Alo Pratama yang memiliki nama Alo Agler sejak lahir tersebut memarkir mobil mewahnya di pelataran parkir sekolah terkemuka di Jakarta, terlalu tua jika dia mengatakan datang untuk mencari ilmu. Keinginan sang kakek untuk makan malam membuatnya berada di kota tersebut, mencari gadis yang diharuskan menjadi istri sang pria agar bisa menjadi penguasa Starla Group.
Ia sudah membulatkan tekad untuk membujuk gadis itu agar menolak rencana sang kakek, kemungkinan membuatnya menggagalkan perjodohan akan sangat besar mengingat hubungan mereka begitu buruk di masa lalu. Alo tak langsung turun, dia justru terpaku di tempat sembari memandang gedung menjulang di depan mata. Sepuluh tahun berlalu begitu cepat, bangunan tersebut pernah ia huni meskipun tak sampai lulus di masa lalu.
“Apa guru-guru masih mengingatku?” gumamnya dengan senyum kecut karena teringat saat terakhir kali kabur dari sekolah demi hal mendesak yang membuat citra sempurnanya berantakan, ada sedikit keraguan untuk maju mengingat betapa mengerikan pilihan yang ia buat di masa lalu.
Namun, dia memang harus menemui Quitta Jofany. Hanya ini peluang dirinya terbebas dari peraturan aneh sang kakek, kenapa harus menikah demi sebuah posisi di perusahaan? Tidak bisakah hanya memberikan bagian untuk cucu-cucunya secara adil?
Setelah dirasa pas, Alo memutuskan keluar dari mobil. Dia berdiri di sisi kendaraan mewah tanpa peduli dengan perhatian para gadis yang tertuju padanya, pria itu hanya melepas kacamata hitam. Menyelipkan di saku jas.
Mata elang itu memindai sekitar, mencari kelas yang disebutkan Daffin. Ini tahun ketiga, artinya Quitta akan berada di lantai teratas sebagai senior. Meskipun ada beberapa perubahan, dia masih hafal jalan menuju kelas yang disebutkan sang pengacara.
“Ternyata bocah itu cukup pintar, dia menempati kelas unggulan. Artinya, di lantai tiga. Apa aku langsung mencarinya atau menyapa guru?” Alo bergumam sembari menimbang langkah yang akan diambil, tetapi dia langsung terlonjak ketika teriakan histeris membahana.
Para gadis sudah terlihat terpukau sambil menunjuk dirinya, menjadi pria idaman dalam sekejap. Memalukan! Alo langsung mengambil inisiatif melangkah, tanpa tebar pesona pun sudah mampu menciptakan kehebohan. Ternyata pesona terbaik masih ia miliki dan tetap mampu menarik perhatian para gadis muda.
“Heh!” Alo dengan sikap tak sopannya mencegat dua orang pemuda yang berjalan dari arah berlawanan, “Kalian kenal Quitta Jofany?”
Dua orang yang ditanya langsung tergelak, hal yang sangat aneh. Kenapa mereka tertawa? Menciptakan kesan kurang nyaman, menjadikan praduga buruk semakin menyabotase pikiran.
“Jadi, Kakak juga mencari Quitta?” Pertanyaan yang membuat kening Alo mengeriput, “Cewek populer memang luar biasa, ada banyak cowok tampan yang mengejar. Apalah daya kami yang hanya cowok biasa? Semua yang datang selalu terlihat kaya.”
Juga? Apa artinya sudah ada yang mencari sebelum dirinya? Jangan-jangan Galen mendahului? Ah, mana mungkin! Daffin bilang, jika dirinya gagal, baru sang sepupu yang akan maju. Isi wasiat tersebut bahkan baru diketahui keluarganya serta sang pengacara, mustahil saudara Alo tersebut tiba lebih awal.
“Tapi, apa Kakak sudah menyiapkan mental dari rumah?” tanya seorang anak yang memiliki jenis rambut kriwil disertai senyum lucu di wajah, “Terakhir kali, seorang laki-laki berpenampilan keren datang mencarinya. Namun, dia pergi dalam waktu tiga detik.”
