Maria begitu panik ketika melihat darah segar yang terus mengalir dari kaki Kiran. Wanita paruh baya itu pun berteriak memanggil putranya. "Arka! Arka! Cepat ke sini!" Maria tidak tahu apa yang senenarnya terjadi dengan Kiran. Kenapa Kiran pendarahan seperti ini? "Ada apa, Ma?" Arga bertanya ketika sudah sampai di kamar. "Arka, Kiran pendarahan!" Arka terkesiap melihat kondisi Kiran. Darah yang keluar dari kaki Kiran begitu banyak. Tanpa berpikir panjang, Arka langsumg berjongkok. "Kiran …." "Mas ... sakit ...," rintih Kiran, suaranya begitu lemah sambil terus menahan sakit yang tak kunjung reda. "Arka, cepat bawa Kiran ke rumah sakit sekarang! Mama takut terjadi apa-apa sama Kiran." "Baik, Ma." Arka mengangguk. Dia segera menggendong Kiran dengan hati-hati. "Mas, ada apa dengan Kiran?" Lita bertanya ketika melihat suaminya membawa Kiran, ia pun melihat banyak sekali darah segar yang ada di kaki Kiran. "Kiran mengalami pendarahan, aku harus segera membawanya k
Maria memandangi bungkus obat yang ada di tangannya. Ia tidak mengerti mengapa ada obat itu di tasnya. "Obat apa ini?" Arka yang mendengar ucapan Maria langsung melepaskan pelukannya dari Kiran dan melihat ke arah ibunya. "Bungkus obat apa itu, Ma?" Maria yang masih bingung, segera menjawab, "Mama tidak tahu. Mama tidak pernah merasa membawa obat ini." Dokter yang kebetulan masih berada di ruangan tersebut mendekat dan dengan sopan meminta untuk melihat obat itu. "Boleh saya lihat, Bu?" Maria menyerahkan bungkus obat tersebut ke dokter. Dokter merasa familiar dengan nama obat itu, ia membuka bungkus itu dan melihat isinya dengan cermat. Ia menghela napas berat sebelum akhirnya berkata, "Ini ... ini adalah obat penggugur kandungan." Deg! Perkataan dokter tersebut membuat suasana di ruangan itu seolah berhenti sejenak. Kiran menatap dokter dengan seksama, sedangkan Arka langsung berdiri dengan wajah memerah karena kaget. "Ma, kenapa obat itu bisa ada di tas Mama?" Sua
"Ma, apa-apaan ini? Kenapa Mama menuduh Lita yang memasukkan obat itu ke minuman Kiran?" Arka segera masuk ke rumah ketika melihat Maria yang sedang menuduh Lita—memasukan obat ke minuman Kiran. "Lalu, apa kamu pikir mama yang melakukan itu?" "Ma, jelas-jelas obat itu ada di tas Mama. Kenapa Mama malah menyalahkan orang lain atas kesalahan Mama sendiri." Maria hanya bisa menggelengkan kepala, menatap Arka heran. Tak pernah terbayangkan dalam benaknya bahwa anak yang ia lahirkan dan besarkan dengan kasih sayang malah menuduhnya. Alih-alih percaya padanya, Arka justru lebih percaya pada Lita, wanita yang baru hadir dalam kehidupnya. "Kamu benar-benar berpikir mama yang menaruh obat itu? Setelah semua yang mama lakukan untukmu, untuk keluarga kita, kamu malah percaya pada omongan wanita ini daripada ibumu sendiri?" "Ma, bukannya aku tidak percaya sama Mama. Mama terlalu terburu-buru menyalahkan Lita? Mungkin ada penjelasan lain kenapa obat itu bisa ada di tas Mama." "Penj
Arka menatap Kiran dengan cemas, tangannya perlahan menepuk lembut pipi istrinya, berharap ia segera sadar dari tidurnya yang terlihat gelisah. "Sayang, buka matamu." Bulu mata Kiran yang lentik mulai bergerak, seolah berusaha bangkit dari dunia mimpi. Perlahan, matanya mulai terbuka. Kiran melihat Arka yang berada di samping tempat tidur. "Mas?" Arka menghela napas lega ketika Kiran sudah bangun. "Kiran, kenapa kamu mengigau memanggil nama Kak Arga?" Kiran tampak bingung, ia mengerutkan kening saat mendengar pertanyaan itu. "Apa yang kamu bilang, Mas?" tanyanya pelan, mencoba mencerna pertanyaan suaminya. "Tadi, aku jelas-jelas dengar kamu memanggil nama Kak Arga," ulang Arka dengan nada yang lebih serius, meskipun ia berusaha menahan emosinya. Kiran terdiam sejenak, berusaha mengingat. Namun, dalam benaknya yang kabur, ia tak bisa mengingat apa yang ia katakan. "Mas, mungkin kamu salah dengar," ujar Kiran, mencoba tersenyum dan menenangkan Arka. "Aku tadi memanggil namamu,
