Kegiatan malam pun di mulai para panitia pelaksana, mereka bilang akan bermain sebuah permainan yang cukup menantang. Peraturan permainan ini adalah cukup mencari bendera sesuai dengan apa yang diinsturksikan, tempat-tempatnya pun sudah ditentukan. Pos pun sudah tersebar.
Mereka mulai mencari keberadaan bendera tersebut dengan waktu 1 jam lamanya. Menyusuri hutan yang gelap hanya berbekal 3 buah senter disetiap kelompoknya yang berisikan 5 orang membuat mereka agak kesulitan pasalnya jalan yang berbatu dan tingginya rumput membuat pandangan menjadi lebih pendek.
“Mungkin tidak ada bendera berwarna lain yang kalau kita mendapatkannya, kita jadi dapat privilege?” ucap Felix tiba-tiba.
“Mungkin saja,” jawab Nara.
Tiga puluh menit berlalu tim Alicia yang beranggotakan Felix, Nara, Lian dan Elin sudah berhasil menemukan 10 bendera yang mereka temukan di atas pohon, tertancap di antara semak-semak dan diberikan oleh pos karena telah melewati tantangan yang diberikan.
Alicia melihat ada satu bendera berwarna emas di dalam ranting-ranting yang telah ditumpuk itu. Enzi yang dari kelopmpok sebelah pun melihatnya. Mereka memisahkan diri anggota dari kelompok sehingga ada tidak menyadari bahwa Enzi dan Alicia telah berpisah dari mereka.
Mereka sama-sama berlari dan dengan cepat mengambil bendera itu, sayangnya Alicia yang mendapatkannya. Tidak mau kalah Enzi mengambil sebuah ranting yang ujungnya runcing dan menggoreskannya dengan seikit ditekan di lengan Alicia lalu berkata, “Harusnya ini milikku, Cantik.”
Gadis itu mengaduh kesakitan sambil memegangi ranting yang menggores lengannya, lalu dengan cepat ia mencabutnya walaupun rasa perihnya sekarang semakin menjadi-jadi.
"Sinting!"
***
Hujan mulai turun, yang tadinya berpencar kini mereka diteriaki oleh para panitia untuk kembali ke tenda masing-masing karena tidak mungkin mereka akan melanjutkan acara malam ini.
Dua kelompok ini sadar bahwa teman mereka hilang setelah mereka memasuki tenda. Nara dan Elin langsung berlari dan melaporkannya, sama halnya dengan kelompok Enzi yang sadar jika gadis berambut sebahu itu menghilang sejak mereka dipanggil untuk berkumpul.
“Kenapa bisa kalian tinggal?!” ketus Tasya yang kini mulai pusing dengan kelakuan adik-adik kelasnya ini. Ia tidak habis pikir kenapa bisa temannya ditinggal begitu saja.
Tak ada yang menjawab pertanyaan Tasya. Gadis berambut sebahu dengan mata bulat itu pun langsung mengambil senter. Rio pun menghentikannya yang ingin pergi begitu saja. “Jangan gegabah. Ini hujan, kalau kau ikut hilang bagaimana?”
Tasya terdiam mendengar perkataan Rio, tetapi di satu sisi ia juga khawatir dengan keselamatan anak-anak itu. Guru-guru yang mengawasi pun akhirnya datang ke tenda OSIS dan menginterogasi mereka kelompok-perkelompok.
Bukannya mereda, hujan semakin lebat. Mereka akhirnya memutuskan untuk mencari kedua anak itu masuk ke dalam hutan, tak lupa juga dengan pita-pita yang diikatkan di ranting-ranting agar mereka tidak tersesat jauh ke dalam sana.
Terdengar suara jeritan oleh Tasya dan Rio. Mereka berdua pun langsung menghampiri sumber suara yang diduga dari Alicia dan Enzi.
