebih dari itu akan ada sanksi yang menanti mereka.
Tepat dari situ Alicia menemui kendala, karena pasak tendanya tidak mau menancap disebabkan adanya batu besar menghalangi dan Adelio yang mengetahui hal itu langsung saja mendatangi Alicia. Namun, tiba-tiba Felix juga datang dengan membawa sekop seakan-akan memang Alicia lah yang menyuruhnya.
“Tidak apa-apa, Felix tadi sudah kusuruh,” tolaknya lalu setelahnya ia berbicara dengan Felix. “Terima kasih atau nanti Enzi semakin envy.”
Mereka terkekeh setelah melihat Adelio yang menunjukkan ekspresi kesalnya. Dan Alicia pun melanjutkan kegiatannya bersama dengan Nara dan teman sekelompoknya.
Lima belas menit berlalu, untungnya semua anggota menyelesaikan dengan tepat waktu jadi tidak ada yang terlambat dan menjalankan hukuman. Hari mulai panas, mereka diinstruksikan untuk mulai berkumpul dan tidak melakukan kegiatan yang berlebihan karena sebentar lagi jam makan siang.
BRAK!
Terdengar suara tubrukan yang cukup keras dari arah kamar mandi yang membuat seluruh perhatian teralihkan. Ketua dan anggota OSIS yang tengah berdiskusi pun langsung mendatangi tempat kejadian perkara untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Enzi, Mia, dan Letta terlihat sedang adu mulut dan Enzi yang terjatuh dengan pipi yang memerah seperti bekas tamparan. Gilbert yang melihat itu pun langsung membawa Enzi ke pos kesehatan sedangkan Letta yang terlihat tidak memiliki luka pun dibawa oleh ketua OSIS untuk dimintai keterangan.
Alicia yang melihat kejadian itu pun hanya bisa terdiam dan menghela napas saat Letta di bawa oleh Fariz.
Fariz membawa Letta ke tempat yang sedikit jauh dari lokasi tenda untuk menghindari tatapan tidak enak dari murid-murid yang lain dan agar Letta bisa leluasa bercerita juga tentunya. “Ayo cerita sejujurnya apa yang telah terjadi, Letta.”
Flashback on
Letta berjalan ke kamar mandi dengan tasnya karena ia ingin mengganti pakaiannya yang sudah kotor akibat keringat, lagipun pakaiannya berwarna putih dan tembus pandang. Sebab itu ia agak sedikit kurang nyaman.
Tak sengaja ia menginjak kaki Enzi yang baru saja keluar dari salah satu bilik tersebut, ia pun segera meminta maaf dan yang terjadi selanjutnya adalah Enzi mendorongnya sangat keras sehingga punggungnya terhantam oleh pintu kamar mandi, sehingga menimbulkan suara yang cukup berisik.
Letta mencoba memberanikan diri untuk melawan Enzi dengan mengatakan jika Enzi terlalu berlebihan dan Enzi pun terpancing.
Sadar ia telah membuat kegaduhan yang menarik perhatian, ia segera menyuruh Mia untuk menamparnya, mengacak-acak rambutnya dan menggantikan posisi Letta yang tadinya terduduk untuk segera berdiri.
Mia yang mendengar suara Fariz pun langsung bersikap seolah-olah ia tengah panik dengan kondisi Enzi yang terkulai lemas di dalam bilik kamar mandi yang terbuka itu.
Setelah itu yang lain pun berdatangan termasuk Alicia yang tadinya sedang memasak dengan Nara. Alicia yang melihat itu hanya menatap datar Enzi dan menatap Letta dengan tatapan yang sayu seakan matanya berbicara agar Letta harus kuat menjalani ini semua.
Dan setelah kejadian itu Fariz membawanya.
Flashback off
“Jadi terserah, kakak aja mau percaya sama saya atau tidak,” ucapnya dengan percaya diri.“Jika orang tuanya datang, bisakah kamu mengaku?” tanyanya dengan tenang. “Kamu seharusnya tahu batasan.”
Letta hanya tersenyum miring mendengar kalimat yang keluar dari mulut seorang ketua OSIS. Bahkan ketua OSIS pun lebih pengecut dari dirinya.
Tangan Letta mengepal. "Maaf, tetapi harga diri saya tidak serendah itu untuk mengalah demi anak Mami."
