Hayu diam, perasaannya sudah tak enak. Dia menunduk, meremas kedua tangannya. Dia berusaha menekan emosinya, tak mau terpancing dengan omongan Bu Ayu.
“Jadi kita akan makan malam dengan menu rendang, dan karena kamu kekasihnya Bisma, jadi kamu juga harus belajar memasak menu makanan yang akan di makan suamimu. Apa mentang-mentang dia banyak uang kamu berharap hanya duduk saja di rumah tanpa melakukan apapun?”Hayu diam, dia selalu saja dipojokkan seperti itu, dia tak mengerti dengan jalan pikiran wanita di depannya, sebentar menaikkan dirinya, tapi kemudian menghempaskannya tanpa perasaan.“Maksud saya bukan begitu, Bu. Saya bisa memasak, jadi kalau memang saya yang harus membuat rendang itu juga tidak apa-apa, hanya saja, saya kurang pandai melakukannya. Jadi saya takut kalau tidak enak,” ucap Hayu beralasan.“Bagus, saya tidak suka dibantah, jadi sebaiknya kamu menurut apa yang akan saya katakan. Sekarang letakkan barangmu di situ dan ikutlah denganku.”Hayu meTerima kasih sudah membaca, tap love, jangan lupa komentar kamu, vote, follow igeh kardinah.dinah selamat menjalankan ibadah puasa, bagi yang menjalankannya😊
Jelita kesal, dia bermaksud membuat Hayu emosi, tapi sekarang malah dia yang tersulut emosi. “Jadi kamu bilang aku murahan!” Aku tak mengatakan itu, bukankah kamu sendiri yang mengatakannya. Jelita menyandarkan tubuhnya, tersenyum mengejek ke arah Hayu. “Kamu punya cermin di rumahmu? Seharusnya kamu berkaca, aku yang murah atau kamu yang murahan.” “Cukup Hayu! Jangan membalas lagi, Sebaiknya kamu tahu posisimu, seharusnya kamu tahu diri, aku hanya menyuruhmu ke sini untuk membantu pekerjaan kami dan mempersiapkan makan malam. Jangan berharap aku akan menyanjungmu dan mengelu-elukan kamu, kamu harus tahu diri, kamu bukan bagian dari kami. Kamu berbeda dengan kami!” seru mami Bisma pada Hayu. Hayu tersenyum miris, matanya berkaca-kaca tak seharusnya mami Bisma mengatakan itu padanya, sebagai orang tua yang baik, dia harusnya bisa mengatakan dengan bahasa yang halus, bukankah mereka memiliki pendidikan yang tinggi dan memiliki manner yang lebih baik ketimbang dirinya. yang hanya kong
Hayu melempar celemek yang dia pakai dan mengambil tasnya, meninggalkan Jelita dan Bu Ayu yang melongo menatapnya“Berhenti Hayu!”Mengabaikan teriakan Bu Ayu yang terdengar nyaring, membuat gendang telinganya bergetar. Dia tidak peduli dengan raungan mami Bisma itu, yang ada di pikirannya saat ini adalah segera pergi meninggalkan rumah keluarga Adibrata, dia sudah tidak peduli lagi hubungannya dengan Bisma. Mungkin rasa cintanya yang menggebu sudah hilang terkikis, semenjak dia datang ke kediaman rumah Adibrata.Dengan langkah gontai, dia menuju jalan raya, mencoba menghentikan taksi yang lewat di depannya. entah kenapa dia sama sekali tak menangis, mungkin hatinya kini sudah mati rasa, telanjur terluka dan kecewa hingga membuatnya melupakan rasa yang menyayat-nyayat hatinya. apalagi mengingat mereka sudah keterlaluan pada ibu Hayu.“Bodoh,” umpatnya pada dirinya sendiri.Ponselnya berdering, dia sudah tahu siapa yang meneleponnya, tapi mau tak mau, dia ha
