Setelah 3 bulan insiden itu berlalu, daftar anak yang ditakuti pun bertambah, yaitu Seana Alicia yang cukup disegani karena ia adalah seseorang yang dinilai cukup berpengaruh apalagi setelah kejadian itu, Enzi menjadi tidak berani terang-terangan merundung di depannya, walaupun tetap saja.
Ini cukup mengganjal.
Kini Enzi duduk di tribun sekolah bersama dengan Gilbert menyaksikan kelas MIPA 6 yang sedang bermain bola basket karena ini jam pelajaran, maka dapat disimpulkan mereka tengah memasuki materi itu.
“Kak, kamu tidak masuk kelas?” tanya Enzi yang tengah mengemut permennya.
Gilbert yang memperhatikan anak-anak mipa 6 pun terpecah fokusnya. “Kelas sedang jam kosong.”
“Oh begitu rupanya,” balas Enzi sambil mengangguk.
Sebenarnya pun Gilbert ke tribun ini karena melihat Alicia dan Enzi. Pikirannya adalah sambil menyelam minum air karena ada sesuatu yang ingin ia ketahui dari Enzi dan juga ingin melihat pesona Alicia yang sedang ramain diperbincangkan akhir-akhir ini.
Gilbert yang awalnya hanya terfokus oleh seorang gadis di lapangan pun kini mulai menanyai Enzi tentang kejadian sewaktu mereka makrab malam itu.
Enzi menatap Gilbert dengan dalam, ia sejujurnya ingin menceritakannya. Namun ia terlalu takut jika laki-laki di hadapannya ini akan membocorkan cerita aslinya itu kepada yang lain.
Orang-orang yang terlibat hanya tahu bahwa mereka terpeleset karena hari sedang hujan sehingga reputasi sekolah tidak akan begitu tercemar jika sewaktu-waktu cerita ini bocor ke khalayak luas.
Akhirnya Enzi bercerita bahwa mereka hanya terpeleset sewaktu mencari bendera di permainan malam itu karena terlalu gelap dan tanah yang basah serta licin. Sesimpel itu saja yang dapat ia ceritakan. Namun, Gilbert tetap tidak menyerah, pasti ada sesuatu yang lain karena menurutnya terlalu janggal jika hanya terpeleset tetapi pemulihan sampai 2 bulan. Itu sangat tidak masuk akal.
“Jika kalian mencari bendera, mengapa kalian bisa bersama padahal kalian berbeda kelompok?” kata Gilbert yang mulai merasa senang karena terlihat dari mata Enzi yang mulai terlihat kebingungan untuk menjelaskan.
Gilbert menatap mata Enzi sedikit lama sedangkan gadis itu langsung memalingkan wajahnya dan sesuai dengan dugaan Gilbert.
"Kami tidak sengaja bertemu."
‘Gotcha! kamu bohong ‘kan? Haha,’ batin Gilbert dengan senang. Ia merasa akan mendapatkan informasi baru dari Enzi.
***
Felix dan Alicia yang melihat dari bawah pun berdiskusi untuk apa kedua orang itu berada di tribun sana dengan wajah yang terlihat tegang dan Gilbert yang terlihat menunjukkan senyum miring yang tidak dapat diartikan.
Kedua orang ini merasakan ada yang aneh dengan kakak kelasnya itu. Tidak biasanya ia mendatangi Enzi apalagi dahulu ia sangat tidak peduli dengan anak famous yang satu itu, jangankan peduli melirik saja enggan, dan sekarang mereka akhir-akhir ini terlihat dekat bahkan saat sebelum makrab dilaksanakan.
“Menurutmu apa yang kak Gilbert rencanakan?” tanya Felix sambil membuka air mineral di pinggir lapangan bersama Alicia.
Alicia mengernyitkan dahinya sambil berpikir keras. “Kau tahu tidak? Kak Gilbert termasuk orang yang cukup onar, tetapi cara dia berbuat onar saja yang berbeda.”
Ekspresi Felix menunjukkan bahwa ia tak mengerti dengan apa yang ia bicarakan barusan. Alicia yang melihat wajahnya itu langsung menjelaskan bahwa Gilbert adalah tipe orang yang berbuat onar dengan menyebarkan fakta-fakta ataupun rumor yang mencengangkan.
