Jam menunjukkan 5 menit lagi pukul 7.15 dan gadis ini masih saja berada di jalan yang cukup padat dan akhirnya ia memutuskan untuk turun dari ojek online tersebut dan berlari menuju sekolahnya yang sebentar lagi akan mengadakan upacara bendera.
Gadis ini terengah-engah saat masuk halaman sekolah. Lalu, ia melanjutkan dengan melempar tasnya ke arah pos untuk segera masuk ke dalam barisan. Dan setelah pagar ditutup anak-anak lain pun mengikuti dengan khidmat.
"Ahh sialan hampir saja terlambat," ucapnya terengah-engah sembari merapikan dasinya yang sudah tidak karuan.
Suara decitan tipis dari pagar itu menimbulkan sedikit atensi kepadanya. Dilihatnya seorang laki-laki memasuki sekolah ini dan dengan santainya ia melemparkan tasnya ke arah pos tanpa menerima hukuman dari guru piket. Tidak ada yang tahu sebenarnya siapa orang tuanya, tapi telah beredar desas desus bahwa ia adalah anak dari dewan komisaris. Ia pun berdiri di sebelah Alicia.
“Hei,” panggil laki-laki itu dengan lirih. “Aku ingin berkenalan denganmu.”
Gadis ini tersenyum singkat sambil membalas jabatan tangannya. “Alicia.”
“Adelio.”
***
Di kelas, Alicia memperhatikan dengan baik saat guru menerangkan, walaupun ujung-ujungnya ia tidak mengerti dan memilih mencari contekan untuk mengerjakan soal-soal yang diberikan setelahnya.
“Kerjakan halaman seratus lima puluh tujuh, lalu kumpulkan hari ini. Saya permisi,” ucap guru fisika itu sembari membawa tas, buku dan penggarisnya.
Anak-anak kelas MIPA 7 ini langsung saja membuat kelompok masing-masing untuk mengerjakan tugas. Ada yang bersama teman dekatnya saja ataupun yang mengerjakan bersama-sama. Jangan pandang angka di belakangnya, walaupun memiliki predikat kelas terakhir, tapi isinya orang-orang ambisius.
Jika kelas lain protes karena soal-soal yang diberikan terlalu sulit, maka kelas inilah yang menerima dengan lapang dada daripada harus membuang energi untuk protes.
Alicia tetap berbaur dengan mereka mempelajari apa yang mereka kerjakan, walaupun ia hanya menumpang lihat penjelasan dan pasti akan menyontek setelahnya.
"Guys, sudah ada desas desus kita akan makrab," ucap salah satu gadis berambut gelombang dengan bando di kepalanya.
"Woah, apaka itu menyenangkan?" tanya salah satu dari mereka.
"I dunno, i'm not sure."
Jika sudah terdengar seperti ini maka tidak lama lagi mereka akan melaksanakan makrab. Cukup terdengar menyenangkan untuk sebagian siswa. Namun, tidak untuk Alicia. Ia bahkan biasa saja.
Malam keakraban di sekolah inilah yang paling ditunggu-tunggu sebagian dari mereka karena selain acaranya yang menyenangkan bagi mereka acara semacam ini juga menjadi ajang mencari pacar untuk beberapa siswa dan siswi yang tengah di mabuk cinta.
Setelah mereka semua selesai dengan tugasnya, Alicia mengumpulkan buku-buku mereka dan membawanya ke kelas MIPA 2 yang berada di lantai 2 bersama dengan Felix si ketua kelas. “Alicia, sini biar aku aja yang bawa semuanya.”
“Tidak perlu, biar aku sendiri saja,” dumel Alicia yang dihadiahi senggolan dari Felix. “Hei! Tubuhmu besar. Jangan senggol-senggol nanti aku jatuh!”
“Maaf—"
Suara gaduh dari arah depan kelas MIPA 2 membuat Alicia dan Felix terhenti untuk melihat keributan yang sedang terjadi. Terlihat mereka yang lalu lalang hanya sekedar melihat tanpa ada yang mau membantu gadis yang sedang terjatuh dan ditendang oleh Enzi.
Alicia yang sudah ingin menitipkan buku-buku yang ia pegang pun dihentikan oleh Felix, walaupun Alicia sudah tahu betapa kotornya sekolah ini, tetap saja merundung seseorang bukanlah hal yang baik.
