“Ke—kenapa kau mengambil pekerjaan yang sudah kau ketahui bahwa itu sangat berisiko?” tanya Emily lagi sembari menatap wajah Felix.Suaranya terdengar ragu, namun ada keteguhan dalam sorot matanya. Ia ingin tahu jawabannya, meski di lubuk hati, ia takut akan apa yang akan didengarnya.Felix, pria yang duduk di hadapannya dengan sikap santai, hanya menatapnya balik dengan senyum tipis yang mengandung misteri.Cahaya lampu gantung di dalam kamar mandi itu membentuk bayangan samar di wajahnya yang tegas.Tangannya dengan ringan memainkan batang gelas wine yang hampir kosong, sementara matanya menyorotkan tatapan yang sulit diartikan.“Karena aku… haus kekuasaan,” jawabnya tenang, seolah itu adalah hal yang wajar. “Dan hanya pekerjaan ini yang dapat memberiku kekuasaan. Menggerakkan orang-orang lemah sepertimu adalah kesenanganku.”Emily menelan salivanya dengan pelan. Perkataannya terasa seperti belati yang menusuk ke dalam dirinya.Ia sadar, mungkin selama ini dirinya hanyalah alat, sek
“Kau akan terbiasa. Meski entah kapan itu akan terjadi. Kau boleh menikah lagi begitu aku mati."Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Felix, seakan nyawanya hanya perkara selembar kertas yang mudah diterbangkan angin.Emily yang tengah menatap langit malam dari balik jendela sontak menoleh. Matanya memancarkan ketidakpercayaan."Enteng sekali mulutmu bicara, Felix." Emily membuang muka, mencoba mengabaikan sesak yang tiba-tiba menyelimutinya.Ia tidak suka mendengar kata-kata seperti itu, terutama dari mulut suaminya sendiri.Felix, yang duduk santai di sofa dengan segelas anggur di tangan, hanya menyunggingkan senyum tipis.Cahaya lampu temaram di ruangan itu semakin menegaskan sorot matanya yang tajam, seakan mampu membaca isi hati wanita di hadapannya."Ada apa? Kau mulai menyukaiku? Tidak heran. Aku memang mempesona hingga membuatmu langsung jatuh cinta padaku."Emily menoleh cepat, menatapnya dengan tajam. Ada sesuatu di dalam dirinya yang enggan membenarkan, namun juga ta
Mereka telah kembali ke Meksiko setelah tiga minggu lamanya berada di Yunani.Negeri para dewa itu telah menahan mereka dalam buaian cahaya keemasan, di antara angin laut yang berbisik syahdu dan reruntuhan yang menyimpan kenangan ribuan tahun.Namun, meski perjalanan itu menyerupai dongeng, sesungguhnya itu bukan sepenuhnya bulan madu. Felix lebih menghabiskan waktunya dengan bekerja di sana."Apa kau senang, kita kembali ke rumah?" tanya Felix dengan suara dalamnya.Ia menatap Emily yang berdiri di sampingnya, matanya menelusuri setiap lekuk ekspresi perempuan itu seolah mencari jawaban yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.Emily menoleh pelan, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang nyaris tak terlihat."Ya. Aku sangat senang, karena bagaimanapun ini adalah tempat tinggalku yang sebenarnya," ucapnya, meski nada suaranya mengandung sesuatu yang tak terungkap.Felix menyunggingkan senyum tipis, tapi sorot matanya tetap tajam."Tapi, apa kau merasa bahagia ketika berada di Yuna
