Gue mengerenyitkan dahi bingung saat lihat pesan dari Mas Angga, staff di penerbit yang menaungi karya gue.
'Buka email, Tha. Ada tawaran menarik tuh.'
Gue segera membuka laptop, lalu nantinya membuka email. Kalau email mengenai pekerjaan emang gue simpen khusus di laptop, kalau di ponsel ya email pribadi aja buat daftar-daftar aplikasi.
"Demi apa!" Ucap gue histeris setelah email yang Mas Angga maksud gue baca.
Gimana gue gak histeris, Novel ke empat gue yang judulnya 'Mata untuk Anjani' ditawarin buat diadaptasi jadi film. Seneng sih, salah satu 'anak' gue akhirnya ada yang mau jadiin film.
Gue segera membuka ponsel, untuk membalas pesan Mas Angga.
'Mas emailnya udah gue buka. Gue sih seneng-seneng aja karya gue diadaptasi jadi novel, tapi gue takutnya kalau diadaptasi ceritanya bakal melenceng kayak novel penulis lain'
Mumpung Mas Angga lagi online, jadi gue tungguin aja balesannya, siapa tahu dia punya saran untuk ketakutan gue.
'Kamu coba terima aja, Tha. Nanti kamu diskusiin sama sutradara dan penulis skenarionya. Intinya terima aja dulu ya kalau menurutku.'
Gue pun akhirnya menuruti untuk mengiyakan tawaran dari salah satu production film terkenal itu, membalas email mereka dengan seprofesional mungkin.
"Mamah, Ayah, semoga ini rezeki Thami dan bisa membuka peluang novel-novel yang lain difilm-in juga, Aamiin." Gumam gue pelan, semoga mereka bisa denger ucapan gue ya di surga sana. Yap, gue sudah yatim piatu sejak gue SMA, di Jakarta pun ngerantau, awalnya sih di sini kuliah, cuman kayaknya gue bakal jadi warga tetap Ibukota deh, soalnya pulang ke kampung halaman orangtua gue pun percuma, soalnya saudara-saudara orangtua gue gila harta semua, gak mau deket sama mereka.
Gue cuman punya satu saudara, yaitu Abang gue namanya Ilyasa, yang kebetulan udah nikah sama WNA Jepang, dan dia tinggal di sana. Gue udah jarang banget ketemu sama dia, setahun sekali pun jarang, terakhir kali ketemu pas punya hadiah trip ke jepang dari pihak penerbit dan itu udah dua tahun lalu gue rasa. Gue sama dia paling bertukar kabar aja, atau videocall kalau gue lagi kangen sama dua keponakan gue yang lucu-lucu.
***
"Hallo, selamat siang!"
Gue menegakan pandang gue saat seseorang menyapa, dan gue langsung menyunggingkan senyum untuk membalas sapaan itu.
"Apa benar anda Mbak Thamina, penulis mata untuk Anjani itu?" Tanya seseorang yang menyapa gue tadi, dia masih berdiri di meja Caffe yang gue tempatin. Mungkin ini orang yang diutus production house yang akan adaptasi novel gue jadi film.
Dua minggu berlalu setelah tawaran itu masuk ke email gue, dan hari ini untuk pertama kalinya gue menemui pihak production house-nya.
"
Dia pun menganggukan kepalanya lalu terduduk di kursi yang kebetulan berhadapan dengan gue.
"Mungkin perkenalan terlebih dahulu ya untuk memulai obrolannya, Mbak Thami. Perkenalkan nama saya Rina, salah satu orang yang diutus Katara production untuk menemui Mbak Thami. Sebelumnya Mbak Thami menyetujui email yang dikirimkan pihak kami bukan?"
Gue menganggukan kepala agak canggung, jujur aja si Rina ini ngomongnya formal banget, kurang terbiasa gue, ya meskipun gue pernah nulis hal formal di cerita gue.
"Di pertemuan ini kita mungkin hanya membahas hal yang ringan saja untuk cerita yang akan diangkat. Pembahasan mendalam mengenai filmnya nanti Mbak Thami bisa bertemu dengan sutradara dan produser filmnya. Menurut Mbak sendiri, apa yang mbak inginkan ketika cerita mbak diangkat menjadi film?"
