“Appa akan terus bersikap tak tahu malu begini?” tanya Quitta dengan muka masam sambil mengamati sang pria yang hanya memilih membuka koper, mengeluarkan beberapa pakaian.
“Kenapa harus tak tahu malu saat harus menjaga bocah yang sudah kurawat sejak bayi?” balas Bobby masih dengan nada santai, sama sekali tak pernah memberikan intonasi lebih tinggi atau sekadar tampang dilipat.
Inilah yang membuat Quitta begitu menyukai keribadian sang ayah asuh, orang lain tanpa hubungan darah tersebut jusru sangat menenangkan setiap kali melontarkan kata. Jauh berbeda dengan Bimby, perempuan yang ia sebut ibu justru tak memberikan kesempatan hidup tenang. Bagaimana dirinya bisa membenci sosok pria maskulin itu?
Entah kapan Quitta menyadari perasaannya, dia menjadi sangat merindukan Bobby. Mengira perasaan yang ada hanya tentang kangen terhadap sosok yang merawat ketika bayi, nyatanya tidak demikian. Sang gadis sangat kesakitan setiap kali melihat pria yang kini menjadi guru di sekolah berdekatan bersama perempuan lain.
Saat mengetahui kedekatan Bobby dengan Anya, Quitta mengalami sedikit masalah. Perih yang tiba-tiba muncul di balik dada, perasaan kacau hingga tak rela. Semua dirasakan dalam satu aktu sehingga menempatkannya pada situasi rumit yang begitu menyulitkan.
“Appa, apa hatimu di Neraka?” Kembali Quitta melontarkan kalimat sadis, “kenapa masih bisa tersenyum begitu manis setelah menusukkan belati di hatiku?”
“Kapan aku melakukannya?” sanggah Bobby sambil menghentikan gerakan tangan mengambi beberapa pakaian, “oh, malam itu … kamu merasa appa sangat kejam?”
Quitta tak memberikan tanggapan, dia hanya terlihat menahan diri untuk tidak menangis. Kenapa Bobby begitu menyebalkan? Namun, hatinya justru merasa senang meski diperlakukan begitu kejam.
“Quitta, appa masih sangat merindukanmu. Ingin kita kembali seperti dulu, jangan menciptakan jarak. Biarkan ….”
“Katakan itu pada Tuhan!” potong Quitta cepat dengan muka gusar, “tanyakan juga dengan jelas, kenapa Dia membuat perasaan bodoh ini kalau ternyata hanya menjadikannya penyakit yang menjijikkan?”
Setelah berucap demikian, Quitta membalikkan badan. Pintu dibanting hingga menimbulkan bunyi cukup keras, Bobby terlihat menjatuhkan kedua lengan di samping tubuh. Lemas!
Pria itu mundur, duduk di sisi tempat tidur. Menutup wajah dengan kedua telapak tangan, mengatur napas yang sudah tak karuan. Kenapa dirinya selalu tidak bisa menolak keinginan Bimby?
Dia sudah memutuskan akan mencoba kehidupan lain, menjalin hubungan normal bersama wanita dewasa. Tidak lagi terjebak pada bayang-bayang sang cinta pertama, tetapi apa ini? Bobby justru kembali dihadapkan pada persoalan hati paling rumit, mengatasi Quitta.
“Ahjussi, aku mohon, ya ….” Bimby memohon dengan wajah memelas, meminta untuk bersedia tinggal di rumah lama. Sebab, mereka curiga telah terjalin kesepakatan konyol antara Quitta dan Alo yang bisa melahirkan sesal di kemudian hari.
“Kamu tahu apa yang terjadi dengan putri kita?” balas Bobby pada dua orang yang mengangguk kompak, “lalu, kalian memintaku tetap berada di sisinya setelah menyakiti hati Quitta cukup parah?”
Lagi-lagi mereka hanya mengangguk kompak, siapa lagi yang bisa mengendalikan Quitta? Gadis itu tak akan patuh jika dia dan Jofan mengatakan sesuatu, mana mungkin mau mendengarkan ketika sudah benar-benar terluka oleh Bobby. Satu-satunya cara terbaik yang bisa dilakukan adalah menempatkan si Pembuat Luka di sisi sang buah hati.