"Menyesal karena apa?"Mala menatap suaminya dengan pandangan tajam, ekspresi wajahnya dingin seperti malam tanpa bintang.Ada api yang menyala di matanya, bukan api kemarahan yang meledak-ledak, tetapi bara yang membakar perlahan, menghanguskan sisa-sisa kesabaran yang ia miliki.Tangannya tanpa sadar meremas jemari Emily, seolah ingin memastikan bahwa anaknya masih ada di sampingnya, masih utuh, masih bernapas.Harland, dengan rahang mengeras, hanya menatap balik tanpa gentar. Pria itu memang selalu begitu—tanpa rasa, tanpa nurani, hanya berpikir tentang kepentingannya sendiri."Emily tidak tahu di mana Marsha berada, dan jangan pernah mengancamnya!" suara Mala bergetar, namun bukan karena takut.Itu adalah getaran dari seorang ibu yang berdiri di antara anaknya dan bahaya, siap menghadapi apa pun yang datang.Harland mendengus, suara rendah itu menguar seperti desisan ular yang sedang bersiap menerkam mangsanya.Senyum tipis yang terukir di bibirnya bukanlah senyum kebahagiaan, mel
"Waktu Anda sudah habis, Nona."Suara berat sang bodyguard memecah keheningan yang menggelayuti ruangan.Pria bertubuh tegap itu melangkah mendekat, menatap Emily dengan ekspresi datar yang tidak menyisakan celah untuk perlawanan.Emily menoleh pada ibunya, hatinya terasa berat. Begitu singkat waktu yang diberikan untuk bertemu, padahal ia masih ingin berlama-lama berada di sisi Mala.Masih banyak hal yang ingin ia katakan, masih banyak kehangatan yang ingin ia rasakan. Tapi, semuanya harus berakhir di sini.Ia menggenggam jemari ibunya erat, mencoba menghafalkan kelembutan dan kehangatan tangan yang telah membesarkannya. "Aku pamit pulang, Mama. Jaga diri baik-baik di sini. Aku menyayangimu."Mala tersenyum lembut, meskipun matanya berkaca-kaca. "Aku juga menyayangimu, Sayang. Hati-hati di sana.""Mari, Nona."Emily ingin sekali memeluk ibunya, menumpahkan segala kegelisahan dan ketakutan yang bersarang di dadanya, tetapi sebelum ia sempat melangkah lebih dekat, tangan kokoh bodyguar
Emily menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka suara. Ada beban di dadanya yang terasa semakin berat, dan ia berharap dengan menceritakan ini kepada Davina, setidaknya hatinya bisa sedikit lebih tenang."Ini tentang ayah tiriku." Suaranya terdengar pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku baru saja menemui ayah dan ibuku di rumah mereka. Tapi, ayah tiriku menyambutku dengan desakan agar aku mencari informasi tentang Marsha dari Felix."Davina, yang awalnya duduk dengan santai, kini menegakkan tubuhnya. Kedua alisnya bertaut, menunjukkan bahwa ia memahami betapa rumit situasi ini bagi Emily. Tatapannya tajam, mencoba menangkap setiap ekspresi yang muncul di wajah sahabatnya."Lalu, kau ingin melakukannya?" tanya Davina, nada suaranya berubah serius. "Bukankah kau tahu risiko apa yang kau dapatkan jika ikut campur urusan Felix?"Emily menundukkan kepalanya, menggigit bibir bawahnya dengan ragu. Matanya menatap kosong ke arah meja di depannya, pikirannya dipenuhi oleh ketakutan dan kebi
Brak!Suara dentuman keras menggema di seluruh ruangan ketika pintu ruang kerja Harland terbuka dengan kasar, hampir saja terlepas dari engselnya.Pintu itu didorong menggunakan kaki dengan kekuatan yang cukup untuk membuat kaca kabinet di dalam ruangan bergetar.Harland yang tengah duduk di belakang meja kerjanya sontak tersentak kaget. Matanya melebar ketika melihat sosok pria bertubuh tegap dengan aura gelap yang menyeruak ke dalam ruangannya."Fe—Felix?" Harland menelan ludahnya, mencoba menguasai ekspresinya yang sempat tegang. Wajahnya segera dipoles dengan senyum basa-basi. "Selamat datang di kantorku. Tumben sekali datang tanpa memberitahuku?"Suaranya dibuat selembut mungkin, penuh hormat, seolah mereka berdua adalah rekan bisnis yang telah lama bersahabat. Padahal, jauh di lubuk hatinya, ia tahu, kedatangan Felix tidak membawa kabar baik.Di dalam ruangan, dua tamu yang tengah berbincang dengan Harland ikut terkejut dengan kemunculan mendadak pria itu.Felix sama sekali tida