“Kalau masih sayang mental, sebaiknya Kakak cari perempuan lain. Jangan menggali kubur secara sukarela, ini saran kami sebagai sesama lelaki.” Si pemilik tubuh ceking mendekat sembari menepuk-nepuk pundak kiri Alo, pria itu ingin mengumpat. Namun, dia tahan ketika dari arah depan terlihat rombongan mendekat.
Mereka bukan dewan guru, Alo mengabaikan ocehan para murid tentang calon istrinya. Dia justru tertarik terhadap satu sosok tak asing yang kian mendekat, debar di balik dada menjelaskan situasi perasaan saat ini. Ada bahagia sekaligus kelegaan.
“Minggir, Kak. Wanita itu adalah donatur terhebat, beri jalan untuk rombongannya.” Anak dengan rambut keriwil itu menarik lengan Alo untuk menepi, dia yang biasanya langsung marah hanya terlihat tak berkedip ke arah depan.
Di sana terlihat seorang wanita dewasa tengah mengangguk-angguk saat lelaki di sisi kanan menunjuk bangunan di sekitar, begitu serius tanpa peduli keadaan lainnya. Melewati Alo begitu saja, tetapi detik berikutnya rombongan berhenti. Barisan para pria terbelah ketika sang bos memilih berbalik.
“Alo …?” Sapaan ini bernada ragu dan kaget disertai dengan ekspresi yang begitu ambigu, pria yang semula berpraduga buruk langsung tersenyum. Mengangguk pelan sebagai jawaban atas keraguan sang wanita.
Tak terduga, wanita yang dikawal ketat tersebut mendekat. Melangkah pelan tanpa melepas pandangan dari wajah sang pria, ada sorot kerinduan. Keduanya hanya berucap dengan pandangan, enggan melontarkan kata apa pun.
“Apa Ibu Anya mengenalnya?” Pertanyaan ini berasal dari salah seorang dewan guru yang mengawal rombongan, tak lain Bobby Alexander.
“Iya, mereka sangat mengenal satu sama lain.” Jawaban ini memaksa semua orang menoleh, Quitta sudah berdiri dengan kedua tangan bersedekap. Tak ada ekspresi apa pun di sana, hanya lirikan sekilas menuju Bobby.
“Sepasang mantan suami-istri viral di masa lalu,” tambahnya membuat semua orang langsung membekap mulut, “Bapak tak pernah membuka Sosmed?”
Bobby hanya bisa menggerak-gerakkan bibir, tak mampu menanggapi ketika Quitta sudah melontarkan bahasa demikian. Alo menoleh, lupa jika sedang berpapasan dengan mantan istri kontraknya di masa lalu. Tertarik dengan narasumber yang begitu lancang menjelaskan status di depan semua orang.
“Ke sini untuk bertemu aku, ‘kan?” Gadis itu masih tak peduli dengan reaksi semua orang, “Ikut aku.”
Alo tak memiliki pilihan, semakin dia menunjukkan rasa bersalah di hadapan Anya, semua orang akan bergosip setelah ini. Pria itu akhirnya mengikuti gadis berseragam putih abu-abu tersebut, menjauh dari rombongan. Bobby menghela napas, menunduk penuh rasa bersalah di hadapan donatur.
“Siapa gadis itu?” tanya Anya dengan nada kecewa, kejutan bertemu Alo mendadak menjelma momen menyebalkan.
“Maaf, Bu. Saya akan menegurnya, apa Ibu ingin lelaki tadi dipanggil?” Bobby mengambil alih sebelum wakil kepala sekolah menanggapi, dia tak mau Quitta dalam masalah besar. Gadis itu memang memiliki masalah dengan sikap, selalu diburu guru lain untuk dihakimi.
“Pak Bobby mau membelanya lagi?” cetus Pak Temmy yang memang sangat kesal dengan tingkah laku Quitta, “Jangan hanya karena dia putri ….”