Menolak keinginan Bimby adalah perkara mustahil, perempuan tersebut memiliki ketangguhan paling bebal di dunia. Tidak akan pernah bisa digoyahkan ketika menginginkan sesuatu, harus diwujudkan sesuai imajinasi. Lihat saja, tanpa sungkan langsung meraih tangan Bobby.
“Ahjussi, mau, ya …?” Bimby kembali mengatakan hal yang sangat sulit untuk dituruti, “hem?”
“Jo!” sentak Bobby pada pria yang hanya memejamkan mata sembari bersandar santai, “istrimu.”
Jofan hanya menimpali dengan kedua bahu terangkat kompak, “Baru berapa menit? Aku semalaman enggak tidur, nikmati saja.”
Bobby langsung melempar bantal pada suami Bimby tersebut, cukup kesal karena justru pasrah begitu saja. Kemudian, tatapnya beralih pada Bimby yang masih menunjukkan tampang memelas. Bobby mengusap kasar muka perempuan yang masih mampu membuatnya tak bisa menolak.
“Kalian memintaku menjauhi Quitta dengan alasan perkembangan mental, tapi sekarang …?” Bobby hanya sedang tak habis pikir terhadap keputusan plin-plan pasangan tersebut, bagaimana dirinya bisa menunjukkan muka di depan gadis yang jelas-jelas sudah dibuat menangis malam itu?
“Ini di luar kuasa kita sebagai manusia, kejadian tak terduga.” Bimby menanggapi sembari cengengesan, “makanya, Ahjussi harus bertanggung jawab sekarang!”
“Kenapa harus aku?”
“Karena aku yang meminta,” jawab Bimby sambil melebarkan senyuman, “oke, besok akan kami jemput. Ayo, aku bantu Ahjussi mengemasi barang!”
Tanpa menunggu persetujuan, Bimby berlari menuju kamar Bobby. Pria itu langsung mengacak kasar rambut, kembali memandang Jofan yang masih bertingkah serupa. Hanya angkat bahu.
Begitulah cara mereka menjebak dirinya, apa takdir akan terus menawan Bobby dalam lingkar kehidupan pasangan absurd tersebut? Kini, dia benar-benar berada dalam situasi yang sangat rentan tergoyahkan. Bersama Quitta yang merupakan copy paste ibunya, bagaimana cara sang psikiater melepaskan diri?
Bobby memutuskan berdiri, dia hanya perlu mengontrol diri dengan mencari angin segar. Pria tersebut keluar, melirik pintu kamar di sebelah kanan. Di sana Quitta tengah menyetel musik cukup keras.
Laki-laki tersebut mendekati tangga, memutuskan untuk turun. Namun, dari arah berlawanan terlihat Alo sedang menuju lantai dua. Mereka sama-sama memilih diam di tempat.
“Mau keluar?” tanya Alo mengakhiri kecanggungan yang tak nyaman, dia hanya perlu membiasakan diri tinggal bersama orang asing tersebut.
Bobby mengangguk, tetapi ekor mata jelas memindai sang lelaki muda. Sosok yang akan menjadi teman hidup Quitta, Alo dengan ketampanan paling bisa diandalkan. Di atas rata-rata.
“Kalian akan tinggal satu kamar?” Bobby akhirnya mengeluarkan suara ketika mereka sejajar, “di atas hanya ada dua ruang untuk istirahat, apa yang akan kamu lakukan?”
“Kenapa bertanya saat ini rumahku?” balas Alo enggan lagi merasa menjadi tak berdaya di depan orang-orang dewasa, “seharusnya aku yang bertanya, kenapa tak tinggal di ruang tamu?”
Bobby hanya tersenyum sehingga cekungan di pipi kanan tampak begitu jelas, “Bagaimana kalau kita tidur bersama?”
Alo langsung bergidik, dia memilih berlari menuju lantai dua. Niatnya menemui Quitta, membahas ruang untuk tidur. Kenapa dirinya harus berada di bawah?
Rumah ini terbilang mewah, tetapi pelit kamar. Apa yang menarik di tempat tersebut? Alo hanya terus melangkah, menggedor pintu kamar Quitta. Namun, tak mendapat tanggapan.
Sang lelaki memilih melakukan panggilan, musik berhenti. Terdengar langkah kaki mendekat, lalu pintu terbuka. Quitta hanya bersembunyi di baliknya.