"Saya menyerahkan semuanya kepada pihak production, tetapi jika boleh, saya ingin ikut berkontribusi di film ini, mungkin dalam penulisan naskah atau penyusunan alur ceritanya, saya hanya ingin cerita filmnya asli seperti pada novel."
Kemudian obrolan itu pun semakin memanjang, walaupun hanya membahas hal yang ringan.
Baru sampai di tahap ini aja rasanya bersyukur, alhamdulillah dan akhirnya mimpi gue satu per-satu bisa terwujud dengan caranya sendiri. Semoga ke depannya juga lancar sampai nanti jadi film dan siap ditayangkan, Aamiin.
***
Gue tersenyum menatap draft naskah film yang sudah teronggok di meja rapat yang sedang gue, produser dan sutradara film, mbak Ana dan mas Farhan--penulis naskah--, beserta tim film novel gue bahas. Alhamdulillah setelah satu bulan kurang lebih berdiskusi mengenai naskah dan skenario film yang diadaptasi dari novel yang gue tulis, naskah itu rampung juga setelah adanya perbedaan pendapat, dan saling menuangkan ide.
"Jadi naskahnya sudah sesuai dengan keinginan saya?" Tanya Pak Anthony--sang produser-- sekali lagi, untuk meyakinkan.
Gue tentu saja menganggukan kepala tegas mendengar pertanyaan dari pak Anthony, kemudian diikuti dengan anggukan kepala dari Mas Farhan dan juga Mbak Ana. Tentu saja naskah itu beberapa kali ditolak karena kurang sesuai dengan keinginan pak Anthony, tapi sekarang gue rasa naskahnya sudah cukup baik seperti keinginan pak Anthony.
"Naskah sudah selesai, mungkin sebulan ke depan akan dilaksanakan casting untuk pemain film mata untuk Anjani, ini. Saya akan meng-casting para aktor dan aktris yang mungkin menurut saya cocok, tetapi kalian yang ada di sini boleh memberikan saran kepada saya, siapa aktor atau aktris yang kalian rekomendasikan untuk terlibat di projek film ini." Ucap Pak Rama--sang sutradara--.
Gue dan beberapa orang yang ada di ruangan ini hanya bisa menganggukan kepala untuk menyetujui pernyataan pak Rama.
"Kalau begitu meeting kali ini kita akhiri sampai di sini, ya. Semoga kita sehat selalu sampai projek film ini selesai. Terima kasih untuk semua yang bisa hadir di sini, dan terima kasih sudah berkontribusi bersama sampai detik ini. Selamat malam dan sampai jumpa kembali!"
Gue menghela nafas dengan lega. Jujur aja gue merasa agak lelah ya mengikuti proses film ini, belum lagi harus merampungkan novel yang akan naik cetak kembali, tapi ya ini sesuai dengan keinginan gue, berkontribusi dan ikut serta dalam pembuatan film yang diadaptasi dari novel yang gue tulis.
"Akhirnya kerja keras kita untuk menulis naskah selesai juga, ya." Ucap Mbak Ana. Gue bahkan baru menyadari bahwa di ruangan ini hanya tersisa gue, Mbak Ana dan Mas Farhan, emang gue melamun selama itu ya? Sampai gak menyadari yang lain udah pada keluar dari ruangan ini?
"Iya alhamdulillah ya, Mbak. Semoga naskahnya udah sangat sesuai dengan harapan Pak Anthony dan juga kita. Semoga ke depannya projek film ini bisa berjalan dengan lancar sampai bisa tayang dibioskop." Ucap gue, tentu saja penuh dengan pengharapan, dan mereka berdua meng-amin-kan ucapan gue.
"Omong-omong, ke depannya kan mau casting pemain di film ini, menurut hati dan keinginan lo, siapa sih aktor dan aktris yang bisa memainkan Anjani dan Kahfi dengan baik dan mirip? Saat menulis novel mata Anjani, lo pasti punya bayangankan gimana fisik dan karakter tokoh novel lo?"
Gue menganggukan kepala saat mendengar pernyataan dan pertanyaan dari Mas Farhan.
