“Felix?” panggil Emily dengan suara pelan, hampir seperti bisikan malam yang takut mengusik kesunyian. Ia melangkah pelan menghampiri Felix yang tengah berdiri diam, menatap bulan di balik jendela kamarnya. Sinar bulan menyorot lembut ke wajah Felix, mempertegas raut murung yang selama ini coba ia sembunyikan.Felix menoleh perlahan, seolah baru tersadar dari lamunan panjangnya. Kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celana hitamnya, mencoba menjaga ketenangan yang mulai rapuh. “Ada apa, Emily? Kau belum tidur?” tanyanya kemudian, suaranya tenang namun jelas menyimpan lelah.Emily menggeleng pelan, rambut panjangnya bergoyang lembut mengikuti gerakan itu. “Belum. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Apa kau punya waktu?”Felix menghela napas kasar, bukan karena kesal, melainkan karena lelah pada dirinya sendiri—karena tahu terlalu sering membuat Emily merasa sendirian. “Tentu saja. Aku ada di sini, tentu saja waktuku hanya untukmu.”Kalimat itu keluar begitu saja, tapi terdengar sep
“Apa aku pernah menyakitimu selama kau menjadi istriku, Emily?” tanya Felix akhirnya. Suaranya terdengar pelan, tapi ada tekanan di balik nada itu—seperti seseorang yang sudah lama menahan tanya, namun takut akan jawaban yang mungkin menyakitkan.Emily tak langsung menjawab. Matanya menunduk, jemarinya meremas ujung baju tidurnya pelan. Felix memang tak pernah menyakitinya secara fisik. Tak pernah sekalipun tangan itu terangkat padanya. Namun, entah kenapa... ada luka kecil yang tak terlihat, seperti tusukan halus yang perlahan-lahan menggores dari dalam. Luka yang tak bisa ia jelaskan, bahkan pada dirinya sendiri.“Maaf,” ucapnya pelan, hampir tak terdengar. Seperti bisikan dari hati yang ragu.Felix menaikkan alisnya, bingung dengan respons itu. “Apa maksudmu, Emily? Aku bertanya, kenapa kau menjawab dengan kata ‘maaf’?” tanyanya, mencoba memahami, tapi juga merasa ada jarak yang semakin nyata di antara mereka.Emily hanya menggeleng pelan sambil menatap wajah Felix. Wajah itu... be
Pagi itu, suasana di lobi gedung pencakar langit di pusat kota tampak sibuk. Langkah kaki cepat para eksekutif terdengar berpadu dengan dering ponsel dan suara percakapan singkat.Felix melangkah masuk dengan aura dingin dan tak tergoyahkan. Setelan jas hitamnya rapi, wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia diiringi oleh Arnold, asisten pribadinya yang setia.“Semua sudah disiapkan?” tanya Felix singkat.Arnold mengangguk cepat. “Ya, Tuan. Mereka sudah menunggu di ruang rapat lantai 15. Dan... pemilik perusahaan ekspedisi itu sudah datang.”Felix menoleh cepat. “Pemiliknya?”Arnold menelan ludah, sedikit ragu sebelum melanjutkan. “Ya... dia sendiri yang datang. Dan saya pikir Anda mengenalnya.”Felix mengerutkan kening, tapi tak bertanya lebih lanjut. Mereka masuk ke lift dan tak lama kemudian, pintu ruang rapat terbuka.Di sana, beberapa jajaran petinggi ekspedisi sudah duduk menunggu. Tapi yang langsung mencuri perhatian Felix adalah sosok wanita yang berdiri menyambutnya.“Felix?” suara
