3 bulan sebelumnya….
"Maaf, tetapi harga diri saya tidak serendah itu untuk mengalah demi anak Mami."
Dua minggu setelah insiden itu Alicia, Letta dan Enzi pun dipanggil untuk disidang. Letta dimintai keterangan atas apa yang terjadi pada siang hari itu, disaat Enzi merundung Letta.
Tapi, rasanya Letta mau menjelaskan serinci apapun hanya akan dianggap angin lalu dan kalaupun ia punya bukti pasti akan ada 1001 alibi dari kepala sekolah agar Enzi tetap menjadi korban di kasus ini.
“Pak, saya tidak ada memukulinya,” tegas Letta dengan tangan terkepal yang berada di pahanya sedangkan Enzi yang berada di sebelah kirinya langsung bereaksi begitu gadis itu menyatakan pernyatannya.
“Kau memukuli! Kau tidak ingat?” histeris Enzi dengan mata yang melotot ke arah Letta sambil menangis, sedangkan Letta membuang mukanya ke arah sebaliknya.
Reaksi orang di sekitar bahkan hanya terdiam sambil menikmati apa yang terjadi di depan mereka, Alicia pun bahkan menatap Enzi dengan datar, seolah-olah sudah mengerti bahwa ini adalah drama yang direncanakan oleh Enzi.
Mamanya pun menenangkannya lalu memaki-maki Letta saat itu juga. Mengatainya perempuan yang tidak punya malu, tidak punya tata krama dan sebagainya. Tentu saja membuat Letta yang mendengarnya sakit hati.
Letta tidak membantah lagi, sudah cukup ia berbicara tentang fakta. Tidak akan ada yang mau mendengarkan.
Kini giliran Alicia yang disidang. Gadis itu bahkan tersenyum miring saat menggantikan Letta untuk menduduki kursi coklat yang berada di tengah-tengah mereka semua.
Saat sidang dimulai pertanyaan pun dibacakan dan Alicia menjawabnya dengan sangat lancar dan penuh senyuman manis, begitu pun dengan Enzi, gadis itu hanya mengiyakan apapun yang dipertanyakan. Namun, pertanyaan demi pertanyaan setelahnya….
“Apakah kalian terlibat perkelahian saat itu?” Alicia dan Enzi saling bertatapan cukup lama dan situasi menjadi cukup tegang saat itu karena salah satu dari mereka tidak ada yang menjawabnya. “Jawablah bersamaan.”
“Tidak,” ucap mereka berdua sambil memutuskan kontak mata.
Maka, kasus acara malam keakraban ini resmi ditutup. Bisa dipastikan tidak ada rumor miring yang akan mengikuti mereka lagi. Jika tidak ada yang mencoba untuk mengusiknya kembali.
Flashback off
***
Gilbert kini sedang berada di tempat bimbingan belajar. Ia tidak dapat membantah orang tuanya disaat dirinya ingin membolos barang sehari saja. Ayahnya akan mencabut fasilitasnya dan ibu tirinya yang seperti nenek sihir itu pasti akan mengomelinya 2 hari 2 malam dan ia tidak mau hal itu terjadi.
Saat ini ia tengah memainkan pulpennya, tanpa memerhatikan penjelasan tutor di depan, pikirannya kacau ketika Alicia mendatanginya di tribun saat Enzi pergi meninggalkan dirinya kemarin.
Alicia mendatanginya. Namun, mengingat sesuatu yang mengganjal di hatinya ia tidak bisa memercayai gadis bermata besar itu sepenuhnya. Saat itu pun Alicia menanyainya perihal Enzi padahal jika dilihat pun mereka sangat tidak bersahabat, lantas apa yang membuat Alicia bertanya tentang Enzi?
Pikirannya terus berkecamuk. Namun, di samping hal itu ia menemukan sesuatu bahwa, ini bisa menjadi skandal besar ditambah mereka yang tidak akur apalagi semenjak kejadian malam keakraban. Memikirkannya saja sudah membuat pusing. Namun, di satu sisi ia merasa senang dengan kejanggalan ini.