"Jujur agak susah sih, Mas, karena saat nulis novel ini gue ngebayangin tokoh yang memang cuman ada di kepala dan imajinasi gue aja. Terus gue juga jarang merhatiin aktris dan aktor indonesia, masih gak bisa milih juga siapa yang menurut gue cocok. Nanti deh gue cari-cari siapa aktris dan aktornya, siapa tahu gue bisa memberikan saran gue ke Pak sutradara. Eumm.. tapi menurut Mas Farhan dan Mbak Ana, kira-kira ada gak saran untuk pemainnya? Siapa tahu bisa aku pertimbangkan dan bisa diajukan ke Pak sutradara tanpa perlu casting lama."
Gue menatap Mbak Ana dan Mas Farhan bergantian. Mas Farhan terlihat berpikir, sedangkan Mbak Ana tersenyum manis, mungkin ia sudah menemukan aktor atau aktris yang bisa jadi pemain di film ini.
"Kalau menurut gue sih Gibran Rahandi boleh juga, Tha. Menurut gue dia aktor berbakat, meskipun belum keluar dari zona nyamannya. Dia juga lagi naik daun, bisa bantu film ini untuk naik juga. Kalau pemain Anjani nya menurut gue Anara Tamara boleh tuh, dia menurut gue aktris yang paling lempeng dan kalem."
Gue mencoba menormalkan ekspresi wajah gue saat mendengar saran dari Mbak Ana, tentu aja gue kurang suka pendapatnya yang satu ini, apalagi tentang Gibran Rahandi, it's a no no.
"Boleh juga tuh saran Ana, Tha. Tapi kita gak tahu ya, ujung-ujungnya yang tentuin pemain kan Pak Anthony sama Pak Rama. Intinya semoga pemerannya bisa benar-benar cocok memerankan tokoh di film ini, terutama untuk Anjani dan Kahfi, ya."
Gue hanya tersenyum mendengar ucapan mereka, gak meng-iya-kan ataupun menolak saran mereka.
Bersambung
(Selesai ditulis pada tanggal 28 Juni 2021, pukul 21.15 wib).
"Tan, kita mau ke mana sih? Kita udah berjam-jam loh di perjalanan, belum nyampe-nyampe juga. Lo menyia-nyiakan waktu gue tau! Kalau gue di Apartemen sekarang, mungkin gue udah bisa selesain satu bab novel yang lagi gue tulis!" Ucap gue kesal, sekaligus memecah keheningan. Jam 7 pagi tadi, tiba-tiba Tania udah nangkring di sofa ruang tengah apartement gue, katanya dia mau ngajak gue ke Bandung, sepagi ini. Dia gak bilang ngajakin gue buat survey lokasi, cari ide, refreshing atau ngajak liburan, seperti sebelum-sebelumnya. Dia cuman mau gue ikut sama dia katanya dengan buru-buru dan ya gue sampai gak sempet mandi. Lagian ngajak keluar kota dadakan banget. Seenggaknya kalau dia bilang dari kemaren atau pas malem, gue udah siap pas dia datang ke Apartement gue. "Alhamdulillah nyampe juga." Gue melirik Tania yang berada di belakang stir kemudi mobil yang sedang meregangkan tangannya. Mungkin dia pegel nyetir dari Jakarta ke
Gue menghela nafas lelah, kemudian menjatuhkan tubuh gue ke kasur. Kepala pusing, mata bengkak, ingus meler, cukup membuat gue kayak orang stress. Gue menutup mata, mencoba meresapi semua yang terjadi. Jujur aja, baru kali ini gue dan Tania bisa berantem sehebat itu. Padahal Tania tahu gue benci artis idolanya sedari dulu, bahkan mungkin sebelum Tania ngefans ke si artis sialan itu. Tania satu-satunya orang yang bisa jadi sahabat gue, yang bisa menerima keanehan gue, dan sekarang gue udah gak bisa menganggap dia sebagai sahabat gue lagi kayaknya. Gue membuka mengerejapkan mata pas ponsel yang sedari tadi gue pegang bergetar. Ada telpon dari Pak Rama. Gue mendudukan tubuh, menghela nafas dan mencoba untuk baik-baik aja walaupun rasanya gak bisa. Gue harus bersikap profesional untuk menerima telpon itu. "Hallo, assalamualaikum, Pak." "Wa'alaikumsalam, Thami. Kamu s