Kegiatan malam pun di mulai para panitia pelaksana, mereka bilang akan bermain sebuah permainan yang cukup menantang. Peraturan permainan ini adalah cukup mencari bendera sesuai dengan apa yang diinsturksikan, tempat-tempatnya pun sudah ditentukan. Pos pun sudah tersebar.Mereka mulai mencari keberadaan bendera tersebut dengan waktu 1 jam lamanya. Menyusuri hutan yang gelap hanya berbekal 3 buah senter disetiap kelompoknya yang berisikan 5 orang membuat mereka agak kesulitan pasalnya jalan yang berbatu dan tingginya rumput membuat pandangan menjadi lebih pendek.“Mungkin tidak ada bendera berwarna lain yang kalau kita mendapatkannya, kita jadi dapat privilege?” ucap Felix tiba-tiba.“Mungkin saja,” jawab Nara.Tiga puluh menit berlalu tim Alicia yang beranggotakan Felix, Nara, Lian dan Elin sudah berhasil menemukan 10 bendera yang mereka temukan di atas pohon, tertancap di antara semak-semak dan diberikan oleh pos ka
Setelah 3 bulan insiden itu berlalu, daftar anak yang ditakuti pun bertambah, yaitu Seana Alicia yang cukup disegani karena ia adalah seseorang yang dinilai cukup berpengaruh apalagi setelah kejadian itu, Enzi menjadi tidak berani terang-terangan merundung di depannya, walaupun tetap saja.Ini cukup mengganjal.Kini Enzi duduk di tribun sekolah bersama dengan Gilbert menyaksikan kelas MIPA 6 yang sedang bermain bola basket karena ini jam pelajaran, maka dapat disimpulkan mereka tengah memasuki materi itu.“Kak, kamu tidak masuk kelas?” tanya Enzi yang tengah mengemut permennya.Gilbert yang memperhatikan anak-anak mipa 6 pun terpecah fokusnya. “Kelas sedang jam kosong.”“Oh begitu rupanya,” balas Enzi sambil mengangguk.Sebenarnya pun Gilbert ke tribun ini karena melihat Alicia dan Enzi. Pikirannya adalah sambil menyelam minum air karena ada sesuatu yang ingin ia ketahui dari Enzi dan juga ingin melihat pe
3 bulan sebelumnya…."Maaf, tetapi harga diri saya tidak serendah itu untuk mengalah demi anak Mami."Dua minggu setelah insiden itu Alicia, Letta dan Enzi pun dipanggil untuk disidang. Letta dimintai keterangan atas apa yang terjadi pada siang hari itu, disaat Enzi merundung Letta.Tapi, rasanya Letta mau menjelaskan serinci apapun hanya akan dianggap angin lalu dan kalaupun ia punya bukti pasti akan ada 1001 alibi dari kepala sekolah agar Enzi tetap menjadi korban di kasus ini.“Pak, saya tidak ada memukulinya,” tegas Letta dengan tangan terkepal yang berada di pahanya sedangkan Enzi yang berada di sebelah kirinya langsung bereaksi begitu gadis itu menyatakan pernyatannya.“Kau memukuli! Kau tidak ingat?” histeris Enzi dengan mata yang melotot ke arah Letta sambil menangis, sedangkan Letta membuang mukanya ke arah sebaliknya.Reaksi orang di sekitar bahkan hanya terdiam sambil menikmati apa yang terjadi di de
Letta melangkahkan kakinya untuk menuju ke kasur besar milik Alicia. Namun perhatiannya mengarah ke meja belajarnya. Ia mulai membuka kertas yang terjatuh dari buku Alicia.“Ini kertas….”“Yah … aku ketahuan.”Letta yang tersadar pemilik kamar masuk pun langsung membereskan kertas itu dan meminta maaf.“Privasi sih sebenarnya, tapi ya sudahlah” ucap Alicia sambil menaruh air minum di atas meja belajarnya dan merapikan yang telah diperbuat Letta. “Aku tahu kau dulu anak orang kaya hanya saja kekayaanmu … dirampok oleh salah satu dari mereka?”“Bagaimana kau tahu?” tanya Letta terkejut.“Ada pertanyaan lebih menarik, bagaimana kau rela dimanfaatkan oleh mereka bertiga?”Kertas yang tidak sengaja dibaca oleh Letta adalah selembar isi surat dari Gilbert yang menyatakan isi hatinya kepada Alicia.Alicia pun berkata bahwa ia mengetahui kejadi