***
“Kau mengajakku bermain? HAHAHA,” seru Alicia sambil memegang ranting yang tadi digunakan untuk melukai lengannya. Alicia melemparkan bendera itu ke wajah Enzi yang membuat dirinya merasa puas.
Saat Enzi mencoba berdiri Alicia langsung mendorong gadis itu agar kembali terduduk. “Apa maumu Alicia?!”
Alicia tersenyum sambil berjongkok lalu menekan rahang Enzi dengan kuat dan akhirnya melepasnya kembali dengan kasar. Gadis itu kembali membuat goresan di lengan sebelah kirinya. Enzi yang melihat itu segera mengambil ranting itu agar Alicia tidak membuat goresan lebih banyak lagi. Sudah cukup kepalanya ikut terbentur tadi dan sekarang mengeluarkan darah.
Mereka berkelahi dengan penuh amarah malam itu. Alicia yang menahan rasa sakit di lengan dan kepalanya dan Enzi yang menahan rasa sakit akibat tertusuk rumput-rumput berduri yang berada tidak jauh dari tempat ia terjatuh tadi.
"Jika saja kamu tidak membuatku marah, Enzi."
"Bercermin, Alicia. bukankah kamu sama busuknya?!"
Enzi merasa Alicia lebih mengerikan malam ini. Tubuh Enzi lemas tidak dapat bangun dan sekarang ia hanya bisa berbaring di rerumputan yang basah ini sambil menangis ketakutan.
“Aku tidak akan memaafkanmu, Enzi,” lirihnya sebelum pada akhirnya Alicia mencoba menggoreskan ranting itu ke tangan Enzi dengan menyebutkan kesalahan-kesalahannya terdahulu. “Huruf E untuk Enzi, N untuk nakal, Z untuk … untuk apa kira-kira? Untuk dua puluh empat kali menindas orang lemah, dan I untuk kata apa yang bagus? I untuk Letta saja ya?”
Enzi berteriak minta pertolongan. Namun, mulutnya segera dibekap oleh Alicia. Enzi menangis meminta ampun pada Alicia untuk menyudahi kegiatannya yang sangat menyakitkan itu. Ia mencoba menulis nama Enzi menggunakan ranting di lengan Enzi.
“Menjeritlah terus, tidak akan ada yang mendengarmu,” cetus Alicia sambil ikut berbaring di sebelah Enzi. Samar-samar terdengar suara orang-orang yang mencari mereka.
Karena terlalu banyak darah yang keluar, mereka berdua pun sama-sama tidak sadarkan diri saat ditemukan.
***
Enzi dan Alicia segera dilarikan ke rumah sakit terdekat saat ditemukan. Orang tua mereka diberi kabar bahwa mereka mengalami kecelakaan di dalam hutan dan sampai sekarang pun salah satu dari mereka belum ada yang sadarkan diri.
Felix, Adelio dan Tasya menawarkan diri untuk menemani Alicia di rumah sakit, sedangkan Mia menawarkan diri untuk Enzi. Mereka berempat akhirnya menjadi wali pasien, tetapi Adelio dipindahkan untuk bersama dengan Mia dan Enzi.
“Jika ada sesuatu tolong cepat hubungi kami,” ucap guru tersebut. Karena mereka tidak mungkin meninggalkan anak-anak sebegitu banyaknya hanya karena 2 orang.
Hujan berhenti di pukul 3 dini hari membuat suasana semakin dingin. Adelio terbangun untuk mengambil selimut. Namun, ia terkejut saat tidak menemukan Enzi di ranjangnya. Lantas ia mencari-cari gadis itu karena takut terjadi sesuatu yang tidak diduga.
Setelah mencari Enzi di mana-mana tidak ditemukan, laki-laki berparas tampan ini pun langsung tertuju untuk mencarinya di kamar Alicia dan betapa terkejutnya ia menemukan Enzi berdiri di sebelah ranjang Alicia yang sedang memegang gelas kaca dengan tatapan yang kosong.
