Sudut pandang Valerie:Ini jebakan! Ini benar-benar jebakan!"Apa yang kamu tahu tentang itu?" Aku pura-pura masih mengendalikan keadaan, berniat mengakali dia.Marcel melengkungkan bibirnya seolah bisa menebak pikiranku, tetapi dia berkata dengan tenang, "Aku tahu kalau Joshua mengambil sesuatu dari ibumu pada hari dia membawamu kembali. Apakah ini berarti sesuatu bagimu?"Apa? Rahangku seakan terjatuh ke lantai. Dia menyeringai, tahu bahwa dia telah memenangkan negosiasi ini.Itu memang berarti sesuatu bagiku. Itu berarti segalanya bagiku! Aku pikir aku telah kehilangan ibuku bertahun-tahun lalu. Dia baru memberitahuku sekarang bahwa si Iblis Joshua memiliki sesuatu milik ibuku?"Apa itu dan di mana?" Aku menuntut. Marcel tersenyum lebar, membuat hatiku tenggelam."Sebuah ciuman, untuk informasi ini. Deal?"Arghhhh!Dia sama sekali tidak peduli dengan cermin sialan itu! Dia bisa dengan mudah membeli sejuta cermin untuk Alisa! Dia tahu aku akan mencoba mengakali dia dan dia sengaja me
Sudut pandang Valerie:Aku belum pernah merasa seburuk ini seumur hidupku.Bagi keluarga angkatku, aku selalu merundung Alisa. Aku merusak barang-barangnya, aku berkata kasar padanya. Memang, aku pernah merusak barang-barangnya sebelumnya, tetapi biasanya barang yang bisa diganti, seperti tumpukan sampah yang aku lempar keluar jendela hari ini dan kebanyakan karena dia merusak barangku dulu, atau dia merusaknya sendiri lalu menyalahkanku.Aku belum pernah merusak sesuatu yang begitu berarti bagi siapa pun, apalagi untuk Alisa. Mungkin karena hal seperti ini jarang terjadi, makanya aku merasa seperti duduk di atas seribu jarum.Alisa menangis, pura-pura menangis di depan kamarnya sementara Alfred membersihkannya. Aku duduk di meja makan yang kosong, menunggu tangisan pura-puranya berubah menjadi tangisan sungguhan.Aku sudah sangat ahli membedakan tangisan asli dan palsunya. Kalau asli, hidungnya akan tersumbat. Itu artinya dia belum menyadari bahwa barang kesayangannya sekarang sudah h
Sudut pandang Valerie:"Kamu tahu nggak kalau ....""Marcel! Maaf soal keributan tadi." Suara Alisa yang terdengar menyedihkan, tetapi ceria memotong "kelas pelafalan" daruratku. Aku menarik pergelanganku sekuat tenaga dan tentu saja kali ini dia melepaskannya."Valerie," panggil Alisa, membuatku hampir gemetar mendengar suaranya. Aku menarik napas dalam-dalam dan berbalik menatapnya.Alisa melirik Marcel dengan ragu sebelum mengaitkan jari-jarinya. "Maaf karena membuat keributan. Aku nggak seharusnya memberitahumu soal ibumu dan aku sudah menyakitimu. Kehilangan kamarku pantas aku terima kalau itu bisa menebus kesalahanku. Intinya, selamat datang kembali di rumah.""Ya, tentu, terserah," gumamku sambil berjalan menuju kursi yang paling jauh.Alisa menatapku, sedikit terkejut. Benar, aku tidak berdebat dengannya atau mencoba mengungkap kebohongannya karena rasa bersalah. Namun, aku juga tidak akan melakukannya meski aku tidak merusak boneka itu.Seperti yang sudah kukatakan di rumah sa