“Gilbert, kamu tidak memerhatikan lagi?” tegur tutornya yang sadar sedari tadi laki-laki itu hanya melamun sambil memutar-mutarkan pulpen di jarinya.
Sedangkan yang ditegur hanya memberikan senyum gigi sambil mengelus tengkuknya, lalu meminta maaf dan izin pulang, ia beralasan sedang tidak enak badan karena mengerjakan tugas semalaman kemarin.
Behasil mendapatkan izin ia langsung pergi meninggalkan tempat bimbingan tersebut dan menuju ke café tempat di mana ia biasa menghabiskan waktu bersama teman-temannya.
Tiba-tiba ponselnya bergetar menandakan adanya pesan masuk.
+6284567xxxxxx Are you ready? Let’s begin!
Gilbert mengernyit heran menatap ponselnya. Kira-kira siapa yang mengerjainya dengan mengirim pesan seperti itu.
Gilbert Salah kirim
+6284567xxxxxx Saya tidak salah kirim, Gilbert Delmarettan.
Gilbert pun menjadi awas, ia menelpon pemilik nomor itu, namun yang ia dapatkan hanya suara orang sedang mengobrol tidak jelas dan berakhir ia memutuskan sambungan telpon itu.
Ia benar-benar penasaran sekarang.
***
Enzi kini tengah makan malam bersama keluarganya di ruang makan, mereka terlihat sangat gembira membicarakan pekerjaan ayahnya yang semakin sukses.
Terlihat dari pancaran mata ayahnya. Namun tiba-tiba pria itu bertanya. “Enzi, kamu kenal dengan Felix ‘kan?”
Gadis itu hanya mengangguk ketika ditanyai mengenai Felix dan nafsu makannya seketika menurun.
"Anaknya tampan."
"Terus?"
"Tidak tidak, lanjutkan saja makanmu."
Setelah makan malam yang cukup tidak enak itu selesai, ia memilih untuk mengambil sepotong kue red velvet dari dalam kulkas dan sekotak susu full cream untuk ia makan di dalam kamarnya.
Ia melangkah ke arah kamarnya, lalu ia taruh kue dan susu itu di atas meja belajarnya dan mulai membuka laptopnya. Namun, tak lama kemudian listrik padam yang disertai dengan hujan yang lebat. Gadis itu melangkah ke arah meja riasnya untuk mengambil sebuah senter tetapi tiba-tiba….
Dukk… dukk…
Terdengar suara seperti lemparan benda keras ke arah kaca jendelanya sebanyak 2 kali dan Enzi pun mencoba untuk menyibak tirainya walaupun ia sendiri takut karena pasti di luar tengah gelap gulita. Namun suara telepon yang tiba-tiba berdering dari ponselnya mengalihkan perhatiannya.
Terlihat nomor tidak dikenal tengah berusaha menghubunginya beberapa kali karena sejujurnya Enzi pun takut untuk menjawabnya.
Dengan nyalinya ia pun mencoba menjawabnya. “Halo, ini siapa?”
Hanya terdengar suara napas yang berderu dari seberang sana disertai dengan suara hujan. Lantas Enzi mematikan sambungan telepon itu sepihak karena menurutnya ini terlalu mengerikan.
Namun nomor itu kembali menelponnya.
“Cepatlah berbicara, saya tidak pu—”
“Saya mau buat penawaran dengan anda,” ucapnya dari sana. Tidak bisa dipastikan siapa karena ia memakai pengubah suara yang membuatnya tidak dapat dikenali.
“Apa? Kamu siapa?” tanyanya sembari membuka laptopnya dan mencari sebuah film untuk ia tonton.
Penelpon itu pun memberinya sebuah penawaran yang menurut Enzi tidak dapat ia lakukan, yaitu sebuah penawaran untuk berhenti merundung, menjadi murid biasa-biasa saja, dan yang paling parah menurutnya adalah mengakui Letta sebagai temannya.