Pikiran Enzi saat ini sedang kacau. Ia menjadi marah dan takut. Perasaanya kalut, ia ingin menghabisi Alicia rasanya, tetapi tidak mungkin ia akan menghabisinya karena hukum akan terus berjalan. Pikirannya terus berkecamuk. Dari awal ia membuka mata saja rasanya banyak aura negatif mengelilinginya dan berbisik untuk membunuh Alicia yang telah mengukir nama di lengannya dengan sangat cantik.
Tasya yang mengigil karena kedinginan pun terbangun dan terkejut ketika melihat seserang yang berdiri di samping ranjang Alicia. “Enzi?”
Enzi menatap Tasya dengan tatapan yang kosong. Tangan Enzi yang memegang gelas terangkat untuk segera memukulkannya ke Alicia yang masih tertidur di atas ranjang. Adelio yang mengintip di balik pintu langsung masuk dan menimbulkan kegaduhan karena gelas yang dipegang pecah ke lantai setelah Adelio memeluk tubuhnya dari belakang.
Enzi lantas tidak sadarkan diri kembali.
***
Suasana yang seharusnya bersenang-senang menjadi suram akibat insiden malam itu, malam itu mereka tidak boleh melakukan kegiatan apapun kecuali di dalam tenda. Yang mereka lakukan di dalam tenda hanyalah berspekulasi tentang apa yang terjadi sambil memakan makanan ringan.
“Bagaimana bisa mereka berdarah-darah seperti itu?” tanya salah satu perempuan yang mengenakan sweater merah muda bergambar panda itu, terlihat dari raut wajahnya ia sangat penasaran dengan apa yang menimpa 2 gadis yang sifatnya hampir sama tersebut.
Terlihat yang lain berpikir dan mulai mengeluarkan pendapat mereka tentang kejadian itu. “Mungkin bertemu dengan hewan buas atau yang lainnya?”
“Apa jangan-jangan mereka berkelahi?” ungkap perempuan berambut pendek yang membuat dua temannya ini bergidik ngeri.
Di luar tenda anggota OSIS dan para guru tengah berdiskusi tentang apa yang terjadi dengan Enzi dan Alicia, setahu mereka gadis itu bahkan tidak saling mengenal, tapi mungkin saja mereka mempunyai masalah.
“Setahu saya mereka itu tidak pernah saling bertegur sapa,” kata Fariz.
Rio dengan cepat membantah itu. “Kita tidak tahu mereka bagaimana, punya masa lalu atau tidak? Siapa tahu mereka dahulu berteman.”
Semua berpikir ucapan Rio ada benarnya.
Fariz selaku ketua OSIS pun kembali membuka suara, “Besok jam empat pagi kita bangunkan mereka untuk bersiap ke air terjun, lalu setelahnya langsung pulang."
Mereka awalnya kurang setuju dengan usulan Fariz karena sudah terlalu berbahaya. Namun, mengingat pagi hari mungkin tidak masalah karena hari sudah terang.
Pukul 4 dini hari semua dibangunkan untuk segera membereskan semua barang-barang mereka dan segera sarapan karena pukul 7 nanti mereka sudah harus berada di bawah air terjun.
Bisa dibayangkan bagaimana dinginnya setelah hujan kalian harus menyusuri air terjun dan matahari belum muncul sama sekali. Mereka hanya disediakan teh panas dan roti yang telah dikumpulkan kemarin. Masih banyak persediaan bahan makanan tetapi mereka harus pulang pagi itu.
Sampai di bawah air terjun mereka turun bersama-sama untuk berendam sebagai formalitas. Jika acara seharusnya mereka mendapat hukuman fisik di pagi hari lalu direndam berkali-kali. Namun, yang ini sangatlah berbeda.
Suara gemercik air terjun menemani mereka dalam berucap janji angkatan.
Selesai dari sana mereka hanya melakukan sesi dokumentasi, dan langsung menuju toilet untuk berganti pakaian karena yang tadi telah basah dan segera pulang dari sana.
