Kafe Wien.
Kedua laki-laki itu saling terdiam. Keduanya hanyut dengan pikiran dan prasangkanya masing-masing. Mengetahui Nazwa bersama dengan laki-laki lain sudah cukup membuat terkejut ditambah dengan panggilan “Angel” untuk Nazwa dari laki-laki itu. Mereka tahu ada yang tidak biasa diantara Nazwa dan laki-laki yang bernama Razky tersebut.
Dan hal itu yang membuat mereka sepakat untuk bertemu, membahas bagaimana mereka harus bersikap dengan kenyataan yang mereka lihat dan hadapi berkaitan dengan perempuan yang mereka cintai. Disinilah mereka saat ini, di kafe milik Nazwa. Mengapa mereka tidak memilih tempat lain untuk bertemu? Entahlah, tapi mungkin mereka ingin menyalurkan rindu mereka terhadap Nazwa. Dengan berada di tempat yang biasa Nazwa datangi, mereka setidaknya bisa merasakan kehadiran Nazwa, meski tidak berupa fisik, tetapi dari aura dan hawa atau interior kafe yang semuanya merupakan ciri khas dari Nazwa Rengganis.
“Kamu tahu siapa Razky?” Rafi dan
Hi my lovely readers ... Haturnuhun untuk tetap setia, mogi dimudahkan segalanya ya untuk kalian. Mmh ... Nazwa akan memilih di bab berikut ... Nantikan ya ...
Ambu tersenyum. “Tidak ada cinta yang tidak ingin memiliki, Nazwa,” jelas Ambu. “ Jika mereka berkata sebaliknya, itu adalah sebuah pengingkaran. Tak lebih hanya untuk mendamaikan hati yang nelangsa,” ucap Ambu selanjutnya. Nazwa terkesiap dengan penuturan Ambu. Benarkah yang Ambu katakan? Sebagian dirinya menyetujui perkataan Ambu dan pastinya itu adalah keyakinannya juga sedari dulu. Tetapi setelah perkataan Razky kemarin, pendapatnya tentang cinta yang tak harus memiliki, pun sedikit goyah. Ambu terkekeh melihat Nazwa yang terlihat bingung. “Kamu pasti sudah dipengaruhi pendapat Razky tentang cintanya yang tak harus memiliki,” ledek Ambu. “Maksud Ambu?” Kening Nazwa mengerut. “Anak itu pasti berkata, kalau cintanya adalah cinta yang hakiki. Karena manusia tak mempunyai apapun. Karena manusia hanya dititipi. Pemilik segalanya adalah Tuhan. Iya kan?” ucap Ambu. Nazwa menganggukkan kepalanya. Keningnya berkerut kemudian, “Apa Razky berka
Bila kau sanggup untuk melupakan diaBiarkan aku hadir dan menataRuang hati yang telah tertutup lama Jika kau masih ragu untuk menerimaBiarkan hati kecilmu bicaraKarena kutahu 'kan datang saatnya Kau jadi bagian hidupkuKau jadi bagian hidupku Takkan pernah berhenti untuk selalu percayaWalau harus menunggu 1000 tahun lamanyaBiarkanlah terjadi wajar apa adanyaWalau harus menunggu 1000 tahun lamanya Selama apapun ituAku 'kan setia menunggu Kau jadi bagian hidupkuKau jadi bagian hidupku Nazwa mengerjapkan matanya sembari melayangkan pandang ke luar jendela. Mengapa seolah lirik lagu ini merupakan pesan untuknya? Atau memang iya? Nazwa mendesah sekaligus mengembuskan napas, karena bingung dengan pemikirannya sendiri. Sementara Razky menggenggam erat setir mobilnya. Ia harus mengucapkan banyak terima kasih pada penyiar radio yang telah memutarkan lagu ini di saat ia