“Goddammit!” umpat Hayu terdengar jelas di telinga Candra. Sepertinya dua anak manusia di depannya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Tidak biasanya Hayu mengumpat, meski dia jengkel atau kesal dengan sesuatu.“Selesaikan urusan kalian di luar kantor, kamu mengerti Bisma. Kamu baru saja mengundurkan diri dari sini, itu artinya kamu bukan pegawai di sini, jadi jangan sembarang masuk ke sini tanpa ijin.”Bisma mendengus kesal, sejak kapan sahabatnya itu menjadi seformal itu, bukankah biasanya dia akan membiarkan Bisma berkeliaran di ruangannya.“Kamu berubah!”“Karena kita rival dalam pekerjaan kita harus profesional Bisma, aku tidak mau jika mencampurkan hubungan pekerjaan dengan masalah pribadi,” jawab Candra memberikan alasan yang masuk akal pada Bisma.“Hayu, ikut aku, kita harus bicara!”“Enggak, aku mau hubungan kita berakhir.”“Jangan kekanakan Hayu, ayo ikut aku, banyak yang aku ingin tahu tentang kejadian yang sebenarnya. Apa kamu
Hayu kembali ke kantor, pembicaraan mereka terhenti karena Bisma bertemu dengan salah satu kliennnya. Mau tak mau mereka menghentikan pembahasan pribadi. Hayu mengundurkan diri dan berpamitan. Bagaimanapun dia harus menjaga sopan santun di depan klien Bisma, meski saat ini Hayu sangat membencinya. Hayu yang baru saja mendudukkan dirinya di kursi, terjengit kaget saat suara Candra menginterupsinya. “Sudah kembali, secepat itu, apa urusan kalian sudah selesai?” “Ish, Bapak kebiasaan, suka kepoin saya. Pak, ingat, ini kantor. Dilarang mengurus urusan pribadi di kantor.” “Ya, iya.. aku mengerti. Jika kamu butuh bersandar, kamu bisa menggunakan bahuku yang lebar ini untuk bersandar.” Candra menatap serius ke arah Hayu, dia tahu saat ini Hayu sedang berusaha tegar, dia tak tahu apa yang terjadi antara mereka berdua, tapi dia sudah bisa mengira jika saat ini, Hayu sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. “Nanti saya ukur dulu bahu Bapak, kalau belum lebar
“Bisma , jangan keterlaluan! Dia perempuan tidak seharusnya kamu memperlakukannya seperti itu! Lepaskan tangannya, jangan egois Bisma!” perintah Candra dengan nada tinggi naik tujuh oktaf. Dia terlanjur kesal dengan sahabatnya itu semenjak mengetahui Bisma menginap di apartemen Jelita. Dia bukan lelaki bodoh, dia sudah bisa menebak apa yang terjadi dengan mereka berdua.“Jangan ikut campur, Ndra, ini tidak ada hubungannya dengan kamu!”“Aku tidak ikut campur, hanya saja, aku tidak suka kamu memperlakukan perempuan dengan kekerasan, apalagi dia pernah mengisi hidupmu selama beberapa tahun, apa seperti ini kamu memperlakukannya selama ini. Dimana hati nurani kamu Bisma. Kapan kamu merubah temperamen kamu?”“Cukup! Aku tidak mau mendengar apapun dari kamu, bukankah kamu senang kalau hubunganku berakhir, kalian bisa bersenang-senang di atas penderitaanku, kamu bisa lari ke pelukannya setelah meninggalkan aku bukan?”plak! Plak!Hayu menampar Bisma, baru kali in
Bisma menatap kepergian Hayu dan Candra. Dia kesal, ditendangnya mobilnya beberapa kali, tak menyangka jika hubungannya dengan Hayu akan berakhir sampai di sini.Dia masuk ke dalam mobilnya, dia harus segera pulang, mereka pasti sudah menunggunya untuk makan malam. Sebelum maminya menelepon dan mengomelinya, dia bergegas menghidupkan mesin mobilnya. Baru saja dia memundurkan mobil yang dikendarainya, ponselnya berdering. Nama Jelita terpampang di layar ponselnya. Dengan enggan dia menjawabnya, dia ingat jika Jelita sedang berada di rumahnya, yang dia yakini Jelita sekarang sedang berkumpul dengan kedua orang tuanya. Jadi dia tidak punya alasan untuk tidak menjawab telepon dari Jelita.“Halo.”“Kapan kamu pulang? Semua orang sudah menunggumu.”“Sebentar lagi, aku sedang di jalan menuju ke rumah, katakan saja pada mami dan papi lima belas menit lagi aku sampai."“Baiklah, hati-hati.”Bisma tak menjawab, hatinya masih kesal mengingat pertengkarannya dengan