“Apa?”
“Buka pintunya, kita harus bicara.” Alo mencoba bernegosiasi, dia akan menyiasati situasi tak terduga ini dengan bekerja sama dengan sang calon istri.
“Kakak enggak bisa membaca suasana hatiku?” tanya Quitta dengan nada kesal, “aku sedang enggak minat mengobrol!”
“Keluar atau aku yang masuk?”
“Bicara saja dari sana!”
Alo berteriak, ingin sekali menjitak Quitta. Benar-benar gemas dengan tingkah sang gadis yang sangat sulit dikendalikan, kenapa dirinya begitu mudah terjebak pada kesepakatan? Jika tahu akan serumit ini, lebih baik membiarkan Galen yang maju.
Dijamin, sang sepupu akan kewalahan menangani Quitta. Dia tak memperhitungkan sejauh ini, hanya melihat sekilas. Ternyata jauh lebih rumit dari perkiraan.
“Kita bertiga, sedangkan kamar utama hanya ada dua. Apa aku harus tidur di ruang tamu?”
“Why not?” timpal Quitta cepat dengan tampang super cuek yang khas, “bukankah tamu adalah raja?”
“Jadi, aku harus mengalah?” Alo mulai terlihat gusar dengan tatap serius, Quitta mengangguk cepat.
Pria itu hendak membuka mulut kembali, tetapi pintu sudah tertutup rapat. Alo menendang udara kosong, lalu kembali berteriak. Namun, terlonjak kaget saat melihat Bobby sudah bersandar di sisi lain.
“Apa dia sangat menyusahkan?” tanya Bobby yang menyilangkan kedua tangan di depan dada bidang miliknya, “yakin mau tinggal bersama Quitta? Setahun bukan masa singkat, kira-kira kuat menghadapi gadis itu?”
Alo tak segera menjawab, dia memilih untuk mendekat pada Bobby. Satu-satunya cara terbaik untuk bertahan demi mendapatkan warisan adalah dengan tetap tinggal di rumah ini, tetapi jika harus tidur selama satu tahun di ruang tamu, tentu bukan pilihan bijak. Jadi, dia sudah memutuskan menerima tawaran sang tamu.
“Ayo, kita tidur bersama!” ajak Alo tanpa keraguan, membuang wajah untuk menyembunyikan gengsi.
Bobby hanya tergelak, model manusia arogan yang tumpul. Kehilangan taring hanya karena seorang Quitta, dia mulai memindai sosok seorang Alo. Tidak seperti yang dirumorkan, mungkin telah berubah.
“Kamu tahu kalau kami dekat?” Pertanyaan Bobby membuat wajah Alo mengerut, “aku dan mantan istri kontrakmu?”
Alo menoleh seketika, dia tak tahu harus mengatakan apa sekarang. Perlu ditanggapi atau mengabaikan saja. Jika menyangkut Anya, perasaan yang tenang mulai bergejolak.
“Lalu?” Hanya ini yang mampu keluar dari mulut Alo, tak bisa lagi melanjutkan kata-kata. Sebab, kerongkongan mendadak sulit diajak berkompromi.
“Quitta tak akan melepas kami, dia bukan gadis manis yang penurut. Apa itu baik-baik saja untuk kalian?”
“Kalian?” ulang Alo dengan sedikit penekanan, tak mau salah mengambil kesimpulan.
“Kalian bertiga.”
Alo sendiri tak tahu, entah semua akan baik-baik saja atau malah membuat situasi memburuk. Jika selama ini ambisinya hanya tentang mewarisi kekayaan sang kakek demi membuktikan keberadaan yang selama ini diabaikan, sekarang keinginan tersebut seolah menguap. Kenapa harus kembali muncul nama Anya?
Sama seperti Quitta, kemungkinan dirinya masih belum bisa terlepas dari kenangan masa lalu. Namun, mengakui perasaan tersebut sebagai cinta, sedikit berlebihan. Kalaupun mungkin memang dia tengah memiliki rasa tersebut tanpa disadari.
Alo hanya ingin fokus bekerja, menunjukkan identitas yang bisa diakui semua orang. Tak tega jika sang ayah terus dijadikan alasan untuk menjatuhkan martabat keluarga, dia harus bisa menepis apa pun yang menghalangi jalan tersebut. Termasuk tidak terpengaruh oleh nama mantan istri kontraknya.