Nazwa mengembuskan napasnya kesal. “Sudah, Kaf. Jangan merusak selera makanku!” “Merusak selera makanmu? Tunggu, apa kamu sedang makan bersama … Siapa namanya?” “Razky.” “Razky …Ya, kamu sedang makan bersama dia? Hanya berdua?” suara Kafka terdengar semakin emosi. “Memangnya kenapa? Kami tidak boleh makan?” protes Nazwa. “Bukan masalah makannya, Nazwa. Tapi dengan siapa kamu makan!” berang Kafka. “Kaaf …,” suara Nazwa juga sudah mulai meninggi. “Habiskan makanmu, Angel. Jadi kita bisa lanjutkan perjalanan.” Terdengar lagi suara Razky yang rupanya telah kembali. Nazwa hanya mengangkat tangannya untuk menjawab perkataan Razky. “Kafka, aku sudahi ya. Kita bisa lanjutkan percakapan ini setelah aku pulang. Assalamu’alaikum.” Nazwa memutuskan percakapan mereka tanpa menunggu jawaban dari Kafka. Nazwa menghela napas dan memejamkan kedua matanya. Menghadapi orang yang sedang cemburu adalah hal yang paling menyeb
“Sebetulnya … aku hanya ragu, Ky. Ragu dan kecewa terhadap Kafka. Tapi perasaan cintaku tak berubah kepadanya,” lirih Nazwa. “Jadi … Kamu memilih Kafka?” tanya Razky mencoba menegaskan. Nazwa mendesah. Ia menundukkan kepalanya. Tak mengiyakan, tak juga mengatakan tidak. Nazwa mengangkat bahunya dan perlahan menatap Razky gamang. Razky pun mengembuskan napasnya. Ia mengerti kerisauan yang sedang dirasakan Nazwa. Ah, Razky! kamu malah menambah beban pikirannya! Maki Razky pada dirinya. “Baiklah,” ucap Razky kemudian. “Angel, maaf jika pernyataanku malah menambah bebanmu. Dengar, abaikan saja perkataanku tadi ya. Kamu benar, cinta adalah hal yang tidak bisa dipaksakan. Aku … Aku rasa, aku bisa menerima keputusanmu tentang perasaanku. Toh, sedari awal pun aku tak berani berharap kamu membalas perasaanku,” kekeh Razky terdengar miris. “Jadi … Jangan kuatir ya. I’m fine,” ujar Razky meyakinkan Nazwa. “Terima kasih, Ky,” ucap Nazwa tulus. “Sama
“Maksudnya dengan melepaskan?” desak Ibu. “Saya bersedia bercerai dengan Rafi,” jawab Renata dengan lirih. “Apa alasannya?” tanya Ibu. “Pertama, karena Rafi tidak mencintai saya, Bu. Kedua, Rafi belum bisa melupakan Nazwa, hingga sampai saat ini Rafi belum …,” “Renata, cukup!” perintah Rafi. “Tapi, Fi …,” “Cukup, Re. Itu adalah masalah yang sangat pribadi,” tekan Rafi. “Tapi dengan begitu mereka bisa mengerti kesungguhanmu untuk kembali menikahi Nazwa, Rafi!” kekeh Renata. “Tolong,” ujar Rafi memohon. Renata mengerjapkan matanya. Ada apa dengan Rafi? Tak biasanya ia bersikap seperti ini, tanyanya dalam hati. Ia menatap Rafi sesaat. Yang ditatap mengerjapkan matanya memohon untuk dituruti. “Baiklah,” katanya mengalah. “Bu, intinya, Renata bersedia berpisah dengan saya jika Nazwa dan saya rujuk kembali,” tegas Rafi. “Assalamu’ … alaikum,” suara salam dari arah pintu itu terdengar mengecil.
Kafka memandang Nazwa tak percaya. Benarkah apa yang Nazwa katakan? Ia-kah penyebab semua ini? Ia-kah yang membuat Rafi bisa kembali menikahi Nazwa? Tapi ia hanya mengutamakan perasaan Salsa dan Hanif! Salahkah itu? “Tidak!” Kafka menggelengkan kepalanya. “Ini bukan kesalahanku!” tolaknya. “Lalu kesalahan siapa menurutmu?” ujar Nazwa menjadi sedikit angkuh. Ia benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran Kafka. Tapi Kafka pun tak mampu menjawab pertanyaan Nazwa. Ia hanya terdiam terpaku menatap perempuan yang tak lagi menjadi tunangannya. “Sudahlah. Lapangkan saja hatimu. Terimalah , mungkin jodoh kita hanya sampai di sini,” lirih Nazwa. Kafka memandang Nazwa dalam. “Naz, aku ingin tahu. Apa aku masih ada di hatimu?”taut Kafka. “Untuk apa? Agar kamu bisa kembali merebut aku dari Rafi, begitu?” decih Nazwa. “Kenapa tidak?” tanya Kafka balik. “Jangan menjadi laki-laki brengsek, Kaf! Jangan buat nilaimu berubah di mataku!