Bisma diam tak menjawab, dia tahu dia tak sanggup melakukannya, bernaung sebentar di rumah Hayu saja, membuatnya tak betah, apalagi tinggal di sana.“Kenapa diam, jawab! Sanggup kamu tinggal di sana?”“Nggak, Bisma tidak sanggup. Tapi Bisma bisa membeli rumah untuk kami tinggali. Bisma bekerja, Bisma punya uang untuk melakukan itu.”Jelita yang mendengar perkataan Bisma sejak tadi merasa jengkel, dia kesal, betapa tak dihargainya dirinya, padahal mereka telah menghabiskan malam berdua, dia anggap apa dirinya, perempuan murahan yang bisa dipakai sewaktu dia membutuhkan.“Kamu masih bisa membantah rupanya, kamu mau fasilitas yang kamu pakai Mami tarik semua, yakin kamu bisa hidup kekurangan seperti mereka. Kamu bisa berpikir, sejauh ini gunakan logika kamu untuk memikirkan segala kemungkinan ke depan, menikah itu untuk seumur hidup, bukan satu, dua hari, mungkin kamu bahagia satu hari, tapi lain hari, kamu akan mengalami masalah rumah tangga yang lebih kompleks, a
Pagi ini Hayu sedang bersiap, apapun masalah yang sedang dihadapinya saat ini, dia harus mengesampingkannya, dia butuh uang untuk hidup, dan juga dia harus bangkit dari keterpurukkannya.Dia tidak mau larut dalam kesedihan, Bisma bukanlah lelaki yang pantas untuk dia tangisi. Lebih baik dia menangisi dosa-dosa yang dia perbuat tiap hari, daripada menangisi lelaki tak tahu diri itu.Hayu turun dari kamarnya, dia tertegun saat melihat Candra yang sudah duduk di ruang makan bersama ibunya.‘Gercep juga Pak Candra, pandai mengambil situasi yang sedang terjadi saat ini.’“Selamat Pagi, Hayu. Kamu pasti lupa kalau pagi ini kita ada memeting klien di hotel Straw.”Hayu menepuk keningnya, dia melupakan hal itu, pantas saja bosnya sudah sidak sepagi ini, dia merasa bersalah karena tadi sempat berpikir bahwa Candra datang hanya untuk memanfaatkan situasi saat ini, nyatanya pemikirannya itu salah.“Selamat Pagi, Pak. Maaf, Pak , saya benar-benar lupa, tapi berkas-
Mama Candra terkekeh geli melihat reaksi putranya. Dia menaik -turunkan kedua alisnya, menggoda putranya yang tersenyum-senyum tipis, mempertahankan gengsinya. “Mama nggak pulang? Bukankah ada sesuatu yang mau Mama kerjakan?” “Jadi kamu mengusir Mama? Mau jadi anak durhaka, mau mama kutuk kalian cepat punya anak?” Mama Candra berpura-pura marah pada putranya, tapi sejurus kemudian di terkekeh, dia tahu putranya sengaja mengusirnya. Mama Candra menyeruput tehnya dan menatap Hayu. “Nduk, Mama lupa, Mama ada janji dengan teman-teman arisan Mama. Mama pulang dulu, ya, titip Candra, dia suka nakal kalau nggak ada Mama. Kalau dia macam-macam denganmu bilang Mama, biar langsung Mama nikahkan sama kamu, Nduk.” Hayu ingin tertawa, tapi dia berusaha menahannya dengan melipat kedua bibirnya ke dalam. Dia mengangguk merespons mama Candra. Melihat wajah Hayu yang bersemu merah, Mama Candra tersenyum senang. Apalagi putranya, dia gemas sekali melihat Hayu tersipu malu-malu. Hayu mencium
Hayu tertawa geli, dia hanya bercanda, tapi reaksi yang ditunjukkan Jelita padanya menurutnya terlalu berlebihan. “Hei aku hanya bercanda, kenapa kamu seserius itu. Nikmati saja waktumu, toh aku tidak pergi ke mana-mana.” Jelita menghela nafas lega, dia pikir sudah mengganggu Hayu sehingga dia mengusirnya. Jelita menyeruput kopinya dan memakan kembali kue buatan ibu Hayu yang sejak tadi membuat air liurnya menetes. Jelita memasukkan kue basah dengan warna dan aroma pandan ke dalam mulutnya. Baru saja dia mengunyahnya, suara yang sangat familiar menyapa telinganya. “Lho, Jelita, kamu kok di sini, Nak?” Jelita tersedak, Hayu melesatkan tangannya cepat, mengulurkan kopi milik Jelita. “Hati-hati, minumlah, jangan menyepelekan tersedak, itu bisa membuatmu mati!” Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Hayu barusan, malah semakin membuat Jelita terbatuk-batuk. Mami Candra yang memiliki hati yang lembut pun segera menghampiri Jelita dan mengusap punggung gadis itu hingga b