Sudut pandang Valerie:Marcel tidak pernah duduk bersamaku. Dia selalu di sisi Alisa di Keluarga Salim, dan selalu duduk di seberang meja di rumah kami."Marcel ...." Alisa bergumam, tiba-tiba menunduk setelah sebelumnya tersenyum lebar ketika Joshua berjanji akan mengganti semua barang yang kubuang. "Aku ... aku ingin ...." Dia berdiri, membawa piringnya.Dia ingin pindah duduk."Jadi aku harus duduk di mana lagi?" Marcel duduk tegak dengan satu lengan terletak santai di sandaran kursiku. Dia menatapku, bukan Alisa, lalu menunjuk kursi kosong di sisi lain. "Kamu tahu kursi itu untuk siapa?"Alisa membeku di tempatnya, menatap Marcel dengan gugup penuh harap sambil mencengkeram pinggir piring sampai jari-jarinya memutih.Aku memutar mataku. Ya, tentu saja. Untuk sang putri kesayanganmu. Seolah aku ingin duduk di sebelahmu.Aku meraih piringku untuk pindah, tetapi dia lebih dulu menangkap pergelangan tanganku. "Itu kursi Aveline. Tahu kenapa?"Aku dan Alisa sama-sama terkejut."Karena s
Sudut pandang Valerie:Aku mengabaikan es kola itu.Seakan-akan aku akan meraihnya dan memberi Alisa alasan untuk tertawa puas!Aku mengambil sedikit kentang tumbuk dan salad, tetapi tidak ada yang semenarik semangkuk besar sayap ayam panas yang mengepul di depanku ini. Tidak ada yang menyentuhnya dan aku pun juga tidak bisa, tanpa minuman dingin. Mungkin aku bisa menggantinya dengan segelas air es ....Aku menatap tajam air putih yang hambar itu. Aku tidak menginginkannya.Mataku melirik ke arah dapur. Mungkin ada kola lagi di sana? Keluarga Salim tidak minum soda. Memiliki anak yang berjuang melawan maut setiap hari membuat mereka sangat menjaga pola makan sehat. Namun, mungkin saja ...."Kolanya juga kupesan bareng sayap ayam tadi," kata Marcel tiba-tiba, dengan nada polos seolah-olah dia tidak baru saja membaca pikiranku. "Restorannya? Mereka pasti tahu cara menikmati sayap ayam yang enak."Aku juga tahu! Aku mulai menyesal mendorong kola itu menjauh. Ya, si berengsek ini yang memb
Sudut pandang Valerie:Jadwal menstruasiku tidak pernah akurat. Namun, tetap saja ... seharusnya aku tahu.Mual, lemas, dan perubahan selera makan. Kamu pikir gejala-gejala itu sudah sangat jelas, tetapi hingga bukti terpampang nyata di depanmu, kamu baru akan sadar berapa banyak petunjuk yang kamu lewatkan.Sama seperti aku yang melewatkan tanda-tanda tegas bahwa pria yang menikahiku tidak akan pernah membalas cintaku, tidak peduli seberapa keras usahaku.Aku datang memeriksakan diri sambil berpikir, hal terburuk apa yang bisa terjadi? Jika aku mengidap kanker, aku bisa mengatasinya. Namun, untuk satu hal ini ... aku tidak berdaya.Seorang bayi. Hal terbaik yang datang di saat terburuk.Aku tidak tahu kapan aku akan merasakan kasih sayang keibuan yang pernah kudengar. Namun, aku bisa menebak reaksinya. Marcel Tanzil pasti akan membenci bayi ini.Mungkin akan lebih baik kalau aku mengidap kanker. Setidaknya hal itu bisa membuat salah satu dari kami senang.Aku duduk sendirian di lobi l
Sudut pandang Valerie:Aku duduk di taksi menuju rumah sakit lain untuk menemui Marcel, rumah sakit tempat Alisa berada. Aku merasa sangat tidak nyaman. Mungkin karena mabuk darat, mual di awal kehamilan, atau mungkin ... aku hanya muak dengan perjalanan ini.Aku paling benci perjalanan yang sudah begitu sering kulalui selama sepuluh tahun terakhir ini. Alisa selalu di rumah sakit dan Marcel selalu berada di dekatnya, bahkan sebelum kami menikah.Itulah akibatnya jika orang yang kamu cintai mencintai saudaramu yang mengidap Willebrand dan memiliki golongan darah rhesus negatif.Ya, Alisa mengidap penyakit yang membuatnya tidak bisa sembuh dari pendarahan. Dia juga memiliki golongan darah yang hanya dimiliki oleh 0,3% orang di seluruh dunia.Luka gores di jari bahkan bisa mematikan baginya. Jadi, tidak heran jika Alisa menjadi permata paling berharga di keluarga kami. Hanya dengan hidup, dia mendapatkan segalanya yang dia inginkan.Bagaimana denganku? Aku hanyalah orang yang selalu di