“Argh! Sialan!” bentak Regina sambil melemparkan botol kosong beer ke lantai.Botol itu jatuh dengan suara dentingan tajam, menggema di ruangan pribadinya yang luas namun kini terasa sumpek oleh amarahnya sendiri.Ia berjalan mondar-mandir dengan langkah berat, rambut panjangnya yang biasanya tertata kini terlihat berantakan.“Kenapa cepat sekali Felix memutuskan untuk menikah?!” gerutunya lagi, mengambil botol beer yang baru dari kulkas kecil di sudut ruangan.Ia membuka tutupnya dengan gerakan kasar dan langsung meneguknya. “Bukankah dia dulu bilang tidak percaya dengan komitmen seperti itu? Dia bukan tipe pria yang mengikat diri!”Suasana malam di apartemennya dipenuhi dengan dentuman musik jazz pelan, kontras dengan emosi yang membuncah di dadanya.Ia menatap layar ponsel di tangannya, mengetik nama Felix Reinhardt berulang-ulang di mesin pencarian.Tapi yang muncul hanya berita-berita bisnis, ekspedisi, dan aktivitas gelap yang dibungkus dengan bahasa profesional.“Tidak ada beri
“Pa. Ada yang ingin aku tanyakan padamu.” Suara Marsha terdengar pelan namun serius saat ia melangkah pelan mendekati sang ayah yang sedang duduk santai di sofa ruang tengah.Di tangannya, Harland memegang majalah edisi terbaru, matanya sibuk mengikuti tiap baris kata di halaman yang terbuka.“Katakan saja. Aku akan mendengarnya,” jawab Harland datar, tanpa sedikit pun menoleh ke arah anak perempuannya. Nada suaranya tenang, nyaris seperti sedang membicarakan cuaca.Marsha berdiri sejenak, menatap wajah ayahnya yang tak bergeming, lalu menarik napas panjang sebelum duduk perlahan di sofa seberang.Matanya memandangi Harland lekat-lekat, mencoba mencari celah untuk memahami isi kepala pria paruh baya itu.“Kau serius ingin membuat Felix dan Emily berpisah? Dengan cara apa?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi, menyimpan keheranan sekaligus kekhawatiran dalam nada suaranya.Mendengar pertanyaan itu, Harland akhirnya menghentikan aktivitas membacanya. Ia menutup majalah dengan satu geraka
“Aku membawakan makanan kesukaanmu.” Suara Felix terdengar lembut dan tenang saat ia melangkah masuk ke ruang tengah, membawa sebuah mini box mungil berwarna merah muda di tangannya.Cahaya sore yang masuk dari jendela memantul di permukaan kotak itu, membuatnya tampak seperti hadiah kecil yang istimewa.Emily sedang duduk santai di sofa, bersandar dengan nyaman sambil menonton acara televisi favoritnya.Suara TV terdengar samar di latar belakang, namun seketika perhatiannya teralih saat Felix meletakkan kotak tersebut di meja di hadapannya.“Kesukaanku? Apa itu?” tanyanya dengan nada penasaran, matanya membulat penuh rasa ingin tahu. Ia langsung meraih kotak itu dan membukanya perlahan.Begitu tutupnya terbuka, aroma manis langsung tercium. Warna-warni pastel dari deretan macaron yang tertata rapi membuat matanya berbinar. Emily menoleh cepat ke arah Felix, matanya membesar karena terkejut.“Macaron? Kau tahu aku sangat menyukai macaron?” ucapnya dengan nada yang penuh kejutan sekali
"Pernikahan akan tetap dilaksanakan. Emily, anak bungsu si tua bangka itu, akan menjadi pengganti Marsha.”Di tengah keramaian, Felix Anthony, pria tampan berusia tiga puluh tahun, seorang mafia yang terkenal kejam dan berkuasa di kota itu, dengan jas hitam elegan, berdiri tegak di depan altar.Wajahnya terlihat dingin dan penuh amarah setelah mendengar pengakuan Marsha bahwa ia mencintai pria lain dan menolak melanjutkan pernikahan.Felix mengarahkan pandangannya ke arah Emily, adik bungsu Marsha, yang berdiri tak jauh darinya. Emily, wanita berusia dua puluh tiga tahun itu, mengenakan gaun putih sederhana, awalnya hanya berniat hadir sebagai tamu. Namun, nasib berkata lain.Emily sontak menoleh dengan mata membelalak. “Apa maksudmu?” tanyanya dengan nada tidak percaya. “Aku tidak mau menikah denganmu, Felix!”Tatapan Felix semakin tajam. "Aku tidak memberi pilihan, Emily. Jika kau menolak, kau tahu apa yang akan terjadi pada keluargamu," desisnya pelan, tetapi cukup jelas untuk memb