Thami, dua minggu lagi proses syuting akan segera dimulai, kami sudah menemukan aktor dan aktris yang cocok untuk memerankan tokoh-tokoh yang ada di novel. Sekarang lagi proses reading, kalau kamu punya waktu, boleh datang ke kantor seperti biasa.' Tiga minggu gak ada kabar kejelasan mengenai pemerannya, tiba-tiba udah sampe reading aja. Cukup istighfar dah gue. Gue kira kurang lebih dalam tiga minggu gak ada kejelasan tuh, pihak production pusing nentuin pemerannya, ternyata udah sampai reading aja, itu berarti ya semua pemeran dari utama sampai figuran udah ada dong. Ya, pada akhirnya, se-selektifnya gue di projek film yang diangkat dari novel gue, akan kalah dengan keputusan mereka yang gak bisa diganggu gugat. Ya udahlah kalau pemerannya udah pada ketemu, semoga sesuai harapan aja. Niat gue sekarang adalah diem di Apartement, dan kalau proses syuting udah mau dimulai, baru deh gue l
Heh! Demi apa gibran jadi pemeran film mata untuk Anjani? KOK LO GAK NGOMONG KE GUE?!!!'Pagi-pagi udah disodorin chat whatsapp dari Tania. Antara gue harus bersyukur atau sedih, karena dia ngechat gue lagi tapi tentu aja gara-gara si Gibran meranin Kahfi. Mana ada orang yang udah ngeblokir nomor temennya dua bulan lebih, gak mau kontakin lagi, tiba-tiba ngechat berhubungan sama idolanya. Ada rasa bersyukur sedikit sih, karena dari typingnya Tania, dia udah keliatan 'biasa' lagi ke gue, tapi tentu aja bukan gue yang dia cari.Kalau boleh jujur, sekalinya gue dikecewain atau dikhianatin sama seseorang, entah itu teman atau sahabat atau bahkan keluarga, karakter gue gak akan bisa balik seasik dulu sebelum dikecewain, karena meskipun mulut gue ngucapin maaf, tapi pikiran dan hati gue selalu ingat kejadian yang mengecewakan itu ketika ketemu orangnya.Jadi dengan kesimpulan itu, gue cuman baca chat d
Beberapa meter dari gue, terhalang pohon pinus tapi masih gue bisa lihat jelas, Gibran dan Anindita--salah satu aktris kesukaan gue, sekaligus pemeran di film untuk Anjani-- lagi asik ciuman. CIUMAN, gue tekenin.YA ALLAH, MATA GUE TERNODAI!Gue emang bukan orang alim, gue juga pernah nonton scene ciuman di drakor atau baca di novel, tapi nyaksiin secara langsung ya baru sekali seumur hidup."LAGI NGAPAIN KALIAN?!"Ini mulut gue kenapa sih? Udah coba ditahan pake tangan, masih aja bisa teriak kayak gitu.Tentu aja dua orang yang tengah saling menyalurkan rasa nafsu lewat ciuman itu langsung tersentak kaget dan saling melangkah mundur satu sama lain. Jangan lupa tatapan tajam yang mereka lontarkan ke arah gue."Ngapain lo di sini?!"Lah? Harusnya gue kan ya, yang nanya ngapain mereka cuman berduaan di sini pake ciuman segala. Ini yang nanya kayak g
***Gue mengucek mata dengan kesal saat merasa ada yang menggoyangkan tubuh gue agak brutal."Tha ayo bangun! Kebo banget lu elah."Gue mendudukan diri dengan kaki terlipat, lalu membuka mata gue lebar untuk mengetahui siapa yang bisa masuk ke apartement gue sepagi ini."Lo masih aja kebo kalau dibangunin."Gue mendengus kesal dalam hati, tentu aja gue baru inget kalau cuman gue dan Tania yang bisa masuk ke Apartemen ini, dan gue gak pernah ganti password apartemen, ketika waktu itu Tania ganti password apartemennya."Tha, ajakin gue ke lokasi syuting mata untuk Anjani dong. Pengen