“Tidak akan! Kau siapa menyuruhku?” tegasnya, Enzi pun memutuskan sambungan telepon itu dan mulai mencari film yang ia mau. Dan lagi-lagi sebuah pesan masuk ke ponsel Enzi.
+6284567xxxxxx Baiklah jika itu maumu.
Enzi mengabaikan pesan itu dan melanjutkan kegiatannya sambil memakan kuenya dan duduk santai di kursi belajarnya. Ia berpikir jika Alicia lah yang tengah menakut-nakutinya karena musuh terbesarnya sekarang adalah Alicia sekarang ini.
***
Letta sekarang berada di alamat yang diberikan oleh Alicia. Terlihat dari luar seperti rumah biasa pada umumnya. Pagar hitam dengan lampu depan berwarna putih, hanya saja pagarnya benar-benar tinggi. Letta berpikir jika isi di dalam rumah ini pasti besar.
Alicia Sudah datang? Tunggu aku di situ.
Letta Iya.
Letta pun menunggu dan tidak lama setelah itu suara pagar berderit menandakan tuan rumah telah mengizinkannya untuk masuk.
Sepanjang jalan perempuan itu mengagumi luasnya rumah itu saat mereka melintasi halaman rumah. Ini adalah rumah Alicia sebenarnya, ia selama ini tinggal di sekitar sekolah hanya karena terlalu memakan waktu dari kediamannya.
Gadis itu dipersilahkan untuk duduk di ruang tamu. Letta pun menghela napas kasar dan bersandar pada sofa karena perjalanannya cukup panjang, ia harus menempuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke sini.
Alicia datang kembali dan menyuruh mereka untuk berpindah tempat ke area belakang.
“Letta, kamu sudah punya apa jika mau melawan Enzi?” Pertanyaan Alicia sukses membuat Letta kebingungan. “Maksudku semacam bela diri atau apa?”
Gadis berambut panjang berkacamata ini menggelengkan kepalanya sambil membenarkan kacamatanya yang merosot. Ia berkata bahwa ia hanya pernah mengikuti Karate, namun setahun lalu ia berhenti.
Alicia mengangguk sambil terlihat berpikir dengan mengusap-usap dagunya.
“Aku akhir-akhir ini sedang berpikir untuk mengikuti bela diri. Kau mau ikut lagi tidak?” tawar Alicia. “Sekalian mencari pacar.”
“Haha ada-ada saja kau ini.”
Awalnya wajah Letta terlihat senang setelahnya menjadi murung. Nampaknya ia tidak bisa menerima tawaran Alicia karena ia berpikir tidak ingin merepotkan dirinya dan orang lain. Gadis dengan rambut coklat ini bimbang sambil menggulung-gulung rambutnya dengan bibir yang dibasahi dengan salivanya, sudah dapat dipastikan ia akan menolak tawaran ini.
Seakan dapat membaca pikiran Letta, Alicia pun berkata jika keperluan bela diri bebas biaya dengannya. “Serius?!”
Alicia mengangguk. Gadis itu tersenyum senang ketika melihat Letta senang setidaknya malam ini ada yang menemaninya mengobrol setelah kakak dan orang tuanya pergi ke luar negeri 2 hari yang lalu dan kemungkinan akan pulang 3 bulan sekali.
Tiba-tiba saja hujan turun dengan sangat lebatnya setelah adanya angin deras dan hilangnya bintang-bintang di langit.
Terlihat lagi raut wajah khawatir di wajah Letta karena takut tidak bisa pulang atau pulang terlalu malam nantinya. Apalagi jarak dari rumahnya yang jauh dari sini.
“Malam ini menginap saja di rumahku, seragamku ada dua. Bagaimana?” Alicia menawarkan Letta untuk bermalam karena kondisi yang tidak memungkinkannya untuk pulang.
