“Goddammit!” umpat Hayu terdengar jelas di telinga Candra. Sepertinya dua anak manusia di depannya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Tidak biasanya Hayu mengumpat, meski dia jengkel atau kesal dengan sesuatu.
“Selesaikan urusan kalian di luar kantor, kamu mengerti Bisma. Kamu baru saja mengundurkan diri dari sini, itu artinya kamu bukan pegawai di sini, jadi jangan sembarang masuk ke sini tanpa ijin.”Bisma mendengus kesal, sejak kapan sahabatnya itu menjadi seformal itu, bukankah biasanya dia akan membiarkan Bisma berkeliaran di ruangannya.“Kamu berubah!”“Karena kita rival dalam pekerjaan kita harus profesional Bisma, aku tidak mau jika mencampurkan hubungan pekerjaan dengan masalah pribadi,” jawab Candra memberikan alasan yang masuk akal pada Bisma.“Hayu, ikut aku, kita harus bicara!”“Enggak, aku mau hubungan kita berakhir.”“Jangan kekanakan Hayu, ayo ikut aku, banyak yang aku ingin tahu tentang kejadian yang sebenarnya. Apa kamuHayu kembali ke kantor, pembicaraan mereka terhenti karena Bisma bertemu dengan salah satu kliennnya. Mau tak mau mereka menghentikan pembahasan pribadi. Hayu mengundurkan diri dan berpamitan. Bagaimanapun dia harus menjaga sopan santun di depan klien Bisma, meski saat ini Hayu sangat membencinya. Hayu yang baru saja mendudukkan dirinya di kursi, terjengit kaget saat suara Candra menginterupsinya. “Sudah kembali, secepat itu, apa urusan kalian sudah selesai?” “Ish, Bapak kebiasaan, suka kepoin saya. Pak, ingat, ini kantor. Dilarang mengurus urusan pribadi di kantor.” “Ya, iya.. aku mengerti. Jika kamu butuh bersandar, kamu bisa menggunakan bahuku yang lebar ini untuk bersandar.” Candra menatap serius ke arah Hayu, dia tahu saat ini Hayu sedang berusaha tegar, dia tak tahu apa yang terjadi antara mereka berdua, tapi dia sudah bisa mengira jika saat ini, Hayu sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. “Nanti saya ukur dulu bahu Bapak, kalau belum lebar
“Bisma , jangan keterlaluan! Dia perempuan tidak seharusnya kamu memperlakukannya seperti itu! Lepaskan tangannya, jangan egois Bisma!” perintah Candra dengan nada tinggi naik tujuh oktaf. Dia terlanjur kesal dengan sahabatnya itu semenjak mengetahui Bisma menginap di apartemen Jelita. Dia bukan lelaki bodoh, dia sudah bisa menebak apa yang terjadi dengan mereka berdua.“Jangan ikut campur, Ndra, ini tidak ada hubungannya dengan kamu!”“Aku tidak ikut campur, hanya saja, aku tidak suka kamu memperlakukan perempuan dengan kekerasan, apalagi dia pernah mengisi hidupmu selama beberapa tahun, apa seperti ini kamu memperlakukannya selama ini. Dimana hati nurani kamu Bisma. Kapan kamu merubah temperamen kamu?”“Cukup! Aku tidak mau mendengar apapun dari kamu, bukankah kamu senang kalau hubunganku berakhir, kalian bisa bersenang-senang di atas penderitaanku, kamu bisa lari ke pelukannya setelah meninggalkan aku bukan?”plak! Plak!Hayu menampar Bisma, baru kali in
Bisma menatap kepergian Hayu dan Candra. Dia kesal, ditendangnya mobilnya beberapa kali, tak menyangka jika hubungannya dengan Hayu akan berakhir sampai di sini.Dia masuk ke dalam mobilnya, dia harus segera pulang, mereka pasti sudah menunggunya untuk makan malam. Sebelum maminya menelepon dan mengomelinya, dia bergegas menghidupkan mesin mobilnya. Baru saja dia memundurkan mobil yang dikendarainya, ponselnya berdering. Nama Jelita terpampang di layar ponselnya. Dengan enggan dia menjawabnya, dia ingat jika Jelita sedang berada di rumahnya, yang dia yakini Jelita sekarang sedang berkumpul dengan kedua orang tuanya. Jadi dia tidak punya alasan untuk tidak menjawab telepon dari Jelita.“Halo.”“Kapan kamu pulang? Semua orang sudah menunggumu.”“Sebentar lagi, aku sedang di jalan menuju ke rumah, katakan saja pada mami dan papi lima belas menit lagi aku sampai."“Baiklah, hati-hati.”Bisma tak menjawab, hatinya masih kesal mengingat pertengkarannya dengan