“Dia akan berbuat onar jika dirasa dapat menimbulkan atensi yang besar. Entah itu untuk dirinya ataupun untuk orang lain.”
Itulah alasan di balik semua sikap baiknya. Orang yang mengetahui sifatnya seperti itu hanya beberapa dan alasan kenapa Alicia mengetahuinya karena berdasarkan kejadian sebelumnya Alicia sudah bisa membaca karakter Gilbert yang dominan seperti apa.
Gadis ini tersenyum saat Gilbert menatapnya lekat-lekat dari kejauhan lalu segera memalingkan wajahnya dan kembali berpura-pura berbicara kepada Felix, padahal sebenarnya pun ia tidak suka.
“Kau ini menang banyak ya,” goda Felix. "Jangan lupa pajak jadian."
Alicia memalingkan wajahnya. “Apa maksudmu?”
Felix pun terkekeh. “Kau bisa manfaatkan kak Gilbert jika ia benar jatuh hati sama kamu. It’s a big chance, Alicia.”
Alicia tersenyum miring lalu memukul pelan bahu Felix sambil tertawa dan sekejap kemudian kembali memasang ekspresi wajah datar. “Are you wanna die?”
***
Jam makan siang Letta pergi sendirian tanpa Alicia. Jujur saja ia merasa tidak enak jika terus-terusan bergantung kepada gadis itu sedangkan mereka saja berbeda kelas. Alicia di kelas MIPA 6 dan dia yang berada di kelas MIPA 2.
'Mengapa aku menjadi bergantung padanya?' pikir Letta
Tiba-tiba sebuah mangkuk berisi bakso tersaji di depannya bersama dengan minuman es teh yang sangat menyegarkan dan ternyata pelakunya adalah Adelio.
“A-ada apa? M-mengapa makan di depanku?” tanya Letta terbata-bata.
Adelio pun berbicara seperti orang berbisik, “Tidak mungkin kamu lupakan ‘kan yang kemarin?”
Letta menelan salivanya, jujur saja ia tidak sama sekali berniat untuk mencari tahu tentang Alicia dan menjadi mata-matanya Adelio.
Gadis ini berusaha tenang sebisa mungkin dan mulai merangkai kata demi kata di dalam kepalanya. Dan Adelio pun mulai mengintrogasinya.
“Apa aktivitas terbaru, apa ada yang penting?” tanyanya sambil mengaduk-aduk makanannya dan mulai menyantapnya.
Letta yang telah menghabiskan makanannya pun membereskan peralatan makan dan meminggirkannya. “Tidak ada yang penting. Ia hanya berdekatan dengan Felix. Namun, akhir-akhir ini ia seperti diincar oleh kakak kelas.”
Adelio pun menatap mata Letta seakan-akan menagih jawaban yang jelas darinya. “Kak Gilbert.”
Setelah itu Letta pergi meninggalkan Adelio yang masih menyantap makanannya dengan tenang walaupun pikirannya berhasil dibuyarkan oleh pernyataan Letta kurang dari 1 menit yang lalu.
***
Gilbert tidak sengaja mendengar obrolan Adelio. Awalnya ia penasaran dengan sikap laki-laki itu yang dengan senang hati makan di depan Letta. Ia pun akhirnya memutuskan untuk makan dengan membelakangi Adelio.
Letta pun tidak sadar saat itu.
“Tidak ada yang penting. Ia hanya berdekatan dengan Felix. Namun, akhir-akhir ini ia seperti diincar oleh kakak kelas.”
“Kak Gilbert.”
Gilbert yang mendengar hal itu pun tersenyum sembari memakan kentang gorengnya. Tak meyangka Letta lihai dalam membaca bahasa tubuh orang. Gilbert harus memberinya sedikit apresiasi mungkin?
‘Tunggu aku pulang sekolah, Letta.’
Laki-laki itu menghabiskan kentang gorengnya. Namun, sebelum ia hendak berdiri menuju kelas sebuah tangan mendarat di pundaknya. Pelakunya adalah Adelio.