Pria itu tak berani melanjutkan kalimat karena teringat dengan nama ayah Quitta, kembali terdiam sambil tertunduk. Siapa yang akan menyentuh gadis tersebut? Jofan Dastarasta merupakan pemilik yayasan, yang artinya sekolah ini pun kepunyaan si Pembuat Onar.
“Putri Jofan Dastarasta?” ulang Anya teringat sesuatu mengenai nama tersebut, “Ibunya Bimby Princessyaila?”
“Benar, dia putri pemilik sekolah ini.” Bobby menegaskan sembari membungkuk, tak nyaman telah membuat masa lalu Anya disinggung.
“Quitta Jofany?” tanyanya sekali lagi memastikan nama gadis tadi, Bobby mengangguk membenarkan. Pria tersebut mengernyit saat Anya membuka mulut, senyum tak nyaman itu menunjukkan bahasa berbeda.
Ada apa dengan mereka? Dia mulai gelisah, terlebih saat melihat sosok Alo yang jauh dari kata jelek. Mungkinkah akan ada benang merah serius yang mengikat keduanya?
***
“Kamu tahu kalau aku sedang mencarimu?” tanya Alo saat mereka berada di atap sekolah, entah apa maksud Quitta membawanya berbicara di tempat yang sedikit anti mainstream.“Kakek yang memberitahumu?” lanjutnya dengan kesal karena Quitta hanya mengarahkan pandangan ke bawah, menuju rombongan yang sedang berkeliling sekolah. Gadis itu memang sedang mengamati Bobby, laki-laki yang sudah menancapkan luka di balik dada.Dia tak berpikir kejadian dua malam lalu sebagai sesuatu yang nyata, hanya mimpi buruk. Namun, melihat sikap dingin pria itu, penolakan benar-benar diberikan. Tak ada cinta antar lawan jenis untuknya, hanya tentang kasih sayang ayah serta anak.“Heh!” bentak Alo merasa diabaikan oleh sang gadis, “Kamu sengaja mengabaikanku?”“Kalau tahu diabaikan, untuk apa masih berdiri di sini?” Tanggapan yang membuat pria itu meniup napas dengan kesal, jadi ini yang dimaksud oleh dua pemuda tadi. Seseorang langsung pergi setelah tiga detik, memang sangat
“Oke, aku akan menerima perjodohan ini.” Keputusan akhir Quitta membuat Alo melongo, kenapa gadis itu mengatakan hal sebaliknya? Semula ia setuju untuk menolak perjodohan, kenapa saat makan malam berlangsung justru menciptakan kehebohan?Jofan yang turut hadir menemani sang putri tercinta tersedak, ia batuk sehingga Bimby berdiri, dan memberikan air sembari menepuk-nepuk punggung lelakinya. Wanita itu tak kalah shock, acara makan malam biasa menjelma menjadi rapat keluarga yang mengejutkan. Apa yang sedang Quitta lakukan?“Bagus!” seru sang kakek yang terlihat begitu antusias dengan jawaban Quitta, gadis itu hanya melebarkan senyum. Kemudian, menyendokkan makanan ke dalam mulut. Sama sekali tak terbebani.Alo yang semula begitu percaya diri akan kegagalan perjodohan, mulai terlihat gusar. Dia dipermainkan oleh bocah itu, seharusnya tak percaya begitu saja saat Quitta meminta berbicara ketika makan malam. Kalau tahu akan sekacau ini, tentu dia menyeret gadi
“Quitta, hentikan!” sentak Bimby ketika sang anak berada di dua anak tangga pertama, “Amma menahan diri untuk tak menentangmu di depan semua orang, tapi apa yang sudah kamu lakukan? Jangan bermain-main dengan kebersamaan!”Gadis itu tersenyum getir, dia menunggu teguran ini. Tubuh tersebut berbalik, di depannya berdiri dua orang yang sangat ia kasihi. Sang ibu terlihat marah, sementara ayahnya meniup napas dengan tatap teduh yang menenangkan.“Kenapa kalian boleh bermain-main dengan pernikahan dan aku tidak?” balasnya telak memaksa sang ibu semakin emosi, “Amma, bukankah aku dan Bobby Alexander tak boleh bersama, lalu kenapa dengan Alo Pratama pun dilarang?”“Kami tak mau kamu terluka lebih dalam, waktumu masih panjang untuk mengerti tentang kebersamaan antara sepasang manusia yang mengikat diri dalam pernikahan.” Jofan mengambil alih untuk menanggapi, “Cukup appa yang pernah melakukan kesalahan d