"Tidak, aku tidak boleh menghubungi Kiran lagi. Aku sudah janji kepada Mama untuk menjauh dari Kiran." Arga mengingat janji yang telah ia buat kepada ibunya. Janji untuk menjauh dari kehidupan Kiran dan membiarkan adik iparnya menjalani hidup tanpa kehadirannya lagi. Helaan napas Arga terdengar gusar, ia meletakkan ponselnya di atas nakas di samping tempat tidur Noah. Dia berjalan mendekat ke arah putranya yang sudah terlelap. "Maaf, Sayang. Papa tidak bisa menghubungi Mama Kiran. Papa tidak ingin mengganggunya lagi. Semoga kamu bisa mengerti, Noah." Arga berbisik di telinga Noah begitu lirih, ia tak ingin membangunkan putranya yang sudah tidur dengan tenang. Arga membungkuk, memberikan ciuman lembut di kening putranya. Setelah memastikan Noah tertidur dengan baik, ia melangkah keluar dari kamar, menutup pintu dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara. Begitu keluar dari kamar, Arga mendapati ayah mertuanya, Budiono, sedang berdiri di lorong. Budiono adalah pria berusia ena
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?"Kiran segera tersadar dari lamunannya, ia pun melepaskan tangan kekar lelaki itu yang masih melingkar di pinggangnya. "Oh, t-tidak. Tidak apa-apa. Terima kasih sudah menolongku, kalau bukan karena kamu ... mungkin aku sudah tertabrak motor."Pria itu mengangguk. "Tidak perlu berterima kasih. Yang penting kamu selamat.""Sayang, apa yang terjadi?" Arka yang sedari tadi begitu sibuk dengan barang-barangnya, sampai tak memperhatikan Kiran yang hampir tertabrak motor, lelaki itu pun bertanya dengan cemas ketika ia melihat istrinya terlihat gugup."Aku baik-baik saja, Mas. Lelaki ini yang menolongku, aku hampir tertabrak motor tadi," tunjuk Kiran ke arah lelaki yang masih ada di sampingnya.Arka mengalihkan pandangannya kepada lelaki yang berdiri di samping istrinya. "Terima kasih sudah menolong istri saya," ucap Arka dengan tulus.Pria itu mengangguk singkat. "Tidak masalah. Berhati-hatilah. Tempat parkir ini cukup ramai, dan pengendara seringkali tida
Kiran tidak menyangka suaminya akan berkata seperti itu. Ucapan Arka jelas melukai hatinya, meski suaminya mungkin tidak bermaksud demikian. "Untuk Cleo? Cleo bukan anakku, Mas. Dia anak Lita."Arka menatap Kiran dengan perasaan bersalah. Ucapannya tadi adalah sebuah kesalahan besar. Namun, di saat yang sama, ia hanya ingin mencari cara agar kamar ini tetap memiliki arti, tanpa terus-menerus mengingatkan mereka pada kehilangan yang mendalam."Sayang, bukan maksudku seperti itu, hanya saja aku merasa sayang bila kamar ini harus dikosongkan lagi. Kita sudah membeli semua barang ini, menyiapkan segalanya dengan begitu banyak harapan. Aku juga merasa kasihan dengan Cleo jika dia harus tidur di tempat yang sempit," beber Arka, berkata dengan suara pelan, ia berharap Kiran mengerti maksudnya. "Sayang, kita harus bisa ikhlas dengan kepergian anak kita.""Ikhlas? Kamu bilang aku harus ikhlas?" Nada suara Kiran dingin, seperti pedang yang menusuk hati Arka."Aku tidak bermaksud seperti itu, K