Sudut pandang Valerie:"Bodoh, transplantasi sumsum tulang belakang itu sudah 3 bulan lalu," ujar Marcel. Tawanya terdengar hingga ke koridor yang sepi.Tanganku memegang kenop pintu, tetapi aku tidak memiliki tenaga untuk memutarnya. Aku sudah pernah melihat mereka bermesraan, sudah terlalu sering untuk waktu yang terlalu lama.Seakan-akan ingin menyiksa diri, aku hanya mematung di sana, mendengar percakapan di dalam."Hari ini hanya pemeriksaan rutin. Lagian, sebelum ini hasilnya selalu bagus, 'kan?" hibur Marcel.Aku bisa membayangkan senyum lembut Marcel saat dia membujuk Alisa. Tangannya yang kuat menepuk pelan kepalanya, seolah-olah Alisa adalah bunga paling rapuh sedunia.Kehangatan seperti itu hanya pernah kuterima sekali darinya. Saat itu, kupikir aku telah menemukan matahari. Demi satu-satunya cahaya di hidupku yang gelap, aku mempertaruhkan segalanya dan melemparkan diri ke matahari itu. Hasilnya, aku terbakar.Tidak peduli seberapa dalam cintaku dan sebanyak apa pun pengorb
Sudut pandang Valerie:Aku mengabaikan es kola itu.Seakan-akan aku akan meraihnya dan memberi Alisa alasan untuk tertawa puas!Aku mengambil sedikit kentang tumbuk dan salad, tetapi tidak ada yang semenarik semangkuk besar sayap ayam panas yang mengepul di depanku ini. Tidak ada yang menyentuhnya dan aku pun juga tidak bisa, tanpa minuman dingin. Mungkin aku bisa menggantinya dengan segelas air es ....Aku menatap tajam air putih yang hambar itu. Aku tidak menginginkannya.Mataku melirik ke arah dapur. Mungkin ada kola lagi di sana? Keluarga Salim tidak minum soda. Memiliki anak yang berjuang melawan maut setiap hari membuat mereka sangat menjaga pola makan sehat. Namun, mungkin saja ...."Kolanya juga kupesan bareng sayap ayam tadi," kata Marcel tiba-tiba, dengan nada polos seolah-olah dia tidak baru saja membaca pikiranku. "Restorannya? Mereka pasti tahu cara menikmati sayap ayam yang enak."Aku juga tahu! Aku mulai menyesal mendorong kola itu menjauh. Ya, si berengsek ini yang memb
Sudut pandang Valerie:Marcel tidak pernah duduk bersamaku. Dia selalu di sisi Alisa di Keluarga Salim, dan selalu duduk di seberang meja di rumah kami."Marcel ...." Alisa bergumam, tiba-tiba menunduk setelah sebelumnya tersenyum lebar ketika Joshua berjanji akan mengganti semua barang yang kubuang. "Aku ... aku ingin ...." Dia berdiri, membawa piringnya.Dia ingin pindah duduk."Jadi aku harus duduk di mana lagi?" Marcel duduk tegak dengan satu lengan terletak santai di sandaran kursiku. Dia menatapku, bukan Alisa, lalu menunjuk kursi kosong di sisi lain. "Kamu tahu kursi itu untuk siapa?"Alisa membeku di tempatnya, menatap Marcel dengan gugup penuh harap sambil mencengkeram pinggir piring sampai jari-jarinya memutih.Aku memutar mataku. Ya, tentu saja. Untuk sang putri kesayanganmu. Seolah aku ingin duduk di sebelahmu.Aku meraih piringku untuk pindah, tetapi dia lebih dulu menangkap pergelangan tanganku. "Itu kursi Aveline. Tahu kenapa?"Aku dan Alisa sama-sama terkejut."Karena s