Bisma mengetuk pintu kaca mobil Jelita. Mau tak mau Jelita menurunkan kaca pintu mobil miliknya. Dia tak mengerti dengan sikap Bisma. Bukankah kekasihnya itu sudah jelas-jelas mengatakan hal yang tak bisa dia harapkan sama sekali. Lalu untuk apa dia mengejarnya hingga kemari. “Ada apa, Mami sudah menjelaskan segalanya. Semuanya sudah berakhir bukan? Apa yang ingin kamu katakan padaku kali ini, rasanya tak mungkin kamu berubah pikiran.” “Maafkan aku, Jelita, semuanya harus berakhir begini, aku masih pada keputusan yang sama. Hati-hati di jalan.” Jelita menghela nafas, Bisma tak mengubah keputusannya. Jelita tak ingin menjawab perkataan Bisma selain anggukan kecil yang ditunjukkan sebagai respons darinya. Jelita tak peduli Bisma masih berdiri di sana. Dia memilih meninggalkan tempat yang saat ini tak ingin dia pijak. Tempat di mana dia menaruh harapan kosong, dengan pintalan asa yang berantakan. Melajukan kendaraannya di jalanan, berbaur dengan kendaraan lainnya. Selama perjalanan pu
Jelita geming, menunggu jawaban dari calon suaminya, sementara Nyonya Adibrata dengan sengaja membuang muka menghindari tatapan calon menantunya. Seketika Jelita sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Alih-alih mendapatkan jawaban dari orang yang saat ini menjadi tumpuan harapannya, dia lebih memilih untuk keluar dari ruang rawat inap Bu Ayu. Dengan langkah gontai dan kepala yang tertunduk lesu, dia meraih handle pintu dan berusaha keluar dari kamar itu. Jelita terduduk di kursi yang berada di luar ruangan. Saat ini dia tak tahu, apalagi yang harus dilakukannya. Terkadang hidup memang selucu itu, dia dikecewakan orang yang paling dekat dengannya sendiri. Harapan yang terlalu tinggi, kini mengkhianatinya bertubi-tubi. Membuatnya terpuruk di tengah badai, terombang-ambing hingga ke palung dasar rasa kecewanya. Tak dia nyana sama sekali Bisma keluar, Jelita menoleh ke arahnya. Bisma mendudukkan tubuhnya di sebelah Jelita. Dia menghela nafas panjang dan dalam, seolah ingi
“Boleh aku masuk? Apa aku mengganggumu? Aku hanya membutuhkan waktu sebentar denganmu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu. Apa kamu sudah sarapan?” Chandra menunjukkan kotak makannya pada Jelita. “Jadi aku mengganggumu, kamu sedang sarapan, ya. Apa sebaiknya aku pergi saja.” “Tidak perlu, sebaiknya sekarang saja kamu katakan apa yang ingin kamu katakan, sebentar lagi aku akan bertemu dengan klien.” “Apa benar kalian melihat Mamiku dan Papi Bisma bersama? Tolong katakan yang sejujurnya padaku. Aku sempat mendengar mereka membicarakan Mami dan juga Pak Adibrata. Jadi sebenarnya apa yang terjadi. Apakah kecurigaanku itu memang benar terjadi? Bukankah kalian sempat bertemu mereka berdua?” Candra bingung, dia tak tahu harus menjawab apa. Kalau dia mengatakan iya, Candra tak ingin melihat Jelita kecewa. Bagaimanapun Jelita pernah hadir di dalam hatinya dan sempat bertakhta di sana. Namun, di satu sisi dia tidak ingin membohongi Jelita, sebab bagaimanapun juga Jelita harus tahu