Rupanya Adelio menyadari adanya Gilbert di situ. Laki-laki ini lantas berpindah tempat ke hadapan Gilbert.
Selesai dengan makanan masing-masing mereka mulai membicarakan Alicia dengan nada yang santai. Namun, kata-kata yang terlontarkan oleh mulut mereka saling mengisyaratkan satu sama lain.
***
Brakk!
“Kau ini memantangku ya?” ucap Enzi kepada Letta yang sekarang berada di tengah-tengah Enzi dan kawanannya.
Alasan mengapa Letta pergi secepatnya dari Adelio adalah selain menghindari laki-laki itu ia menghindari tatapan Enzi dari sudut kantin yang tengah menatapnya tajam. Terlihat gadis itu tidak suka dirinya berdekatan dengan Adelio.
Lagi-lagi Letta tidak bisa melawan. Hanya bisa tertunduk dengan wajah yang sayu seperti orang yang ingin menangis walaupun ia sekarang tidak menangis. Gadis ini tidak mau menunjukkan betapa lemahnya ia.
Enzi menendang kakinya sampai menimbulkan ruam merah, di dahinya pun sama. Letta sempat terbentur saat Enzi mendorongnya di gudang belakang sekolah yang sempit ini.
Rahang Letta ditekan keras oleh gadis itu yang membuat Letta meringis. “Dekati saja Adelio jika kau masih mau hadiah dariku!”
Enzi dan kawannya pun pergi saat bel berbunyi dan meninggalkan Letta sendirian di sana yang mulai menangisi dirinya.
Letta terlihat sudah pasrah sekali dengan dirinya. Namun, saat Enzi dan kawanannya pergi datanglah seorang cleaning service membantunya mengobati lukanya dengan p3k yang ia punya.
“Terima kasih.”
Sebuah suara berhasil mengalikan perhatian Letta, dilihatnya seperti bayangan seseorang di balik pintu, terdengar jelas suara orang yang berlari karena panik. Letta memberanikan diri untuk mengejarnya.
Gadis ini tak pantang menyerah ia bahkan mengejarnya sampai ke kolam renang. Namun, saat ia ingin mengejarnya ternyata siswa dan siswi dari kelas lain ingin memakai fasilitas sekolah tersebut. Letta kehilangan jejaknya.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya ketua kelas.
Letta segera pergi meninggalkan tempat itu dan kembali menuju kelasnya dengan keadaan yang sedikit berantakan.
Ia mengendap-endap saat memasuki kelas. Namun, selalu saja teman-temannya ada yang menjahilinya dengan membuat sedikit kegaduhan dan guru yang tadinya tidak sadar menjadi mengetahui bahwa ada salah seorang murid yang terlambat masuk ke kelasnya.
“Letta, kamu tahukan peraturan di kelas saya?” Letta mengangguk lemah.
“Bu, beri saya kesempatan sekali saja ya?” pintanya penuh harap.
Guru itu menggeleng dan menunjuk ke arah pintu sebagai isyarat bahwa gadis berambut coklat ini harus meninggalkan kelasnya saat itu juga.
Letta pun keluar dari sana. Berjalan ke arah rooftop sekolah secara diam-diam, karena murid dilarang keras untuk ke atas sana.
Ia mulai duduk di salah satu kursi-kursi yang tak terpakai di sana dan menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya sekarang dan mulai membicarakan kekurangannya sendiri.
“Sampai kapan kamu akan menghujat dirimu sendiri? Lebih baik kamu cari power-mu. Don’t waste your time.” Alicia keluar dari balik terpal biru yang menutupi kursi-kursi tak terpakai itu.
Gadis bermata besar dan sinis ini sekarang berada di hadapan Letta dengan tangan terlipat di dada dan rambut panjangnya yang tertiup angin menambah kesan cool di dirinya. Letta yang melihatnya saja seperti melihat diri Alicia yang lain.
Alicia tersenyum miring melihat Letta yang terdiam melihatnya. Sungguh, Alicia cukup muak dengan semuanya, sebab itu ia merasa ini adalah waktu yang tepat untuk membuat kekacauan secara perlahan.