“Tanda tangan,” ujar Alo dengan telunjuk diketuk-ketukkan di atas kertas bermaterai, di sana tertera perjanjian mengenai satu kontrak. Quitta sudah memutuskan untuk tidak meminta bagian apa pun saat mereka benar-benar menikah dan warisan dijatuhkan kepadanya, ia harus memastikan ucapan itu sebagai kenyataan. Sebab, jika berubah pikiran di masa depan, tidak akan ada perubahan yang mengejutkan.“Apa ini?” tanya Quitta sembari mengambil kertas yang terdiri dari tiga lembar, membaca sekilas sebelum tertawa halus.Gadis itu masih berseragam ketika mendatangi Alo, masuk ke ruangan sang Presdir yang resmi menjabat hari ini karena kesepakatan berhasil dibuat. Tak jauh berbeda dengan tempat kerja Jofan, hanya interior dan penempatan beberapa perabot tidak sama. Pindaian beralih pada lelaki di depannya, pria tersebut menunggu sang gadis membubuhkan tanda tangan.“Apa begini cara Kakak membuat kesepakatan denganku?” ejek Quitta sembari m
“Jadi, kalian sepakat untuk tinggal bersama di Owl Place?” Daffin sedikit tak percaya ketika melihat tampang Alo sangat kacau, bagaimana seorang pria dengan tingkat kejeniusan yang sudah diakui justru kalah telak oleh anak SMA?Bahkan, rumor menyebutkan jika Quitta Jofany berhasil membuat Alo tak menemukan kata untuk membalas setiap ucapan di acara makan malam keluarga. Gadis itu memimpin situasi, menjinakkan sosok paling arogan di keluarga Pratama Laksana. Jika sang cucu mewarisi kekasaran sikap sang kakek dan selama ini mampu membuat semua orang tersinggung atas kata-katanya, tetapi di depan sang calon istri jusru bungkam.Di sisi lain, sang pengacara merasa begitu bersyukur atas kemunculan Quitta, setidaknya akan membantu dalam mengendalika Alo mulai sekarang. Dia bisa kembali fokus terhadap urusan lain, tidak melulu menjadi budak yang pada akhirnya hanya dimaki oleh sang sahabat. Dengan begitu, Daffin bisa bernapas lega sejak hari ini.D
“Appa!” Quitta merajuk dengan nada penuh protes ketika melihat siapa yang datang bersama kedua orang tuanya, menghadiahkan tatap kesal pada Jofan yang hanya angkat bahu.Pria itu melangkah maju, duduk tanpa dipersilakan. Sang ibu pun sama, bersikap cuek meski ada Alo bersama Quitta. Kemudian, tamu terakhir ikut duduk di samping kanan Bimby, ada apa dengan mereka bertiga?“Apa kamu pikir, amma akan membiarkan kalian berdua tinggal satu atap tanpa pengawasan orang dewasa?” balas Bimby dengan tatap tajam yang mengintimidasi, sengaja membawa serta Bobby dalam urusan pernikahan terencana tersebut.Dia bersama sang suami sudah sepakat untuk memberikan penolakan karena enggan menjadikan Quitta sebagai senjata dalam kepentingan bisnis, nyatanya sang gadis justru begitu bersemangat menyambut keinginan kakek tua tersebut. Jofan tahu, putri sambungnya tentu sangat menginginkan rumah lama mereka, di mana kenangan bersama sang ayah asuh begitu kuat. G