lihat Gibran." Pintanya dengan muka memelas.Gue yang baru bangun, Tania yang tiba-tiba datang setelah dua bulan lebih 'gak inget' gue, buat gue agak lemot dikit untuk berpikir pagi ini."Apaan sih lo ganggu tidur gue deh! Lo aja sana berangkat sendiri." U
Gue menghembuskan nafas pelan, mencoba menahan rasa kesal yang melonjak naik. Udahlah, si manusia songong satu itu emang sensitif dan benci gue deh kayaknya. "Mbak Ana, perasaan si orang aneh ini muncul di lokasi syuting mulu? Emang kepentingan dia apa di sini? Atau sodarao mbak?" 'Si orang aneh', julukan yang Gibran kasih ke gue, jari telunjuknya mengacung menunjuk gue. Lah, atas dasar apa dia ngasih julukan itu? Yang ada gue kan yang pantes ngasih dia julukan, si ngeselin, artis songong, biang masalah. Yang bikin gue kesel adalah, jarinya dia cuman beberapa senti dari muka gue. Niat banget dia jalan dari posisinya ke arah gue cuman buat nunjuk, ngasih julukan dan nanya begitu ke Mbak Ana. Gue melirik Mbak Ana, ingin melihat reaksi dia yang tiba-tiba ditodong pertanyaan aneh sama si artis songong yang ada di depan gue ini. Mbak Ana tertawa mendengar pertanyaan Gibra
Gue refleks bangkit dari posisi gue menghiraukan ucapan Pak Rama yang belum selesai dan berusaha berlari sekuat tenaga saat melihat beberapa meter di depan gue akan ada kejadian yang agak mengerikan.'BRAK!'Dalam hitungan detik kejadiannya begitu cepat, gue berasa kayak orang linglung dan bego."Thami!""Thami!"Gue mulai tersadar dari kelinglungan dan kebegoan gue ketika orang-orang menyerukan nama gue.Gue meringis saat kaki kanan gue gak bisa digerakin, dan baru sadar ternyata batang pohon yang lumayan panjang dengan diameternya seukuran paha gue, udah ada di atas betis kaki gue.Ngilu dan gak bisa digerakin."Lo ngapain sok jadi pahlawan sih!""Bukannya bilang makasih malah ngomong begitu!"Gue gak peduli dengan percakapan Anara dan Gibran, gue cuman bisa meringis ketika beberapa orang crew mencoba mengangkat batang pohon itu.Tadi, gue lihat Anara sama Gibran lagi ngobrol, terus gak
'Pihak management dan film akan merencakan kembali penayangan film Mata untuk Anjani meskipun aktor dan aktris yang memerankan tokoh penting di film tersebut terlibat skandal''Berita terpanas! Aktor tampan Gibran Rahandi dan Aktris cantik Anindita terlibat skandal panas, berciuman di area lokasi syuting film!'Setelah mengscroll sosial media selama beberapa menit, akhirnya gue bisa tahu awal permasalahan kenapa si Gibran dan dua ceweknya bisa datang ke apartemen gue. Ya walaupun tadi mereka jelasin dikit tentang permasalahannya, tapi gue gak menyimak semuanya karena jujur udah takut tapi kesel sendiri sama tuduhan yang bahkan gak.gue lakuin, meskipun gue sebagai 'saksi'.Setelah melihat video yang beredar pun, sudut pandang video itu bahkan diambil dari jarak jauh dan di zoom, sedangkan gue mergokin mereka ya kaget dan pulang dari toilet aja udah.Sebenernya, mau netijen ngegibahin dan ngecam mereka, gue