Sebenarnya bisa saja Alicia mengantarnya pulang lewat supirnya. Namun, ia urungkan karena ia merasa kesepian. Dan Letta pun mengiyakan apa kata pemilik rumah ini.
***
Terdengar suara ponsel berdering milik Alicia yang sedari tadi berusaha di-reject olehnya tetapi nomor itu terus saja menelponinya. Dan pada akhirnya Alicia menyuruh Letta untuk pergi ke kamarnya saja duluan ia beralibi akan membawa jajanan sebentar lagi.
Alicia mengangkat telpon itu, lalu tersenyum senang mendengarnya. Ia hanya akan mendengarnya tanpa menjawab karena di seberang sana berkata jangan menjawab apapun, maka gadis yang tengah berkepang 2 itu menurut saja.
Setelah telepon mati ia bergegas kembali ke dalam kamar tidurnya.
"Astaga aku tidak tahu itu nomor Nara," ucapnya sambil terkekeh.
Letta yang tengah bercermin di meja belajar milik Alicia terkagum dengan banyaknya buku-buku latihan soal milik Alicia. Ia mulai membukanya karena merasa ingin melihat isinya, namun sesuatu yang ia lihat di buku dan di balik cermin membuatnya terkejut, sehingga membuat buku itu terjatuh dan selembar kertas pun menarik perhatiannya.
“Ini kertas….”
“Yah … aku ketahuan.”
Letta melangkahkan kakinya untuk menuju ke kasur besar milik Alicia. Namun perhatiannya mengarah ke meja belajarnya. Ia mulai membuka kertas yang terjatuh dari buku Alicia.“Ini kertas….”“Yah … aku ketahuan.”Letta yang tersadar pemilik kamar masuk pun langsung membereskan kertas itu dan meminta maaf.“Privasi sih sebenarnya, tapi ya sudahlah” ucap Alicia sambil menaruh air minum di atas meja belajarnya dan merapikan yang telah diperbuat Letta. “Aku tahu kau dulu anak orang kaya hanya saja kekayaanmu … dirampok oleh salah satu dari mereka?”“Bagaimana kau tahu?” tanya Letta terkejut.“Ada pertanyaan lebih menarik, bagaimana kau rela dimanfaatkan oleh mereka bertiga?”Kertas yang tidak sengaja dibaca oleh Letta adalah selembar isi surat dari Gilbert yang menyatakan isi hatinya kepada Alicia.Alicia pun berkata bahwa ia mengetahui kejadi
Setelah bertemu dengan Letta ia pun berjalan menuju lokernya dan mendapati hoodie berwarna abu-abu yang diberi oleh mantannya. Lalu, ia menyusup ke kamar mandi perempuan dan menaruhnya di atas wastafel.Itu adalah milik Gilbert, nyatanya laki-laki ini masih memiliki kepedulian yang cukup tinggi walaupun orang-orang sering menyebutnya ‘si cuek’ berhati dingin.Gilbert itu suka sekali membuat orang kesal karena mulutnya yang tidak bisa dikontrol itu.Laki-laki bersurai hitam itu kini tengah membaca sebuah artikel di ponselnya tiba-tiba didorong oleh seseorang, yang membuatnya hampir jatuh tersungkur. Namun, sayangnya ia melihat jika Adelio lah pelakunya.“ADELIO PENGECUT!” teriaknya di lorong yang dapat didengar oleh Adelio. Laki-laki itu pun tersulut emosinya dengan mempercepat langkah kakinya dan melayangkan sebuah hantaman di pipi Gilbert.Mudah sekali memancing emosi Adelio, hanya bermodalkan mulut saja.Gi
Suasana sedang ramai ditambah guru yang akan masuk ke kelas mereka sakit, jam kosong di kelas mereka. Enzi kini tengah membaca buku novel, namun notifikasi di ponselnya mengalihkan perhatiannya.Gilbert Datangi aku sekarang di rooftop. Enzi mencebik kesal, “Mau apalagi sih dia?”Gadis dengan rambut pirang pendek itu pun berjalan cepat menuju tempat terlarang untuk siswa itu.Walaupun ia hanya dekat dengan Gilbert sebatas adik kakak orang-orang terkadang berasumsi jika mereka menjalin hubungan.