“Tapi Re, kamu pasti sedih dan terluka saat ini. Iya … kan?” tanya Rafi hati-hati. “Tentu saja, Fi. Siapa yang tak sedih dan terluka jika harus berpisah dengan suami yang dicintainya?” jawab Renata lirih. Tapi sedetik kemudian ia tersenyum dan berkata, “Rafi, aku rasa jika perceraian ini dilakukan lebih cepat, akan lebih baik. Bukankah dengan begitu aku akan lebih cepat mengobati rasa sakit itu?” paparnya dengan senyum mengembang tetapi justru terlihat pilu. Rafi menatap Renata nanar. Ia tak bisa mengucapkan satu kata pun untuk menghibur perempuan yang begitu tulus mencintainya. Yang sayangnya, ia tak bisa membalas perasaan itu. “Baiklah Re, jika itu yang kamu mau. Aku akan urus secepatnya. Tapi, bagaimana nanti kita memberitahu ibu dengan perceraian ini?” “Kamu jangan kuatir. Nanti aku yang akan menjelaskan kepada ibu.” Renata menenangkan Rafi. Rafi terdiam seperti berpikir dan kemudian menggeleng. “Tidak. Kita berdua yang akan menjelaska
“Berengsek!” Kafka memukul wajah Rafi keras. Emosinya tersulut dengan jawaban Rafi yang dianggap meledek dirinya. “Kafka!” Nazwa berteriak kaget dengan gerakan Kafka yang memukul Rafi dengan tiba-tiba. Rafi terhuyung mendapat pukulan di pipinya. Ia tak menduga Kafka akan memukulnya seperti itu. Dirasakannya perih di ujung bibirnya. Ia merabanya. Didapatinya ujung telunjuknya memerah. Ia menatap Kafka dengan geram. Ia mendecih, “Sok jagoan!” “Kurang pukulan itu, Fi? Sampai kamu meminta lagi?! sarkas Kafka. “Kafka, Rafi! Sudah! Kalian tidak malu dijadikan tontonan, hah?” hardik Nazwa. Ia menunjukkan dengan pandangan matanya ke sekitar tempat mereka berada. Beberapa orang telah memperhatikan mereka dengan seksama. “Biar saja mereka tahu, laki-laki macam apa Rafi ini!” seru Kafka penuh emosi tak mempedulikan keadaan sekitar. “Kafka!” sentak Nazwa. “Nazwa! Dia tidak hanya mengejekku, tetapi juga merendahkanmu sebagai wanita!” pekik
Pupil mata Kafka melebar mendapati sosok yang sedang merangkul Nazwa-nya. Ya, perempuan yang sedang merebahkan kepalanya di dada laki-laki itu adalah Nazwa, calon istrinya. Ia sudah akan mengiyakan permintaan Nazwa untuk kembali melanjutkan pernikahan mereka. Tidak salah bukan, jika sejak saat itu Nazwa kembali menjadi miliknya. Walau jawabannya itu belum sempat didengar oleh Nazwa, karena kedatangan dan interupsi Ewi, mantan istrinya.“Nazwa!” tegur Kafka. Terdengar jelas nada tidak suka dari suaranya.Nazwa bergeming. Tubuhnya seperti kaku mendengar suara dari arah belakangnya itu. ia mengangkat kepalanya yang tadi direbahkannya di dada Razky. Ditatapnya Razky sebelum ia memutar tubuhnya ke arah sumber suara.“Kaf … ka?” lirihnya dengan nada terkejut.“Apa yang sedang kamu lakukan? Belum satu jam yang lalu kami memintaku untuk melanjutkan pernikahan kita. Lalu mengapa sekarang kamu bersandar pada dia!” tunjuk Kafka pada Razky penuh emosi.“Aku … aku hanya … me …,”“Apa kamu sedang m
Nazwa mengerjapkan mata untuk meraih kesadarannya. Netranya menangkap siluet wajah seorang lelaki gagah yang terkejut melihat kehadirannya.“Razky?” tanyanya juga dengan tak percaya.Lelaki gagah yang bernama Razky itu tersenyum dengan sangat manis mendapati Nazwa menyebutkan namanya.“Kamu sedang apa di sini, Angel?” Razky mengulang pertanyaannya yang memang belum terjawab oleh Nazwa tadi.“Aku … Aku …,” tiba-tiba Nazwa tergugu saat menjawab pertanyaan Razky. Sontak ia menoleh ke arah belakang, ke tempat di mana ia bertemu dengan Kafka, Rafi dan Ewi. Nazwa menunjukkan telunjuknya ke arah Café Seroja.Razky paham dengan gerakan Nazwa. “Oke … Kamu dari Café itu?” tunjuknya.Nazwa menganggukkan kepalanya.“Bertemu siapa? Kamu ada urusan bisnis di sini?” tanya Razky menggali informasi.Nazwa menggelengkan kepalanya.Razky mengernyitkan keningnya. Perempuan di hadapannya saat ini bukanlah Nazwa yang ia kenal. Setahunya, Nazwa adalah perempuan yang tidak mudah terguncang oleh suatu peristi