Bisma diam tak menjawab, dia tahu dia tak sanggup melakukannya, bernaung sebentar di rumah Hayu saja, membuatnya tak betah, apalagi tinggal di sana.“Kenapa diam, jawab! Sanggup kamu tinggal di sana?”“Nggak, Bisma tidak sanggup. Tapi Bisma bisa membeli rumah untuk kami tinggali. Bisma bekerja, Bisma punya uang untuk melakukan itu.”Jelita yang mendengar perkataan Bisma sejak tadi merasa jengkel, dia kesal, betapa tak dihargainya dirinya, padahal mereka telah menghabiskan malam berdua, dia anggap apa dirinya, perempuan murahan yang bisa dipakai sewaktu dia membutuhkan.“Kamu masih bisa membantah rupanya, kamu mau fasilitas yang kamu pakai Mami tarik semua, yakin kamu bisa hidup kekurangan seperti mereka. Kamu bisa berpikir, sejauh ini gunakan logika kamu untuk memikirkan segala kemungkinan ke depan, menikah itu untuk seumur hidup, bukan satu, dua hari, mungkin kamu bahagia satu hari, tapi lain hari, kamu akan mengalami masalah rumah tangga yang lebih kompleks, a
Pagi ini Hayu sedang bersiap, apapun masalah yang sedang dihadapinya saat ini, dia harus mengesampingkannya, dia butuh uang untuk hidup, dan juga dia harus bangkit dari keterpurukkannya.Dia tidak mau larut dalam kesedihan, Bisma bukanlah lelaki yang pantas untuk dia tangisi. Lebih baik dia menangisi dosa-dosa yang dia perbuat tiap hari, daripada menangisi lelaki tak tahu diri itu.Hayu turun dari kamarnya, dia tertegun saat melihat Candra yang sudah duduk di ruang makan bersama ibunya.‘Gercep juga Pak Candra, pandai mengambil situasi yang sedang terjadi saat ini.’“Selamat Pagi, Hayu. Kamu pasti lupa kalau pagi ini kita ada memeting klien di hotel Straw.”Hayu menepuk keningnya, dia melupakan hal itu, pantas saja bosnya sudah sidak sepagi ini, dia merasa bersalah karena tadi sempat berpikir bahwa Candra datang hanya untuk memanfaatkan situasi saat ini, nyatanya pemikirannya itu salah.“Selamat Pagi, Pak. Maaf, Pak , saya benar-benar lupa, tapi berkas-
Candra sempat melongo menerima perlakuan Hayu barusan, tubuhnya membeku.“Are you currently seducing me?”Hayu terkekeh, bagaimana mungkin candra melontarkan kalimat yang menurutnya terlalu berani itu.“Saya mana berani, Pak. Saya masih ngeri dan trauma, takut, Pak. Kita beda kasta, Pak.”Hayu melanjutkan menyuapi atasannya dan juga dirinya, hingga roti di kotak makan itu habis, tepat saat mereka sampai dilobi hotel. Hayu memicingkan matanya, meyakinkan apa yang dilihatnya saat ini, dia bahkan mengabaikan panggilan Candra, saking terlalu fokus dengan apa yang dilihatnya.“Hayu, Yu, “ panggil Candra, dia bahkan menepuk bahu Hayu karena kesal, perempuan di sampingnya itu melamun, entah apa yang dia lamunkan.Hayu terjengit kaget, dia tergagap. “A-a-pa, Pak. Maaf, saya tidak mendengar panggilan pak Candra. Bisa diulangi lagi perintahnya.”“Kamu seperti habis melihat hantu, Hayu, kamu melihat apa, saya jadi kepo, deh.”“Nanti juga Bapak tahu, ayo