Mau tak mau Hayu pun membuka matanya, Dia malu sekali karena ketahuan oleh Candra. Candra tersenyum melihat Hayu membuka mata. “Apa kamu menginginkan sesuatu atau kamu mau sarapan apa? Mungkin aku bisa membelikannya untukmu." Hayu menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu repot-repot, Ibu pasti sudah memasakkan sesuatu untuk kita, aku sudah bilang padamu bukan, kalau hari ini, aku ingin di rumah saja.” Candra mengangguk, “Tentu saja, bukankah aku sudah berjanji padamu kemarin, kalau hari ini kamu bisa mengambil cuti. Fokuslah pada kesehatanmu terlebih dahulu, baru kamu masuk kerja, toh semuanya sudah aku selesaikan. Bisma juga sudah menandatangani semua yang kita butuhkan. Kalau kamu menginginkan sesuatu atau kalau kamu membutuhkan bantuanku, kamu tinggal meneleponku dan aku akan secepat mungkin datang kemari. Sekarang aku harus pergi ke kantor.” Hayu mengangguk. Namun sejurus kemudian ibu Hayu sudah berada di ambang pintu kamar Hayu. “Sarapan dulu sebelum kamu pergi ke kantor, kamu
Candra mengantarkan Hayu pulang ke rumahnya. Ibunya tampak sudah menunggunya di depan pintu, beliau kaget melihat putrinya yang datang dengan wajah yang pucat dan lemas. Bahkan Candra memapahnya. Ibu Hayu pun bertanya “Apa yang terjadi dengan Hayu, dia kenapa, Ndra? Apakah dia sakit. Ayo bawa dia masuk cepat, dan biarkan dia beristirahat di kamarnya. Kamu bisa membantu Ibu mengantarkannya ke kamar, kan? Ibu akan mengambilkan air hangat untuknya.” Candra pun mengangguk, dia menggendong Hayu naik ke kamarnya, menidurkannya di ranjang dan menyelimutinya. “Kamu tahu, Dokter bilang apa padaku? Dia bilang kamu banyak pikiran. Kenapa kamu tidak bercerita tentang sesuatu yang kamu rasakan kepada orang lain, apa kamu tidak takut, jika itu akan selalu membebanimu dan membuatmu berpikir tentang yang hal yang tidak-tidak? Apa kamu tidak takut, jika itu akan berimbas pada mentalmu dan membuatmu harus mengunjungi psikiater?” Hayu menggeleng, “Aku tak tahu harus mengatakan apa, aku sudah berusa
Candra kaget melihat Bisma yang juga ada di sana. “Siapa yang sakit, Ndra.” “Hayu. Kamu sedang apa di sini?” tanya Candra kembali, bukannya tadi mereka baru saja bertemu dan sekarang, mereka juga bertemu lagi di tempat yang sama. Dunia memang sempit, sekeras apa pun dia menghindar, mantan kekasih Hayu ini, selalu ada di mana-mana. "Hayu kenapa? Sakit apa? Bagaimana keadaannya? Apa aku bisa menjenguknya?" “Aldi bilang dia hanya lelah dan juga banyak pikiran, apa nggak sebaiknya, kamu jangan bertemu dengannya dulu, bukan apa-apa, hanya saja aku khawatir kalau ternyata dia banyak pikiran karena masalah kalian. Kamu tahu sendiri, Hayu bukan orang yang suka mengeluarkan keluh kesahnya pada orang lain. Jadi daripada pikirannya semakin terbebani, mendingan kamu menjauh darinya. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya, apalagi kalau dia sampai harus ke psikiater, please. Lihatlah saja Hayu dari kejauhan, lepaskan dia dari siksa yang sudah kalian lakukan padanya, kata-kata merendahkan a
Hayu yang kelelahan malah tertidur di sofa depan televisi. Candra yang melihatnya pun membetulkan posisi tidurnya dan mengatur suhu AC di ruangan itu, sementara itu, dia masih berkutat dengan masakannya yang masih belum matang.Ponsel Hayu berdering, Hayu sama sekali tak terganggu dengan deringan ponselnya yang cukup memekakkan telinga. Dengan sigap Candra mengambil ponsel Hayu dan melihat siapa yang meneleponnya. Ibu Hayu menelepon. Candra bingung antara ingin menjawab panggilan itu atau tidak, takut jika sang pemilik ponsel marah dengannya. Akhirnya dia putuskan, untuk tak menjawabnya. Dia lebih memilih menelepon ibu Hayu menggunakan ponselnya.Sungguh definisi lelaki idaman. Candra menelepon sembari menunggu steik yang di masaknya matang dengan kematangannya medium rare.Akhirnya setelah menunggu hampir lima menit Ibu Hayu mengangkat teleponnya, “Halo, Bu. Maaf Candra mengganggu Ibu, saat Hayu sedang tidur, nanti mungkin setelah makan malam, Candra akan men