“Yang salah kakakku, kenapa aku yang harus menerima penderitaan ini?” bisiknya, suaranya nyaris tenggelam oleh isaknya sendiri.Tangannya gemetar saat mengusap air matanya, mencoba memberi dirinya ketegaran yang terus menguap.Tatapan pria di depannya penuh kekejian, seperti iblis yang baru saja menikmati kekejaman yang dilakukannya.Felix menyeringai, tatapannya menusuk ke dalam jiwa Emily yang rapuh. Tubuh wanita itu terbungkus selimut tebal, seolah berusaha melindungi dirinya dari dingin sekaligus kebengisan pria itu.“I don’t care, Emily.” Suaranya rendah, tapi penuh ancaman yang terpendam. “Kau adalah bagian dari keluarga Harland. Dia sendiri—ayahmu—yang menjodohkanku dengan Marsha. Namun, nyatanya wanita itu malah berselingkuh sebelum kami menikah.”Kata-kata itu menghantam Emily seperti gelombang dingin. Dia menelan ludah dengan susah payah, mencoba mengendalikan gemetar tubuhnya.“Marsha meninggalkanmu karena tahu sifat gilamu ini, Felix!” ucapnya dengan getir, suaranya pecah
“Aku membawakan makanan kesukaanmu.” Suara Felix terdengar lembut dan tenang saat ia melangkah masuk ke ruang tengah, membawa sebuah mini box mungil berwarna merah muda di tangannya.Cahaya sore yang masuk dari jendela memantul di permukaan kotak itu, membuatnya tampak seperti hadiah kecil yang istimewa.Emily sedang duduk santai di sofa, bersandar dengan nyaman sambil menonton acara televisi favoritnya.Suara TV terdengar samar di latar belakang, namun seketika perhatiannya teralih saat Felix meletakkan kotak tersebut di meja di hadapannya.“Kesukaanku? Apa itu?” tanyanya dengan nada penasaran, matanya membulat penuh rasa ingin tahu. Ia langsung meraih kotak itu dan membukanya perlahan.Begitu tutupnya terbuka, aroma manis langsung tercium. Warna-warni pastel dari deretan macaron yang tertata rapi membuat matanya berbinar. Emily menoleh cepat ke arah Felix, matanya membesar karena terkejut.“Macaron? Kau tahu aku sangat menyukai macaron?” ucapnya dengan nada yang penuh kejutan sekali
“Pa. Ada yang ingin aku tanyakan padamu.” Suara Marsha terdengar pelan namun serius saat ia melangkah pelan mendekati sang ayah yang sedang duduk santai di sofa ruang tengah.Di tangannya, Harland memegang majalah edisi terbaru, matanya sibuk mengikuti tiap baris kata di halaman yang terbuka.“Katakan saja. Aku akan mendengarnya,” jawab Harland datar, tanpa sedikit pun menoleh ke arah anak perempuannya. Nada suaranya tenang, nyaris seperti sedang membicarakan cuaca.Marsha berdiri sejenak, menatap wajah ayahnya yang tak bergeming, lalu menarik napas panjang sebelum duduk perlahan di sofa seberang.Matanya memandangi Harland lekat-lekat, mencoba mencari celah untuk memahami isi kepala pria paruh baya itu.“Kau serius ingin membuat Felix dan Emily berpisah? Dengan cara apa?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi, menyimpan keheranan sekaligus kekhawatiran dalam nada suaranya.Mendengar pertanyaan itu, Harland akhirnya menghentikan aktivitas membacanya. Ia menutup majalah dengan satu geraka