“Sayang sekali angkatan kita terkena musibah.”
***
Orang tua Alicia datang dan langsung melihat kondisi anaknya itu. Terlihat dari raut wajah ibunya yang sangat khawatir dan ayahnya yang segera meminta kejelasan dari Adelio, Felix dan Tasya yang sedang berada di ruangan Alicia.
“Bagaimana bisa terjadi? Tolong jelaskan lebih detail.”
Pagi itu mereka menceritakan dengan detail apa yang terjadi dan tiba-tiba saja Alicia terbangun dari tidurnya.
“Aku di mana?”
Dokter segera dipanggil ketika Alicia terbangun. Semua orang di sana menghela napas lega karena Alicia telah tersadar dari pingsannya.
“Di mana Enzi?” Seluruh orang yang ada di ruangan itu saling berpandangan dan memberi jawaban atas pertanyaannya jika Enzi masih tertidur di ruangannya.
Alicia duduk terdiam lalu mengangguk dengan tatapan yang tidak dapat diartikan. Namun Felix melihat ia tersenyum miring tipis sekali, entah apa maksudnya.
‘Aku ingin bertemu dengannya.’
Setelah 3 bulan insiden itu berlalu, daftar anak yang ditakuti pun bertambah, yaitu Seana Alicia yang cukup disegani karena ia adalah seseorang yang dinilai cukup berpengaruh apalagi setelah kejadian itu, Enzi menjadi tidak berani terang-terangan merundung di depannya, walaupun tetap saja.Ini cukup mengganjal.Kini Enzi duduk di tribun sekolah bersama dengan Gilbert menyaksikan kelas MIPA 6 yang sedang bermain bola basket karena ini jam pelajaran, maka dapat disimpulkan mereka tengah memasuki materi itu.“Kak, kamu tidak masuk kelas?” tanya Enzi yang tengah mengemut permennya.Gilbert yang memperhatikan anak-anak mipa 6 pun terpecah fokusnya. “Kelas sedang jam kosong.”“Oh begitu rupanya,” balas Enzi sambil mengangguk.Sebenarnya pun Gilbert ke tribun ini karena melihat Alicia dan Enzi. Pikirannya adalah sambil menyelam minum air karena ada sesuatu yang ingin ia ketahui dari Enzi dan juga ingin melihat pe
3 bulan sebelumnya…."Maaf, tetapi harga diri saya tidak serendah itu untuk mengalah demi anak Mami."Dua minggu setelah insiden itu Alicia, Letta dan Enzi pun dipanggil untuk disidang. Letta dimintai keterangan atas apa yang terjadi pada siang hari itu, disaat Enzi merundung Letta.Tapi, rasanya Letta mau menjelaskan serinci apapun hanya akan dianggap angin lalu dan kalaupun ia punya bukti pasti akan ada 1001 alibi dari kepala sekolah agar Enzi tetap menjadi korban di kasus ini.“Pak, saya tidak ada memukulinya,” tegas Letta dengan tangan terkepal yang berada di pahanya sedangkan Enzi yang berada di sebelah kirinya langsung bereaksi begitu gadis itu menyatakan pernyatannya.“Kau memukuli! Kau tidak ingat?” histeris Enzi dengan mata yang melotot ke arah Letta sambil menangis, sedangkan Letta membuang mukanya ke arah sebaliknya.Reaksi orang di sekitar bahkan hanya terdiam sambil menikmati apa yang terjadi di de
Letta melangkahkan kakinya untuk menuju ke kasur besar milik Alicia. Namun perhatiannya mengarah ke meja belajarnya. Ia mulai membuka kertas yang terjatuh dari buku Alicia.“Ini kertas….”“Yah … aku ketahuan.”Letta yang tersadar pemilik kamar masuk pun langsung membereskan kertas itu dan meminta maaf.“Privasi sih sebenarnya, tapi ya sudahlah” ucap Alicia sambil menaruh air minum di atas meja belajarnya dan merapikan yang telah diperbuat Letta. “Aku tahu kau dulu anak orang kaya hanya saja kekayaanmu … dirampok oleh salah satu dari mereka?”“Bagaimana kau tahu?” tanya Letta terkejut.“Ada pertanyaan lebih menarik, bagaimana kau rela dimanfaatkan oleh mereka bertiga?”Kertas yang tidak sengaja dibaca oleh Letta adalah selembar isi surat dari Gilbert yang menyatakan isi hatinya kepada Alicia.Alicia pun berkata bahwa ia mengetahui kejadi