“Jika kamu mau melawan Enzi, Gilbert, Adelio dan semua yang membuatmu muak besok jam delapan malam temui aku di sini,” ucap Alicia sembari memberikan secarik kertas berwarna biru ke tangan Letta. “Hapus air matamu. Cukup sampai hari ini kau menangisi mereka.”
Letta menerimanya lalu dengan segera menghapus air matanya. Kini terpancar dari matanya bahwa ia akan bangkit membalaskan semua perlakuan yang tak adil yang ia terima selama ini. Bahkan secarik kertas yang tadinya hanya terlipat menjadi 2 kini menjadi sebuah bola kertas di tangan Letta.
Alicia menepuk pundak Letta pelan, lalu turun dari sana meninggalkan gadis itu sendirian.
“Mari kita mulai dramanya,” kata Alicia.
***
Sepulang sekolah Gilbert benar-benar menunggu Letta untuk membawanya ke ruang musik. Ia menunggu tepat di depan kelas sampai akhirnya Letta muncul setelah 15 menit menunggu. Gadis itu baru mau turun dari sana setelah sekolah sepi, padahal di saat waktu itu ia akan sangat mudah dimangsa.
Saat di ruang musik Gilbert mengunci pintunya dari dalam dan mulai mengintrogasi gadis itu sambil bermain piano dengan tenang menanyainya segala sesuatu tentang Alicia seperti makanan kesukaannya dan sebagainya. Sedangkan Letta hanya menjawab sesuai apa yang ia ketahui saja.
Gilbert mengelus pucuk kepalanya lalu berkata, “Letta pintar. Aku bangga padamu jika seperti ini.”
Letta tetap tak bergeming. “B-bisakah k-kamu tidak seperti itu.”
“Jadilah bonekaku. Ikuti semua kata-kataku dan berikan informasi Alicia kepadaku lalu ke Adelio, paham?”
Gilbert yang awalnya menekan tuts piano secara teratur kini menekannya secara bersamaan yang menimbulkan suara yang cukup mengagetkan. Ia berbicara kepada Letta agar tidak menkhianatinya jika tidak mau menganggung akibatnya. Dan setelah itu ia meninggalkan Letta sendirian di sana sembari membanting pintu.
“DASAR LAKI-LAKI GILA!”
Mereka tak sadar bahwa sedari tadi pembicaraan ada yang mengupingi mereka. “Woah, scandal maker ternyata juga sama brengseknya.”
3 bulan sebelumnya…."Maaf, tetapi harga diri saya tidak serendah itu untuk mengalah demi anak Mami."Dua minggu setelah insiden itu Alicia, Letta dan Enzi pun dipanggil untuk disidang. Letta dimintai keterangan atas apa yang terjadi pada siang hari itu, disaat Enzi merundung Letta.Tapi, rasanya Letta mau menjelaskan serinci apapun hanya akan dianggap angin lalu dan kalaupun ia punya bukti pasti akan ada 1001 alibi dari kepala sekolah agar Enzi tetap menjadi korban di kasus ini.“Pak, saya tidak ada memukulinya,” tegas Letta dengan tangan terkepal yang berada di pahanya sedangkan Enzi yang berada di sebelah kirinya langsung bereaksi begitu gadis itu menyatakan pernyatannya.“Kau memukuli! Kau tidak ingat?” histeris Enzi dengan mata yang melotot ke arah Letta sambil menangis, sedangkan Letta membuang mukanya ke arah sebaliknya.Reaksi orang di sekitar bahkan hanya terdiam sambil menikmati apa yang terjadi di de
Letta melangkahkan kakinya untuk menuju ke kasur besar milik Alicia. Namun perhatiannya mengarah ke meja belajarnya. Ia mulai membuka kertas yang terjatuh dari buku Alicia.“Ini kertas….”“Yah … aku ketahuan.”Letta yang tersadar pemilik kamar masuk pun langsung membereskan kertas itu dan meminta maaf.“Privasi sih sebenarnya, tapi ya sudahlah” ucap Alicia sambil menaruh air minum di atas meja belajarnya dan merapikan yang telah diperbuat Letta. “Aku tahu kau dulu anak orang kaya hanya saja kekayaanmu … dirampok oleh salah satu dari mereka?”“Bagaimana kau tahu?” tanya Letta terkejut.“Ada pertanyaan lebih menarik, bagaimana kau rela dimanfaatkan oleh mereka bertiga?”Kertas yang tidak sengaja dibaca oleh Letta adalah selembar isi surat dari Gilbert yang menyatakan isi hatinya kepada Alicia.Alicia pun berkata bahwa ia mengetahui kejadi