Malam itu Gilbert tengah bersiap-siap untuk pergi dengan Alicia. Ia menyemprotkan parfum mewah di tubuhnya. Orang tua Gilbert adalah seorang pejabat berpangkat tinggi.“Gilbert, uangmu sudah ayah transfer,” ucap ayahnya yang tengah bersantai di ruang keluarga bersama dengan istrinya alias mama tiri Gilbert. “Mau ke mana kamu?”Gilbert yang baru saja turun dari lantai 2 ini pun menegak satu gelas minuman bersoda lalu menjawab ayahnya. “Aku mau jalan.”“Jika nilaimu hancur awas saja,” ucapnya mengancam.Gilbert tidak memedulikan omongan pria itu bahkan ia langsung berjalan ke arah garasi untuk mengambil mobil berwarna hitam dan meninggalkan kediamannya menuju apartemen Alicia.Gilbert &nbs
“Kita ikuti saja apa maunya, karena ini sudah termasuk ancaman. Aku bahkan tidak tahu apa yang dimaksud ‘hadiah spesial’.” Adelio pun mengambil lilin dari bungkusan hitam itu dan tiba-tiba saja listriknya padam kembali dan hanya menyisakan mereka dengan cahaya bulan yang remang-remang. “Nyalakan lilinnya,” suruh Gilbert. “Kita akan berpencar.” “Tapi, Kak….” “Ikuti saja apa maunya.” Mereka pun mengundi untuk mencari pasangan dan Felix yang tidak mendapatkan pasangan dengan terpaksa harus berjalan sendiri. Enzi dan Adelio menuju ke arah kelas 10 yang terletak di lantai dasar, Gilbert bersama Nara yang menuju ke area kolam renang, Alicia dan Letta menuju ke kelas 11 yang berada di lantai 2 dan Felix yang sendiri akan menuju kelas 12 yang terletak di lantai 3. Mereka pun berpencar mencari kunci gerbang yang katanya tersembunyi di sekolah ini. Berbekal dengan rasa takut dan hawa dingin yang tiba-tiba menyeruak yang membuat tengkuk m
“Bagaimana jika kita bertukar posisi, Enzi?” ucapnya dengan seringaian.“Apa maksudmu?”“Aku yang balik merundungmu dan kau jadi tikus mainanku? Bagaimana?”***Setelah kejadian itu seluruh murid diarahkan untuk masuk ke dalam kelas. Mereka semua harus belajar karena sebentar lagi akan diadakan ujian.Semua orang bingung mengapa Mia bisa berbicara seperti itu secara tiba-tiba di depan banyak orang. Apalagi dengan Letta semua orang benar-benar dibuat bingung.“Yakin itu Letta?”“Ya kalian pikir?”“Apa yang terjadi dengan sekolah ini?”Begitulah kira-kira beberapa omongan dari mereka yang tidak tahu kejadian sebenarnya dan hanya sibuk berspekulasi.Sekarang Letta berada di rooftop bersama Alicia, Nara, Felix, Gilbert, dan Enzi, mereka diam-diam menyusup menggunakan kunci yang telah diberikan Adelio kepada Enzi.Pada awalnya hanya
Dua hari telah berlalu. Namun, rumor tentang Adelio masih saja menyelimuti sekolah itu. Mereka tentu saja membicarakannya di belakang laki-laki itu. Siapa yang berani membicarakanya terang-terangan, bahkan identitasnya sebagai anak direktur telah terbongkar.Namun, tidak untuk Alicia, Nara, Letta, Gilbert, Felix dan Enzi.Felix kini menjejakan kakinya di belakang sekolah untuk sekedar mencari udara segar dan memikirkan masalahnya dengan Gilbert. Felix sebenarnya sudah mengetahui bahwa ibunya adalah ibu tiri Gilbert, namun ibunya baru jujur tadi malam.Nyatanya dunia ini begitu sempit.Rasa di hatinya begitu kosong, saat tadi malam ibunya mengajaknya untuk makan malam bersama.Sebuah benda dingin menyengat pipinya tak kala saat ia mendongakan kepalanya ke atas.“Letta!” kagetnya sembari menerima pemberian minuman kaleng itu dari tangan gadis itu.Letta membuka kaleng minumannya lalu menegaknya, lantas Felix memerhatik