Anak-anak berkoneksi ini sangat menyebalkan bagi sebagian dari mereka yang masih sadar akan kemanusiaan.
“Cia, jangan. Nanti kamu terkena masalah,” ucap Felix yang sekarang tengah merangkul Alicia agar gadis itu tidak kelepasan. Walaupun pada akhirnya mereka yang jadi sorotan siswa dan siswi di sana saat melintasi kerumunan.
Setelah menaruh buku-buku tersebut datanglah sang perundung tadi dengan wajah sebalnya. Kelas MIPA 2 ini dipenuhi oleh anak-anak orang berkoneksi yang jika ada masalah selalu menyuap para guru ataupun kepala sekolah. Itu sudah menjadi rahasia umum bagi pelajar di sini.
“Hai, Alicia,” sapa Adelio yang tadinya sedang membaca buku, kini mengalihkan fokusnya terhadap Alicia dan gadis itu membalasnya dengan senyuman tipis dan anggukan singkat. Sedangkan di sisi lain ada yang menatap tidak suka dengan interaksi antara Alicia dan Adelio.
Alicia pun langsung menarik Felix untuk keluar dari sana karena merasa tidak nyaman lama-lama berada di kelas itu. “Kenapa?”
“Kau tahu? Enzi menatapku sinis tadi,” ucapnya berbisik sembari menyilangkan tangannya di dada. Sekarang mereka menuju kantin untuk istirahat dan makan.
“Aku rasa dia menyukai Adelio.”
***
“Baiklah, seksi acara tolong sistematis acaranya ini bagaimana?” tanya ketua OSIS yang tengah memimpin rapat kali ini.
Semua anggota OSIS dipanggil saat jam pelajaran terakhir agar tidak pulang terlalu malam setelah mereka mengadakan rapat.
Banyak perdebatan awalnya karena kelas 12 banyak menyetujui untuk menjalankan tradisi lama yang dapat dibilang cukup ekstrem untuk melatih mental dan fisik mereka. Namun, anggota kelas 11 ada yang dengan beraninya menentang karena perlakuan itu menuju ke arah kekerasan. Dan perdebatan kecil pun terjadi.
“Bagaimana mereka tidak mendumel dan menjelekkan angkatan atas kalau sikap kita saja begitu,” ucap Rio, anak kelas 12 yang berpikir jika omongan anggota kelas 11 itu ada benarnya.
Semua anggota melihat ke arahnya yang sedang memainkan sebuah pulpen di ujung meja.
“Terus, apa yang mau kamu lakukan sebagai gantinya?” tanya Tasya dengan matanya yang sinis. "Jika mereka tidak diperlakukan seperti kita terdahulu kemungkinan besar angkatamu akan diinjak."
“Aku kan hanya berbicara sebagai sudut pandang adik kelas, bukannya mendukung dia,” jawab Rio dengan santai. “Lagipun masih banyak kegiatan seru yang bisa mendidik mental mereka.”
“Contohnya?”
“Pikirlah!”
Melihat perdebatan yang tidak ada isinya ini sang ketua pun berbicara bahwa mereka akan melakukan tradisi sekolah yang terdahulu karena mau merubah tradisi itu pun belum menemukan solusi dan kondisinya pun belum tepat untuk membicarakan soal revolusi tradisi sekolah.
Setelah rapat selesai mereka semua pulang tak terkecuali Enzi yang melihat Gilbert sedang bermain bola basket di tengah lapangan saat hari menjelang malam ini. Dan ia pun menghampiri laki-laki itu.
“Kak Gilbert!” Laki-laki itu menghentikan aktivitasnya karena melihat Enzi yang menghampiri dirinya. “Tidak pulang?”
“Ini mau pulang, mau sama-sama?”
Enzi menerima tawaran tersebut dan mereka pun akhirnya pulang bersama meninggalkan sekolah yang sudah sepi dan gelap.
***
Pukul 10 pagi, seluruh siswa dan siswi diberitahukan mengenai malam keakraban lewat pengeras suara.
"Malam keakraban untuk kelas sebelas akan dilaksanakan pada tanggal dua, bulan Agustus tahun dua ribu sembilan belas. Jadi, silahkan berkumpul di aula setelah pulang sekolah untuk mengetahui sistematis acara dan barang apa saja yang harus dipersiapkan. Dan jika tidak mengikuti malam keakraban ini maka bersiap-siap untuk menerima konsekuensinya."
