"Ma, apa-apaan ini? Kenapa Mama menuduh Lita yang memasukkan obat itu ke minuman Kiran?" Arka segera masuk ke rumah ketika melihat Maria yang sedang menuduh Lita—memasukan obat ke minuman Kiran. "Lalu, apa kamu pikir mama yang melakukan itu?" "Ma, jelas-jelas obat itu ada di tas Mama. Kenapa Mama malah menyalahkan orang lain atas kesalahan Mama sendiri." Maria hanya bisa menggelengkan kepala, menatap Arka heran. Tak pernah terbayangkan dalam benaknya bahwa anak yang ia lahirkan dan besarkan dengan kasih sayang malah menuduhnya. Alih-alih percaya padanya, Arka justru lebih percaya pada Lita, wanita yang baru hadir dalam kehidupnya. "Kamu benar-benar berpikir mama yang menaruh obat itu? Setelah semua yang mama lakukan untukmu, untuk keluarga kita, kamu malah percaya pada omongan wanita ini daripada ibumu sendiri?" "Ma, bukannya aku tidak percaya sama Mama. Mama terlalu terburu-buru menyalahkan Lita? Mungkin ada penjelasan lain kenapa obat itu bisa ada di tas Mama." "Penj
Arka menatap Kiran dengan cemas, tangannya perlahan menepuk lembut pipi istrinya, berharap ia segera sadar dari tidurnya yang terlihat gelisah. "Sayang, buka matamu." Bulu mata Kiran yang lentik mulai bergerak, seolah berusaha bangkit dari dunia mimpi. Perlahan, matanya mulai terbuka. Kiran melihat Arka yang berada di samping tempat tidur. "Mas?" Arka menghela napas lega ketika Kiran sudah bangun. "Kiran, kenapa kamu mengigau memanggil nama Kak Arga?" Kiran tampak bingung, ia mengerutkan kening saat mendengar pertanyaan itu. "Apa yang kamu bilang, Mas?" tanyanya pelan, mencoba mencerna pertanyaan suaminya. "Tadi, aku jelas-jelas dengar kamu memanggil nama Kak Arga," ulang Arka dengan nada yang lebih serius, meskipun ia berusaha menahan emosinya. Kiran terdiam sejenak, berusaha mengingat. Namun, dalam benaknya yang kabur, ia tak bisa mengingat apa yang ia katakan. "Mas, mungkin kamu salah dengar," ujar Kiran, mencoba tersenyum dan menenangkan Arka. "Aku tadi memanggil namamu,
"Tidak, aku tidak boleh menghubungi Kiran lagi. Aku sudah janji kepada Mama untuk menjauh dari Kiran." Arga mengingat janji yang telah ia buat kepada ibunya. Janji untuk menjauh dari kehidupan Kiran dan membiarkan adik iparnya menjalani hidup tanpa kehadirannya lagi. Helaan napas Arga terdengar gusar, ia meletakkan ponselnya di atas nakas di samping tempat tidur Noah. Dia berjalan mendekat ke arah putranya yang sudah terlelap. "Maaf, Sayang. Papa tidak bisa menghubungi Mama Kiran. Papa tidak ingin mengganggunya lagi. Semoga kamu bisa mengerti, Noah." Arga berbisik di telinga Noah begitu lirih, ia tak ingin membangunkan putranya yang sudah tidur dengan tenang. Arga membungkuk, memberikan ciuman lembut di kening putranya. Setelah memastikan Noah tertidur dengan baik, ia melangkah keluar dari kamar, menutup pintu dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara. Begitu keluar dari kamar, Arga mendapati ayah mertuanya, Budiono, sedang berdiri di lorong. Budiono adalah pria berusia ena
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?"Kiran segera tersadar dari lamunannya, ia pun melepaskan tangan kekar lelaki itu yang masih melingkar di pinggangnya. "Oh, t-tidak. Tidak apa-apa. Terima kasih sudah menolongku, kalau bukan karena kamu ... mungkin aku sudah tertabrak motor."Pria itu mengangguk. "Tidak perlu berterima kasih. Yang penting kamu selamat.""Sayang, apa yang terjadi?" Arka yang sedari tadi begitu sibuk dengan barang-barangnya, sampai tak memperhatikan Kiran yang hampir tertabrak motor, lelaki itu pun bertanya dengan cemas ketika ia melihat istrinya terlihat gugup."Aku baik-baik saja, Mas. Lelaki ini yang menolongku, aku hampir tertabrak motor tadi," tunjuk Kiran ke arah lelaki yang masih ada di sampingnya.Arka mengalihkan pandangannya kepada lelaki yang berdiri di samping istrinya. "Terima kasih sudah menolong istri saya," ucap Arka dengan tulus.Pria itu mengangguk singkat. "Tidak masalah. Berhati-hatilah. Tempat parkir ini cukup ramai, dan pengendara seringkali tida