Setelah bertemu dengan Letta ia pun berjalan menuju lokernya dan mendapati hoodie berwarna abu-abu yang diberi oleh mantannya. Lalu, ia menyusup ke kamar mandi perempuan dan menaruhnya di atas wastafel.Itu adalah milik Gilbert, nyatanya laki-laki ini masih memiliki kepedulian yang cukup tinggi walaupun orang-orang sering menyebutnya ‘si cuek’ berhati dingin.Gilbert itu suka sekali membuat orang kesal karena mulutnya yang tidak bisa dikontrol itu.Laki-laki bersurai hitam itu kini tengah membaca sebuah artikel di ponselnya tiba-tiba didorong oleh seseorang, yang membuatnya hampir jatuh tersungkur. Namun, sayangnya ia melihat jika Adelio lah pelakunya.“ADELIO PENGECUT!” teriaknya di lorong yang dapat didengar oleh Adelio. Laki-laki itu pun tersulut emosinya dengan mempercepat langkah kakinya dan melayangkan sebuah hantaman di pipi Gilbert.Mudah sekali memancing emosi Adelio, hanya bermodalkan mulut saja.Gi
Suasana sedang ramai ditambah guru yang akan masuk ke kelas mereka sakit, jam kosong di kelas mereka. Enzi kini tengah membaca buku novel, namun notifikasi di ponselnya mengalihkan perhatiannya.Gilbert Datangi aku sekarang di rooftop. Enzi mencebik kesal, “Mau apalagi sih dia?”Gadis dengan rambut pirang pendek itu pun berjalan cepat menuju tempat terlarang untuk siswa itu.Walaupun ia hanya dekat dengan Gilbert sebatas adik kakak orang-orang terkadang berasumsi jika mereka menjalin hubungan.
Malam itu Gilbert tengah bersiap-siap untuk pergi dengan Alicia. Ia menyemprotkan parfum mewah di tubuhnya. Orang tua Gilbert adalah seorang pejabat berpangkat tinggi.“Gilbert, uangmu sudah ayah transfer,” ucap ayahnya yang tengah bersantai di ruang keluarga bersama dengan istrinya alias mama tiri Gilbert. “Mau ke mana kamu?”Gilbert yang baru saja turun dari lantai 2 ini pun menegak satu gelas minuman bersoda lalu menjawab ayahnya. “Aku mau jalan.”“Jika nilaimu hancur awas saja,” ucapnya mengancam.Gilbert tidak memedulikan omongan pria itu bahkan ia langsung berjalan ke arah garasi untuk mengambil mobil berwarna hitam dan meninggalkan kediamannya menuju apartemen Alicia.Gilbert &nbs
“Kita ikuti saja apa maunya, karena ini sudah termasuk ancaman. Aku bahkan tidak tahu apa yang dimaksud ‘hadiah spesial’.” Adelio pun mengambil lilin dari bungkusan hitam itu dan tiba-tiba saja listriknya padam kembali dan hanya menyisakan mereka dengan cahaya bulan yang remang-remang. “Nyalakan lilinnya,” suruh Gilbert. “Kita akan berpencar.” “Tapi, Kak….” “Ikuti saja apa maunya.” Mereka pun mengundi untuk mencari pasangan dan Felix yang tidak mendapatkan pasangan dengan terpaksa harus berjalan sendiri. Enzi dan Adelio menuju ke arah kelas 10 yang terletak di lantai dasar, Gilbert bersama Nara yang menuju ke area kolam renang, Alicia dan Letta menuju ke kelas 11 yang berada di lantai 2 dan Felix yang sendiri akan menuju kelas 12 yang terletak di lantai 3. Mereka pun berpencar mencari kunci gerbang yang katanya tersembunyi di sekolah ini. Berbekal dengan rasa takut dan hawa dingin yang tiba-tiba menyeruak yang membuat tengkuk m