“Aku sedang tak ingin membahasnya, bisakah kita hidup tanpa perlu mengungkit orang-orang dari masa lalu?” Alo mencoba meminta pengertian, Bobby yang melihat keseriusan serta luka di sorot mata itu hanya mengangguk penuh pengertian.
“Baiklah, aku tak akan membahas apa pun lagi. Namun, bukan berarti kehidupanmu bisa mulus tanpa bayang-bayang masa lalu, bagaimana caramu mengatasi semua itu?”
Bobby benar, dia di kota yang sama dengan Anya sekarang. Apalagi pekerjaan di bidang serupa akan membuat intensitas pertemuan lebih berpeluang sering terjadi, ditambah keberadaan Bobby di rumah yang sama. Alo menggeleng pelan, benar-benar kebingungan!
“Bisakah tentang kita tak usah ada yang tahu?”
“Aku bisa menjamin, tapi ….” Bobby menggantungkan kalimat, dia menatap pintu kamar yang tertutup rapat.
Di baliknya, seorang gadis keras kepala yang susah diatur tidak bisa menjamin rahasia mereka tetap tersimpan rapat. Quitta mampu mengacaukan semua rencana, kemungkinan mengguncang hubungan dengan Anya yang baru menapaki tahap pendekatan pun sangat besar. Sebab, sang anak asuh memiliki watak paling mengerikan, obsesi terhadap dirinya!
“Lalu, tak bisakah kalian bersama?” tanya Alo pelan membuat kening Bobby mengerut, “Anda dan Quitta, kenapa tidak bersatu?”
“Jawabannya sama dengan pertanyaan … kenapa kamu tak kembali pada Anya?”
Kedua lelaki itu terdiam, terbawa oleh pikiran masing-masing. Mungkin sama-sama sibuk mencari jawab atas tanya yang begitu menyudutkan.
***
“Tuhan menciptakanmu dengan rahasia Braille di dalamnya, harus buta dulu untuk bisa melihat kebenaran yang tersembunyi. Meski ada cinta dan kerinduan di ujung semesta hatimu, tunggu sampai aku lumpuh agar bisa mencapainya,” sambil berujar demikian, dia melepas tangan gadis yang sejak awal sudah terisak, dan perlahan mundur tanpa melepas pandangan.“Tapi, tak perlu tuli untuk mendengar pengakuanku!” Sebaliknya, si gadis dengan tegas berujar saat tubuh itu berbalik sempurna, “Aku jatuh cinta pada Bobby Alexander, Appa.”Pengakuan tersebut meluncur lancar lengkap dengan air mata yang terus menganak sungai melewati gundukan pipi tembamnya, perempuan muda itu memaksa sang pria kembali terpasung di tempat. Kesulitan bergerak walau hanya untuk mengayunkan sebelah kaki, gemuruh di balik dada mewakili perasaan sesungguhnya. Kontras dengan raut serta sikap yang tengah dipertontonkan.Bobby Alexander, pria 39 tahun tersebut hanya mengatur napas sembari memejamkan mat
Suite Room Starla Hotel“Menikah?” ulang seorang pria termuda di antara mereka yang ada dalam ruangan, sosok paling terlihat tenang tersebut mendadak membolakan mata dengan sempurna ketika pembahasan serius dilontarkan.Tatapannya beralih pada wanita yang terlihat berpura-pura membenarkan posisi rok yang tak bermasalah, sementara sang ayah tampak berdeham tanpa perasaan berdosa. Berbeda dengan lelaki yang usianya sekitar tiga atau empat tahun di atasnya, pengacara keluarga sekaligus teman dekat beberapa tahun terakhir tersebut mendelik sebagai isyarat untuk tetap santai. Sementara lelaki tua dengan kedua tangan bertopang pada tongkat elbow itu hanya menjadi pendengar dengan raut muka datar.“Apa ini masuk akal?” tambahnya masih dengan nada tinggi yang khas, “Ma, katakan kalau kakek sedang bercanda.”Perempuan itu hanya bisa komat-kamit dengan bentuk mata yang dibuat selebar mungkin, sang ayah pun terli