“Appa akan terus bersikap tak tahu malu begini?” tanya Quitta dengan muka masam sambil mengamati sang pria yang hanya memilih membuka koper, mengeluarkan beberapa pakaian. “Kenapa harus tak tahu malu saat harus menjaga bocah yang sudah kurawat sejak bayi?” balas Bobby masih dengan nada santai, sama sekali tak pernah memberikan intonasi lebih tinggi atau sekadar tampang dilipat. Inilah yang membuat Quitta begitu menyukai keribadian sang ayah asuh, orang lain tanpa hubungan darah tersebut jusru sangat menenangkan setiap kali melontarkan kata. Jauh berbeda dengan Bimby, perempuan yang ia sebut ibu justru tak memberikan kesempatan hidup tenang. Bagaimana dirinya bisa membenci sosok pria maskulin itu? Entah kapan Quitta menyadari perasaannya, dia menjadi sangat merindukan Bobby. Mengira perasaan yang ada hanya tentang kangen terhadap sosok yang merawat ketika bayi, nyatanya tidak demikian. Sang gadis sangat kesakitan setiap kali melihat pria yang kini menjadi guru
“Tuhan menciptakanmu dengan rahasia Braille di dalamnya, harus buta dulu untuk bisa melihat kebenaran yang tersembunyi. Meski ada cinta dan kerinduan di ujung semesta hatimu, tunggu sampai aku lumpuh agar bisa mencapainya,” sambil berujar demikian, dia melepas tangan gadis yang sejak awal sudah terisak, dan perlahan mundur tanpa melepas pandangan.“Tapi, tak perlu tuli untuk mendengar pengakuanku!” Sebaliknya, si gadis dengan tegas berujar saat tubuh itu berbalik sempurna, “Aku jatuh cinta pada Bobby Alexander, Appa.”Pengakuan tersebut meluncur lancar lengkap dengan air mata yang terus menganak sungai melewati gundukan pipi tembamnya, perempuan muda itu memaksa sang pria kembali terpasung di tempat. Kesulitan bergerak walau hanya untuk mengayunkan sebelah kaki, gemuruh di balik dada mewakili perasaan sesungguhnya. Kontras dengan raut serta sikap yang tengah dipertontonkan.Bobby Alexander, pria 39 tahun tersebut hanya mengatur napas sembari memejamkan mat
“Appa akan terus bersikap tak tahu malu begini?” tanya Quitta dengan muka masam sambil mengamati sang pria yang hanya memilih membuka koper, mengeluarkan beberapa pakaian. “Kenapa harus tak tahu malu saat harus menjaga bocah yang sudah kurawat sejak bayi?” balas Bobby masih dengan nada santai, sama sekali tak pernah memberikan intonasi lebih tinggi atau sekadar tampang dilipat. Inilah yang membuat Quitta begitu menyukai keribadian sang ayah asuh, orang lain tanpa hubungan darah tersebut jusru sangat menenangkan setiap kali melontarkan kata. Jauh berbeda dengan Bimby, perempuan yang ia sebut ibu justru tak memberikan kesempatan hidup tenang. Bagaimana dirinya bisa membenci sosok pria maskulin itu? Entah kapan Quitta menyadari perasaannya, dia menjadi sangat merindukan Bobby. Mengira perasaan yang ada hanya tentang kangen terhadap sosok yang merawat ketika bayi, nyatanya tidak demikian. Sang gadis sangat kesakitan setiap kali melihat pria yang kini menjadi guru
“Appa!” Quitta merajuk dengan nada penuh protes ketika melihat siapa yang datang bersama kedua orang tuanya, menghadiahkan tatap kesal pada Jofan yang hanya angkat bahu.Pria itu melangkah maju, duduk tanpa dipersilakan. Sang ibu pun sama, bersikap cuek meski ada Alo bersama Quitta. Kemudian, tamu terakhir ikut duduk di samping kanan Bimby, ada apa dengan mereka bertiga?“Apa kamu pikir, amma akan membiarkan kalian berdua tinggal satu atap tanpa pengawasan orang dewasa?” balas Bimby dengan tatap tajam yang mengintimidasi, sengaja membawa serta Bobby dalam urusan pernikahan terencana tersebut.Dia bersama sang suami sudah sepakat untuk memberikan penolakan karena enggan menjadikan Quitta sebagai senjata dalam kepentingan bisnis, nyatanya sang gadis justru begitu bersemangat menyambut keinginan kakek tua tersebut. Jofan tahu, putri sambungnya tentu sangat menginginkan rumah lama mereka, di mana kenangan bersama sang ayah asuh begitu kuat. G