“Bagaimana jika kita bertukar posisi, Enzi?” ucapnya dengan seringaian.“Apa maksudmu?”“Aku yang balik merundungmu dan kau jadi tikus mainanku? Bagaimana?”***Setelah kejadian itu seluruh murid diarahkan untuk masuk ke dalam kelas. Mereka semua harus belajar karena sebentar lagi akan diadakan ujian.Semua orang bingung mengapa Mia bisa berbicara seperti itu secara tiba-tiba di depan banyak orang. Apalagi dengan Letta semua orang benar-benar dibuat bingung.“Yakin itu Letta?”“Ya kalian pikir?”“Apa yang terjadi dengan sekolah ini?”Begitulah kira-kira beberapa omongan dari mereka yang tidak tahu kejadian sebenarnya dan hanya sibuk berspekulasi.Sekarang Letta berada di rooftop bersama Alicia, Nara, Felix, Gilbert, dan Enzi, mereka diam-diam menyusup menggunakan kunci yang telah diberikan Adelio kepada Enzi.Pada awalnya hanya
Alicia kini terduduk di atas ranjangnya. Ia tidak ingin berlama-lama di rumah sakit dan segera menghubungi kakak kembarnya itu untuk membantunya berpindah. Rio ikut membantu agar kelakuan mereka tidak sampai terdengar ke telinga orang tua masing-masing, walaupun lambat laun pasti akan terbongkar juga karena keluarga Danendra tidak mungkin diam saja. Gadis itu sedang sarapan sendirian di dalam kamar sebelum Rio tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya dengan wajahnya yang nampak lesu dari biasanya. “Ketuk pintu dulu!” sentak Alicia dengan mata yang sinis, ia tidak suka orang-orang sembarangan membuka kamarnya. Namun, Rio bebal diberi tahu. Sedangkan yang ditegur hanya menggaruk kepalanya tak gatal sembari tersenyum masam. “Kamu ini anak iblis apa ya?” “Anak kambing!” jawab Alicia dengan nada yang sedikit dihentak, sontak jawaban itu membuat Rio terbahak. Rio pun duduk di tepi ranjang sembari memerhatikan Alicia menghabiskan sarapannya, di mata
Alicia mencoba untuk menerobos masuk ke dalam kamar utama untuk mencari tahu dan membeberkan semua, anak ini benar-benar nekat untuk remaja seusia 18 tahun. Ia bersama Letta mulai mencari bukti itu dibantu oleh Rio tentu saja. Suara sepatu dari luar membuat mereka sedikit tergesa-gesa dan mereka lebih memilih untuk bersembunyi di tempat yang berbeda sembari merapikan tempat-tempat yang mereka acak-acak tadi. Jantung Letta berdesir saat seseorang itu masuk dan mulai mendekati persembunyiannya yang berada di balik tirai di sudut kamar sedangkan Alicia yang melihat itu segera memberikan kode kepada Rio. Untungnya sebelum orang itu semakin curiga Rio yang mengamati situasi pun segera membuat kegaduhan. “Oh maaf, aku terpeleset. Bisakah kamu mengepelnya. Akan bahaya jika orang lewat,” ucapnya sembari tersenyum lebar seperti tidak terjadi apa-apa. Belum sampai semenit, orang itu menyerangnya tiba-tiba, namun orang yang menemani Rio itu cepat datang
