Heh! Demi apa gibran jadi pemeran film mata untuk Anjani? KOK LO GAK NGOMONG KE GUE?!!!'
Pagi-pagi udah disodorin chat w******p dari Tania. Antara gue harus bersyukur atau sedih, karena dia ngechat gue lagi tapi tentu aja gara-gara si Gibran meranin Kahfi. Mana ada orang yang udah ngeblokir nomor temennya dua bulan lebih, gak mau kontakin lagi, tiba-tiba ngechat berhubungan sama idolanya. Ada rasa bersyukur sedikit sih, karena dari typingnya Tania, dia udah keliatan 'biasa' lagi ke gue, tapi tentu aja bukan gue yang dia cari.
Kalau boleh jujur, sekalinya gue dikecewain atau dikhianatin sama seseorang, entah itu teman atau sahabat atau bahkan keluarga, karakter gue gak akan bisa balik seasik dulu sebelum dikecewain, karena meskipun mulut gue ngucapin maaf, tapi pikiran dan hati gue selalu ingat kejadian yang mengecewakan itu ketika ketemu orangnya.
Jadi dengan kesimpulan itu, gue cuman baca chat dari Tania tanpa membalasnya.
Yaiyalah, meskipun masalahnya udah dua bulanan, tapi gue bukan orang yang bisa seenaknya dijauhin terus dideketin semaunya. Dia juga langsung aja ngechat begitu, tanpa ngomong salam, tanpa ngomong maaf, seakan gue dan dia ya kayak biasa gak ada masalah.Kalau kalian mau anggap gue selfish, egois atau lainnya, terserah ya, ini masalah hati gue, ya walaupun permasalahan gue sama Tania ya tentu aja dua-duanya punya kesalahan yang sama.
Kebiasaan nih si Thamina mah, pagi-pagi udah overthinking galau gak jelas.
Thami, tenang oke, gak usah terlalu dipikirin. Tarik nafas, buang nafas.
Setelah gue ngerasa cukup tenang, gue memilih menghubungi salah satu crew film mata untuk Anjani, minta izin kalau hari ini mau ke lokasi syuting, untuk lihat progres syuting filmnya sampai mana.
Sebenernya bukan wewenang gue buat tahu filmnya harus seperti apa, progresnya gimana, cuman gue kepo aja gimana proses syuting film, karena gue cuman penikmat film di bioskop aja. Buat nambah teman juga sebenernya, lumayan kan temenan sama artis, atau ada salah satu yang bisa nyantol jadi jodoh gue kan, siapa tahu.
Setelah pesan terkirim, gue menyandarkan tubuh gue di sofa, lalu memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan pikiran gue.
Padahal ini masih pagi, sekitar setengah 9, eh ini masih disebut pagi kan? Tapi rasanya otak gue udah dipaksa bercabang memikirkan banyak hal.
Kurang lebih 10 menit gue menunggu balasan pesan dari Mbak Aila--salah satu crew film yang gue maksud, dia sebagai Astrada--. Gue kenal Mbak Aila karena dikenalin pak Rama pas gue datang lihat para pemain lagi Reading naskah.
Gue tersenyum saat tahu Mbak Aila membolehkan gue untuk datang ke lokasi syuting, malahan udah dikasih alamat lokasinya segala.
Tanpa babibu gue langsung beranjak dari posisi gue untuk mengganti baju dan celana pendek santai gue dengan kemeja oversize bewarna biru muda, yang gue padukan sama celana jeans biru.
Ya beginilah kehidupan gue sebagai penulis, gabut tapi sebenernya ada tulisan cerita yang belum gue selesaikan yang tanggal deadlinenya udah mepet, tapi gue berasa gak ada beban santai aja.
***
Gue menyapa beberapa crew dan para artis yang gue kenal dengan senyuman, ketika papasan sama mereka.
Gue segera menghampiri Mbak Ana yang lagi istirahat di salah satu tenda yang ada di sekitar lokasi syuting. Beberapa tenda berjajar dibangun untuk istirahat para crew, sebagai tempat penyimpanan properti syuting atau kamera dengan penunjangnya, dan sebagai ruang tunggu pemeran yang akan take syuting. Di hari ke lima sampai hari ke sepuluh, syuting dilakukan di tempat outdoor.
"Mbak, syutingnya udah kelar?" Tanya gue, setelah akhirnya bertanya-tanya ke beberapa orang di mana Mbak Ana istirahat, dan orang yang gue cari sekarang udah ada di hadapan gue dengan naskah tebal di tangannya.