Kiran terkesiap ketika mendengar teriakan Lita, ia pun menoleh ke belakang di mana ia sudah melihat Lita dan Arka di sana. Lita berjalan cepat ke arah kiran, ia lalu mengambil alih Cleo yang masih dalam gendongan Kiran."Cleo, Sayang! Astaga, kamu bikin mama panik!" Lita memeluk Cleo erat-erat. Ia mencium anaknya dengan lega, sementara Cleo tampak kebingungan dengan kegaduhan di sekitarnya.Setelah memastikan Cleo aman di pelukannya, Lita menatap ke arah Kiran. "Kiran, aku tahu kamu sedang sedih. Tapi tidak seharusnya kamu membawa Cleo ke kolam ikan seperti ini. Kamu hampir mencelakai anakku!" Kiran tertegun mendengar perkataan Lita. "Apa maksudmu?" "Kamu sengaja ingin menjatuhkan Cleo ke kolam, 'kan? Karena kamu sakit hati. Anakmu sudah tidak ada, jadi kamu ingin melukai anakku!" Kata-kata itu seperti duri yang menghujam hati Kiran. Bagaimana bisa wanita itu menuduhnya begitu kejam? Kiran menatap Lita dengan pandangan marah yang tertahan, bibirnya bergetar menahan emosi."Lita!"
Clarissa berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang begitu mempesona. Ia mengenakan gaun putih yang elegan, berpotongan simple dengan renda-renda halus yang menghiasi bagian bawah gaun. Rambutnya digelung ke belakang dengan rapi, dihiasi dengan jepit mutiara kecil. Penampilannya pun begitu sangat menawan. Hari ini adalah hari istimewa bagi Clarissa, karena orang tuanya akan menikah. Rasa bahagia tak bisa disembunyikan dari matanya yang berbinar. Ia berputar sedikit di depan cermin, mencoba melihat penampilannya dari segala sisi. "Aku cantik tidak?" tanyanya, sambil tersenyum lebar. Noah dan Cleo yang berada di belakangnya segera mengangguk. "Cantik sekali! Kamu kelihatan seperti bidadari yang sering aku lihat di TV," puji Cleo begitu kagum. "Terima kasih, Cleo," balas Clarissa sambil tertawa kecil. Noah dan Cleo juga tampil tak kalah menarik. Mereka mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih, lengkap dengan dasi kupu-kupu yang terikat rapi di leher mereka. Cleo me
Setibanya di kamar, ketiga anak itu duduk di sofa dengan ekspresi bingung. Clarissa menghela napas pelan dan berkata, "Sepertinya Mommy dan Daddy terus saja bertengkar." Cleo mengangguk setuju, lalu bertanya, "Terus, kita harus ngapain?" Clarissa mengangkat bahu dengan polos. "Aku juga nggak tahu." Tiba-tiba, Noah tersenyum. "Gimana kalau kita buat Papa dan Mama baikan lagi?" usulnya. "Gimana caranya?" tanya Cleo bingung. Clarissa menggaruk kepalanya, seolah berpikir keras. "Ayo kita berpikir dulu." Mereka bertiga pun langsung terdiam, memutar otak mencari cara terbaik untuk menyatukan Kiran dan Arga. Setelah beberapa saat, wajah Clarissa tiba-tiba tersenyum lebar. "Aha! Aku punya ide!" "Apa?" tanya Noah dan Cleo serempak. Kedua lelaki itu pun langsung melihat ke arah Clarissa yang ada di tengah-tengah mereka. Clarissa langsung merangkul Noah dan Cleo. "Sini, aku bisikin," katanya sambil berbisik di telinga mereka. Setelah mendengar rencana Clarissa, Noah dan Cleo
Kiran menghentikan langkahnya dan berjongkok di depan Cleo yang masih menangis. Dengan lembut, ia menghapus air mata anak kecil itu. "Sayang, Mama sedang sakit. Kita doakan saja biar Mama cepat sembuh, ya. Supaya nanti Mama bisa berkumpul lagi dengan kita." Cleo mengangguk kecil sambil sesegukan. "Iya, Tante. Cleo selalu doain Mama pas salat, biar Mama bisa cepat sembuh." Kiran tersenyum dan mengelus kepala Cleo dengan gemas. "Anak pintar. Sudah, jangan nangis lagi, ya. Tante tahu kamu anak yang kuat." Cleo menatap Kiran dengan wajah yang masih terlihat sedih. "Tante, aku mau pulang ke rumah. Papa sudah jarang sekali tinggal di rumah. Aku rindu." Kiran tertegun mendengar permintaan Cleo. Ia tahu bahwa selama ini Arka memang lebih sering tinggal di rumah almarhum orang tuanya, jarang pulang ke rumahnya sendiri. Bahkan, Cleo sering merasa kesepian karena rumah itu hanya menyisakan kenangan masa lalu. "Baiklah, kalau begitu, kita akan pulang ke rumah," jawab Kiran sambil tersen