Setelah mendengar berita itu anak sekolah itu pun menjadi riuh dan bersorak dengan antusias. Namun, banyak dari mereka juga yang sama sekali tidak peduli dengan acara tahunan sekolah ini karena mereka tahu di balik keseruan itu akan ada pembalasan dendam dari angkatan sebelumnya.
Alicia termasuk murid yang menanggapinya dengan biasa saja, karena sebelumnya pun ia banyak merasakan hal seperti ini sebelumnya.
Sekolah ini memiliki banyak acara turunan, malam keakraban saja ada dua jenis. Ya, kegiatan itu bernama 'Malam keakraban angkatan' dan 'Malam keakraban bersama kita'. Sistematisnya mudah, malam keakraban angkatan hanya terdiri 1 angkatan dan yang satunya seluruhnya.
Jam kosong di kelas MIPA 6. Dan itu membuat penghuninya leluasa untuk melakukan apapun yang mereka inginkan, sekarang mereka tengah menonton film bersama menggunakan proyektor yang sedang menganggur tentunya.
“Aduh, pengen ke toilet,” ucap teman sebangku Alicia yang bernama Nara. “Alicia, temenin yuk?”
Alicia mengangguk. "Yuk."
Mereka pun akhirnya menuju ke toilet. Namun, pemandangan yang tak mengenakkan pun terjadi kembali di depan mata Alicia. Seseorang yang kemarin dirundung ini didorong oleh Enzi dan langsung mengenai kaki Alicia setelah terdorong jauh.
Adelio hanya melihat perlakuan Enzi dari anak tangga sambil mengemut permennya yang sudah mulai mengecil. Melihat Enzi merundung menjadi hiburan tersendiri untuknya.
Nara yang telah selesai dengan kegiatannya pun terdiam membeku melihat tatapan mengerikan seorang Alicia. Oh Nara menjadi takut sekarang. Kini ekspresi Alicia terlihat lebih dingin dan datar.
Gadis ini mendekati Enzi dengan berjalan perlahan lalu tangan Enzi pun melayang sesuai dengan dugaan Alicia. Namun pergerakannya, segera ditangkis oleh Adelio yang segera melompat dari anak tangga tersebut dan muncul secara tiba-tiba.
“Eh?!” kaget Enzi yang tiba-tiba melihat Adelio berada di belakangnya.
Dengan rasa kesalnya yang menumpuk Alicia pun berkata, “Do you wanna play a game with me?”
Enzi yang tidak terima diperlakukan seperti itu pun menarik rambut Alicia tiba-tiba. “Aku tidak lagi takut denganmu, asal kau tahu!”
“Akupun sama,” jawab Alicia yang tersenyum miring melihat ekspresi kekesalan dari Enzi yang meninggalkan mereka di tempat.
Nara menghampiri gadis itu dan langsung memeriksa keadaannya karena terlihat dari hidungnya mengeluarkan darah segar. Adelio yang segera menolong gadis itu dengan cara membopongnya, lalu membawanya ke UKS sedangkan Nara dan Alicia mengikuti dari belakang.
Menjadi sorot perhatian? Sudah pasti. Walaupun Adelio seorang yang terlihat cuek, tapi ia masih punya hati untuk menolong gadis yang terkapar lemah tersebut.
Setelah membaringkan gadis itu Alicia pun menarik Adelio keluar dari UKS untuk berbicara 4 mata dengannya.
“Aku melihatmu hanya berdiam diri saat Letta dirundung Enzi, kenapa?”
“Karena itu bukan urusanku.” Setelah mengatakan itu Adelio pun langsung pergi tanpa memedulikan Alicia.
