Bila kau sanggup untuk melupakan dia
Biarkan aku hadir dan menataRuang hati yang telah tertutup lamaJika kau masih ragu untuk menerima
Biarkan hati kecilmu bicaraKarena kutahu 'kan datang saatnyaKau jadi bagian hidupku
Kau jadi bagian hidupkuTakkan pernah berhenti untuk selalu percaya
Walau harus menunggu 1000 tahun lamanyaBiarkanlah terjadi wajar apa adanyaWalau harus menunggu 1000 tahun lamanyaSelama apapun itu
Aku 'kan setia menungguKau jadi bagian hidupku
Kau jadi bagian hidupkuNazwa mengerjapkan matanya sembari melayangkan pandang ke luar jendela. Mengapa seolah lirik lagu ini merupakan pesan untuknya? Atau memang iya? Nazwa mendesah sekaligus mengembuskan napas, karena bingung dengan pemikirannya sendiri.
Sementara Razky menggenggam erat setir mobilnya. Ia harus mengucapkan banyak terima kasih pada penyiar radio yang telah memutarkan lagu ini di saat ia
Hi My Lovely Readers ... Haturnuhun sudah setia. Mogi kalian semua diberikan kesehatan dan kemudahan, juga kelapangan rizki, sehingga berlanjut untuk terus membuka kunci di novel ini, hehe ... Maafkan author yang modus ya. Saling berapresiasi saja di antara kita. Jangan lupa komentar dan vote-nya ya kesayangan ...
Nazwa mengembuskan napasnya kesal. “Sudah, Kaf. Jangan merusak selera makanku!” “Merusak selera makanmu? Tunggu, apa kamu sedang makan bersama … Siapa namanya?” “Razky.” “Razky …Ya, kamu sedang makan bersama dia? Hanya berdua?” suara Kafka terdengar semakin emosi. “Memangnya kenapa? Kami tidak boleh makan?” protes Nazwa. “Bukan masalah makannya, Nazwa. Tapi dengan siapa kamu makan!” berang Kafka. “Kaaf …,” suara Nazwa juga sudah mulai meninggi. “Habiskan makanmu, Angel. Jadi kita bisa lanjutkan perjalanan.” Terdengar lagi suara Razky yang rupanya telah kembali. Nazwa hanya mengangkat tangannya untuk menjawab perkataan Razky. “Kafka, aku sudahi ya. Kita bisa lanjutkan percakapan ini setelah aku pulang. Assalamu’alaikum.” Nazwa memutuskan percakapan mereka tanpa menunggu jawaban dari Kafka. Nazwa menghela napas dan memejamkan kedua matanya. Menghadapi orang yang sedang cemburu adalah hal yang paling menyeb
“Sebetulnya … aku hanya ragu, Ky. Ragu dan kecewa terhadap Kafka. Tapi perasaan cintaku tak berubah kepadanya,” lirih Nazwa. “Jadi … Kamu memilih Kafka?” tanya Razky mencoba menegaskan. Nazwa mendesah. Ia menundukkan kepalanya. Tak mengiyakan, tak juga mengatakan tidak. Nazwa mengangkat bahunya dan perlahan menatap Razky gamang. Razky pun mengembuskan napasnya. Ia mengerti kerisauan yang sedang dirasakan Nazwa. Ah, Razky! kamu malah menambah beban pikirannya! Maki Razky pada dirinya. “Baiklah,” ucap Razky kemudian. “Angel, maaf jika pernyataanku malah menambah bebanmu. Dengar, abaikan saja perkataanku tadi ya. Kamu benar, cinta adalah hal yang tidak bisa dipaksakan. Aku … Aku rasa, aku bisa menerima keputusanmu tentang perasaanku. Toh, sedari awal pun aku tak berani berharap kamu membalas perasaanku,” kekeh Razky terdengar miris. “Jadi … Jangan kuatir ya. I’m fine,” ujar Razky meyakinkan Nazwa. “Terima kasih, Ky,” ucap Nazwa tulus. “Sama
“Maksudnya dengan melepaskan?” desak Ibu. “Saya bersedia bercerai dengan Rafi,” jawab Renata dengan lirih. “Apa alasannya?” tanya Ibu. “Pertama, karena Rafi tidak mencintai saya, Bu. Kedua, Rafi belum bisa melupakan Nazwa, hingga sampai saat ini Rafi belum …,” “Renata, cukup!” perintah Rafi. “Tapi, Fi …,” “Cukup, Re. Itu adalah masalah yang sangat pribadi,” tekan Rafi. “Tapi dengan begitu mereka bisa mengerti kesungguhanmu untuk kembali menikahi Nazwa, Rafi!” kekeh Renata. “Tolong,” ujar Rafi memohon. Renata mengerjapkan matanya. Ada apa dengan Rafi? Tak biasanya ia bersikap seperti ini, tanyanya dalam hati. Ia menatap Rafi sesaat. Yang ditatap mengerjapkan matanya memohon untuk dituruti. “Baiklah,” katanya mengalah. “Bu, intinya, Renata bersedia berpisah dengan saya jika Nazwa dan saya rujuk kembali,” tegas Rafi. “Assalamu’ … alaikum,” suara salam dari arah pintu itu terdengar mengecil.