Kiran melihat Cleo berdiri sendirian di balkon apartemen, bocah kecil itu tampak termenung, tatapannya juga terlihat kosong. Ia mulai berjalan ke arah Cleo. "Cleo." Cleo terkesiap mendengar suara Kiran. Ia segera menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya, lalu menoleh ke arah Kiran yang kini berdiri di sampingnya. "Tante …," sahut Cleo pelan. "Kamu sedang apa sendirian di sini? Kenapa tidak main sama Noah dan Clarissa?" Kiran bertanya sambil tersenyum tipis. Cleo menggeleng pelan. "Tidak, Tante. Aku hanya sedang sedih." "Sedih?" Kiran berjongkok agar bisa sejajar dengan Cleo. "Kenapa, Sayang?" Cleo menarik napas panjang sebelum menjawab, "Iya, Tante. Aku sedih … sekarang aku gak punya siapa-siapa lagi. Papa udah gak ada. Nenek udah pulang ke kampung, dan Mama masih di rumah sakit." Kiran merasakan hatinya pilu mendengar kata-kata itu. Bi Sri, neneknya Cleo sekaligus orang yang bekerja di rumah Maria, juga sudah kembali ke kampung halaman karena usianya yang suda
Air mata Kiran jatuh menggelinding meninggalkan jejak di wajahnya, mengalir begitu saja tanpa permisi. Lututnya terjun bebas mendarat di tanah, dadanya terasa sesak, terasa perih seperti ditusuk ribuan jarum. "Kenapa … kenapa harus kamu?" Hiks! James menghampiri Kiran, lalu meletakkan tangannya di bahu putrinya, memberikan sedikit kekuatan di tengah kesedihannya. Ia tahu, putrinya pasti akan terpuruk melihat seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya kini telah berpulang. "Arka ingin memberikan kesempatan kedua untukmu, Kiran. Dia ingin kamu tetap bisa melihat dunia," ujar James dengan suara yang terdengar berat. "Tapi kenapa Arka … kenapa dia melakukan ini, Pa?" Suara Kiran begitu serak, matanya masih tertuju pada nisan Arka. James menarik napas panjang sebelum menjawab, "Selama ini, Arka memiliki penyakit jantung. Dokter sudah lama memberitahunya bahwa kondisinya semakin memburuk dari hari ke hari. Ia mencoba bertahan sekuat tenaga. Tapi pada akhirnya, ia tahu waktunya tidak
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Kiran dan keluarganya. Setelah beberapa minggu menunggu, akhirnya dokter akan melepas perban di mata Kiran. Mereka semua menanti hasil dari operasi transplantasi yang menentukan penglihatan Kiran kembali. Dokter masuk sambil tersenyum ramah. "Baiklah, Kiran. Kita akan mulai melepas perbanmu sekarang. Cobalah untuk rileks, ya." Kiran mengangguk. Akan tetapi tubuhnya sudah bergetar, ia takut bila semuanya akan sia-sia, tapi ia juga berharap bila penglihatannya kembali normal lagi. Clarissa yang berdiri di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya dengan erat. Sementara James dan Kinanti berdiri di belakang mereka, wajah mereka begitu gelisah, hanya berharap bila semuanya akan baik-baik saja, dan putrinya kembali bisa melihat. Perban perlahan dilepas, lapis demi lapis, hingga akhirnya dokter berhenti dan menatap Kiran serius. "Coba perlahan buka matamu, Kiran. Jangan khawatir, cahaya mungkin akan terasa sedikit menyilaukan di awal.