“Aku tidak akan pergi karena ini juga acaraku.” Rio dari luar hanya terkekeh melihat drama yang ia perbuat itu. Pemadaman lampu itu adalah ulahnya itulah sebab ia berpisah dengan Alicia tadinya. Ia membawa seseorang untuk menjaga listrik. Terukir senyuman di bibir saat Nara mulai menjalankan perannya. Rio yang melihat Alicia membawa Letta keluar pun segera menyusulnya. "Alicia!" panggil Rio dari arah pintu masuk. Langkah kedua gadis itu pun terhenti, Alicia membiarkan Rio membawa Letta entah ke mana sedangkan Alicia sendiri harus kembali ke dalam untuk mencari apa yang ia cari. Letta dan Rio akhirnya menuju parkir dan mereka pun berdiam di sana untuk menunggu kelanjutan peran mereka. Namun, belum sampai lima menit terlihat seseorang hendak mendatangi mobil Rio. "Letta sembunyi di belakang cepat," suruhnya sembari membantu gadis itu karena bajunya yang dikenakannya cukup membuat kerusuhan di dalam mobil. Rio pun menurunkan
Di sebuah kamar seorang gadis duduk di depan meja riasnya ditemani sinar mentari kejingaan yang menandakan sang Surya akan segera menghilang. Gadis yang menggunakan piyama berwarna coklat keemasan itu tersenyum simpul saat ia duduk di depan cermin. "Drama kehidupan begitu kejam ya. Tapi, mereka sendiri yang membuat keadaan sulit untuk diri mereka," monolognya sembari mengatur rambutnya dan mulai meriasi wajahnya dengan make up. Alicia memilih untuk memakai pakaian yang cukup elegan, ia memilih untuk menggunakan dress berwarna abu-abu dengan sepatu heels yang telah disiapkan dan rambut yang sudah diatur sedemikian rupa untuk pesta formal malam ini. Setelah selesai dengan kegiatannya itu ia keluar balkon dan duduk di sana menikmati warna langit yang perlahan memunculkan bintangnya. Ponselnya berdering saat ia hendak menelpon Felix, terpampang jelas di sana ada nama Letta. “Aku di dekatnya,” ucap Letta dari seberang
Di malam hari, Felix akhirnya mendengarkan apa kata Letta, walaupun tadi mereka sempat berdebat kecil karena Felix yang tiba-tiba keras kepala tidak mau mendengarkan. Namun setelah Letta menghampiri kediamannya hati Felix terbuka. Mereka memasuki rumah sakit tersebut. Felix bersama Letta masuk ke ruangan tersebut sedangkan Alicia dan Nara lebih memilih untuk menunggu mereka dari luar karena tidak boleh terlalu banyak orang yang menjenguk. Felix duduk di sebelah ranjang sembari melihat ibunya yang tengah berbaring dengan selang serta alat bantu yang lainnya. Letta menepuk pundak laki-laki itu saat ia ingin menumpahkan air matanya. “Menangislah, aku tidak akan berbicara apapun,” ucap Letta pelan dan saat itu juga ia melihat bahu Felix bergetar menandakan laki-laki itu tengah menangis. Dari belakang Letta hanya bisa mendengar suara isakan kecil Felix. Namun, setelah itu suara dari alat berbentuk kotak itu mengalihkan mereka berdua. Letta keluar d
Sesuai dengan perkataannya, Valerio dengan para staff sekolah akhirnya berdiskusi mengenai masalah ini. Suasana di ruangan ini menegang saat Valerio mulai duduk di kursinya dan memulai pembicaraan. "Saya akan mulai pembicaraan ini, mengenai skandal yang tengah terjadi," ucapnya memulai pembicaraan berat ini. Semua orang di sana menegang, jantung mereka berdegup kencang tidak karuan karena mereka belum dapat mendapatkan pelakunya. Kepala sekolah yang baru saja datang dengan tergesa-gesa itu pun menarik perhatian orang-orang di sana. Terlihat di tanganya ada sebuah amplop coklat lalu ia mengeluarkan beberapa foto dari sana dan memperlihatkannya kepada Valerio, tentu saja laki-laki itu sekarang agak terkejut dan meragukan sang Kepala sekolah. Valerio menarik napasnya untuk tidak meledak sekarang juga, ia tidak pernah berpikir jika kandidat pelakunya adalah gadis yang ia kenal cukup baik. Valerio denial akan hal itu dan semakin berpikir jik