Meskipun Mbak Ana hanya penulis naskah bersama Mas Fakhri, tapi mereka ditugaskan stay di lokasi syuting tetapi gantian selang sehari atau beberapa hari sekali, siapa tahu ada naskah yang diimprovisasi oleh pemeran dan Mbak Ana, Mas Fakhri harus menjaga supaya naskah tetap aman dan improvisasi pemain tidak melenceng, ditakutkan improvisasinya nanti terlalu jauh dan merusak alur.
Gue ke sini langsung menghampiri Mbak Ana, karena dari awal ya memang dia yang gue kenal dan mulai akrab juga. Gue orangnya introvert, dan sejujurnya males untuk membuka diri berbaur dengan orang lain, jadi ya gini, ke lokasi syuting yang gue samperin malah Mbak Ana.
"Enggak, lagi break makan siang, duduk sini Tha. Sendirian ke sini Tha?"
Gue menganggukan kepala untuk menjawab pertanyaan Mbak Ana. Ya gini lah hidup jomblo gak punya keluarga--ada sih bang Ilyasa, tapi jauh kan--, ke mana-mana sendirian, tapi gue enjoy dan gak ngerasa sepi sih.
"Mbak, sejauh ini naskah masih aman dan sesuai sama keinginan gue 'kan? Gak melenceng?" Tanya gue penasaran, soalnya gue takut naskah direvisi lagi tanpa sepengetahuan gue.
Bukan bermaksud idealis, balik lagi ya gue cuman gak mau filmnya nanti melenceng jauh dari novelnya, trauma banget nontonin film yang diadaptasi dari novel tapi alurnya jauh banget dari novelnya.
"Aman kok, revisi naskah terakhir 'kan gue diskusiin sama lo walaupun lewat chat."
Gue menganggukan kepala untuk menanggapi pernyataan Mbak Ana.
"Perasaan lo gimana sekarang? Syuting filmnya udah lancar sampai hari ini, hari ke enam syuting loh."
Gue berpikir sejenak, jujur aja agak bingung gimana gue ngedeskripsiin perasaan gue.
"Sejujurnya kurang tahu apa yang gue rasain Mbak, karena semuanya campur aduk. Seneng, takut, ragu, bingung, dan ada kurang sukanya."
Gue terdiam menatap raut wajah Mbak Ana yang ketara bingungnya.
"Kok gitu? Jelasin dong senengnya kenapa, takut dan lainnya kenapa."
"Senengnya karena ya akhirnya ada salah satu novel gue bisa jadi film, takutnya ya takut ngecewain penggemar novel mata untuk Anjani karena mereka udah berekspektasi dan berharap banyak sama filmnya, ragu kalau karya gue gak sebagus itu buat dijadiin film, bingung karena masih gak percaya aja, dan eum.. kurang sukanya karena ada salah satu pemain yang aku kurang srek aja."
"Kurang srek gimana?"
"Mbak, kok pembicaraannya makin serius sih." Protes gue ketika nada bicara Mbak Ana semakin tegas, apalagi ekspresi wajahnya mendukung.
"Ya gak papa dong. Lo bisa cerita keluh kesah, kelebihan dan kekurangan untuk film ini yang rasanya mungkin ganggu pikiran lo."
"Euu.. kurang suka sama pemeran Kahfi, kenapa harus diperanin sama Gibran."
Gue lihat Mbak Ana mengerenyitkan dahinya nampak bingung dengan pernyataan yang gue lontarkan.
"Why? Pas gue baca naskah yang udah finalnya, gue malah bayangin Kahfi visualnya kayak Gibran."
"Menurut gue sih kurang cocok aja ya, Mbak. Pas nulis novel ini, bayangan Kahfi sama sekali jauh dari Gibran, dan menurut gue akting dia agak gimana gitu. Bukan maksud menjelekan, tapi peran Kahfi di sini kan penting banget, jadi berasa kurang rela aja kalau visualnya kurang sesuai."
Mbak Ana terkekeh mendengar alasan gue. Terserah dia lah mau mikir gimana, seenggaknya gue udah jujur 'kan? Walaupun gue gak menjelaskan lebih gamblang lagi.