“Jika apa?” tanya Kafka dipenuhi rasa penasaran.Ewi menghembuskan napasnya, seolah berat untuk menjawab pertanyaan Kafka. “Nayla bilang, ia ingin bertemu denganmu jika kamu sudah menjadi Papa-nya lagi.”“Menjadi Papa-nya lagi?” taut Kafka tak mengerti.“Iya … Dia bilang kita harus tinggal serumah dulu, baru kamu adalah Papa-nya lagi,” jawab Ewi.Kafka tertawa mendengarnya. “Lelucon apa ini? Anak sekecil Nayla bicara begitu? Aku yakin, itu hanya akal-akalanmu saja, Wi!” decih Kafka.“Kalau kamu tak percaya, terserah,” jawab Ewi seolah tak terpengaruh dengan ucapan Kafka. Walau dalam hatinya ia meradang karena tak menyangka reaksi Kafka akan seperti ini. Ternyata Kafka yang sekarang bukanlah lagi Kafka yang ia kenal dahulu.“Kamu tahu … Aku tak percaya kalau Nayla mempunyai pikiran seperti itu.” Kafka mengembuskan napasnya dengan kesal. “Dengar, aku akan gugat kamu jika kamu masih menjauhkan Nayla dariku! Satu lagi, aku sibuk. Kalau kamu sudah selesai, silahkan keluar! Pintunya di sebe
afka melepaskan pelukannya pada Nazwa cepat. Ia terkejut dengan kedatangan Ewi, mantan istrinya ini. Hal yang sama pun dirasakan oleh Nazwa dan Rafi. Walau mereka belum pernah bertemu secara langsung, tetapi mereka sudah mendengar kisah pernikahan Kafka dan istrinya itu.“Ewi? Jangan bilang kalau …,”“Apa? Jangan bilang apa? Jangan bilang kalau anak kita sedang menderita sakit yang parah, yang umurnya tak lama lagi itu, ia ingin kita kembali bersatu. Kamu pikir aku main-main? Iya?!” Ewi kembali memotong ucapan Kafka.“Ini … Jika kamu membutuhkan bukti-bukti! Jika kamu tak mempercayai omonganku!” Ewi menyerahkan sebuah dokumen kepada Kafka.Kafka menerima itu dengan pandangan tak percaya. Tangannya bergetar. Menyadari jika apa yang ada di dalam dokumen itu benar, maka …“Kamu yang bernama Nazwa?” tanya Ewi pada Nazwa seraya menarik sebuah kursi untuk ia tempati. “Kenalkan, aku Ewi. Dan Kamu siapa?” tanyanya pada Rafi.“Aku Rafi …,” jawab Rafi menilai penampilan Ewi. Ia mencoba menging
Nazwa segera turun dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar mandi. Tak lama setelah itu ia berpakaian dengan baju yang telah ia persiapkan malam sebelumnya. Nazwa melihat tampilan dirinya di depan cermin. Ia tersenyum manis dan berkata, “Semangat Nazwa! Kita mulai dengan Bismillah!”Detik itu jua ia kembali merasakan debaran kencang di hatinya. Dan debaran itu mengiringi langkah kakinya meninggalkan hotel tepatnya menginap dan menyebrangi jalan menuju Café Seroja, tempat yang ditunjukkan oleh Rafi dimana Kafka berada di pagi hari ini.Nazwa mengedarkan pandangannya mencari sosok lelaki yang dicintainya itu. Didapatinya sosok itu tengah bercengkrama dengan dengan laki-laki yang Nazwa ketahui sosoknya. Hey, bagaimana bisa … Tak ayal Nazwa juga merasa heran. Tapi sedetik kemudian ia menyadari kebiasaan sosok itu. Dasar Rafi! Geram Nazwa dalam hatinya.“Naz …Wa?” Kafka yang pertama bersuara saat Nazwa berada di antara Kafka dan Rafi duduk.Nazwa bisa melihat keterkejutan di wajah Kafk