Setelah bertemu dengan Letta ia pun berjalan menuju lokernya dan mendapati hoodie berwarna abu-abu yang diberi oleh mantannya. Lalu, ia menyusup ke kamar mandi perempuan dan menaruhnya di atas wastafel.Itu adalah milik Gilbert, nyatanya laki-laki ini masih memiliki kepedulian yang cukup tinggi walaupun orang-orang sering menyebutnya ‘si cuek’ berhati dingin.Gilbert itu suka sekali membuat orang kesal karena mulutnya yang tidak bisa dikontrol itu.Laki-laki bersurai hitam itu kini tengah membaca sebuah artikel di ponselnya tiba-tiba didorong oleh seseorang, yang membuatnya hampir jatuh tersungkur. Namun, sayangnya ia melihat jika Adelio lah pelakunya.“ADELIO PENGECUT!” teriaknya di lorong yang dapat didengar oleh Adelio. Laki-laki itu pun tersulut emosinya dengan mempercepat langkah kakinya dan melayangkan sebuah hantaman di pipi Gilbert.Mudah sekali memancing emosi Adelio, hanya bermodalkan mulut saja.Gi
Suasana sedang ramai ditambah guru yang akan masuk ke kelas mereka sakit, jam kosong di kelas mereka. Enzi kini tengah membaca buku novel, namun notifikasi di ponselnya mengalihkan perhatiannya.Gilbert Datangi aku sekarang di rooftop. Enzi mencebik kesal, “Mau apalagi sih dia?”Gadis dengan rambut pirang pendek itu pun berjalan cepat menuju tempat terlarang untuk siswa itu.Walaupun ia hanya dekat dengan Gilbert sebatas adik kakak orang-orang terkadang berasumsi jika mereka menjalin hubungan.
Malam itu Gilbert tengah bersiap-siap untuk pergi dengan Alicia. Ia menyemprotkan parfum mewah di tubuhnya. Orang tua Gilbert adalah seorang pejabat berpangkat tinggi.“Gilbert, uangmu sudah ayah transfer,” ucap ayahnya yang tengah bersantai di ruang keluarga bersama dengan istrinya alias mama tiri Gilbert. “Mau ke mana kamu?”Gilbert yang baru saja turun dari lantai 2 ini pun menegak satu gelas minuman bersoda lalu menjawab ayahnya. “Aku mau jalan.”“Jika nilaimu hancur awas saja,” ucapnya mengancam.Gilbert tidak memedulikan omongan pria itu bahkan ia langsung berjalan ke arah garasi untuk mengambil mobil berwarna hitam dan meninggalkan kediamannya menuju apartemen Alicia.Gilbert &nbs
“Kita ikuti saja apa maunya, karena ini sudah termasuk ancaman. Aku bahkan tidak tahu apa yang dimaksud ‘hadiah spesial’.” Adelio pun mengambil lilin dari bungkusan hitam itu dan tiba-tiba saja listriknya padam kembali dan hanya menyisakan mereka dengan cahaya bulan yang remang-remang. “Nyalakan lilinnya,” suruh Gilbert. “Kita akan berpencar.” “Tapi, Kak….” “Ikuti saja apa maunya.” Mereka pun mengundi untuk mencari pasangan dan Felix yang tidak mendapatkan pasangan dengan terpaksa harus berjalan sendiri. Enzi dan Adelio menuju ke arah kelas 10 yang terletak di lantai dasar, Gilbert bersama Nara yang menuju ke area kolam renang, Alicia dan Letta menuju ke kelas 11 yang berada di lantai 2 dan Felix yang sendiri akan menuju kelas 12 yang terletak di lantai 3. Mereka pun berpencar mencari kunci gerbang yang katanya tersembunyi di sekolah ini. Berbekal dengan rasa takut dan hawa dingin yang tiba-tiba menyeruak yang membuat tengkuk m