"Iya sih, pemikiran kamu bener juga. Tapi gak ada salahnya kan Gibran jadi Kahfi, yang milih Gibran juga pak produser langsung loh tanpa casting, padahal artis lain casting termasuk Anara yang jadi Anjani. Daripada kamu overthinking ke sana, mending tunggu aja hasilnya, kita percayain sama pak sutradara dan pak produsernya. Atau nanti kamu lihat deh pas Gibran take adegan."
Gue hanya menganggukan kepala untuk menanggapi ucapan Mbak Ana, karena ya bingung harus ngomong atau nambahin apa, males juga kalau harus debat untuk mertahanin pendapat gue.
***
Gue agak menggerutu ketika nanya-nanya ke yang lain di mana toilet, dan ternyata agak jauh ke belakang dari tenda yang di tempati Mbak Ana.
Bukan bermaksud lebay, tapi ini tiba-tiba perut gue sakit pengen BAB dan ternyata toiletnya agak jauh, belum jalannya yang banyak kerikil, buat gue beberapa kali mau jatoh karena kurang seimbang dan buru-buru jalannya.
Gue akhirnya bisa bernafas lega ketika melihat toilet jaraknya tinggal tiga meter dari gue berdiri. Gue mengumpulkan sedikit tenaga, lalu mulai berlari buat masuk toilet.
"Heh! Awas gue duluan!"
Gue tersentak ketika tubuh gue terdorong ke samping, ketika baru aja sampai di depan pintu toilet.
Gue melirik ke arah orang yang berani dorong gue seenaknya, dan di sana udah ada si artis songong yang beberapa detik kemudian langsung nyelonong masuk ke dalam toilet.
Ingin rasanya mengumpat si artis songong itu lebih kasar, tapi urusan perut gue lebih penting sekarang. Akhirnya gue masuk ke toilet yang ada di sebelahnya.
Itu lah yang gue bingungin plus kesel, di sini ada tiga toilet berjajar, tapi dengan seenak jidat dia malah dorong gue buat masuk ke toilet yang tadinya emang mau gue masukin.
Desahan lega keluar dari mulut gue gitu aja ketika akhirnya gue bisa mendudukan tubuh gue di closet duduk, dan membuang hajat gue.
Gue mengerenyit dahi bingung ketika mendengar dua suara lawan jenis yang terdengar sedang berdebat lumayan hebat, sesaat setelah gue membuka pintu toilet untuk keluar dari sini.
Jiwa kepo gue merasa terpanggil tentu aja. Dengan berjalan pelan supaya gak ada suara yang ditimbulkan langkah kaki gue, gue mulai mendekati sumber suara itu.
Baru beberapa langkah menjauh dari toilet, suara-suara debat yang nyaring itu tiba-tiba ilang.Mata gue melotot tanpa bisa ditahan, tangan gue ngebekep mulut gue yang dengan kuat buat nahan teriakan yang mau gue keluarin pas tahu dari mana sumber suara tadi berasal, yang kemudian hilang.
Beberapa meter dari gue, terhalang pohon pinus tapi masih gue bisa lihat jelas, Gibran dan Anindita--salah satu aktris kesukaan gue, sekaligus pemeran di film untuk Anjani-- lagi asik ciuman. CIUMAN, gue tekenin.
YA ALLAH, MATA GUE TERNODAI!
Gue emang bukan orang alim, gue juga pernah nonton scene ciuman di drakor atau baca di novel, tapi nyaksiin secara langsung ya baru sekali seumur hidup.
"LAGI NGAPAIN KALIAN?!"
Bersambung
(Selesai ditulis pada hari Jumat, 2 juli 2021, pukul 22.52 wib).