“Oh, Felix! Ada apa?” tanyanya.“Aku hanya ingin berkunjung … dan membahas Gilbert sedikit denganmu boleh?” tanyanya kembali lalu memberi bingkisannya. Alicia pun mengiyakan dan mereka melanjutkannya di dalam apartemen milik Alicia.Sebenarnya Alicia hanya sedang bersantai setelah seharian sekolah dan tanpa diduga Felix tiba-tiba mendatanginya dan membahas Gilbert. Awalnya ia pikir hanya membahas ringan, namun dugaannya salah.“Gilbert adalah saudara tiriku, namun ibuku akhir-akhir ini menjadi sok perhatian tanpa sebab. Bukannya aku tidak senang. Namun ia malah membicarakan Gilbert di saat bersamaku membuat muak saja.”Tangan Alicia tergerak untuk memberi sebuah pijatan di bahu Felix untuk menurunkan ketegangan yang ada dan ia pun berhasil karena sekarang laki-laki itu malah terkekeh sambil menangis.Laki-laki itu bingung harus menangisi hidupnya atau menertawakannya sekarang ini. Ia cukup Lelah dengan kea
Alicia kini terduduk di atas ranjangnya. Ia tidak ingin berlama-lama di rumah sakit dan segera menghubungi kakak kembarnya itu untuk membantunya berpindah. Rio ikut membantu agar kelakuan mereka tidak sampai terdengar ke telinga orang tua masing-masing, walaupun lambat laun pasti akan terbongkar juga karena keluarga Danendra tidak mungkin diam saja. Gadis itu sedang sarapan sendirian di dalam kamar sebelum Rio tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya dengan wajahnya yang nampak lesu dari biasanya. “Ketuk pintu dulu!” sentak Alicia dengan mata yang sinis, ia tidak suka orang-orang sembarangan membuka kamarnya. Namun, Rio bebal diberi tahu. Sedangkan yang ditegur hanya menggaruk kepalanya tak gatal sembari tersenyum masam. “Kamu ini anak iblis apa ya?” “Anak kambing!” jawab Alicia dengan nada yang sedikit dihentak, sontak jawaban itu membuat Rio terbahak. Rio pun duduk di tepi ranjang sembari memerhatikan Alicia menghabiskan sarapannya, di mata
Alicia mencoba untuk menerobos masuk ke dalam kamar utama untuk mencari tahu dan membeberkan semua, anak ini benar-benar nekat untuk remaja seusia 18 tahun. Ia bersama Letta mulai mencari bukti itu dibantu oleh Rio tentu saja. Suara sepatu dari luar membuat mereka sedikit tergesa-gesa dan mereka lebih memilih untuk bersembunyi di tempat yang berbeda sembari merapikan tempat-tempat yang mereka acak-acak tadi. Jantung Letta berdesir saat seseorang itu masuk dan mulai mendekati persembunyiannya yang berada di balik tirai di sudut kamar sedangkan Alicia yang melihat itu segera memberikan kode kepada Rio. Untungnya sebelum orang itu semakin curiga Rio yang mengamati situasi pun segera membuat kegaduhan. “Oh maaf, aku terpeleset. Bisakah kamu mengepelnya. Akan bahaya jika orang lewat,” ucapnya sembari tersenyum lebar seperti tidak terjadi apa-apa. Belum sampai semenit, orang itu menyerangnya tiba-tiba, namun orang yang menemani Rio itu cepat datang