“Bagaimana jika kita bertukar posisi, Enzi?” ucapnya dengan seringaian.“Apa maksudmu?”“Aku yang balik merundungmu dan kau jadi tikus mainanku? Bagaimana?”***Setelah kejadian itu seluruh murid diarahkan untuk masuk ke dalam kelas. Mereka semua harus belajar karena sebentar lagi akan diadakan ujian.Semua orang bingung mengapa Mia bisa berbicara seperti itu secara tiba-tiba di depan banyak orang. Apalagi dengan Letta semua orang benar-benar dibuat bingung.“Yakin itu Letta?”“Ya kalian pikir?”“Apa yang terjadi dengan sekolah ini?”Begitulah kira-kira beberapa omongan dari mereka yang tidak tahu kejadian sebenarnya dan hanya sibuk berspekulasi.Sekarang Letta berada di rooftop bersama Alicia, Nara, Felix, Gilbert, dan Enzi, mereka diam-diam menyusup menggunakan kunci yang telah diberikan Adelio kepada Enzi.Pada awalnya hanya
Dua hari telah berlalu. Namun, rumor tentang Adelio masih saja menyelimuti sekolah itu. Mereka tentu saja membicarakannya di belakang laki-laki itu. Siapa yang berani membicarakanya terang-terangan, bahkan identitasnya sebagai anak direktur telah terbongkar.Namun, tidak untuk Alicia, Nara, Letta, Gilbert, Felix dan Enzi.Felix kini menjejakan kakinya di belakang sekolah untuk sekedar mencari udara segar dan memikirkan masalahnya dengan Gilbert. Felix sebenarnya sudah mengetahui bahwa ibunya adalah ibu tiri Gilbert, namun ibunya baru jujur tadi malam.Nyatanya dunia ini begitu sempit.Rasa di hatinya begitu kosong, saat tadi malam ibunya mengajaknya untuk makan malam bersama.Sebuah benda dingin menyengat pipinya tak kala saat ia mendongakan kepalanya ke atas.“Letta!” kagetnya sembari menerima pemberian minuman kaleng itu dari tangan gadis itu.Letta membuka kaleng minumannya lalu menegaknya, lantas Felix memerhatik
Alicia kini terduduk di atas ranjangnya. Ia tidak ingin berlama-lama di rumah sakit dan segera menghubungi kakak kembarnya itu untuk membantunya berpindah. Rio ikut membantu agar kelakuan mereka tidak sampai terdengar ke telinga orang tua masing-masing, walaupun lambat laun pasti akan terbongkar juga karena keluarga Danendra tidak mungkin diam saja. Gadis itu sedang sarapan sendirian di dalam kamar sebelum Rio tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya dengan wajahnya yang nampak lesu dari biasanya. “Ketuk pintu dulu!” sentak Alicia dengan mata yang sinis, ia tidak suka orang-orang sembarangan membuka kamarnya. Namun, Rio bebal diberi tahu. Sedangkan yang ditegur hanya menggaruk kepalanya tak gatal sembari tersenyum masam. “Kamu ini anak iblis apa ya?” “Anak kambing!” jawab Alicia dengan nada yang sedikit dihentak, sontak jawaban itu membuat Rio terbahak. Rio pun duduk di tepi ranjang sembari memerhatikan Alicia menghabiskan sarapannya, di mata
Alicia mencoba untuk menerobos masuk ke dalam kamar utama untuk mencari tahu dan membeberkan semua, anak ini benar-benar nekat untuk remaja seusia 18 tahun. Ia bersama Letta mulai mencari bukti itu dibantu oleh Rio tentu saja. Suara sepatu dari luar membuat mereka sedikit tergesa-gesa dan mereka lebih memilih untuk bersembunyi di tempat yang berbeda sembari merapikan tempat-tempat yang mereka acak-acak tadi. Jantung Letta berdesir saat seseorang itu masuk dan mulai mendekati persembunyiannya yang berada di balik tirai di sudut kamar sedangkan Alicia yang melihat itu segera memberikan kode kepada Rio. Untungnya sebelum orang itu semakin curiga Rio yang mengamati situasi pun segera membuat kegaduhan. “Oh maaf, aku terpeleset. Bisakah kamu mengepelnya. Akan bahaya jika orang lewat,” ucapnya sembari tersenyum lebar seperti tidak terjadi apa-apa. Belum sampai semenit, orang itu menyerangnya tiba-tiba, namun orang yang menemani Rio itu cepat datang