Sudut pandang Valerie:"Kamu tahu nggak kalau ....""Marcel! Maaf soal keributan tadi." Suara Alisa yang terdengar menyedihkan, tetapi ceria memotong "kelas pelafalan" daruratku. Aku menarik pergelanganku sekuat tenaga dan tentu saja kali ini dia melepaskannya."Valerie," panggil Alisa, membuatku hampir gemetar mendengar suaranya. Aku menarik napas dalam-dalam dan berbalik menatapnya.Alisa melirik Marcel dengan ragu sebelum mengaitkan jari-jarinya. "Maaf karena membuat keributan. Aku nggak seharusnya memberitahumu soal ibumu dan aku sudah menyakitimu. Kehilangan kamarku pantas aku terima kalau itu bisa menebus kesalahanku. Intinya, selamat datang kembali di rumah.""Ya, tentu, terserah," gumamku sambil berjalan menuju kursi yang paling jauh.Alisa menatapku, sedikit terkejut. Benar, aku tidak berdebat dengannya atau mencoba mengungkap kebohongannya karena rasa bersalah. Namun, aku juga tidak akan melakukannya meski aku tidak merusak boneka itu.Seperti yang sudah kukatakan di rumah sa
Sudut pandang Valerie:Aku belum pernah merasa seburuk ini seumur hidupku.Bagi keluarga angkatku, aku selalu merundung Alisa. Aku merusak barang-barangnya, aku berkata kasar padanya. Memang, aku pernah merusak barang-barangnya sebelumnya, tetapi biasanya barang yang bisa diganti, seperti tumpukan sampah yang aku lempar keluar jendela hari ini dan kebanyakan karena dia merusak barangku dulu, atau dia merusaknya sendiri lalu menyalahkanku.Aku belum pernah merusak sesuatu yang begitu berarti bagi siapa pun, apalagi untuk Alisa. Mungkin karena hal seperti ini jarang terjadi, makanya aku merasa seperti duduk di atas seribu jarum.Alisa menangis, pura-pura menangis di depan kamarnya sementara Alfred membersihkannya. Aku duduk di meja makan yang kosong, menunggu tangisan pura-puranya berubah menjadi tangisan sungguhan.Aku sudah sangat ahli membedakan tangisan asli dan palsunya. Kalau asli, hidungnya akan tersumbat. Itu artinya dia belum menyadari bahwa barang kesayangannya sekarang sudah h
Sudut pandang Valerie:Ini jebakan! Ini benar-benar jebakan!"Apa yang kamu tahu tentang itu?" Aku pura-pura masih mengendalikan keadaan, berniat mengakali dia.Marcel melengkungkan bibirnya seolah bisa menebak pikiranku, tetapi dia berkata dengan tenang, "Aku tahu kalau Joshua mengambil sesuatu dari ibumu pada hari dia membawamu kembali. Apakah ini berarti sesuatu bagimu?"Apa? Rahangku seakan terjatuh ke lantai. Dia menyeringai, tahu bahwa dia telah memenangkan negosiasi ini.Itu memang berarti sesuatu bagiku. Itu berarti segalanya bagiku! Aku pikir aku telah kehilangan ibuku bertahun-tahun lalu. Dia baru memberitahuku sekarang bahwa si Iblis Joshua memiliki sesuatu milik ibuku?"Apa itu dan di mana?" Aku menuntut. Marcel tersenyum lebar, membuat hatiku tenggelam."Sebuah ciuman, untuk informasi ini. Deal?"Arghhhh!Dia sama sekali tidak peduli dengan cermin sialan itu! Dia bisa dengan mudah membeli sejuta cermin untuk Alisa! Dia tahu aku akan mencoba mengakali dia dan dia sengaja me
Sudut pandang Valerie:Jika ini orang lain, aku pasti sudah mendengus dingin. Namun, seberapa pun aku terluka oleh pria ini, aku tidak bisa menyangkal bahwa dia sejujur itu. Jika dia bilang menginginkan kesempatan kedua, maka dia memang sungguh-sungguh.Yang kuragukan adalah maksud di baliknya.Dulu aku menganggap pernikahan itu suci, tetapi sekarang aku tahu. Tidak peduli apakah dia melakukan ini demi Nenek, demi citra perusahaan, karena rasa bersalah telah memanfaatkanku, atau alasan lainnya. Jika alasannya bukan cinta, maka itu hanya akan menjadi bencana."Aku orang yang nggak memberi kesempatan kedua." Aku mendorongnya perlahan dan sebelum dia sempat memohon, aku menambahkan, "Aku sudah terlalu sering memberikannya padamu, seperti makanan sehari-hari."Dia membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Menatapku dengan mata biru yang dalam, dia berdiri di sana, jakunnya bergerak pelan. Namun, dia tidak berkata apa-apa.Apa yang bisa dia katakan? Aku sudah melakukan segalanya, mengatakan s