“Argh! Sialan!” bentak Regina sambil melemparkan botol kosong beer ke lantai.Botol itu jatuh dengan suara dentingan tajam, menggema di ruangan pribadinya yang luas namun kini terasa sumpek oleh amarahnya sendiri.Ia berjalan mondar-mandir dengan langkah berat, rambut panjangnya yang biasanya tertata kini terlihat berantakan.“Kenapa cepat sekali Felix memutuskan untuk menikah?!” gerutunya lagi, mengambil botol beer yang baru dari kulkas kecil di sudut ruangan.Ia membuka tutupnya dengan gerakan kasar dan langsung meneguknya. “Bukankah dia dulu bilang tidak percaya dengan komitmen seperti itu? Dia bukan tipe pria yang mengikat diri!”Suasana malam di apartemennya dipenuhi dengan dentuman musik jazz pelan, kontras dengan emosi yang membuncah di dadanya.Ia menatap layar ponsel di tangannya, mengetik nama Felix Reinhardt berulang-ulang di mesin pencarian.Tapi yang muncul hanya berita-berita bisnis, ekspedisi, dan aktivitas gelap yang dibungkus dengan bahasa profesional.“Tidak ada beri
Pagi itu, suasana di lobi gedung pencakar langit di pusat kota tampak sibuk. Langkah kaki cepat para eksekutif terdengar berpadu dengan dering ponsel dan suara percakapan singkat.Felix melangkah masuk dengan aura dingin dan tak tergoyahkan. Setelan jas hitamnya rapi, wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia diiringi oleh Arnold, asisten pribadinya yang setia.“Semua sudah disiapkan?” tanya Felix singkat.Arnold mengangguk cepat. “Ya, Tuan. Mereka sudah menunggu di ruang rapat lantai 15. Dan... pemilik perusahaan ekspedisi itu sudah datang.”Felix menoleh cepat. “Pemiliknya?”Arnold menelan ludah, sedikit ragu sebelum melanjutkan. “Ya... dia sendiri yang datang. Dan saya pikir Anda mengenalnya.”Felix mengerutkan kening, tapi tak bertanya lebih lanjut. Mereka masuk ke lift dan tak lama kemudian, pintu ruang rapat terbuka.Di sana, beberapa jajaran petinggi ekspedisi sudah duduk menunggu. Tapi yang langsung mencuri perhatian Felix adalah sosok wanita yang berdiri menyambutnya.“Felix?” suara
“Apa aku pernah menyakitimu selama kau menjadi istriku, Emily?” tanya Felix akhirnya. Suaranya terdengar pelan, tapi ada tekanan di balik nada itu—seperti seseorang yang sudah lama menahan tanya, namun takut akan jawaban yang mungkin menyakitkan.Emily tak langsung menjawab. Matanya menunduk, jemarinya meremas ujung baju tidurnya pelan. Felix memang tak pernah menyakitinya secara fisik. Tak pernah sekalipun tangan itu terangkat padanya. Namun, entah kenapa... ada luka kecil yang tak terlihat, seperti tusukan halus yang perlahan-lahan menggores dari dalam. Luka yang tak bisa ia jelaskan, bahkan pada dirinya sendiri.“Maaf,” ucapnya pelan, hampir tak terdengar. Seperti bisikan dari hati yang ragu.Felix menaikkan alisnya, bingung dengan respons itu. “Apa maksudmu, Emily? Aku bertanya, kenapa kau menjawab dengan kata ‘maaf’?” tanyanya, mencoba memahami, tapi juga merasa ada jarak yang semakin nyata di antara mereka.Emily hanya menggeleng pelan sambil menatap wajah Felix. Wajah itu... be
“Felix?” panggil Emily dengan suara pelan, hampir seperti bisikan malam yang takut mengusik kesunyian. Ia melangkah pelan menghampiri Felix yang tengah berdiri diam, menatap bulan di balik jendela kamarnya. Sinar bulan menyorot lembut ke wajah Felix, mempertegas raut murung yang selama ini coba ia sembunyikan.Felix menoleh perlahan, seolah baru tersadar dari lamunan panjangnya. Kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celana hitamnya, mencoba menjaga ketenangan yang mulai rapuh. “Ada apa, Emily? Kau belum tidur?” tanyanya kemudian, suaranya tenang namun jelas menyimpan lelah.Emily menggeleng pelan, rambut panjangnya bergoyang lembut mengikuti gerakan itu. “Belum. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Apa kau punya waktu?”Felix menghela napas kasar, bukan karena kesal, melainkan karena lelah pada dirinya sendiri—karena tahu terlalu sering membuat Emily merasa sendirian. “Tentu saja. Aku ada di sini, tentu saja waktuku hanya untukmu.”Kalimat itu keluar begitu saja, tapi terdengar sep