Setelah kejadian di depan toilet 2 hari berlalu Alicia tampak sedikit menjadi lebih pendiam, lebih pendiam dari biasanya. Ia juga mempunyai masa lalu yang tidak mengenakan dengan Enzi, walaupun sekarang ia lebih memilih untuk tidak memedulikan itu, namun melihatnya begitu kasar membuatnya merasa risih. Adapun alasan mengapa Enzi enggan berurusan dengan Alicia kembali.“Felix, mau pergi belanja bersama?” tanya Alicia yang sedang menulis jawaban Biologi di bukunya.“Boleh, jam berapa?”“Pulang sekolah, bersama Letta probably.” Felix menganggukkan kepalanya dan kembali berdiskusi bersama anak laki-laki lainnya yang sedang membahas tentang game online.Begotulah kehidupan saat tidak ada guru.***“Di mana Letta?” tanya Felix kepada Alicia. Mereka berangkat menggunakan mobil milik Felix dan sebelum itu Letta berkata akan menyusul karena ada suatu hal yang harus ia selesaikan. Awalnya
Kegiatan malam pun di mulai para panitia pelaksana, mereka bilang akan bermain sebuah permainan yang cukup menantang. Peraturan permainan ini adalah cukup mencari bendera sesuai dengan apa yang diinsturksikan, tempat-tempatnya pun sudah ditentukan. Pos pun sudah tersebar.Mereka mulai mencari keberadaan bendera tersebut dengan waktu 1 jam lamanya. Menyusuri hutan yang gelap hanya berbekal 3 buah senter disetiap kelompoknya yang berisikan 5 orang membuat mereka agak kesulitan pasalnya jalan yang berbatu dan tingginya rumput membuat pandangan menjadi lebih pendek.“Mungkin tidak ada bendera berwarna lain yang kalau kita mendapatkannya, kita jadi dapat privilege?” ucap Felix tiba-tiba.“Mungkin saja,” jawab Nara.Tiga puluh menit berlalu tim Alicia yang beranggotakan Felix, Nara, Lian dan Elin sudah berhasil menemukan 10 bendera yang mereka temukan di atas pohon, tertancap di antara semak-semak dan diberikan oleh pos ka
Setelah 3 bulan insiden itu berlalu, daftar anak yang ditakuti pun bertambah, yaitu Seana Alicia yang cukup disegani karena ia adalah seseorang yang dinilai cukup berpengaruh apalagi setelah kejadian itu, Enzi menjadi tidak berani terang-terangan merundung di depannya, walaupun tetap saja.Ini cukup mengganjal.Kini Enzi duduk di tribun sekolah bersama dengan Gilbert menyaksikan kelas MIPA 6 yang sedang bermain bola basket karena ini jam pelajaran, maka dapat disimpulkan mereka tengah memasuki materi itu.“Kak, kamu tidak masuk kelas?” tanya Enzi yang tengah mengemut permennya.Gilbert yang memperhatikan anak-anak mipa 6 pun terpecah fokusnya. “Kelas sedang jam kosong.”“Oh begitu rupanya,” balas Enzi sambil mengangguk.Sebenarnya pun Gilbert ke tribun ini karena melihat Alicia dan Enzi. Pikirannya adalah sambil menyelam minum air karena ada sesuatu yang ingin ia ketahui dari Enzi dan juga ingin melihat pe
3 bulan sebelumnya…."Maaf, tetapi harga diri saya tidak serendah itu untuk mengalah demi anak Mami."Dua minggu setelah insiden itu Alicia, Letta dan Enzi pun dipanggil untuk disidang. Letta dimintai keterangan atas apa yang terjadi pada siang hari itu, disaat Enzi merundung Letta.Tapi, rasanya Letta mau menjelaskan serinci apapun hanya akan dianggap angin lalu dan kalaupun ia punya bukti pasti akan ada 1001 alibi dari kepala sekolah agar Enzi tetap menjadi korban di kasus ini.“Pak, saya tidak ada memukulinya,” tegas Letta dengan tangan terkepal yang berada di pahanya sedangkan Enzi yang berada di sebelah kirinya langsung bereaksi begitu gadis itu menyatakan pernyatannya.“Kau memukuli! Kau tidak ingat?” histeris Enzi dengan mata yang melotot ke arah Letta sambil menangis, sedangkan Letta membuang mukanya ke arah sebaliknya.Reaksi orang di sekitar bahkan hanya terdiam sambil menikmati apa yang terjadi di de