*Boleh gak sih kalau nangis karena bahagia sama bangga? Akhirnya dong, film mata untuk Anjani mau tayang. Jujur, bukan main senengnya. Dua minggu lagi bakal ada premier filmnya, sebelum akhirnya nanti tayang di seluruh bioskop tanah air.Tahu banget gimana prosesnya, dari diskusi skenario, casting pemain, sampai akhirnya reading dan syutingnya yang gak sebentar, belum lagi proses editing dan satuin setiap scene nya itu butuh waktu 3 sampai 4 bulan. Ternyata proses film untuk tayang tuh serumit itu ya, padahal dulu sebelum tahu setiap nonton film bisanya ngedumel kalau plot atau endingnya kurang. Dulu, novel yang gue tulis diangkat jadi film tuh mimpi, sekarang emang tercapai, tapi kayaknya kalau ada tawaran ke karya lain, gue harus pikirin dengan mateng.Gue emang orangnya agak ngeyel, keras kepala, dan perfeksionis, jadi pas salah satu karya yang gue tulis mau diadaptasi jadi film, rasanya gue harus ikut buat berkontribu
Gue refleks bangkit dari posisi gue menghiraukan ucapan Pak Rama yang belum selesai dan berusaha berlari sekuat tenaga saat melihat beberapa meter di depan gue akan ada kejadian yang agak mengerikan.'BRAK!'Dalam hitungan detik kejadiannya begitu cepat, gue berasa kayak orang linglung dan bego."Thami!""Thami!"Gue mulai tersadar dari kelinglungan dan kebegoan gue ketika orang-orang menyerukan nama gue.Gue meringis saat kaki kanan gue gak bisa digerakin, dan baru sadar ternyata batang pohon yang lumayan panjang dengan diameternya seukuran paha gue, udah ada di atas betis kaki gue.Ngilu dan gak bisa digerakin."Lo ngapain sok jadi pahlawan sih!""Bukannya bilang makasih malah ngomong begitu!"Gue gak peduli dengan percakapan Anara dan Gibran, gue cuman bisa meringis ketika beberapa orang crew mencoba mengangkat batang pohon itu.Tadi, gue lihat Anara sama Gibran lagi ngobrol, terus gak
Gue menghembuskan nafas pelan, mencoba menahan rasa kesal yang melonjak naik. Udahlah, si manusia songong satu itu emang sensitif dan benci gue deh kayaknya. "Mbak Ana, perasaan si orang aneh ini muncul di lokasi syuting mulu? Emang kepentingan dia apa di sini? Atau sodarao mbak?" 'Si orang aneh', julukan yang Gibran kasih ke gue, jari telunjuknya mengacung menunjuk gue. Lah, atas dasar apa dia ngasih julukan itu? Yang ada gue kan yang pantes ngasih dia julukan, si ngeselin, artis songong, biang masalah. Yang bikin gue kesel adalah, jarinya dia cuman beberapa senti dari muka gue. Niat banget dia jalan dari posisinya ke arah gue cuman buat nunjuk, ngasih julukan dan nanya begitu ke Mbak Ana. Gue melirik Mbak Ana, ingin melihat reaksi dia yang tiba-tiba ditodong pertanyaan aneh sama si artis songong yang ada di depan gue ini. Mbak Ana tertawa mendengar pertanyaan Gibra
***Gue mengucek mata dengan kesal saat merasa ada yang menggoyangkan tubuh gue agak brutal."Tha ayo bangun! Kebo banget lu elah."Gue mendudukan diri dengan kaki terlipat, lalu membuka mata gue lebar untuk mengetahui siapa yang bisa masuk ke apartement gue sepagi ini."Lo masih aja kebo kalau dibangunin."Gue mendengus kesal dalam hati, tentu aja gue baru inget kalau cuman gue dan Tania yang bisa masuk ke Apartemen ini, dan gue gak pernah ganti password apartemen, ketika waktu itu Tania ganti password apartemennya."Tha, ajakin gue ke lokasi syuting mata untuk Anjani dong. Pengen lihat Gibran." Pintanya dengan muka memelas.Gue yang baru bangun, Tania yang tiba-tiba datang setelah dua bulan lebih 'gak inget' gue, buat gue agak lemot dikit untuk berpikir pagi ini."Apaan sih lo ganggu tidur gue deh! Lo aja sana berangkat sendiri." U
Beberapa meter dari gue, terhalang pohon pinus tapi masih gue bisa lihat jelas, Gibran dan Anindita--salah satu aktris kesukaan gue, sekaligus pemeran di film untuk Anjani-- lagi asik ciuman. CIUMAN, gue