Sudah pasti suasana di seklolah ini menjadi chaos.Murid-murid yang sempat merekamnya pun diminta untuk tidak menyebarkan rekaman itu ke mana-mana atau akan ada sanksi berat menunggu mereka. Valerio yang mendengar hal ini pun langsung turun ke sekolah karena itu akan membahayakan reputasinya. Laki-laki ini melangkahkan kakinya di antara murid-murid sekolah ini. Hanya sedikit dari mereka yang tahu jika Valerio adalah ayahnya Adelio. Saat datang ke ruang kepala sekolah ia mendudukan dirinya ke sofa empuk berwarna merah tersebut lalu menatap kepadasang Kepala sekolah dengan tatapan yang tajam, menyiratkan makna bahwa ia tidak main-main sekarang. "Bagaimana bisa ada rekaman itu dan bocor?" tanyanya sembari menyesap kopi yang telah disediakan. "Saya masih menyelidikinya, dan akan segera memberitahu anda dengan segera," ujar kepala sekolah itu dengan percaya diri. Valerio sedikit menghentak cangkir itu yang membuat orang ya
"Jadi, kamu pilih penawaranku atau tetap mau bersikeras Danendra?" Akhirnya Adelio lebih memilih untuk pasrah seutuhnya. Ia menyatakan akan memilih penawaran Alicia walaupun ia sendiri tidak yakin dengan pilihannya itu. Ia takut ayahnya akan mengamuk, tapi jika Alicia mempersulitnya sepertinya akan lebih daripada itu. Koneksi Alicia juga tidak kalah mengerikan dari dirinya, perempuan ini cukup manipulatif. Setelah itu Nara berjongkok untuk melihat wajah laki-laki itu. "Ingat, jika kamu masih bermain-main akan ada lebih banyak cara mempermalukanmu setelah ini." Adelio mengepalkan tangannya. Ia ingin marah, tapi ia tahu itu hanya akan memperparah keadaan dan yang hanya dapat ia lakukan hanya menghela napas berat sembari mengusap darah yang muncul dari sudut bibirnya. Dia kalah. Alicia dan Nara pun meninggalkannya sendirian di sana menuju ruangan mereka yang berada di belakang gedung itu. Sepanjang jalan Nara menjadi pusat perhatian dan m
"HAHAHA, CINTAMU MENJADI NERAKA, CONGRATULATIONS!" teriak Letta, bahkan gadis itu sekarang tertawa terbahak, namun terlihat jelas itu adalah bukan tertawaan senang. Ia tertawa dengan pipi yang basah, bibir yang terluka dan tentu saja hati yang terluka. Semua terdiam, pandangan mereka mengarah ke Letta sekarang. Gadis itu terlihat menyedihkan. Nara datang setelah pertikaian antara Adelio dan Letta itu terjadi, terlihat ia sedang mengemut permen dengan tatapan mata yang santai, karena ia tahu ini semua akan terjadi. Rencananya berjalan dengan lancar rupanya. "Kenapa tidak dilanjutkan?" Orang-orang di sana terdiam mendengar perkataannya. "Adelio, aku tahu kamu memang pintar, tapi kenapa memilih jalan curang? Bodoh sekali." Adelio masih tetap bergeming menengarkan ocehan Nara yang terlihat sangat arogan di depannya. Padahal ia pun sama saja. Nara mencoba mendekati Adelio lalu menamparnya. Semua orang terkejut dengan sikap Nara yang