Sudut pandang Marcel:Keterkejutan di matanya hanya menunjukkan betapa aku telah mengabaikannya, betapa aku menganggapnya remeh, dan betapa dia telah menderita begitu lama, hingga hal sederhana seperti ini saja mampu membuatnya terkejut.Valerie menatapku tajam, tetapi mata berkabutnya membuat tatapan itu tidak lagi setajam biasanya, justru terlihat menyedihkan, seperti anak kucing yang tersakiti. Wajahnya yang rapuh itu membuat hatiku bergetar, apalagi dengan pipinya yang memerah karena amarah.Aku tidak ingin melihat rasa sakit di matanya lagi, tidak akan pernah. Aku hanya ingin menghapusnya, dengan cara apa pun yang aku bisa.Aku memiringkan kepalaku, mendekat untuk mencuri ciuman."Kalau kamu berani ...." Valerie mendesis marah, tangannya terangkat seolah ingin mencakar wajahku. Aku dengan mudah menangkap pergelangan tangannya yang lembut, lalu berbisik di telinganya, "Dia sedang mengintip, 'kan?"Valerie terdiam, matanya yang bening seperti mata rusa itu melirik ke arah pintu. Aku
Sudut pandang Marcel:Valerie bersembunyi di rumah Aurel, aku tahu itu. Aku ingin memberinya waktu dan ruang dulu, meskipun aku ragu apakah semua waktu dan ruang di dunia ini cukup untuk membuatnya mau mendengar apa pun yang ingin aku katakan.Akhir-akhir ini, Adrian sering melontarkan komentar pedas padaku. Awalnya, kupikir itu karena perasaannya terhadap Valerie, jadi aku mengabaikannya. Namun, begitu Valerie muncul di rumah keluarga Salim, pesan spam Adrian hampir membuat aplikasiku penuh. Saat itulah aku sadar.Mereka merencanakan sesuatu dan Valerie ingin perhatianku teralihkan ke hal lain.Aku menunggu di kantorku. Benar saja, kurang dari satu jam, Alisa menerobos masuk, lengkap dengan air mata, mengatakan bahwa Valerie ingin mengusirnya dari keluarga.Aku sudah belajar dari kesalahan, tidak bisa lagi hanya mendengarkan kata-katanya saja.Selama bertahun-tahun, dia menuduh Valerie ini dan itu dan aku mempercayainya. Dia bilang dia hanya memberi Liam uang demi menyelamatkan nyawan
Sudut pandang Valerie:Jika ada satu hal yang tidak pernah Alisa dustakan, itu adalah hasratnya terhadap Marcel. Aku bertaruh pada hal itu.Alisa cemberut dengan air mata yang mengalir di pipinya. Dia menatap kedua orang tuanya dengan penuh harap, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia tidak bisa menyangkal kebohonganku, karena aku bisa membuatnya menjadi kenyataan."Valerie ...." Aveline berbicara dengan nada lebih lembut, terdengar ragu, "Kamu tahu Alisa sudah tinggal di kamar itu selama bertahun-tahun. Aku nggak tahu apakah ....""Maksudku ...." Aku mengambil koper dari tangan Alisa, menundukkan kepala agar tidak tertawa melihat betapa "pilu" nada suaraku, "Aku bisa pergi, kalau itu yang kalian inginkan.""Pergi ke mana?" Alisa membentak dengan nada melengking."Alisa Salim!" Joshua memperingatkan. Baik Aveline maupun Alisa langsung menutup mulut rapat-rapat. "Kalau Alisa begitu peduli padamu, maka aku nggak keberatan." Setelah berkata begitu, Joshua berbalik dan meninggalka