“Aku tidak akan pergi karena ini juga acaraku.” Rio dari luar hanya terkekeh melihat drama yang ia perbuat itu. Pemadaman lampu itu adalah ulahnya itulah sebab ia berpisah dengan Alicia tadinya. Ia membawa seseorang untuk menjaga listrik. Terukir senyuman di bibir saat Nara mulai menjalankan perannya. Rio yang melihat Alicia membawa Letta keluar pun segera menyusulnya. "Alicia!" panggil Rio dari arah pintu masuk. Langkah kedua gadis itu pun terhenti, Alicia membiarkan Rio membawa Letta entah ke mana sedangkan Alicia sendiri harus kembali ke dalam untuk mencari apa yang ia cari. Letta dan Rio akhirnya menuju parkir dan mereka pun berdiam di sana untuk menunggu kelanjutan peran mereka. Namun, belum sampai lima menit terlihat seseorang hendak mendatangi mobil Rio. "Letta sembunyi di belakang cepat," suruhnya sembari membantu gadis itu karena bajunya yang dikenakannya cukup membuat kerusuhan di dalam mobil. Rio pun menurunkan
Di sebuah kamar seorang gadis duduk di depan meja riasnya ditemani sinar mentari kejingaan yang menandakan sang Surya akan segera menghilang. Gadis yang menggunakan piyama berwarna coklat keemasan itu tersenyum simpul saat ia duduk di depan cermin. "Drama kehidupan begitu kejam ya. Tapi, mereka sendiri yang membuat keadaan sulit untuk diri mereka," monolognya sembari mengatur rambutnya dan mulai meriasi wajahnya dengan make up. Alicia memilih untuk memakai pakaian yang cukup elegan, ia memilih untuk menggunakan dress berwarna abu-abu dengan sepatu heels yang telah disiapkan dan rambut yang sudah diatur sedemikian rupa untuk pesta formal malam ini. Setelah selesai dengan kegiatannya itu ia keluar balkon dan duduk di sana menikmati warna langit yang perlahan memunculkan bintangnya. Ponselnya berdering saat ia hendak menelpon Felix, terpampang jelas di sana ada nama Letta. “Aku di dekatnya,” ucap Letta dari seberang
Di malam hari, Felix akhirnya mendengarkan apa kata Letta, walaupun tadi mereka sempat berdebat kecil karena Felix yang tiba-tiba keras kepala tidak mau mendengarkan. Namun setelah Letta menghampiri kediamannya hati Felix terbuka. Mereka memasuki rumah sakit tersebut. Felix bersama Letta masuk ke ruangan tersebut sedangkan Alicia dan Nara lebih memilih untuk menunggu mereka dari luar karena tidak boleh terlalu banyak orang yang menjenguk. Felix duduk di sebelah ranjang sembari melihat ibunya yang tengah berbaring dengan selang serta alat bantu yang lainnya. Letta menepuk pundak laki-laki itu saat ia ingin menumpahkan air matanya. “Menangislah, aku tidak akan berbicara apapun,” ucap Letta pelan dan saat itu juga ia melihat bahu Felix bergetar menandakan laki-laki itu tengah menangis. Dari belakang Letta hanya bisa mendengar suara isakan kecil Felix. Namun, setelah itu suara dari alat berbentuk kotak itu mengalihkan mereka berdua. Letta keluar d