Pak Adibrata segera meninggalkan Hayu dan Candra. Dia tidak mau mami Jelita ngambek dan marah padanya karena sibuk dengan Candra dan Hayu. “Hayu, sekarang aku tanya padamu, apa kamu yakin tidak mau bercerita apapun denganku? makin ke sini, aku makin mengerti dengan pola pikir mereka yang menurutku nol adab itu.” “Untuk apa saya menceritakan aib saya sendiri, Pak. Bukankah seharusnya saya menutup aib saya sebaik-baiknya dan serapat-rapatnya. Bahkan di dalam agama kita saja, kita dilarang mengumbar aib sendiri.” Candra memutar bola matanya malas. Apa yang diucapkan Hayu memang benar, tapi niatnya hanya ingin membantu gadis itu agar dia tak terlalu sedih. “Apa kamu masih ingat tawaran saya. Apa kamu tidak ingin memberi pelajaran pada mereka agar tahu rasanya seperti apa direndahkan orang lain? Tawaranku masih berlaku, aku juga bisa membantu kamu mewujudkan apa yang kamu inginkan.” Candra menaik-turunkan alisnya menggoda Hayu, kali ini dia sungguh tulus membantunya,
“Candra!”Dia menoleh, suara itu adalah suara mamanya. Segera candra berdiri dan menyongsongnya.“Ma, kok, tumben Mama ada di sini, ayo makan siang bersama kami,” ajak Candra pada mamanya. Hayu pun berdiri menyalami Mama Candra, Selamat Siang, Bu.”“Siang Hayu, silakan duduk, maaf, Ibu mengganggu kalian berdua. Tadi Ibu habis bertemu dengan teman Ibu di sini, tak sengaja melihat kalian, ya sudah, Ibu hampiri saja kalian. Ibu tidak mengganggu kalian, kan?” tanyanya menggoda putra dan sekretarisnya.“Ma, nggak usah aneh-aneh, Candra sedang berjuang, tapi belum tahu hasilnya.”Hayu yang mendengar itu pun menunduk dalam, telinganya memanas, mungkin sekarang wajahnya sudah merona, mendengar perkataan bosnya yang cerewet itu.“Jangan menggodanya Candra, Hayu malu, kamu mau sekretarismu yang cantik ini kabur, kembali ke mantan kekasihnya itu.”Hayu berdeham, bisa-bisanya mereka berdua membahas dirinya secara terang-terangan.“Hayu, Ibu tidak s
Mama Candra terkekeh geli melihat reaksi putranya. Dia menaik -turunkan kedua alisnya, menggoda putranya yang tersenyum-senyum tipis, mempertahankan gengsinya. “Mama nggak pulang? Bukankah ada sesuatu yang mau Mama kerjakan?” “Jadi kamu mengusir Mama? Mau jadi anak durhaka, mau mama kutuk kalian cepat punya anak?” Mama Candra berpura-pura marah pada putranya, tapi sejurus kemudian di terkekeh, dia tahu putranya sengaja mengusirnya. Mama Candra menyeruput tehnya dan menatap Hayu. “Nduk, Mama lupa, Mama ada janji dengan teman-teman arisan Mama. Mama pulang dulu, ya, titip Candra, dia suka nakal kalau nggak ada Mama. Kalau dia macam-macam denganmu bilang Mama, biar langsung Mama nikahkan sama kamu, Nduk.” Hayu ingin tertawa, tapi dia berusaha menahannya dengan melipat kedua bibirnya ke dalam. Dia mengangguk merespons mama Candra. Melihat wajah Hayu yang bersemu merah, Mama Candra tersenyum senang. Apalagi putranya, dia gemas sekali melihat Hayu tersipu malu-malu. Hayu mencium
Hayu tertawa geli, dia hanya bercanda, tapi reaksi yang ditunjukkan Jelita padanya menurutnya terlalu berlebihan. “Hei aku hanya bercanda, kenapa kamu seserius itu. Nikmati saja waktumu, toh aku tidak pergi ke mana-mana.” Jelita menghela nafas lega, dia pikir sudah mengganggu Hayu sehingga dia mengusirnya. Jelita menyeruput kopinya dan memakan kembali kue buatan ibu Hayu yang sejak tadi membuat air liurnya menetes. Jelita memasukkan kue basah dengan warna dan aroma pandan ke dalam mulutnya. Baru saja dia mengunyahnya, suara yang sangat familiar menyapa telinganya. “Lho, Jelita, kamu kok di sini, Nak?” Jelita tersedak, Hayu melesatkan tangannya cepat, mengulurkan kopi milik Jelita. “Hati-hati, minumlah, jangan menyepelekan tersedak, itu bisa membuatmu mati!” Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Hayu barusan, malah semakin membuat Jelita terbatuk-batuk. Mami Candra yang memiliki hati yang lembut pun segera menghampiri Jelita dan mengusap punggung gadis itu hingga b