Letta melangkahkan kakinya untuk menuju ke kasur besar milik Alicia. Namun perhatiannya mengarah ke meja belajarnya. Ia mulai membuka kertas yang terjatuh dari buku Alicia.“Ini kertas….”“Yah … aku ketahuan.”Letta yang tersadar pemilik kamar masuk pun langsung membereskan kertas itu dan meminta maaf.“Privasi sih sebenarnya, tapi ya sudahlah” ucap Alicia sambil menaruh air minum di atas meja belajarnya dan merapikan yang telah diperbuat Letta. “Aku tahu kau dulu anak orang kaya hanya saja kekayaanmu … dirampok oleh salah satu dari mereka?”“Bagaimana kau tahu?” tanya Letta terkejut.“Ada pertanyaan lebih menarik, bagaimana kau rela dimanfaatkan oleh mereka bertiga?”Kertas yang tidak sengaja dibaca oleh Letta adalah selembar isi surat dari Gilbert yang menyatakan isi hatinya kepada Alicia.Alicia pun berkata bahwa ia mengetahui kejadi
Setelah bertemu dengan Letta ia pun berjalan menuju lokernya dan mendapati hoodie berwarna abu-abu yang diberi oleh mantannya. Lalu, ia menyusup ke kamar mandi perempuan dan menaruhnya di atas wastafel.Itu adalah milik Gilbert, nyatanya laki-laki ini masih memiliki kepedulian yang cukup tinggi walaupun orang-orang sering menyebutnya ‘si cuek’ berhati dingin.Gilbert itu suka sekali membuat orang kesal karena mulutnya yang tidak bisa dikontrol itu.Laki-laki bersurai hitam itu kini tengah membaca sebuah artikel di ponselnya tiba-tiba didorong oleh seseorang, yang membuatnya hampir jatuh tersungkur. Namun, sayangnya ia melihat jika Adelio lah pelakunya.“ADELIO PENGECUT!” teriaknya di lorong yang dapat didengar oleh Adelio. Laki-laki itu pun tersulut emosinya dengan mempercepat langkah kakinya dan melayangkan sebuah hantaman di pipi Gilbert.Mudah sekali memancing emosi Adelio, hanya bermodalkan mulut saja.Gi
Suasana sedang ramai ditambah guru yang akan masuk ke kelas mereka sakit, jam kosong di kelas mereka. Enzi kini tengah membaca buku novel, namun notifikasi di ponselnya mengalihkan perhatiannya.Gilbert Datangi aku sekarang di rooftop. Enzi mencebik kesal, “Mau apalagi sih dia?”Gadis dengan rambut pirang pendek itu pun berjalan cepat menuju tempat terlarang untuk siswa itu.Walaupun ia hanya dekat dengan Gilbert sebatas adik kakak orang-orang terkadang berasumsi jika mereka menjalin hubungan.
Malam itu Gilbert tengah bersiap-siap untuk pergi dengan Alicia. Ia menyemprotkan parfum mewah di tubuhnya. Orang tua Gilbert adalah seorang pejabat berpangkat tinggi.“Gilbert, uangmu sudah ayah transfer,” ucap ayahnya yang tengah bersantai di ruang keluarga bersama dengan istrinya alias mama tiri Gilbert. “Mau ke mana kamu?”Gilbert yang baru saja turun dari lantai 2 ini pun menegak satu gelas minuman bersoda lalu menjawab ayahnya. “Aku mau jalan.”“Jika nilaimu hancur awas saja,” ucapnya mengancam.Gilbert tidak memedulikan omongan pria itu bahkan ia langsung berjalan ke arah garasi untuk mengambil mobil berwarna hitam dan meninggalkan kediamannya menuju apartemen Alicia.Gilbert &nbs
Alicia kini terduduk di atas ranjangnya. Ia tidak ingin berlama-lama di rumah sakit dan segera menghubungi kakak kembarnya itu untuk membantunya berpindah. Rio ikut membantu agar kelakuan mereka tidak sampai terdengar ke telinga orang tua masing-masing, walaupun lambat laun pasti akan terbongkar juga karena keluarga Danendra tidak mungkin diam saja. Gadis itu sedang sarapan sendirian di dalam kamar sebelum Rio tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya dengan wajahnya yang nampak lesu dari biasanya. “Ketuk pintu dulu!” sentak Alicia dengan mata yang sinis, ia tidak suka orang-orang sembarangan membuka kamarnya. Namun, Rio bebal diberi tahu. Sedangkan yang ditegur hanya menggaruk kepalanya tak gatal sembari tersenyum masam. “Kamu ini anak iblis apa ya?” “Anak kambing!” jawab Alicia dengan nada yang sedikit dihentak, sontak jawaban itu membuat Rio terbahak. Rio pun duduk di tepi ranjang sembari memerhatikan Alicia menghabiskan sarapannya, di mata