“Aku tidak akan pergi karena ini juga acaraku.” Rio dari luar hanya terkekeh melihat drama yang ia perbuat itu. Pemadaman lampu itu adalah ulahnya itulah sebab ia berpisah dengan Alicia tadinya. Ia membawa seseorang untuk menjaga listrik. Terukir senyuman di bibir saat Nara mulai menjalankan perannya. Rio yang melihat Alicia membawa Letta keluar pun segera menyusulnya. "Alicia!" panggil Rio dari arah pintu masuk. Langkah kedua gadis itu pun terhenti, Alicia membiarkan Rio membawa Letta entah ke mana sedangkan Alicia sendiri harus kembali ke dalam untuk mencari apa yang ia cari. Letta dan Rio akhirnya menuju parkir dan mereka pun berdiam di sana untuk menunggu kelanjutan peran mereka. Namun, belum sampai lima menit terlihat seseorang hendak mendatangi mobil Rio. "Letta sembunyi di belakang cepat," suruhnya sembari membantu gadis itu karena bajunya yang dikenakannya cukup membuat kerusuhan di dalam mobil. Rio pun menurunkan
Di sebuah kamar seorang gadis duduk di depan meja riasnya ditemani sinar mentari kejingaan yang menandakan sang Surya akan segera menghilang. Gadis yang menggunakan piyama berwarna coklat keemasan itu tersenyum simpul saat ia duduk di depan cermin. "Drama kehidupan begitu kejam ya. Tapi, mereka sendiri yang membuat keadaan sulit untuk diri mereka," monolognya sembari mengatur rambutnya dan mulai meriasi wajahnya dengan make up. Alicia memilih untuk memakai pakaian yang cukup elegan, ia memilih untuk menggunakan dress berwarna abu-abu dengan sepatu heels yang telah disiapkan dan rambut yang sudah diatur sedemikian rupa untuk pesta formal malam ini. Setelah selesai dengan kegiatannya itu ia keluar balkon dan duduk di sana menikmati warna langit yang perlahan memunculkan bintangnya. Ponselnya berdering saat ia hendak menelpon Felix, terpampang jelas di sana ada nama Letta. “Aku di dekatnya,” ucap Letta dari seberang
Di malam hari, Felix akhirnya mendengarkan apa kata Letta, walaupun tadi mereka sempat berdebat kecil karena Felix yang tiba-tiba keras kepala tidak mau mendengarkan. Namun setelah Letta menghampiri kediamannya hati Felix terbuka. Mereka memasuki rumah sakit tersebut. Felix bersama Letta masuk ke ruangan tersebut sedangkan Alicia dan Nara lebih memilih untuk menunggu mereka dari luar karena tidak boleh terlalu banyak orang yang menjenguk. Felix duduk di sebelah ranjang sembari melihat ibunya yang tengah berbaring dengan selang serta alat bantu yang lainnya. Letta menepuk pundak laki-laki itu saat ia ingin menumpahkan air matanya. “Menangislah, aku tidak akan berbicara apapun,” ucap Letta pelan dan saat itu juga ia melihat bahu Felix bergetar menandakan laki-laki itu tengah menangis. Dari belakang Letta hanya bisa mendengar suara isakan kecil Felix. Namun, setelah itu suara dari alat berbentuk kotak itu mengalihkan mereka berdua. Letta keluar d
Sesuai dengan perkataannya, Valerio dengan para staff sekolah akhirnya berdiskusi mengenai masalah ini. Suasana di ruangan ini menegang saat Valerio mulai duduk di kursinya dan memulai pembicaraan. "Saya akan mulai pembicaraan ini, mengenai skandal yang tengah terjadi," ucapnya memulai pembicaraan berat ini. Semua orang di sana menegang, jantung mereka berdegup kencang tidak karuan karena mereka belum dapat mendapatkan pelakunya. Kepala sekolah yang baru saja datang dengan tergesa-gesa itu pun menarik perhatian orang-orang di sana. Terlihat di tanganya ada sebuah amplop coklat lalu ia mengeluarkan beberapa foto dari sana dan memperlihatkannya kepada Valerio, tentu saja laki-laki itu sekarang agak terkejut dan meragukan sang Kepala sekolah. Valerio menarik napasnya untuk tidak meledak sekarang juga, ia tidak pernah berpikir jika kandidat pelakunya adalah gadis yang ia kenal cukup baik. Valerio denial akan hal itu dan semakin berpikir jik