"Kita … kita harus segera mencari donor, Dok. Apa pun yang bisa dilakukan, kami akan lakukan. Tolong selamatkan Kiran." James berharap putrinya akan mendapatkan donor mata secepat mungkin, ia tak bisa membayangkan bila Kiran tak bisa melihat. Dokter mengangguk. "Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Kami juga akan mulai mencari donor yang cocok untuk segera dilakukan transplantasi mata," katanya sebelum kembali masuk ke dalam ruang gawat darurat. James dan Kinanti berdiri di depan pintu ruang perawatan dengan perasaan yang bercampur aduk, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan penglihatan putri mereka. Tubuh James terasa lemas saat mendengar kondisi Kiran yang begitu kritis. Kakinya hampir tak kuat menopang tubuhnya, dan ia terpaksa bersandar pada dinding untuk menahan beban emosinya. Ia berharap putri semata wayangnya akan baik-baik saja, meski situasinya tampak begitu sulit. Di dalam hatinya, James terus berdoa agar ada keajaiban yang bisa menyelamatkan Kiran. Clari
Aldo menyeringai dari balik kemudi mobilnya ketika melihat sosok wanita yang dikenalnya, Kiran. Wanita yang selama ini ia benci. "Jadi, kamu sudah kembali lagi, Kiran? Baguslah. Sekarang waktunya aku membalas dendam atas kematian Cintya dan juga atas apa yang terjadi pada Lita," gumamnya, sorot matanya menatap Kiran seperti api yang berkobar. Ia masih kesal ketika mengetahui adik sepupunya, Lita, dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dan kondisi mentalnya semakin parah. Lima tahun lalu, Lita tertangkap basah oleh Arga ketika sedang mencoba membekap Maria. Tanpa belas kasih, Arka memasukan Lita begitu saja ke Rumah Sakit Jiwa. Sampai mental Lita sudah terlanjur kacau, terkadang dia menangis tanpa sebab, kadang juga tertawa seperti orang yang kehilangan akal. "Sekarang waktunya kamu untuk mati." Aldo berdesis seraya menancap pedal gas begitu kuat. Kiran yang sedang berjongkok di tepi jalan, ia terlalu sibuk memunguti barang belanjaannya yang berjatuhan, sampai ia tidak menyadari ada
"Ayo, sini! Aku akan kenalkan kamu sama kakakku." Cleo tampak sangat bahagia ketika melihat ayahnya datang bersama seorang gadis kecil yang baru ia temui beberapa hari lalu. Wajah Cleo berseri-seri saat menarik tangan Clarissa menuju tempat kakaknya berada. "Kamu punya kakak?" Cleo mengangguk. "Iya, dia sedang main motor-motoran," jawab Cleo sambil menunjuk ke arah Noah yang sedang asyik bermain di arena permainan. Sesampainya di dekat Noah, Cleo langsung berhenti dan memanggilnya, "Kak Noah!" Noah menoleh saat mendengar suara Cleo dari samping. "Ada apa, Dek?" "Lihat, aku bawa siapa!" Cleo tersenyum lebar, seraya menunjuk seorang gadis mungil yang berdiri di sampingnya. Noah segera turun dari permainan dan melihat ke arah gadis kecil itu. "Dia siapa?" "Dia Clarissa, Kak." "Oh, jadi ini Clarissa yang sempat kamu bilang kemarin, ya?" Clarissa melirik ke arah Cleo. "Kamu ngomong apa tentang aku?" "Aku bilang kamu cantik." Perkataan Cleo membuat Clarissa sedikit tersipu malu.