Bisma mengetuk pintu kaca mobil Jelita. Mau tak mau Jelita menurunkan kaca pintu mobil miliknya. Dia tak mengerti dengan sikap Bisma. Bukankah kekasihnya itu sudah jelas-jelas mengatakan hal yang tak bisa dia harapkan sama sekali. Lalu untuk apa dia mengejarnya hingga kemari. “Ada apa, Mami sudah menjelaskan segalanya. Semuanya sudah berakhir bukan? Apa yang ingin kamu katakan padaku kali ini, rasanya tak mungkin kamu berubah pikiran.” “Maafkan aku, Jelita, semuanya harus berakhir begini, aku masih pada keputusan yang sama. Hati-hati di jalan.” Jelita menghela nafas, Bisma tak mengubah keputusannya. Jelita tak ingin menjawab perkataan Bisma selain anggukan kecil yang ditunjukkan sebagai respons darinya. Jelita tak peduli Bisma masih berdiri di sana. Dia memilih meninggalkan tempat yang saat ini tak ingin dia pijak. Tempat di mana dia menaruh harapan kosong, dengan pintalan asa yang berantakan. Melajukan kendaraannya di jalanan, berbaur dengan kendaraan lainnya. Selama perjalanan pu
Jelita geming, menunggu jawaban dari calon suaminya, sementara Nyonya Adibrata dengan sengaja membuang muka menghindari tatapan calon menantunya. Seketika Jelita sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Alih-alih mendapatkan jawaban dari orang yang saat ini menjadi tumpuan harapannya, dia lebih memilih untuk keluar dari ruang rawat inap Bu Ayu. Dengan langkah gontai dan kepala yang tertunduk lesu, dia meraih handle pintu dan berusaha keluar dari kamar itu. Jelita terduduk di kursi yang berada di luar ruangan. Saat ini dia tak tahu, apalagi yang harus dilakukannya. Terkadang hidup memang selucu itu, dia dikecewakan orang yang paling dekat dengannya sendiri. Harapan yang terlalu tinggi, kini mengkhianatinya bertubi-tubi. Membuatnya terpuruk di tengah badai, terombang-ambing hingga ke palung dasar rasa kecewanya. Tak dia nyana sama sekali Bisma keluar, Jelita menoleh ke arahnya. Bisma mendudukkan tubuhnya di sebelah Jelita. Dia menghela nafas panjang dan dalam, seolah ingi
“Boleh aku masuk? Apa aku mengganggumu? Aku hanya membutuhkan waktu sebentar denganmu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu. Apa kamu sudah sarapan?” Chandra menunjukkan kotak makannya pada Jelita. “Jadi aku mengganggumu, kamu sedang sarapan, ya. Apa sebaiknya aku pergi saja.” “Tidak perlu, sebaiknya sekarang saja kamu katakan apa yang ingin kamu katakan, sebentar lagi aku akan bertemu dengan klien.” “Apa benar kalian melihat Mamiku dan Papi Bisma bersama? Tolong katakan yang sejujurnya padaku. Aku sempat mendengar mereka membicarakan Mami dan juga Pak Adibrata. Jadi sebenarnya apa yang terjadi. Apakah kecurigaanku itu memang benar terjadi? Bukankah kalian sempat bertemu mereka berdua?” Candra bingung, dia tak tahu harus menjawab apa. Kalau dia mengatakan iya, Candra tak ingin melihat Jelita kecewa. Bagaimanapun Jelita pernah hadir di dalam hatinya dan sempat bertakhta di sana. Namun, di satu sisi dia tidak ingin membohongi Jelita, sebab bagaimanapun juga Jelita harus tahu