tekenin.YA ALLAH, MATA GUE TERNODAI!Gue emang bukan orang alim, gue juga pernah nonton scene ciuman di drakor atau baca di novel, tapi nyaksiin secara langsung ya baru sekali seumur hidup."LAGI NGAPAIN KALIAN?!"Ini mulut gue kenapa sih? Udah coba ditahan pake tangan, masih aja bisa teriak kayak gitu.Tentu aja dua orang yang tengah saling menyalurkan rasa nafsu lewat ciuman itu langsung tersentak kaget dan saling melangkah mundur satu sama lain. Jangan lupa tatapan tajam yang mereka lontarkan ke arah gue."Ngapain lo di sini?!"Lah? Harusnya gue kan ya, yang nanya ngapain mereka cuman berduaan di sini pake ciuman segala. Ini yang nanya kayak g
Heh! Demi apa gibran jadi pemeran film mata untuk Anjani? KOK LO GAK NGOMONG KE GUE?!!!'Pagi-pagi udah disodorin chat whatsapp dari Tania. Antara gue harus bersyukur atau sedih, karena dia ngechat gue lagi tapi tentu aja gara-gara si Gibran meranin Kahfi. Mana ada orang yang udah ngeblokir nomor temennya dua bulan lebih, gak mau kontakin lagi, tiba-tiba ngechat berhubungan sama idolanya. Ada rasa bersyukur sedikit sih, karena dari typingnya Tania, dia udah keliatan 'biasa' lagi ke gue, tapi tentu aja bukan gue yang dia cari.Kalau boleh jujur, sekalinya gue dikecewain atau dikhianatin sama seseorang, entah itu teman atau sahabat atau bahkan keluarga, karakter gue gak akan bisa balik seasik dulu sebelum dikecewain, karena meskipun mulut gue ngucapin maaf, tapi pikiran dan hati gue selalu ingat kejadian yang mengecewakan itu ketika ketemu orangnya.Jadi dengan kesimpulan itu, gue cuman baca chat d
Thami, dua minggu lagi proses syuting akan segera dimulai, kami sudah menemukan aktor dan aktris yang cocok untuk memerankan tokoh-tokoh yang ada di novel. Sekarang lagi proses reading, kalau kamu punya waktu, boleh datang ke kantor seperti biasa.' Tiga minggu gak ada kabar kejelasan mengenai pemerannya, tiba-tiba udah sampe reading aja. Cukup istighfar dah gue. Gue kira kurang lebih dalam tiga minggu gak ada kejelasan tuh, pihak production pusing nentuin pemerannya, ternyata udah sampai reading aja, itu berarti ya semua pemeran dari utama sampai figuran udah ada dong. Ya, pada akhirnya, se-selektifnya gue di projek film yang diangkat dari novel gue, akan kalah dengan keputusan mereka yang gak bisa diganggu gugat. Ya udahlah kalau pemerannya udah pada ketemu, semoga sesuai harapan aja. Niat gue sekarang adalah diem di Apartement, dan kalau proses syuting udah mau dimulai, baru deh gue l
Gue menghela nafas lelah, kemudian menjatuhkan tubuh gue ke kasur. Kepala pusing, mata bengkak, ingus meler, cukup membuat gue kayak orang stress. Gue menutup mata, mencoba meresapi semua yang terjadi. Jujur aja, baru kali ini gue dan Tania bisa berantem sehebat itu. Padahal Tania tahu gue benci artis idolanya sedari dulu, bahkan mungkin sebelum Tania ngefans ke si artis sialan itu. Tania satu-satunya orang yang bisa jadi sahabat gue, yang bisa menerima keanehan gue, dan sekarang gue udah gak bisa menganggap dia sebagai sahabat gue lagi kayaknya. Gue membuka mengerejapkan mata pas ponsel yang sedari tadi gue pegang bergetar. Ada telpon dari Pak Rama. Gue mendudukan tubuh, menghela nafas dan mencoba untuk baik-baik aja walaupun rasanya gak bisa. Gue harus bersikap profesional untuk menerima telpon itu. "Hallo, assalamualaikum, Pak." "Wa'alaikumsalam, Thami. Kamu s