Beberapa meter dari gue, terhalang pohon pinus tapi masih gue bisa lihat jelas, Gibran dan Anindita--salah satu aktris kesukaan gue, sekaligus pemeran di film untuk Anjani-- lagi asik ciuman. CIUMAN, gue tekenin.YA ALLAH, MATA GUE TERNODAI!Gue emang bukan orang alim, gue juga pernah nonton scene ciuman di drakor atau baca di novel, tapi nyaksiin secara langsung ya baru sekali seumur hidup."LAGI NGAPAIN KALIAN?!"Ini mulut gue kenapa sih? Udah coba ditahan pake tangan, masih aja bisa teriak kayak gitu.Tentu aja dua orang yang tengah saling menyalurkan rasa nafsu lewat ciuman itu langsung tersentak kaget dan saling melangkah mundur satu sama lain. Jangan lupa tatapan tajam yang mereka lontarkan ke arah gue."Ngapain lo di sini?!"Lah? Harusnya gue kan ya, yang nanya ngapain mereka cuman berduaan di sini pake ciuman segala. Ini yang nanya kayak g
***Gue mengucek mata dengan kesal saat merasa ada yang menggoyangkan tubuh gue agak brutal."Tha ayo bangun! Kebo banget lu elah."Gue mendudukan diri dengan kaki terlipat, lalu membuka mata gue lebar untuk mengetahui siapa yang bisa masuk ke apartement gue sepagi ini."Lo masih aja kebo kalau dibangunin."Gue mendengus kesal dalam hati, tentu aja gue baru inget kalau cuman gue dan Tania yang bisa masuk ke Apartemen ini, dan gue gak pernah ganti password apartemen, ketika waktu itu Tania ganti password apartemennya."Tha, ajakin gue ke lokasi syuting mata untuk Anjani dong. Pengen lihat Gibran." Pintanya dengan muka memelas.Gue yang baru bangun, Tania yang tiba-tiba datang setelah dua bulan lebih 'gak inget' gue, buat gue agak lemot dikit untuk berpikir pagi ini."Apaan sih lo ganggu tidur gue deh! Lo aja sana berangkat sendiri." U
Gue menghembuskan nafas pelan, mencoba menahan rasa kesal yang melonjak naik. Udahlah, si manusia songong satu itu emang sensitif dan benci gue deh kayaknya. "Mbak Ana, perasaan si orang aneh ini muncul di lokasi syuting mulu? Emang kepentingan dia apa di sini? Atau sodarao mbak?" 'Si orang aneh', julukan yang Gibran kasih ke gue, jari telunjuknya mengacung menunjuk gue. Lah, atas dasar apa dia ngasih julukan itu? Yang ada gue kan yang pantes ngasih dia julukan, si ngeselin, artis songong, biang masalah. Yang bikin gue kesel adalah, jarinya dia cuman beberapa senti dari muka gue. Niat banget dia jalan dari posisinya ke arah gue cuman buat nunjuk, ngasih julukan dan nanya begitu ke Mbak Ana. Gue melirik Mbak Ana, ingin melihat reaksi dia yang tiba-tiba ditodong pertanyaan aneh sama si artis songong yang ada di depan gue ini. Mbak Ana tertawa mendengar pertanyaan Gibra
Gue refleks bangkit dari posisi gue menghiraukan ucapan Pak Rama yang belum selesai dan berusaha berlari sekuat tenaga saat melihat beberapa meter di depan gue akan ada kejadian yang agak mengerikan.'BRAK!'Dalam hitungan detik kejadiannya begitu cepat, gue berasa kayak orang linglung dan bego."Thami!""Thami!"Gue mulai tersadar dari kelinglungan dan kebegoan gue ketika orang-orang menyerukan nama gue.Gue meringis saat kaki kanan gue gak bisa digerakin, dan baru sadar ternyata batang pohon yang lumayan panjang dengan diameternya seukuran paha gue, udah ada di atas betis kaki gue.Ngilu dan gak bisa digerakin."Lo ngapain sok jadi pahlawan sih!""Bukannya bilang makasih malah ngomong begitu!"Gue gak peduli dengan percakapan Anara dan Gibran, gue cuman bisa meringis ketika beberapa orang crew mencoba mengangkat batang pohon itu.Tadi, gue lihat Anara sama Gibran lagi ngobrol, terus gak