Alicia mencoba untuk menerobos masuk ke dalam kamar utama untuk mencari tahu dan membeberkan semua, anak ini benar-benar nekat untuk remaja seusia 18 tahun. Ia bersama Letta mulai mencari bukti itu dibantu oleh Rio tentu saja. Suara sepatu dari luar membuat mereka sedikit tergesa-gesa dan mereka lebih memilih untuk bersembunyi di tempat yang berbeda sembari merapikan tempat-tempat yang mereka acak-acak tadi. Jantung Letta berdesir saat seseorang itu masuk dan mulai mendekati persembunyiannya yang berada di balik tirai di sudut kamar sedangkan Alicia yang melihat itu segera memberikan kode kepada Rio. Untungnya sebelum orang itu semakin curiga Rio yang mengamati situasi pun segera membuat kegaduhan. “Oh maaf, aku terpeleset. Bisakah kamu mengepelnya. Akan bahaya jika orang lewat,” ucapnya sembari tersenyum lebar seperti tidak terjadi apa-apa. Belum sampai semenit, orang itu menyerangnya tiba-tiba, namun orang yang menemani Rio itu cepat datang
“Aku tidak akan pergi karena ini juga acaraku.” Rio dari luar hanya terkekeh melihat drama yang ia perbuat itu. Pemadaman lampu itu adalah ulahnya itulah sebab ia berpisah dengan Alicia tadinya. Ia membawa seseorang untuk menjaga listrik. Terukir senyuman di bibir saat Nara mulai menjalankan perannya. Rio yang melihat Alicia membawa Letta keluar pun segera menyusulnya. "Alicia!" panggil Rio dari arah pintu masuk. Langkah kedua gadis itu pun terhenti, Alicia membiarkan Rio membawa Letta entah ke mana sedangkan Alicia sendiri harus kembali ke dalam untuk mencari apa yang ia cari. Letta dan Rio akhirnya menuju parkir dan mereka pun berdiam di sana untuk menunggu kelanjutan peran mereka. Namun, belum sampai lima menit terlihat seseorang hendak mendatangi mobil Rio. "Letta sembunyi di belakang cepat," suruhnya sembari membantu gadis itu karena bajunya yang dikenakannya cukup membuat kerusuhan di dalam mobil. Rio pun menurunkan
Di sebuah kamar seorang gadis duduk di depan meja riasnya ditemani sinar mentari kejingaan yang menandakan sang Surya akan segera menghilang. Gadis yang menggunakan piyama berwarna coklat keemasan itu tersenyum simpul saat ia duduk di depan cermin. "Drama kehidupan begitu kejam ya. Tapi, mereka sendiri yang membuat keadaan sulit untuk diri mereka," monolognya sembari mengatur rambutnya dan mulai meriasi wajahnya dengan make up. Alicia memilih untuk memakai pakaian yang cukup elegan, ia memilih untuk menggunakan dress berwarna abu-abu dengan sepatu heels yang telah disiapkan dan rambut yang sudah diatur sedemikian rupa untuk pesta formal malam ini. Setelah selesai dengan kegiatannya itu ia keluar balkon dan duduk di sana menikmati warna langit yang perlahan memunculkan bintangnya. Ponselnya berdering saat ia hendak menelpon Felix, terpampang jelas di sana ada nama Letta. “Aku di dekatnya,” ucap Letta dari seberang
Di malam hari, Felix akhirnya mendengarkan apa kata Letta, walaupun tadi mereka sempat berdebat kecil karena Felix yang tiba-tiba keras kepala tidak mau mendengarkan. Namun setelah Letta menghampiri kediamannya hati Felix terbuka. Mereka memasuki rumah sakit tersebut. Felix bersama Letta masuk ke ruangan tersebut sedangkan Alicia dan Nara lebih memilih untuk menunggu mereka dari luar karena tidak boleh terlalu banyak orang yang menjenguk. Felix duduk di sebelah ranjang sembari melihat ibunya yang tengah berbaring dengan selang serta alat bantu yang lainnya. Letta menepuk pundak laki-laki itu saat ia ingin menumpahkan air matanya. “Menangislah, aku tidak akan berbicara apapun,” ucap Letta pelan dan saat itu juga ia melihat bahu Felix bergetar menandakan laki-laki itu tengah menangis. Dari belakang Letta hanya bisa mendengar suara isakan kecil Felix. Namun, setelah itu suara dari alat berbentuk kotak itu mengalihkan mereka berdua. Letta keluar d