Alo Pratama yang memiliki nama Alo Agler sejak lahir tersebut memarkir mobil mewahnya di pelataran parkir sekolah terkemuka di Jakarta, terlalu tua jika dia mengatakan datang untuk mencari ilmu. Keinginan sang kakek untuk makan malam membuatnya berada di kota tersebut, mencari gadis yang diharuskan menjadi istri sang pria agar bisa menjadi penguasa Starla Group.Ia sudah membulatkan tekad untuk membujuk gadis itu agar menolak rencana sang kakek, kemungkinan membuatnya menggagalkan perjodohan akan sangat besar mengingat hubungan mereka begitu buruk di masa lalu. Alo tak langsung turun, dia justru terpaku di tempat sembari memandang gedung menjulang di depan mata. Sepuluh tahun berlalu begitu cepat, bangunan tersebut pernah ia huni meskipun tak sampai lulus di masa lalu.“Apa guru-guru masih mengingatku?” gumamnya dengan senyum kecut karena teringat saat terakhir kali kabur dari sekolah demi hal mendesak yang membuat citra sempurnanya berantakan, ada
“Kamu tahu kalau aku sedang mencarimu?” tanya Alo saat mereka berada di atap sekolah, entah apa maksud Quitta membawanya berbicara di tempat yang sedikit anti mainstream.“Kakek yang memberitahumu?” lanjutnya dengan kesal karena Quitta hanya mengarahkan pandangan ke bawah, menuju rombongan yang sedang berkeliling sekolah. Gadis itu memang sedang mengamati Bobby, laki-laki yang sudah menancapkan luka di balik dada.Dia tak berpikir kejadian dua malam lalu sebagai sesuatu yang nyata, hanya mimpi buruk. Namun, melihat sikap dingin pria itu, penolakan benar-benar diberikan. Tak ada cinta antar lawan jenis untuknya, hanya tentang kasih sayang ayah serta anak.“Heh!” bentak Alo merasa diabaikan oleh sang gadis, “Kamu sengaja mengabaikanku?”“Kalau tahu diabaikan, untuk apa masih berdiri di sini?” Tanggapan yang membuat pria itu meniup napas dengan kesal, jadi ini yang dimaksud oleh dua pemuda tadi. Seseorang langsung pergi setelah tiga detik, memang sangat
“Oke, aku akan menerima perjodohan ini.” Keputusan akhir Quitta membuat Alo melongo, kenapa gadis itu mengatakan hal sebaliknya? Semula ia setuju untuk menolak perjodohan, kenapa saat makan malam berlangsung justru menciptakan kehebohan?Jofan yang turut hadir menemani sang putri tercinta tersedak, ia batuk sehingga Bimby berdiri, dan memberikan air sembari menepuk-nepuk punggung lelakinya. Wanita itu tak kalah shock, acara makan malam biasa menjelma menjadi rapat keluarga yang mengejutkan. Apa yang sedang Quitta lakukan?“Bagus!” seru sang kakek yang terlihat begitu antusias dengan jawaban Quitta, gadis itu hanya melebarkan senyum. Kemudian, menyendokkan makanan ke dalam mulut. Sama sekali tak terbebani.Alo yang semula begitu percaya diri akan kegagalan perjodohan, mulai terlihat gusar. Dia dipermainkan oleh bocah itu, seharusnya tak percaya begitu saja saat Quitta meminta berbicara ketika makan malam. Kalau tahu akan sekacau ini, tentu dia menyeret gadi
“Quitta, hentikan!” sentak Bimby ketika sang anak berada di dua anak tangga pertama, “Amma menahan diri untuk tak menentangmu di depan semua orang, tapi apa yang sudah kamu lakukan? Jangan bermain-main dengan kebersamaan!”Gadis itu tersenyum getir, dia menunggu teguran ini. Tubuh tersebut berbalik, di depannya berdiri dua orang yang sangat ia kasihi. Sang ibu terlihat marah, sementara ayahnya meniup napas dengan tatap teduh yang menenangkan.“Kenapa kalian boleh bermain-main dengan pernikahan dan aku tidak?” balasnya telak memaksa sang ibu semakin emosi, “Amma, bukankah aku dan Bobby Alexander tak boleh bersama, lalu kenapa dengan Alo Pratama pun dilarang?”“Kami tak mau kamu terluka lebih dalam, waktumu masih panjang untuk mengerti tentang kebersamaan antara sepasang manusia yang mengikat diri dalam pernikahan.” Jofan mengambil alih untuk menanggapi, “Cukup appa yang pernah melakukan kesalahan d