“Hi!” sapa Felix lembut, suaranya nyaris seperti bisikan angin malam saat ia melangkah masuk dan duduk di hadapan Emily yang tengah bersandar santai di tempat tidur.Senyum kecil menghiasi wajahnya, meski lelah jelas terpancar dari sorot matanya.Emily menoleh dan menyambut senyuman itu. Senyum yang kini terasa lebih bermakna sejak mereka tahu ada kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya.“Kau sudah makan?” tanyanya, suaranya tenang tapi penuh perhatian.Felix menggeleng pelan. “Belum. Bagaimana denganmu? Apa kau sudah makan? Bagaimana dengan mual muntahmu? Apa masih menyerang meski sudah malam?” Nada suaranya berubah menjadi cemas, penuh kepedulian.Ia mencoba menyembunyikan kekhawatirannya, tapi matanya tidak bisa berbohong—ia khawatir, dan ia ingin memastikan semuanya baik-baik saja.Emily tersenyum tipis, menenangkan. Ia menggelengkan kepala pelan. “Tidak. Dan aku sudah minum susu ibu hamil. Aku juga sudah makan karena perutku sangat lapar. Maaf, aku tidak menunggumu untuk mak
Langit sore memudar dalam nuansa jingga yang temaram saat Felix berdiri diam di depan dua pusara yang berdampingan.Angin sore menyapu lembut dedaunan, seolah ikut meresapi kesedihan yang terpancar dari raut wajah lelaki itu.Dengan perlahan, ia menunduk dan meletakkan setangkai bunga mawar merah di atas makam yang terbuat dari batu granit abu-abu.“Hi, Mom... Dad...” ucapnya pelan, suaranya bergetar oleh emosi yang tertahan.“Maaf, aku baru sempat mengunjungi kalian lagi. Aku tahu... ini sudah terlalu lama. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, terlalu larut dalam rutinitas... sampai aku melupakan hal-hal yang seharusnya menjadi prioritas.”Felix menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Matanya menatap kosong pada dua nama yang terukir rapi di batu nisan, seolah berharap ada balasan dari dalam tanah itu.“Sekarang... aku bahkan sedang bermasalah dengan Emily. Dia marah padaku,” lanjutnya.“Aku tahu dia benar. Aku terlalu cuek... terlalu dingin... padahal dia sed
“Tidak perlu,” ujar Emily lirih ketika Davina menanyakan apakah dia ingin Felix, suaminya, lebih memperhatikannya.Davina mengerutkan kening, tak paham dengan jawaban itu. “Kenapa tidak perlu?” tanyanya dengan nada pelan namun penuh dorongan. “Apa kau tidak membutuhkan perhatian dari suamimu itu?”Emily menggeleng pelan. “Tidak, Davina. Aku mengerti, dia sedang banyak masalah dan pekerjaan yang tidak bisa ia hindari.” Suaranya datar, tanpa amarah, tanpa luka yang tampak di permukaan.“Walaupun dia akan berubah... itu hanya untuk beberapa waktu saja. Aku sudah terbiasa ditinggal dan diabaikan olehnya. Lagi pula, aku menikah dengannya hanya karena utang ayah tiriku.”Mata Emily menerawang ke kejauhan. “Dia juga memberitahuku sejak awal, agar aku tidak mengharap apa pun darinya.”Davina terdiam. Ucapan Emily barusan menampar kesadarannya. Ia tahu pernikahan Emily dengan Felix bukan karena cinta, tapi ia tidak menyangka Emily menjalani hari-harinya dengan kekosongan seperti itu.Seolah hi