Setelah bertemu dengan Letta ia pun berjalan menuju lokernya dan mendapati hoodie berwarna abu-abu yang diberi oleh mantannya. Lalu, ia menyusup ke kamar mandi perempuan dan menaruhnya di atas wastafel.Itu adalah milik Gilbert, nyatanya laki-laki ini masih memiliki kepedulian yang cukup tinggi walaupun orang-orang sering menyebutnya ‘si cuek’ berhati dingin.Gilbert itu suka sekali membuat orang kesal karena mulutnya yang tidak bisa dikontrol itu.Laki-laki bersurai hitam itu kini tengah membaca sebuah artikel di ponselnya tiba-tiba didorong oleh seseorang, yang membuatnya hampir jatuh tersungkur. Namun, sayangnya ia melihat jika Adelio lah pelakunya.“ADELIO PENGECUT!” teriaknya di lorong yang dapat didengar oleh Adelio. Laki-laki itu pun tersulut emosinya dengan mempercepat langkah kakinya dan melayangkan sebuah hantaman di pipi Gilbert.Mudah sekali memancing emosi Adelio, hanya bermodalkan mulut saja.Gi
Suasana sedang ramai ditambah guru yang akan masuk ke kelas mereka sakit, jam kosong di kelas mereka. Enzi kini tengah membaca buku novel, namun notifikasi di ponselnya mengalihkan perhatiannya.Gilbert Datangi aku sekarang di rooftop. Enzi mencebik kesal, “Mau apalagi sih dia?”Gadis dengan rambut pirang pendek itu pun berjalan cepat menuju tempat terlarang untuk siswa itu.Walaupun ia hanya dekat dengan Gilbert sebatas adik kakak orang-orang terkadang berasumsi jika mereka menjalin hubungan.
Malam itu Gilbert tengah bersiap-siap untuk pergi dengan Alicia. Ia menyemprotkan parfum mewah di tubuhnya. Orang tua Gilbert adalah seorang pejabat berpangkat tinggi.“Gilbert, uangmu sudah ayah transfer,” ucap ayahnya yang tengah bersantai di ruang keluarga bersama dengan istrinya alias mama tiri Gilbert. “Mau ke mana kamu?”Gilbert yang baru saja turun dari lantai 2 ini pun menegak satu gelas minuman bersoda lalu menjawab ayahnya. “Aku mau jalan.”“Jika nilaimu hancur awas saja,” ucapnya mengancam.Gilbert tidak memedulikan omongan pria itu bahkan ia langsung berjalan ke arah garasi untuk mengambil mobil berwarna hitam dan meninggalkan kediamannya menuju apartemen Alicia.Gilbert &nbs
“Kita ikuti saja apa maunya, karena ini sudah termasuk ancaman. Aku bahkan tidak tahu apa yang dimaksud ‘hadiah spesial’.” Adelio pun mengambil lilin dari bungkusan hitam itu dan tiba-tiba saja listriknya padam kembali dan hanya menyisakan mereka dengan cahaya bulan yang remang-remang. “Nyalakan lilinnya,” suruh Gilbert. “Kita akan berpencar.” “Tapi, Kak….” “Ikuti saja apa maunya.” Mereka pun mengundi untuk mencari pasangan dan Felix yang tidak mendapatkan pasangan dengan terpaksa harus berjalan sendiri. Enzi dan Adelio menuju ke arah kelas 10 yang terletak di lantai dasar, Gilbert bersama Nara yang menuju ke area kolam renang, Alicia dan Letta menuju ke kelas 11 yang berada di lantai 2 dan Felix yang sendiri akan menuju kelas 12 yang terletak di lantai 3. Mereka pun berpencar mencari kunci gerbang yang katanya tersembunyi di sekolah ini. Berbekal dengan rasa takut dan hawa dingin yang tiba-tiba menyeruak yang membuat tengkuk m
Alicia kini terduduk di atas ranjangnya. Ia tidak ingin berlama-lama di rumah sakit dan segera menghubungi kakak kembarnya itu untuk membantunya berpindah. Rio ikut membantu agar kelakuan mereka tidak sampai terdengar ke telinga orang tua masing-masing, walaupun lambat laun pasti akan terbongkar juga karena keluarga Danendra tidak mungkin diam saja. Gadis itu sedang sarapan sendirian di dalam kamar sebelum Rio tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya dengan wajahnya yang nampak lesu dari biasanya. “Ketuk pintu dulu!” sentak Alicia dengan mata yang sinis, ia tidak suka orang-orang sembarangan membuka kamarnya. Namun, Rio bebal diberi tahu. Sedangkan yang ditegur hanya menggaruk kepalanya tak gatal sembari tersenyum masam. “Kamu ini anak iblis apa ya?” “Anak kambing!” jawab Alicia dengan nada yang sedikit dihentak, sontak jawaban itu membuat Rio terbahak. Rio pun duduk di tepi ranjang sembari memerhatikan Alicia menghabiskan sarapannya, di mata