Mau tak mau Hayu pun membuka matanya, Dia malu sekali karena ketahuan oleh Candra. Candra tersenyum melihat Hayu membuka mata. “Apa kamu menginginkan sesuatu atau kamu mau sarapan apa? Mungkin aku bisa membelikannya untukmu." Hayu menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu repot-repot, Ibu pasti sudah memasakkan sesuatu untuk kita, aku sudah bilang padamu bukan, kalau hari ini, aku ingin di rumah saja.” Candra mengangguk, “Tentu saja, bukankah aku sudah berjanji padamu kemarin, kalau hari ini kamu bisa mengambil cuti. Fokuslah pada kesehatanmu terlebih dahulu, baru kamu masuk kerja, toh semuanya sudah aku selesaikan. Bisma juga sudah menandatangani semua yang kita butuhkan. Kalau kamu menginginkan sesuatu atau kalau kamu membutuhkan bantuanku, kamu tinggal meneleponku dan aku akan secepat mungkin datang kemari. Sekarang aku harus pergi ke kantor.” Hayu mengangguk. Namun sejurus kemudian ibu Hayu sudah berada di ambang pintu kamar Hayu. “Sarapan dulu sebelum kamu pergi ke kantor, kamu
Candra mengantarkan Hayu pulang ke rumahnya. Ibunya tampak sudah menunggunya di depan pintu, beliau kaget melihat putrinya yang datang dengan wajah yang pucat dan lemas. Bahkan Candra memapahnya. Ibu Hayu pun bertanya “Apa yang terjadi dengan Hayu, dia kenapa, Ndra? Apakah dia sakit. Ayo bawa dia masuk cepat, dan biarkan dia beristirahat di kamarnya. Kamu bisa membantu Ibu mengantarkannya ke kamar, kan? Ibu akan mengambilkan air hangat untuknya.” Candra pun mengangguk, dia menggendong Hayu naik ke kamarnya, menidurkannya di ranjang dan menyelimutinya. “Kamu tahu, Dokter bilang apa padaku? Dia bilang kamu banyak pikiran. Kenapa kamu tidak bercerita tentang sesuatu yang kamu rasakan kepada orang lain, apa kamu tidak takut, jika itu akan selalu membebanimu dan membuatmu berpikir tentang yang hal yang tidak-tidak? Apa kamu tidak takut, jika itu akan berimbas pada mentalmu dan membuatmu harus mengunjungi psikiater?” Hayu menggeleng, “Aku tak tahu harus mengatakan apa, aku sudah berusa
Candra kaget melihat Bisma yang juga ada di sana. “Siapa yang sakit, Ndra.” “Hayu. Kamu sedang apa di sini?” tanya Candra kembali, bukannya tadi mereka baru saja bertemu dan sekarang, mereka juga bertemu lagi di tempat yang sama. Dunia memang sempit, sekeras apa pun dia menghindar, mantan kekasih Hayu ini, selalu ada di mana-mana. "Hayu kenapa? Sakit apa? Bagaimana keadaannya? Apa aku bisa menjenguknya?" “Aldi bilang dia hanya lelah dan juga banyak pikiran, apa nggak sebaiknya, kamu jangan bertemu dengannya dulu, bukan apa-apa, hanya saja aku khawatir kalau ternyata dia banyak pikiran karena masalah kalian. Kamu tahu sendiri, Hayu bukan orang yang suka mengeluarkan keluh kesahnya pada orang lain. Jadi daripada pikirannya semakin terbebani, mendingan kamu menjauh darinya. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya, apalagi kalau dia sampai harus ke psikiater, please. Lihatlah saja Hayu dari kejauhan, lepaskan dia dari siksa yang sudah kalian lakukan padanya, kata-kata merendahkan a
Hayu yang kelelahan malah tertidur di sofa depan televisi. Candra yang melihatnya pun membetulkan posisi tidurnya dan mengatur suhu AC di ruangan itu, sementara itu, dia masih berkutat dengan masakannya yang masih belum matang.Ponsel Hayu berdering, Hayu sama sekali tak terganggu dengan deringan ponselnya yang cukup memekakkan telinga. Dengan sigap Candra mengambil ponsel Hayu dan melihat siapa yang meneleponnya. Ibu Hayu menelepon. Candra bingung antara ingin menjawab panggilan itu atau tidak, takut jika sang pemilik ponsel marah dengannya. Akhirnya dia putuskan, untuk tak menjawabnya. Dia lebih memilih menelepon ibu Hayu menggunakan ponselnya.Sungguh definisi lelaki idaman. Candra menelepon sembari menunggu steik yang di masaknya matang dengan kematangannya medium rare.Akhirnya setelah menunggu hampir lima menit Ibu Hayu mengangkat teleponnya, “Halo, Bu. Maaf Candra mengganggu Ibu, saat Hayu sedang tidur, nanti mungkin setelah makan malam, Candra akan men