*Boleh gak sih kalau nangis karena bahagia sama bangga? Akhirnya dong, film mata untuk Anjani mau tayang. Jujur, bukan main senengnya. Dua minggu lagi bakal ada premier filmnya, sebelum akhirnya nanti tayang di seluruh bioskop tanah air.Tahu banget gimana prosesnya, dari diskusi skenario, casting pemain, sampai akhirnya reading dan syutingnya yang gak sebentar, belum lagi proses editing dan satuin setiap scene nya itu butuh waktu 3 sampai 4 bulan. Ternyata proses film untuk tayang tuh serumit itu ya, padahal dulu sebelum tahu setiap nonton film bisanya ngedumel kalau plot atau endingnya kurang. Dulu, novel yang gue tulis diangkat jadi film tuh mimpi, sekarang emang tercapai, tapi kayaknya kalau ada tawaran ke karya lain, gue harus pikirin dengan mateng.Gue emang orangnya agak ngeyel, keras kepala, dan perfeksionis, jadi pas salah satu karya yang gue tulis mau diadaptasi jadi film, rasanya gue harus ikut buat berkontribu
'Pihak management dan film akan merencakan kembali penayangan film Mata untuk Anjani meskipun aktor dan aktris yang memerankan tokoh penting di film tersebut terlibat skandal''Berita terpanas! Aktor tampan Gibran Rahandi dan Aktris cantik Anindita terlibat skandal panas, berciuman di area lokasi syuting film!'Setelah mengscroll sosial media selama beberapa menit, akhirnya gue bisa tahu awal permasalahan kenapa si Gibran dan dua ceweknya bisa datang ke apartemen gue. Ya walaupun tadi mereka jelasin dikit tentang permasalahannya, tapi gue gak menyimak semuanya karena jujur udah takut tapi kesel sendiri sama tuduhan yang bahkan gak.gue lakuin, meskipun gue sebagai 'saksi'.Setelah melihat video yang beredar pun, sudut pandang video itu bahkan diambil dari jarak jauh dan di zoom, sedangkan gue mergokin mereka ya kaget dan pulang dari toilet aja udah.Sebenernya, mau netijen ngegibahin dan ngecam mereka, gue
Gue memeriksa tulisan yang akan gue posting di salah satu fanspage di facebook yang gue kelola, setelah dirasa gak ada kesalahan kata atau pengetikan, akhirnya gue memutuskan untuk memposting tulisan tersebut."Serius amat gue liat-liat."Gue melirik sekilas ke samping kanan, di mana suara itu berasal, di sana ada Tania yang sedang asik meminum brown sugar boba favoritnya. Oh iya, Tania ini satu-satunya orang yang bertahan temenan sama gue, alias dia sahabat gue sejak smp sampai detik ini gue udah jadi penulis novel di salah satu penerbit. Gue gak tahu apa alasan dia bisa tahan sahabatan sama gue, yang kata orang gue itu gak bisa basa-basi, kalau ngomong gak pernah disaring, dan sering sinis. Well, itu kata orang-orang, gue sih gak terlalu merasa gue seperti itu, ya."Astaga! Lo masih jadi admin fanspage hatersnya Gibran!"Gue mengangkat kedua bahu untuk menjawab p
Gue mengerenyitkan dahi bingung saat lihat pesan dari Mas Angga, staff di penerbit yang menaungi karya gue. 'Buka email, Tha. Ada tawaran menarik tuh.' Begitulah kira-kira pesan dari Mas Angga. Gue segera membuka laptop, lalu nantinya membuka email. Kalau email mengenai pekerjaan emang gue simpen khusus di laptop, kalau di ponsel ya email pribadi aja buat daftar-daftar aplikasi. "Demi apa!" Ucap gue histeris setelah email yang Mas Angga maksud gue baca. Gimana gue gak histeris, Novel ke empat gue yang judulnya 'Mata untuk Anjani' ditawarin buat diadaptasi jadi film. Seneng sih, salah satu 'anak' gue akhirnya ada yang mau jadiin film. Gue segera membuka ponsel, untuk membalas pesan Mas Angga. 'Mas emailnya udah gue buka. Gue sih seneng-seneng aja karya gue diadaptasi jadi novel, tapi gue takutnya kalau diad
'Pihak management dan film akan merencakan kembali penayangan film Mata untuk Anjani meskipun aktor dan aktris yang memerankan tokoh penting di film tersebut terlibat skandal''Berita terpanas! Aktor tampan Gibran Rahandi dan Aktris cantik Anindita terlibat skandal panas, berciuman di area lokasi syuting film!'Setelah mengscroll sosial media selama beberapa menit, akhirnya gue bisa tahu awal permasalahan kenapa si Gibran dan dua ceweknya bisa datang ke apartemen gue. Ya walaupun tadi mereka jelasin dikit tentang permasalahannya, tapi gue gak menyimak semuanya karena jujur udah takut tapi kesel sendiri sama tuduhan yang bahkan gak.gue lakuin, meskipun gue sebagai 'saksi'.Setelah melihat video yang beredar pun, sudut pandang video itu bahkan diambil dari jarak jauh dan di zoom, sedangkan gue mergokin mereka ya kaget dan pulang dari toilet aja udah.Sebenernya, mau netijen ngegibahin dan ngecam mereka, gue