“Jadi, kalian sepakat untuk tinggal bersama di Owl Place?” Daffin sedikit tak percaya ketika melihat tampang Alo sangat kacau, bagaimana seorang pria dengan tingkat kejeniusan yang sudah diakui justru kalah telak oleh anak SMA?Bahkan, rumor menyebutkan jika Quitta Jofany berhasil membuat Alo tak menemukan kata untuk membalas setiap ucapan di acara makan malam keluarga. Gadis itu memimpin situasi, menjinakkan sosok paling arogan di keluarga Pratama Laksana. Jika sang cucu mewarisi kekasaran sikap sang kakek dan selama ini mampu membuat semua orang tersinggung atas kata-katanya, tetapi di depan sang calon istri jusru bungkam.Di sisi lain, sang pengacara merasa begitu bersyukur atas kemunculan Quitta, setidaknya akan membantu dalam mengendalika Alo mulai sekarang. Dia bisa kembali fokus terhadap urusan lain, tidak melulu menjadi budak yang pada akhirnya hanya dimaki oleh sang sahabat. Dengan begitu, Daffin bisa bernapas lega sejak hari ini.D
“Tanda tangan,” ujar Alo dengan telunjuk diketuk-ketukkan di atas kertas bermaterai, di sana tertera perjanjian mengenai satu kontrak. Quitta sudah memutuskan untuk tidak meminta bagian apa pun saat mereka benar-benar menikah dan warisan dijatuhkan kepadanya, ia harus memastikan ucapan itu sebagai kenyataan. Sebab, jika berubah pikiran di masa depan, tidak akan ada perubahan yang mengejutkan.“Apa ini?” tanya Quitta sembari mengambil kertas yang terdiri dari tiga lembar, membaca sekilas sebelum tertawa halus.Gadis itu masih berseragam ketika mendatangi Alo, masuk ke ruangan sang Presdir yang resmi menjabat hari ini karena kesepakatan berhasil dibuat. Tak jauh berbeda dengan tempat kerja Jofan, hanya interior dan penempatan beberapa perabot tidak sama. Pindaian beralih pada lelaki di depannya, pria tersebut menunggu sang gadis membubuhkan tanda tangan.“Apa begini cara Kakak membuat kesepakatan denganku?” ejek Quitta sembari m
“Quitta, hentikan!” sentak Bimby ketika sang anak berada di dua anak tangga pertama, “Amma menahan diri untuk tak menentangmu di depan semua orang, tapi apa yang sudah kamu lakukan? Jangan bermain-main dengan kebersamaan!”Gadis itu tersenyum getir, dia menunggu teguran ini. Tubuh tersebut berbalik, di depannya berdiri dua orang yang sangat ia kasihi. Sang ibu terlihat marah, sementara ayahnya meniup napas dengan tatap teduh yang menenangkan.“Kenapa kalian boleh bermain-main dengan pernikahan dan aku tidak?” balasnya telak memaksa sang ibu semakin emosi, “Amma, bukankah aku dan Bobby Alexander tak boleh bersama, lalu kenapa dengan Alo Pratama pun dilarang?”“Kami tak mau kamu terluka lebih dalam, waktumu masih panjang untuk mengerti tentang kebersamaan antara sepasang manusia yang mengikat diri dalam pernikahan.” Jofan mengambil alih untuk menanggapi, “Cukup appa yang pernah melakukan kesalahan d