“Tanda tangan,” ujar Alo dengan telunjuk diketuk-ketukkan di atas kertas bermaterai, di sana tertera perjanjian mengenai satu kontrak. Quitta sudah memutuskan untuk tidak meminta bagian apa pun saat mereka benar-benar menikah dan warisan dijatuhkan kepadanya, ia harus memastikan ucapan itu sebagai kenyataan. Sebab, jika berubah pikiran di masa depan, tidak akan ada perubahan yang mengejutkan.“Apa ini?” tanya Quitta sembari mengambil kertas yang terdiri dari tiga lembar, membaca sekilas sebelum tertawa halus.Gadis itu masih berseragam ketika mendatangi Alo, masuk ke ruangan sang Presdir yang resmi menjabat hari ini karena kesepakatan berhasil dibuat. Tak jauh berbeda dengan tempat kerja Jofan, hanya interior dan penempatan beberapa perabot tidak sama. Pindaian beralih pada lelaki di depannya, pria tersebut menunggu sang gadis membubuhkan tanda tangan.“Apa begini cara Kakak membuat kesepakatan denganku?” ejek Quitta sembari m
“Jadi, kalian sepakat untuk tinggal bersama di Owl Place?” Daffin sedikit tak percaya ketika melihat tampang Alo sangat kacau, bagaimana seorang pria dengan tingkat kejeniusan yang sudah diakui justru kalah telak oleh anak SMA?Bahkan, rumor menyebutkan jika Quitta Jofany berhasil membuat Alo tak menemukan kata untuk membalas setiap ucapan di acara makan malam keluarga. Gadis itu memimpin situasi, menjinakkan sosok paling arogan di keluarga Pratama Laksana. Jika sang cucu mewarisi kekasaran sikap sang kakek dan selama ini mampu membuat semua orang tersinggung atas kata-katanya, tetapi di depan sang calon istri jusru bungkam.Di sisi lain, sang pengacara merasa begitu bersyukur atas kemunculan Quitta, setidaknya akan membantu dalam mengendalika Alo mulai sekarang. Dia bisa kembali fokus terhadap urusan lain, tidak melulu menjadi budak yang pada akhirnya hanya dimaki oleh sang sahabat. Dengan begitu, Daffin bisa bernapas lega sejak hari ini.D
“Appa akan terus bersikap tak tahu malu begini?” tanya Quitta dengan muka masam sambil mengamati sang pria yang hanya memilih membuka koper, mengeluarkan beberapa pakaian. “Kenapa harus tak tahu malu saat harus menjaga bocah yang sudah kurawat sejak bayi?” balas Bobby masih dengan nada santai, sama sekali tak pernah memberikan intonasi lebih tinggi atau sekadar tampang dilipat. Inilah yang membuat Quitta begitu menyukai keribadian sang ayah asuh, orang lain tanpa hubungan darah tersebut jusru sangat menenangkan setiap kali melontarkan kata. Jauh berbeda dengan Bimby, perempuan yang ia sebut ibu justru tak memberikan kesempatan hidup tenang. Bagaimana dirinya bisa membenci sosok pria maskulin itu? Entah kapan Quitta menyadari perasaannya, dia menjadi sangat merindukan Bobby. Mengira perasaan yang ada hanya tentang kangen terhadap sosok yang merawat ketika bayi, nyatanya tidak demikian. Sang gadis sangat kesakitan setiap kali melihat pria yang kini menjadi guru
“Appa!” Quitta merajuk dengan nada penuh protes ketika melihat siapa yang datang bersama kedua orang tuanya, menghadiahkan tatap kesal pada Jofan yang hanya angkat bahu.Pria itu melangkah maju, duduk tanpa dipersilakan. Sang ibu pun sama, bersikap cuek meski ada Alo bersama Quitta. Kemudian, tamu terakhir ikut duduk di samping kanan Bimby, ada apa dengan mereka bertiga?“Apa kamu pikir, amma akan membiarkan kalian berdua tinggal satu atap tanpa pengawasan orang dewasa?” balas Bimby dengan tatap tajam yang mengintimidasi, sengaja membawa serta Bobby dalam urusan pernikahan terencana tersebut.Dia bersama sang suami sudah sepakat untuk memberikan penolakan karena enggan menjadikan Quitta sebagai senjata dalam kepentingan bisnis, nyatanya sang gadis justru begitu bersemangat menyambut keinginan kakek tua tersebut. Jofan tahu, putri sambungnya tentu sangat menginginkan rumah lama mereka, di mana kenangan bersama sang ayah asuh begitu kuat. G