Sudah pasti suasana di seklolah ini menjadi chaos.Murid-murid yang sempat merekamnya pun diminta untuk tidak menyebarkan rekaman itu ke mana-mana atau akan ada sanksi berat menunggu mereka. Valerio yang mendengar hal ini pun langsung turun ke sekolah karena itu akan membahayakan reputasinya. Laki-laki ini melangkahkan kakinya di antara murid-murid sekolah ini. Hanya sedikit dari mereka yang tahu jika Valerio adalah ayahnya Adelio. Saat datang ke ruang kepala sekolah ia mendudukan dirinya ke sofa empuk berwarna merah tersebut lalu menatap kepadasang Kepala sekolah dengan tatapan yang tajam, menyiratkan makna bahwa ia tidak main-main sekarang. "Bagaimana bisa ada rekaman itu dan bocor?" tanyanya sembari menyesap kopi yang telah disediakan. "Saya masih menyelidikinya, dan akan segera memberitahu anda dengan segera," ujar kepala sekolah itu dengan percaya diri. Valerio sedikit menghentak cangkir itu yang membuat orang ya
"Jadi, kamu pilih penawaranku atau tetap mau bersikeras Danendra?" Akhirnya Adelio lebih memilih untuk pasrah seutuhnya. Ia menyatakan akan memilih penawaran Alicia walaupun ia sendiri tidak yakin dengan pilihannya itu. Ia takut ayahnya akan mengamuk, tapi jika Alicia mempersulitnya sepertinya akan lebih daripada itu. Koneksi Alicia juga tidak kalah mengerikan dari dirinya, perempuan ini cukup manipulatif. Setelah itu Nara berjongkok untuk melihat wajah laki-laki itu. "Ingat, jika kamu masih bermain-main akan ada lebih banyak cara mempermalukanmu setelah ini." Adelio mengepalkan tangannya. Ia ingin marah, tapi ia tahu itu hanya akan memperparah keadaan dan yang hanya dapat ia lakukan hanya menghela napas berat sembari mengusap darah yang muncul dari sudut bibirnya. Dia kalah. Alicia dan Nara pun meninggalkannya sendirian di sana menuju ruangan mereka yang berada di belakang gedung itu. Sepanjang jalan Nara menjadi pusat perhatian dan m
"HAHAHA, CINTAMU MENJADI NERAKA, CONGRATULATIONS!" teriak Letta, bahkan gadis itu sekarang tertawa terbahak, namun terlihat jelas itu adalah bukan tertawaan senang. Ia tertawa dengan pipi yang basah, bibir yang terluka dan tentu saja hati yang terluka. Semua terdiam, pandangan mereka mengarah ke Letta sekarang. Gadis itu terlihat menyedihkan. Nara datang setelah pertikaian antara Adelio dan Letta itu terjadi, terlihat ia sedang mengemut permen dengan tatapan mata yang santai, karena ia tahu ini semua akan terjadi. Rencananya berjalan dengan lancar rupanya. "Kenapa tidak dilanjutkan?" Orang-orang di sana terdiam mendengar perkataannya. "Adelio, aku tahu kamu memang pintar, tapi kenapa memilih jalan curang? Bodoh sekali." Adelio masih tetap bergeming menengarkan ocehan Nara yang terlihat sangat arogan di depannya. Padahal ia pun sama saja. Nara mencoba mendekati Adelio lalu menamparnya. Semua orang terkejut dengan sikap Nara yang