“Oke, aku akan menerima perjodohan ini.” Keputusan akhir Quitta membuat Alo melongo, kenapa gadis itu mengatakan hal sebaliknya? Semula ia setuju untuk menolak perjodohan, kenapa saat makan malam berlangsung justru menciptakan kehebohan?Jofan yang turut hadir menemani sang putri tercinta tersedak, ia batuk sehingga Bimby berdiri, dan memberikan air sembari menepuk-nepuk punggung lelakinya. Wanita itu tak kalah shock, acara makan malam biasa menjelma menjadi rapat keluarga yang mengejutkan. Apa yang sedang Quitta lakukan?“Bagus!” seru sang kakek yang terlihat begitu antusias dengan jawaban Quitta, gadis itu hanya melebarkan senyum. Kemudian, menyendokkan makanan ke dalam mulut. Sama sekali tak terbebani.Alo yang semula begitu percaya diri akan kegagalan perjodohan, mulai terlihat gusar. Dia dipermainkan oleh bocah itu, seharusnya tak percaya begitu saja saat Quitta meminta berbicara ketika makan malam. Kalau tahu akan sekacau ini, tentu dia menyeret gadi
“Kamu tahu kalau aku sedang mencarimu?” tanya Alo saat mereka berada di atap sekolah, entah apa maksud Quitta membawanya berbicara di tempat yang sedikit anti mainstream.“Kakek yang memberitahumu?” lanjutnya dengan kesal karena Quitta hanya mengarahkan pandangan ke bawah, menuju rombongan yang sedang berkeliling sekolah. Gadis itu memang sedang mengamati Bobby, laki-laki yang sudah menancapkan luka di balik dada.Dia tak berpikir kejadian dua malam lalu sebagai sesuatu yang nyata, hanya mimpi buruk. Namun, melihat sikap dingin pria itu, penolakan benar-benar diberikan. Tak ada cinta antar lawan jenis untuknya, hanya tentang kasih sayang ayah serta anak.“Heh!” bentak Alo merasa diabaikan oleh sang gadis, “Kamu sengaja mengabaikanku?”“Kalau tahu diabaikan, untuk apa masih berdiri di sini?” Tanggapan yang membuat pria itu meniup napas dengan kesal, jadi ini yang dimaksud oleh dua pemuda tadi. Seseorang langsung pergi setelah tiga detik, memang sangat
Alo Pratama yang memiliki nama Alo Agler sejak lahir tersebut memarkir mobil mewahnya di pelataran parkir sekolah terkemuka di Jakarta, terlalu tua jika dia mengatakan datang untuk mencari ilmu. Keinginan sang kakek untuk makan malam membuatnya berada di kota tersebut, mencari gadis yang diharuskan menjadi istri sang pria agar bisa menjadi penguasa Starla Group.Ia sudah membulatkan tekad untuk membujuk gadis itu agar menolak rencana sang kakek, kemungkinan membuatnya menggagalkan perjodohan akan sangat besar mengingat hubungan mereka begitu buruk di masa lalu. Alo tak langsung turun, dia justru terpaku di tempat sembari memandang gedung menjulang di depan mata. Sepuluh tahun berlalu begitu cepat, bangunan tersebut pernah ia huni meskipun tak sampai lulus di masa lalu.“Apa guru-guru masih mengingatku?” gumamnya dengan senyum kecut karena teringat saat terakhir kali kabur dari sekolah demi hal mendesak yang membuat citra sempurnanya berantakan, ada
Suite Room Starla Hotel“Menikah?” ulang seorang pria termuda di antara mereka yang ada dalam ruangan, sosok paling terlihat tenang tersebut mendadak membolakan mata dengan sempurna ketika pembahasan serius dilontarkan.Tatapannya beralih pada wanita yang terlihat berpura-pura membenarkan posisi rok yang tak bermasalah, sementara sang ayah tampak berdeham tanpa perasaan berdosa. Berbeda dengan lelaki yang usianya sekitar tiga atau empat tahun di atasnya, pengacara keluarga sekaligus teman dekat beberapa tahun terakhir tersebut mendelik sebagai isyarat untuk tetap santai. Sementara lelaki tua dengan kedua tangan bertopang pada tongkat elbow itu hanya menjadi pendengar dengan raut muka datar.“Apa ini masuk akal?” tambahnya masih dengan nada tinggi yang khas, “Ma, katakan kalau kakek sedang bercanda.”Perempuan itu hanya bisa komat-kamit dengan bentuk mata yang dibuat selebar mungkin, sang ayah pun terli