Alicia mencoba untuk menerobos masuk ke dalam kamar utama untuk mencari tahu dan membeberkan semua, anak ini benar-benar nekat untuk remaja seusia 18 tahun. Ia bersama Letta mulai mencari bukti itu dibantu oleh Rio tentu saja. Suara sepatu dari luar membuat mereka sedikit tergesa-gesa dan mereka lebih memilih untuk bersembunyi di tempat yang berbeda sembari merapikan tempat-tempat yang mereka acak-acak tadi. Jantung Letta berdesir saat seseorang itu masuk dan mulai mendekati persembunyiannya yang berada di balik tirai di sudut kamar sedangkan Alicia yang melihat itu segera memberikan kode kepada Rio. Untungnya sebelum orang itu semakin curiga Rio yang mengamati situasi pun segera membuat kegaduhan. “Oh maaf, aku terpeleset. Bisakah kamu mengepelnya. Akan bahaya jika orang lewat,” ucapnya sembari tersenyum lebar seperti tidak terjadi apa-apa. Belum sampai semenit, orang itu menyerangnya tiba-tiba, namun orang yang menemani Rio itu cepat datang
“Aku tidak akan pergi karena ini juga acaraku.” Rio dari luar hanya terkekeh melihat drama yang ia perbuat itu. Pemadaman lampu itu adalah ulahnya itulah sebab ia berpisah dengan Alicia tadinya. Ia membawa seseorang untuk menjaga listrik. Terukir senyuman di bibir saat Nara mulai menjalankan perannya. Rio yang melihat Alicia membawa Letta keluar pun segera menyusulnya. "Alicia!" panggil Rio dari arah pintu masuk. Langkah kedua gadis itu pun terhenti, Alicia membiarkan Rio membawa Letta entah ke mana sedangkan Alicia sendiri harus kembali ke dalam untuk mencari apa yang ia cari. Letta dan Rio akhirnya menuju parkir dan mereka pun berdiam di sana untuk menunggu kelanjutan peran mereka. Namun, belum sampai lima menit terlihat seseorang hendak mendatangi mobil Rio. "Letta sembunyi di belakang cepat," suruhnya sembari membantu gadis itu karena bajunya yang dikenakannya cukup membuat kerusuhan di dalam mobil. Rio pun menurunkan
Di sebuah kamar seorang gadis duduk di depan meja riasnya ditemani sinar mentari kejingaan yang menandakan sang Surya akan segera menghilang. Gadis yang menggunakan piyama berwarna coklat keemasan itu tersenyum simpul saat ia duduk di depan cermin. "Drama kehidupan begitu kejam ya. Tapi, mereka sendiri yang membuat keadaan sulit untuk diri mereka," monolognya sembari mengatur rambutnya dan mulai meriasi wajahnya dengan make up. Alicia memilih untuk memakai pakaian yang cukup elegan, ia memilih untuk menggunakan dress berwarna abu-abu dengan sepatu heels yang telah disiapkan dan rambut yang sudah diatur sedemikian rupa untuk pesta formal malam ini. Setelah selesai dengan kegiatannya itu ia keluar balkon dan duduk di sana menikmati warna langit yang perlahan memunculkan bintangnya. Ponselnya berdering saat ia hendak menelpon Felix, terpampang jelas di sana ada nama Letta. “Aku di dekatnya,” ucap Letta dari seberang
Di malam hari, Felix akhirnya mendengarkan apa kata Letta, walaupun tadi mereka sempat berdebat kecil karena Felix yang tiba-tiba keras kepala tidak mau mendengarkan. Namun setelah Letta menghampiri kediamannya hati Felix terbuka. Mereka memasuki rumah sakit tersebut. Felix bersama Letta masuk ke ruangan tersebut sedangkan Alicia dan Nara lebih memilih untuk menunggu mereka dari luar karena tidak boleh terlalu banyak orang yang menjenguk. Felix duduk di sebelah ranjang sembari melihat ibunya yang tengah berbaring dengan selang serta alat bantu yang lainnya. Letta menepuk pundak laki-laki itu saat ia ingin menumpahkan air matanya. “Menangislah, aku tidak akan berbicara apapun,” ucap Letta pelan dan saat itu juga ia melihat bahu Felix bergetar menandakan laki-laki itu tengah menangis. Dari belakang Letta hanya bisa mendengar suara isakan kecil Felix. Namun, setelah itu suara dari alat berbentuk kotak itu mengalihkan mereka berdua. Letta keluar d