Kiran tidak menyangka suaminya akan berkata seperti itu. Ucapan Arka jelas melukai hatinya, meski suaminya mungkin tidak bermaksud demikian. "Untuk Cleo? Cleo bukan anakku, Mas. Dia anak Lita."Arka menatap Kiran dengan perasaan bersalah. Ucapannya tadi adalah sebuah kesalahan besar. Namun, di saat yang sama, ia hanya ingin mencari cara agar kamar ini tetap memiliki arti, tanpa terus-menerus mengingatkan mereka pada kehilangan yang mendalam."Sayang, bukan maksudku seperti itu, hanya saja aku merasa sayang bila kamar ini harus dikosongkan lagi. Kita sudah membeli semua barang ini, menyiapkan segalanya dengan begitu banyak harapan. Aku juga merasa kasihan dengan Cleo jika dia harus tidur di tempat yang sempit," beber Arka, berkata dengan suara pelan, ia berharap Kiran mengerti maksudnya. "Sayang, kita harus bisa ikhlas dengan kepergian anak kita.""Ikhlas? Kamu bilang aku harus ikhlas?" Nada suara Kiran dingin, seperti pedang yang menusuk hati Arka."Aku tidak bermaksud seperti itu, K
Kiran terkesiap ketika mendengar teriakan Lita, ia pun menoleh ke belakang di mana ia sudah melihat Lita dan Arka di sana. Lita berjalan cepat ke arah kiran, ia lalu mengambil alih Cleo yang masih dalam gendongan Kiran."Cleo, Sayang! Astaga, kamu bikin mama panik!" Lita memeluk Cleo erat-erat. Ia mencium anaknya dengan lega, sementara Cleo tampak kebingungan dengan kegaduhan di sekitarnya.Setelah memastikan Cleo aman di pelukannya, Lita menatap ke arah Kiran. "Kiran, aku tahu kamu sedang sedih. Tapi tidak seharusnya kamu membawa Cleo ke kolam ikan seperti ini. Kamu hampir mencelakai anakku!" Kiran tertegun mendengar perkataan Lita. "Apa maksudmu?" "Kamu sengaja ingin menjatuhkan Cleo ke kolam, 'kan? Karena kamu sakit hati. Anakmu sudah tidak ada, jadi kamu ingin melukai anakku!" Kata-kata itu seperti duri yang menghujam hati Kiran. Bagaimana bisa wanita itu menuduhnya begitu kejam? Kiran menatap Lita dengan pandangan marah yang tertahan, bibirnya bergetar menahan emosi."Lita!"
"Mama ..." Kiran memeluk Maria erat, perasaan bersalah mulai menggelayuti hatinya, apalagi ketika ia mengatakan sesuatu yang mungkin telah menyakiti hati ibu mertuanya itu. "Maafkan aku, Ma ... aku tidak bermaksud bicara seperti itu kepada Mama ...."Punggung Kiran bergetar, Maria segera mengelusnya dengan lembut. Ia terkejut sekaligus bahagia bahwa Kiran akhirnya menjenguknya. Maria sempat berpikir Kiran benar-benar marah dan membencinya setelah kejadian itu."Tidak, Sayang. Seharusnya mama yang minta maaf ... semua ini salah mama."Kiran melepaskan pelukannya, sorot matanya menatap Maria begitu hangat, meskipun air matanya masih berlinang di pelupuk mata. "Tidak, Ma. Aku tahu Mama tidak bersalah. Aku yakin ada seseorang yang sengaja memasukkan obat itu ke tas Mama."Hati Maria begitu lega ketika mengetahui bila ternyata Kiran percaya padanya. Dengan perlahan, Maria menghapus air mata yang masih mengalir di pipi Kiran. "Mama juga berpikir seperti itu, Sayang.""Semua ini pasti ulah L
Kiran keluar dari kamar mandi, sembari menggosok rambut basahnya menggunakan handuk. Piyama satin berwarna biru muda dengan motif bunga-bunga kecil terlihat manis di tubuhnya. Ketika Kiran berjalan menuju tempat tidur, tiba-tiba suara notifikasi dari ponselnya yang tergeletak di atas meja rias menarik perhatiannya. Ia segera menghampiri meja itu, meletakkan handuk di kursi terdekat, dan meraih ponselnya. Sebuah pesan baru dari sahabatnya, Intan, muncul di layar. Intan : "Ran, nanti malam longgar gak?" Kiran : "Iya, ada apa emangnya?" Intan : "Kamu lupa kalau hari ini ulang tahun Hena?" Kiran langsung menepuk jidatnya karena lupa. Bagaimana bisa ia melupakan ulang tahun Hena, salah satu sahabat dekat mereka? Ia memang sedang banyak pikiran akhir-akhir ini, tapi tetap saja, ini bukan sesuatu yang seharusnya terlupakan. Kiran : "Nanti malam aku gak ada acara kok. Jadi, kalian rencana ngumpul di mana?" Intan : "Mau ikut gabung? Kita rencana mau makan-makan santai aja di Cafe