“Jadi, kalian sepakat untuk tinggal bersama di Owl Place?” Daffin sedikit tak percaya ketika melihat tampang Alo sangat kacau, bagaimana seorang pria dengan tingkat kejeniusan yang sudah diakui justru kalah telak oleh anak SMA?Bahkan, rumor menyebutkan jika Quitta Jofany berhasil membuat Alo tak menemukan kata untuk membalas setiap ucapan di acara makan malam keluarga. Gadis itu memimpin situasi, menjinakkan sosok paling arogan di keluarga Pratama Laksana. Jika sang cucu mewarisi kekasaran sikap sang kakek dan selama ini mampu membuat semua orang tersinggung atas kata-katanya, tetapi di depan sang calon istri jusru bungkam.Di sisi lain, sang pengacara merasa begitu bersyukur atas kemunculan Quitta, setidaknya akan membantu dalam mengendalika Alo mulai sekarang. Dia bisa kembali fokus terhadap urusan lain, tidak melulu menjadi budak yang pada akhirnya hanya dimaki oleh sang sahabat. Dengan begitu, Daffin bisa bernapas lega sejak hari ini.D
“Tanda tangan,” ujar Alo dengan telunjuk diketuk-ketukkan di atas kertas bermaterai, di sana tertera perjanjian mengenai satu kontrak. Quitta sudah memutuskan untuk tidak meminta bagian apa pun saat mereka benar-benar menikah dan warisan dijatuhkan kepadanya, ia harus memastikan ucapan itu sebagai kenyataan. Sebab, jika berubah pikiran di masa depan, tidak akan ada perubahan yang mengejutkan.“Apa ini?” tanya Quitta sembari mengambil kertas yang terdiri dari tiga lembar, membaca sekilas sebelum tertawa halus.Gadis itu masih berseragam ketika mendatangi Alo, masuk ke ruangan sang Presdir yang resmi menjabat hari ini karena kesepakatan berhasil dibuat. Tak jauh berbeda dengan tempat kerja Jofan, hanya interior dan penempatan beberapa perabot tidak sama. Pindaian beralih pada lelaki di depannya, pria tersebut menunggu sang gadis membubuhkan tanda tangan.“Apa begini cara Kakak membuat kesepakatan denganku?” ejek Quitta sembari m
“Quitta, hentikan!” sentak Bimby ketika sang anak berada di dua anak tangga pertama, “Amma menahan diri untuk tak menentangmu di depan semua orang, tapi apa yang sudah kamu lakukan? Jangan bermain-main dengan kebersamaan!”Gadis itu tersenyum getir, dia menunggu teguran ini. Tubuh tersebut berbalik, di depannya berdiri dua orang yang sangat ia kasihi. Sang ibu terlihat marah, sementara ayahnya meniup napas dengan tatap teduh yang menenangkan.“Kenapa kalian boleh bermain-main dengan pernikahan dan aku tidak?” balasnya telak memaksa sang ibu semakin emosi, “Amma, bukankah aku dan Bobby Alexander tak boleh bersama, lalu kenapa dengan Alo Pratama pun dilarang?”“Kami tak mau kamu terluka lebih dalam, waktumu masih panjang untuk mengerti tentang kebersamaan antara sepasang manusia yang mengikat diri dalam pernikahan.” Jofan mengambil alih untuk menanggapi, “Cukup appa yang pernah melakukan kesalahan d