*Boleh gak sih kalau nangis karena bahagia sama bangga? Akhirnya dong, film mata untuk Anjani mau tayang. Jujur, bukan main senengnya. Dua minggu lagi bakal ada premier filmnya, sebelum akhirnya nanti tayang di seluruh bioskop tanah air.Tahu banget gimana prosesnya, dari diskusi skenario, casting pemain, sampai akhirnya reading dan syutingnya yang gak sebentar, belum lagi proses editing dan satuin setiap scene nya itu butuh waktu 3 sampai 4 bulan. Ternyata proses film untuk tayang tuh serumit itu ya, padahal dulu sebelum tahu setiap nonton film bisanya ngedumel kalau plot atau endingnya kurang. Dulu, novel yang gue tulis diangkat jadi film tuh mimpi, sekarang emang tercapai, tapi kayaknya kalau ada tawaran ke karya lain, gue harus pikirin dengan mateng.Gue emang orangnya agak ngeyel, keras kepala, dan perfeksionis, jadi pas salah satu karya yang gue tulis mau diadaptasi jadi film, rasanya gue harus ikut buat berkontribu
Gue refleks bangkit dari posisi gue menghiraukan ucapan Pak Rama yang belum selesai dan berusaha berlari sekuat tenaga saat melihat beberapa meter di depan gue akan ada kejadian yang agak mengerikan.'BRAK!'Dalam hitungan detik kejadiannya begitu cepat, gue berasa kayak orang linglung dan bego."Thami!""Thami!"Gue mulai tersadar dari kelinglungan dan kebegoan gue ketika orang-orang menyerukan nama gue.Gue meringis saat kaki kanan gue gak bisa digerakin, dan baru sadar ternyata batang pohon yang lumayan panjang dengan diameternya seukuran paha gue, udah ada di atas betis kaki gue.Ngilu dan gak bisa digerakin."Lo ngapain sok jadi pahlawan sih!""Bukannya bilang makasih malah ngomong begitu!"Gue gak peduli dengan percakapan Anara dan Gibran, gue cuman bisa meringis ketika beberapa orang crew mencoba mengangkat batang pohon itu.Tadi, gue lihat Anara sama Gibran lagi ngobrol, terus gak
Gue menghembuskan nafas pelan, mencoba menahan rasa kesal yang melonjak naik. Udahlah, si manusia songong satu itu emang sensitif dan benci gue deh kayaknya. "Mbak Ana, perasaan si orang aneh ini muncul di lokasi syuting mulu? Emang kepentingan dia apa di sini? Atau sodarao mbak?" 'Si orang aneh', julukan yang Gibran kasih ke gue, jari telunjuknya mengacung menunjuk gue. Lah, atas dasar apa dia ngasih julukan itu? Yang ada gue kan yang pantes ngasih dia julukan, si ngeselin, artis songong, biang masalah. Yang bikin gue kesel adalah, jarinya dia cuman beberapa senti dari muka gue. Niat banget dia jalan dari posisinya ke arah gue cuman buat nunjuk, ngasih julukan dan nanya begitu ke Mbak Ana. Gue melirik Mbak Ana, ingin melihat reaksi dia yang tiba-tiba ditodong pertanyaan aneh sama si artis songong yang ada di depan gue ini. Mbak Ana tertawa mendengar pertanyaan Gibra
***Gue mengucek mata dengan kesal saat merasa ada yang menggoyangkan tubuh gue agak brutal."Tha ayo bangun! Kebo banget lu elah."Gue mendudukan diri dengan kaki terlipat, lalu membuka mata gue lebar untuk mengetahui siapa yang bisa masuk ke apartement gue sepagi ini."Lo masih aja kebo kalau dibangunin."Gue mendengus kesal dalam hati, tentu aja gue baru inget kalau cuman gue dan Tania yang bisa masuk ke Apartemen ini, dan gue gak pernah ganti password apartemen, ketika waktu itu Tania ganti password apartemennya."Tha, ajakin gue ke lokasi syuting mata untuk Anjani dong. Pengen lihat Gibran." Pintanya dengan muka