Cepat ia meraih lengan Nazwa sebelum mantan istrinya ini berjalan lebih jauh. “Maaf … Maaf, Naz,” pintanya dengan tulus. “Aku tidak bermaksud melecehkanmu,” ujarnya lagi.“Lalu apa maksud dari tertawamu yang terdengar bahagia di atas penderitaan orang lain itu?” ketus Nazwa mengerucutkan bibirnya.Rafi tersenyum sebelum menjawab. “Aku hanya senang melihat kebingungan di wajahmu. Sudah lama sejak aku melihat ekspresi di wajahmu hanya ekspresi serius saja. Tak ada ekspresi senang, bingung dan yang lainnya,” tukas Rafi.Nazwa menghela napasnya. “Kamu tahu sebabnya kan?” sindir Nazwa.“Ehem …,” Rafi mendehem mendengar ucapan Nazwa yang secara tidak langsung menyatakan kalau ialah penyebab ekpresi wajah Nazwa sekarang selalu datar. “Aku kirimkan lewat WA ya alamatnya,” ucap Rafi seraya mengeluarkan smartphonenya dari saku kemeja dan mengirimkan pesan ke smartphone Nazwa.“Rafii …,” terdengar suara Renata memanggil dari arah ruang makan.“Ya … Sebentar aku ke sana,” jawab Rafi dengan suara
"Sebentar lagi ... Kalian akan mendapat seorang adik," ujar Rafi memberitahu. "Adik?" Hanif mengerutkan keningnya seraya berpandang dengan Salsabila, kakaknya. "Iya. Adik kecil. Hanif akan dipanggil Kakak. Tante Renata sedang mengandung saat ini." Rafi menjelaskan dengan sumringah. Salsabila dan Hanif kembali berpandangan. Tiiba-tiba Hanif berteriak mengagetkan. "YeaYeay ... Hanif akan punya adik ... Yeay ... Hanif mau punya adik laki-laki, ya Ayah. Biar bisa bantu Hanif kalau Kak Bila menyerang Hanif," ucapnya dengan wajah penuh harap. Semua yang hadir di situ tertawa mendengar permintaan Hanif. "Kakek dan Nenek bantu doakan ya, Hanif," ujar Bapak kepada Hanif. Hanif tertawa senang mendengar perkataan kakeknya itu. "Terima kasih, Kakek, Nenek. Tante Renata, tolong dijaga ya adikku. Makan yang banyak, jangan kecapean dan istirahat yang cukup." Seperti orang tua Hanif berpesan kepada Renata. Renata tersenyum geli dan menganggukkan kepalanya. "Oke, Kakak Hanif. Tante akan menjag
"Hanif?" Kali ke dua Rafi bertanya. Hanif masih saja terdiam. Matanya saja yang bergerak. Menatapi Rafi, Nazwa dan Renata bergantian. Terakir ia menatap Salsabila, kakaknya. "Ha-nif ... se-dih," ujarnya ringan. Salsabila meraih tangan Hanif dan menggenggam jemarinya untuk menguatkan. Diberikannya senyum untuk meyakinkan kalau Hanif bisa berbicara mengutarakan isi hatinya. "Hanif ... Hanif sedih karena Ayah dan Bunda berpisah. Hanif selalu ditertawakan oleh teman-teman karena itu. Hanif tak tahu harus marah sama siapa. Pada Ayah atau Bunda?. Lalu Hanif melihat di malam hari Bunda menangis. Ternyata Bunda juga merasakan apa yang Hanif rasakan, dan Hanif marah sama Ayah. Hanif kesal pada Ayah!" Tanpa sadar Hanif memandang Rafi tajam melampiaskan kemarahannya. Rafi menelan ludahnya mendengar ucapan Hanif. Apa yang dikatakan Nazwa benar. Hati anak-anaknya sungguh terluka dengan keputusannya saat itu. "Hanif ... Ayah ...," Rafi berusaha untuk menjelaskan alasannya. "Tapi Bunda bilang,
“Mmh … Kenapa Ayah ngga bilang mau ke sini? Hanif tadi kaget lihat mobil Ayah di halaman. Ngg .. memangnya ini sudah jadwalnya Hanif menginap di rumah Ayah lagi? Bukannya baru kemarin ya Hanif dan Kakak menginap di rumah Ayah?” Hanif menjawab pertanyaan Ayahnya dengan begitu terus terang.Semua yang mendengarnya pun paham, terlebih Rafi. Bahwa begitu pilunya mendengar ucapan Hanif. Ini adalah resiko dari sebuah perceraian. Resiko berat yang harus ditanggung oleh korban dari perceraian sepasang manusia yang telah diikat oleh sebuah janji suci. Hasil dari janji itulah yang terkadang sepasang manusia itu lupakan. Bahwa hasil itu juga berwujud manusia dan mempunyai jiwa. Yang pasti remuk redam dan terluka saat perpisahan itu terjadi.Rafi tersenyum getir. Ia menggelengkan kepalanya dan memeluk anak laki-lakinya. “Ayah ke sini bukan untuk menjemput Hanif dan Kak Bila. Tapi ayah mengantarkan Tante Renata dan Nenek Mira,” sahut Rafi mencoba tenang dan melepaskan pelukannya.“Nenek Mira?” tau