“Oke, aku akan menerima perjodohan ini.” Keputusan akhir Quitta membuat Alo melongo, kenapa gadis itu mengatakan hal sebaliknya? Semula ia setuju untuk menolak perjodohan, kenapa saat makan malam berlangsung justru menciptakan kehebohan?Jofan yang turut hadir menemani sang putri tercinta tersedak, ia batuk sehingga Bimby berdiri, dan memberikan air sembari menepuk-nepuk punggung lelakinya. Wanita itu tak kalah shock, acara makan malam biasa menjelma menjadi rapat keluarga yang mengejutkan. Apa yang sedang Quitta lakukan?“Bagus!” seru sang kakek yang terlihat begitu antusias dengan jawaban Quitta, gadis itu hanya melebarkan senyum. Kemudian, menyendokkan makanan ke dalam mulut. Sama sekali tak terbebani.Alo yang semula begitu percaya diri akan kegagalan perjodohan, mulai terlihat gusar. Dia dipermainkan oleh bocah itu, seharusnya tak percaya begitu saja saat Quitta meminta berbicara ketika makan malam. Kalau tahu akan sekacau ini, tentu dia menyeret gadi
“Kamu tahu kalau aku sedang mencarimu?” tanya Alo saat mereka berada di atap sekolah, entah apa maksud Quitta membawanya berbicara di tempat yang sedikit anti mainstream.“Kakek yang memberitahumu?” lanjutnya dengan kesal karena Quitta hanya mengarahkan pandangan ke bawah, menuju rombongan yang sedang berkeliling sekolah. Gadis itu memang sedang mengamati Bobby, laki-laki yang sudah menancapkan luka di balik dada.Dia tak berpikir kejadian dua malam lalu sebagai sesuatu yang nyata, hanya mimpi buruk. Namun, melihat sikap dingin pria itu, penolakan benar-benar diberikan. Tak ada cinta antar lawan jenis untuknya, hanya tentang kasih sayang ayah serta anak.“Heh!” bentak Alo merasa diabaikan oleh sang gadis, “Kamu sengaja mengabaikanku?”“Kalau tahu diabaikan, untuk apa masih berdiri di sini?” Tanggapan yang membuat pria itu meniup napas dengan kesal, jadi ini yang dimaksud oleh dua pemuda tadi. Seseorang langsung pergi setelah tiga detik, memang sangat
Alo Pratama yang memiliki nama Alo Agler sejak lahir tersebut memarkir mobil mewahnya di pelataran parkir sekolah terkemuka di Jakarta, terlalu tua jika dia mengatakan datang untuk mencari ilmu. Keinginan sang kakek untuk makan malam membuatnya berada di kota tersebut, mencari gadis yang diharuskan menjadi istri sang pria agar bisa menjadi penguasa Starla Group.Ia sudah membulatkan tekad untuk membujuk gadis itu agar menolak rencana sang kakek, kemungkinan membuatnya menggagalkan perjodohan akan sangat besar mengingat hubungan mereka begitu buruk di masa lalu. Alo tak langsung turun, dia justru terpaku di tempat sembari memandang gedung menjulang di depan mata. Sepuluh tahun berlalu begitu cepat, bangunan tersebut pernah ia huni meskipun tak sampai lulus di masa lalu.“Apa guru-guru masih mengingatku?” gumamnya dengan senyum kecut karena teringat saat terakhir kali kabur dari sekolah demi hal mendesak yang membuat citra sempurnanya berantakan, ada
Suite Room Starla Hotel“Menikah?” ulang seorang pria termuda di antara mereka yang ada dalam ruangan, sosok paling terlihat tenang tersebut mendadak membolakan mata dengan sempurna ketika pembahasan serius dilontarkan.Tatapannya beralih pada wanita yang terlihat berpura-pura membenarkan posisi rok yang tak bermasalah, sementara sang ayah tampak berdeham tanpa perasaan berdosa. Berbeda dengan lelaki yang usianya sekitar tiga atau empat tahun di atasnya, pengacara keluarga sekaligus teman dekat beberapa tahun terakhir tersebut mendelik sebagai isyarat untuk tetap santai. Sementara lelaki tua dengan kedua tangan bertopang pada tongkat elbow itu hanya menjadi pendengar dengan raut muka datar.“Apa ini masuk akal?” tambahnya masih dengan nada tinggi yang khas, “Ma, katakan kalau kakek sedang bercanda.”Perempuan itu hanya bisa komat-kamit dengan bentuk mata yang dibuat selebar mungkin, sang ayah pun terli