Sesuai dengan perkataannya, Valerio dengan para staff sekolah akhirnya berdiskusi mengenai masalah ini. Suasana di ruangan ini menegang saat Valerio mulai duduk di kursinya dan memulai pembicaraan. "Saya akan mulai pembicaraan ini, mengenai skandal yang tengah terjadi," ucapnya memulai pembicaraan berat ini. Semua orang di sana menegang, jantung mereka berdegup kencang tidak karuan karena mereka belum dapat mendapatkan pelakunya. Kepala sekolah yang baru saja datang dengan tergesa-gesa itu pun menarik perhatian orang-orang di sana. Terlihat di tanganya ada sebuah amplop coklat lalu ia mengeluarkan beberapa foto dari sana dan memperlihatkannya kepada Valerio, tentu saja laki-laki itu sekarang agak terkejut dan meragukan sang Kepala sekolah. Valerio menarik napasnya untuk tidak meledak sekarang juga, ia tidak pernah berpikir jika kandidat pelakunya adalah gadis yang ia kenal cukup baik. Valerio denial akan hal itu dan semakin berpikir jik
Sudah pasti suasana di seklolah ini menjadi chaos.Murid-murid yang sempat merekamnya pun diminta untuk tidak menyebarkan rekaman itu ke mana-mana atau akan ada sanksi berat menunggu mereka. Valerio yang mendengar hal ini pun langsung turun ke sekolah karena itu akan membahayakan reputasinya. Laki-laki ini melangkahkan kakinya di antara murid-murid sekolah ini. Hanya sedikit dari mereka yang tahu jika Valerio adalah ayahnya Adelio. Saat datang ke ruang kepala sekolah ia mendudukan dirinya ke sofa empuk berwarna merah tersebut lalu menatap kepadasang Kepala sekolah dengan tatapan yang tajam, menyiratkan makna bahwa ia tidak main-main sekarang. "Bagaimana bisa ada rekaman itu dan bocor?" tanyanya sembari menyesap kopi yang telah disediakan. "Saya masih menyelidikinya, dan akan segera memberitahu anda dengan segera," ujar kepala sekolah itu dengan percaya diri. Valerio sedikit menghentak cangkir itu yang membuat orang ya
"Jadi, kamu pilih penawaranku atau tetap mau bersikeras Danendra?" Akhirnya Adelio lebih memilih untuk pasrah seutuhnya. Ia menyatakan akan memilih penawaran Alicia walaupun ia sendiri tidak yakin dengan pilihannya itu. Ia takut ayahnya akan mengamuk, tapi jika Alicia mempersulitnya sepertinya akan lebih daripada itu. Koneksi Alicia juga tidak kalah mengerikan dari dirinya, perempuan ini cukup manipulatif. Setelah itu Nara berjongkok untuk melihat wajah laki-laki itu. "Ingat, jika kamu masih bermain-main akan ada lebih banyak cara mempermalukanmu setelah ini." Adelio mengepalkan tangannya. Ia ingin marah, tapi ia tahu itu hanya akan memperparah keadaan dan yang hanya dapat ia lakukan hanya menghela napas berat sembari mengusap darah yang muncul dari sudut bibirnya. Dia kalah. Alicia dan Nara pun meninggalkannya sendirian di sana menuju ruangan mereka yang berada di belakang gedung itu. Sepanjang jalan Nara menjadi pusat perhatian dan m
"HAHAHA, CINTAMU MENJADI NERAKA, CONGRATULATIONS!" teriak Letta, bahkan gadis itu sekarang tertawa terbahak, namun terlihat jelas itu adalah bukan tertawaan senang. Ia tertawa dengan pipi yang basah, bibir yang terluka dan tentu saja hati yang terluka. Semua terdiam, pandangan mereka mengarah ke Letta sekarang. Gadis itu terlihat menyedihkan. Nara datang setelah pertikaian antara Adelio dan Letta itu terjadi, terlihat ia sedang mengemut permen dengan tatapan mata yang santai, karena ia tahu ini semua akan terjadi. Rencananya berjalan dengan lancar rupanya. "Kenapa tidak dilanjutkan?" Orang-orang di sana terdiam mendengar perkataannya. "Adelio, aku tahu kamu memang pintar, tapi kenapa memilih jalan curang? Bodoh sekali." Adelio masih tetap bergeming menengarkan ocehan Nara yang terlihat sangat arogan di depannya. Padahal ia pun sama saja. Nara mencoba mendekati Adelio lalu menamparnya. Semua orang terkejut dengan sikap Nara yang