Sesuai dengan perkataannya, Valerio dengan para staff sekolah akhirnya berdiskusi mengenai masalah ini. Suasana di ruangan ini menegang saat Valerio mulai duduk di kursinya dan memulai pembicaraan. "Saya akan mulai pembicaraan ini, mengenai skandal yang tengah terjadi," ucapnya memulai pembicaraan berat ini. Semua orang di sana menegang, jantung mereka berdegup kencang tidak karuan karena mereka belum dapat mendapatkan pelakunya. Kepala sekolah yang baru saja datang dengan tergesa-gesa itu pun menarik perhatian orang-orang di sana. Terlihat di tanganya ada sebuah amplop coklat lalu ia mengeluarkan beberapa foto dari sana dan memperlihatkannya kepada Valerio, tentu saja laki-laki itu sekarang agak terkejut dan meragukan sang Kepala sekolah. Valerio menarik napasnya untuk tidak meledak sekarang juga, ia tidak pernah berpikir jika kandidat pelakunya adalah gadis yang ia kenal cukup baik. Valerio denial akan hal itu dan semakin berpikir jik
Sudah pasti suasana di seklolah ini menjadi chaos.Murid-murid yang sempat merekamnya pun diminta untuk tidak menyebarkan rekaman itu ke mana-mana atau akan ada sanksi berat menunggu mereka. Valerio yang mendengar hal ini pun langsung turun ke sekolah karena itu akan membahayakan reputasinya. Laki-laki ini melangkahkan kakinya di antara murid-murid sekolah ini. Hanya sedikit dari mereka yang tahu jika Valerio adalah ayahnya Adelio. Saat datang ke ruang kepala sekolah ia mendudukan dirinya ke sofa empuk berwarna merah tersebut lalu menatap kepadasang Kepala sekolah dengan tatapan yang tajam, menyiratkan makna bahwa ia tidak main-main sekarang. "Bagaimana bisa ada rekaman itu dan bocor?" tanyanya sembari menyesap kopi yang telah disediakan. "Saya masih menyelidikinya, dan akan segera memberitahu anda dengan segera," ujar kepala sekolah itu dengan percaya diri. Valerio sedikit menghentak cangkir itu yang membuat orang ya
"Jadi, kamu pilih penawaranku atau tetap mau bersikeras Danendra?" Akhirnya Adelio lebih memilih untuk pasrah seutuhnya. Ia menyatakan akan memilih penawaran Alicia walaupun ia sendiri tidak yakin dengan pilihannya itu. Ia takut ayahnya akan mengamuk, tapi jika Alicia mempersulitnya sepertinya akan lebih daripada itu. Koneksi Alicia juga tidak kalah mengerikan dari dirinya, perempuan ini cukup manipulatif. Setelah itu Nara berjongkok untuk melihat wajah laki-laki itu. "Ingat, jika kamu masih bermain-main akan ada lebih banyak cara mempermalukanmu setelah ini." Adelio mengepalkan tangannya. Ia ingin marah, tapi ia tahu itu hanya akan memperparah keadaan dan yang hanya dapat ia lakukan hanya menghela napas berat sembari mengusap darah yang muncul dari sudut bibirnya. Dia kalah. Alicia dan Nara pun meninggalkannya sendirian di sana menuju ruangan mereka yang berada di belakang gedung itu. Sepanjang jalan Nara menjadi pusat perhatian dan m
"HAHAHA, CINTAMU MENJADI NERAKA, CONGRATULATIONS!" teriak Letta, bahkan gadis itu sekarang tertawa terbahak, namun terlihat jelas itu adalah bukan tertawaan senang. Ia tertawa dengan pipi yang basah, bibir yang terluka dan tentu saja hati yang terluka. Semua terdiam, pandangan mereka mengarah ke Letta sekarang. Gadis itu terlihat menyedihkan. Nara datang setelah pertikaian antara Adelio dan Letta itu terjadi, terlihat ia sedang mengemut permen dengan tatapan mata yang santai, karena ia tahu ini semua akan terjadi. Rencananya berjalan dengan lancar rupanya. "Kenapa tidak dilanjutkan?" Orang-orang di sana terdiam mendengar perkataannya. "Adelio, aku tahu kamu memang pintar, tapi kenapa memilih jalan curang? Bodoh sekali." Adelio masih tetap bergeming menengarkan ocehan Nara yang terlihat sangat arogan di depannya. Padahal ia pun sama saja. Nara mencoba mendekati Adelio lalu menamparnya. Semua orang terkejut dengan sikap Nara yang