Sesuai dengan perkataannya, Valerio dengan para staff sekolah akhirnya berdiskusi mengenai masalah ini. Suasana di ruangan ini menegang saat Valerio mulai duduk di kursinya dan memulai pembicaraan. "Saya akan mulai pembicaraan ini, mengenai skandal yang tengah terjadi," ucapnya memulai pembicaraan berat ini. Semua orang di sana menegang, jantung mereka berdegup kencang tidak karuan karena mereka belum dapat mendapatkan pelakunya. Kepala sekolah yang baru saja datang dengan tergesa-gesa itu pun menarik perhatian orang-orang di sana. Terlihat di tanganya ada sebuah amplop coklat lalu ia mengeluarkan beberapa foto dari sana dan memperlihatkannya kepada Valerio, tentu saja laki-laki itu sekarang agak terkejut dan meragukan sang Kepala sekolah. Valerio menarik napasnya untuk tidak meledak sekarang juga, ia tidak pernah berpikir jika kandidat pelakunya adalah gadis yang ia kenal cukup baik. Valerio denial akan hal itu dan semakin berpikir jik
Sudah pasti suasana di seklolah ini menjadi chaos.Murid-murid yang sempat merekamnya pun diminta untuk tidak menyebarkan rekaman itu ke mana-mana atau akan ada sanksi berat menunggu mereka. Valerio yang mendengar hal ini pun langsung turun ke sekolah karena itu akan membahayakan reputasinya. Laki-laki ini melangkahkan kakinya di antara murid-murid sekolah ini. Hanya sedikit dari mereka yang tahu jika Valerio adalah ayahnya Adelio. Saat datang ke ruang kepala sekolah ia mendudukan dirinya ke sofa empuk berwarna merah tersebut lalu menatap kepadasang Kepala sekolah dengan tatapan yang tajam, menyiratkan makna bahwa ia tidak main-main sekarang. "Bagaimana bisa ada rekaman itu dan bocor?" tanyanya sembari menyesap kopi yang telah disediakan. "Saya masih menyelidikinya, dan akan segera memberitahu anda dengan segera," ujar kepala sekolah itu dengan percaya diri. Valerio sedikit menghentak cangkir itu yang membuat orang ya
"Jadi, kamu pilih penawaranku atau tetap mau bersikeras Danendra?" Akhirnya Adelio lebih memilih untuk pasrah seutuhnya. Ia menyatakan akan memilih penawaran Alicia walaupun ia sendiri tidak yakin dengan pilihannya itu. Ia takut ayahnya akan mengamuk, tapi jika Alicia mempersulitnya sepertinya akan lebih daripada itu. Koneksi Alicia juga tidak kalah mengerikan dari dirinya, perempuan ini cukup manipulatif. Setelah itu Nara berjongkok untuk melihat wajah laki-laki itu. "Ingat, jika kamu masih bermain-main akan ada lebih banyak cara mempermalukanmu setelah ini." Adelio mengepalkan tangannya. Ia ingin marah, tapi ia tahu itu hanya akan memperparah keadaan dan yang hanya dapat ia lakukan hanya menghela napas berat sembari mengusap darah yang muncul dari sudut bibirnya. Dia kalah. Alicia dan Nara pun meninggalkannya sendirian di sana menuju ruangan mereka yang berada di belakang gedung itu. Sepanjang jalan Nara menjadi pusat perhatian dan m
"HAHAHA, CINTAMU MENJADI NERAKA, CONGRATULATIONS!" teriak Letta, bahkan gadis itu sekarang tertawa terbahak, namun terlihat jelas itu adalah bukan tertawaan senang. Ia tertawa dengan pipi yang basah, bibir yang terluka dan tentu saja hati yang terluka. Semua terdiam, pandangan mereka mengarah ke Letta sekarang. Gadis itu terlihat menyedihkan. Nara datang setelah pertikaian antara Adelio dan Letta itu terjadi, terlihat ia sedang mengemut permen dengan tatapan mata yang santai, karena ia tahu ini semua akan terjadi. Rencananya berjalan dengan lancar rupanya. "Kenapa tidak dilanjutkan?" Orang-orang di sana terdiam mendengar perkataannya. "Adelio, aku tahu kamu memang pintar, tapi kenapa memilih jalan curang? Bodoh sekali." Adelio masih tetap bergeming menengarkan ocehan Nara yang terlihat sangat arogan di depannya. Padahal ia pun sama saja. Nara mencoba mendekati Adelio lalu menamparnya. Semua orang terkejut dengan sikap Nara yang