memelas.Gue yang baru bangun, Tania yang tiba-tiba datang setelah dua bulan lebih 'gak inget' gue, buat gue agak lemot dikit untuk berpikir pagi ini."Apaan sih lo ganggu tidur gue deh! Lo aja sana berangkat sendiri." U
Beberapa meter dari gue, terhalang pohon pinus tapi masih gue bisa lihat jelas, Gibran dan Anindita--salah satu aktris kesukaan gue, sekaligus pemeran di film untuk Anjani-- lagi asik ciuman. CIUMAN, gue tekenin.YA ALLAH, MATA GUE TERNODAI!Gue emang bukan orang alim, gue juga pernah nonton scene ciuman di drakor atau baca di novel, tapi nyaksiin secara langsung ya baru sekali seumur hidup."LAGI NGAPAIN KALIAN?!"Ini mulut gue kenapa sih? Udah coba ditahan pake tangan, masih aja bisa teriak kayak gitu.Tentu aja dua orang yang tengah saling menyalurkan rasa nafsu lewat ciuman itu langsung tersentak kaget dan saling melangkah mundur satu sama lain. Jangan lupa tatapan tajam yang mereka lontarkan ke arah gue."Ngapain lo di sini?!"Lah? Harusnya gue kan ya, yang nanya ngapain mereka cuman berduaan di sini pake ciuman segala. Ini yang nanya kayak g
Heh! Demi apa gibran jadi pemeran film mata untuk Anjani? KOK LO GAK NGOMONG KE GUE?!!!'Pagi-pagi udah disodorin chat whatsapp dari Tania. Antara gue harus bersyukur atau sedih, karena dia ngechat gue lagi tapi tentu aja gara-gara si Gibran meranin Kahfi. Mana ada orang yang udah ngeblokir nomor temennya dua bulan lebih, gak mau kontakin lagi, tiba-tiba ngechat berhubungan sama idolanya. Ada rasa bersyukur sedikit sih, karena dari typingnya Tania, dia udah keliatan 'biasa' lagi ke gue, tapi tentu aja bukan gue yang dia cari.Kalau boleh jujur, sekalinya gue dikecewain atau dikhianatin sama seseorang, entah itu teman atau sahabat atau bahkan keluarga, karakter gue gak akan bisa balik seasik dulu sebelum dikecewain, karena meskipun mulut gue ngucapin maaf, tapi pikiran dan hati gue selalu ingat kejadian yang mengecewakan itu ketika ketemu orangnya.Jadi dengan kesimpulan itu, gue cuman baca chat d
Thami, dua minggu lagi proses syuting akan segera dimulai, kami sudah menemukan aktor dan aktris yang cocok untuk memerankan tokoh-tokoh yang ada di novel. Sekarang lagi proses reading, kalau kamu punya waktu, boleh datang ke kantor seperti biasa.' Tiga minggu gak ada kabar kejelasan mengenai pemerannya, tiba-tiba udah sampe reading aja. Cukup istighfar dah gue. Gue kira kurang lebih dalam tiga minggu gak ada kejelasan tuh, pihak production pusing nentuin pemerannya, ternyata udah sampai reading aja, itu berarti ya semua pemeran dari utama sampai figuran udah ada dong. Ya, pada akhirnya, se-selektifnya gue di projek film yang diangkat dari novel gue, akan kalah dengan keputusan mereka yang gak bisa diganggu gugat. Ya udahlah kalau pemerannya udah pada ketemu, semoga sesuai harapan aja. Niat gue sekarang adalah diem di Apartement, dan kalau proses syuting udah mau dimulai, baru deh gue l
Gue menghela nafas lelah, kemudian menjatuhkan tubuh gue ke kasur. Kepala pusing, mata bengkak, ingus meler, cukup membuat gue kayak orang stress. Gue menutup mata, mencoba meresapi semua yang terjadi. Jujur aja, baru kali ini gue dan Tania bisa berantem sehebat itu. Padahal Tania tahu gue benci artis idolanya sedari dulu, bahkan mungkin sebelum Tania ngefans ke si artis sialan itu. Tania satu-satunya orang yang bisa jadi sahabat gue, yang bisa menerima keanehan gue, dan sekarang gue udah gak bisa menganggap dia sebagai sahabat gue lagi kayaknya. Gue membuka mengerejapkan mata pas ponsel yang sedari tadi gue pegang bergetar. Ada telpon dari Pak Rama. Gue mendudukan tubuh, menghela nafas dan mencoba untuk baik-baik aja walaupun rasanya gak bisa. Gue harus bersikap profesional untuk menerima telpon itu. "Hallo, assalamualaikum, Pak." "Wa'alaikumsalam, Thami. Kamu s