Kafka memandang Nazwa tak percaya. Benarkah apa yang Nazwa katakan? Ia-kah penyebab semua ini? Ia-kah yang membuat Rafi bisa kembali menikahi Nazwa? Tapi ia hanya mengutamakan perasaan Salsa dan Hanif! Salahkah itu? “Tidak!” Kafka menggelengkan kepalanya. “Ini bukan kesalahanku!” tolaknya. “Lalu kesalahan siapa menurutmu?” ujar Nazwa menjadi sedikit angkuh. Ia benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran Kafka. Tapi Kafka pun tak mampu menjawab pertanyaan Nazwa. Ia hanya terdiam terpaku menatap perempuan yang tak lagi menjadi tunangannya. “Sudahlah. Lapangkan saja hatimu. Terimalah , mungkin jodoh kita hanya sampai di sini,” lirih Nazwa. Kafka memandang Nazwa dalam. “Naz, aku ingin tahu. Apa aku masih ada di hatimu?”taut Kafka. “Untuk apa? Agar kamu bisa kembali merebut aku dari Rafi, begitu?” decih Nazwa. “Kenapa tidak?” tanya Kafka balik. “Jangan menjadi laki-laki brengsek, Kaf! Jangan buat nilaimu berubah di mataku!
“Tapi Re, kamu pasti sedih dan terluka saat ini. Iya … kan?” tanya Rafi hati-hati. “Tentu saja, Fi. Siapa yang tak sedih dan terluka jika harus berpisah dengan suami yang dicintainya?” jawab Renata lirih. Tapi sedetik kemudian ia tersenyum dan berkata, “Rafi, aku rasa jika perceraian ini dilakukan lebih cepat, akan lebih baik. Bukankah dengan begitu aku akan lebih cepat mengobati rasa sakit itu?” paparnya dengan senyum mengembang tetapi justru terlihat pilu. Rafi menatap Renata nanar. Ia tak bisa mengucapkan satu kata pun untuk menghibur perempuan yang begitu tulus mencintainya. Yang sayangnya, ia tak bisa membalas perasaan itu. “Baiklah Re, jika itu yang kamu mau. Aku akan urus secepatnya. Tapi, bagaimana nanti kita memberitahu ibu dengan perceraian ini?” “Kamu jangan kuatir. Nanti aku yang akan menjelaskan kepada ibu.” Renata menenangkan Rafi. Rafi terdiam seperti berpikir dan kemudian menggeleng. “Tidak. Kita berdua yang akan menjelaska
“Berengsek!” Kafka memukul wajah Rafi keras. Emosinya tersulut dengan jawaban Rafi yang dianggap meledek dirinya. “Kafka!” Nazwa berteriak kaget dengan gerakan Kafka yang memukul Rafi dengan tiba-tiba. Rafi terhuyung mendapat pukulan di pipinya. Ia tak menduga Kafka akan memukulnya seperti itu. Dirasakannya perih di ujung bibirnya. Ia merabanya. Didapatinya ujung telunjuknya memerah. Ia menatap Kafka dengan geram. Ia mendecih, “Sok jagoan!” “Kurang pukulan itu, Fi? Sampai kamu meminta lagi?! sarkas Kafka. “Kafka, Rafi! Sudah! Kalian tidak malu dijadikan tontonan, hah?” hardik Nazwa. Ia menunjukkan dengan pandangan matanya ke sekitar tempat mereka berada. Beberapa orang telah memperhatikan mereka dengan seksama. “Biar saja mereka tahu, laki-laki macam apa Rafi ini!” seru Kafka penuh emosi tak mempedulikan keadaan sekitar. “Kafka!” sentak Nazwa. “Nazwa! Dia tidak hanya mengejekku, tetapi juga merendahkanmu sebagai wanita!” pekik
Sesampainya di rumah, Nazwa mendapati bapak dan ibu sudah menunggunya di ruang keluarga. Ia mencium ke dua telapak tangan bapak dan ibu bergantian setelah mengucapkan salam sewaktu masuk ke dalam rumah. Menaruh kunci mobil di meja yang terletak di hadapannya dan mengambil tempat di salah satu bangku yang kosong. Bapak menaruh koran yang tadi dibacanya. Memandang Nazwa, putri satu-satunya yang ia miliki. Sedari kecil, putri semata wayangnya ini memang sudah terlihat ketegasannya, persis seperti dirinya. Tidak suka basa-basi dan berani menghadapi setiap permasalahan yang dihadapinya. “Aku ingin tahu alasan Bapak memilih Rafi,” ujar Nazwa tenang. “Karena Rafi adalah ayah dari anak-anakmu.” Bapak pun menjawab dengan tenang. “Tapi Rafi sudah menikah dan mempunyai istri, Pak,” cetus Nazwa. “Lalu kenapa? Rafi sendiri masih ingin kembali rujuk denganmu,” sahut Bapak santai. “Bapak tidak mempertimbangkan perasaaan Renata, istri dari Rafi? Bapak
Rafi sedang berada di ruang olahraga saat didengarnya pekikan Renata dari ruang tamu. “Ibu …” terdengar suara Renata begitu riang dan senang. Ibu? Maksudnya . . . Rafi berpikir cepat. “Raf … Rafi! Ibu datang!” kini terdengar suara Renata memanggilnya. “Hush, Renata! Yang sopan memanggil suami itu. Jangan namanya saja!” suara omelan dari seseorang yang dipanggil Ibu. Itu suara Ibu. Ibu yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang tanpa membedakan dengan anak kandungnya sendiri. Ibu angkatnya sekaligus Ibu dari Renata, perempuan yang sekarang menjadi istrinya. “Ah, Ibu. Rafi saja tidak keberatan kok,” kilah Renata dengan tawa kecilnya. “Ibu mau minum apa? Mau wedang jahe atau mau yang dingin, sirup mungkin? Re buatkan ya?” tawar Renata. “Ibu merasa jadi tamu, Re. Merepotkan kamu. Nanti saja, Ibu ambil sendiri,” tolak Ibu. “Ngga kok, Bu. Re sekalian mau buatkan Raf, eh Mas Rafi minuman juga kok.” Renata buru-buru menambah