Harland berlutut di kaki Felix, tubuhnya gemetar hebat, nyaris kehilangan tenaga.Matanya yang memerah menatap pria itu penuh harap, serupa pengemis yang memohon belas kasih di hadapan raja tanpa ampun."Jangan membunuhnya, aku mohon!" Suaranya lirih, bergetar oleh ketakutan yang mencekik tenggorokannya.Felix menatapnya dengan seringai kejam, senyum yang tak menyiratkan belas kasih sedikit pun."Jangan bunuh anakku, Felix. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Marsha," suara Harland semakin serak, seakan setiap kata yang keluar adalah pedang yang menyayat ke dalam dirinya sendiri.Mendengar pengakuan itu, alis Felix sedikit terangkat. "Hanya Marsha yang kau punya, hm?" ulangnya dengan nada mengejek."Itu artinya, kau tidak menganggap keberadaan istri dan anak tirimu, Harland? Bahkan anak tirimu telah menyelamatkan nyawamu dari tanganku karena bersedia menikah denganku."Harland menelan ludah, matanya berkaca-kaca. Kata-kata Felix begitu tajam, menghantam nuraninya tanpa ampun."
Felix duduk di kursi taman belakang rumah keluarga, sore itu angin semilir bertiup lembut, namun pikirannya sama sekali tidak tenang.Ia menunggu seseorang, dan tak lama kemudian, Davina muncul membawa dua cangkir kopi.Perempuan itu adalah sepupunya—cerewet, tajam mulut, tapi satu-satunya yang bisa diajak berbicara jujur soal hati.“Davina,” kata Felix pelan saat Davina duduk. “Ada yang ingin aku tanyakan padamu.”Davina mengangkat alis, penasaran. “Tumben sekali wajahmu tampak serius kali ini. Ada apa, Felix?”Felix menatapnya sejenak, lalu menghembuskan napas. “Emily... dia, akhir-akhir ini bersikap dingin. Diam, menghindar. Apa karena dia sedang hamil?”Sontak, Davina menyemburkan kopi yang baru saja ia teguk. “APA?!” serunya, dengan mata membelalak.Felix mengerutkan kening, jelas tak mengerti kenapa sepupunya terlihat begitu terkejut. “Ya. Dia hamil. Tiga minggu. Kenapa reaksimu seperti itu?”Davina masih mencoba menenangkan batuk kecilnya, lalu berkata, “Aku hanya... terkejut.
Di sebuah vila tersembunyi di sebuah pulau pribadi yang hanya diketahui oleh segelintir orang, Marsha duduk di beranda lantai dua.Laut terbentang luas di depannya, ombak tenang berkejaran di bawah cahaya senja yang mulai meredup.Angin sepoi-sepoi menerpa rambut panjangnya, tapi tak bisa menenangkan kegelisahan yang terus menggerogoti pikirannya.Langkah kaki berat terdengar dari dalam vila. Tak lama kemudian, Harland—ayah kandung Marsha—muncul di ambang pintu. Wajahnya terlihat tegas, namun guratan lelah dan kekhawatiran tidak bisa disembunyikan.“Marsha,” panggil Harland pelan.Marsha menoleh cepat, matanya tajam dan gelisah. “Ada apa? Kau terlihat berbeda.”Harland menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat dan duduk di kursi rotan di sebelah putrinya.“Mark... dia sekarang ada di rumah sakit,” katanya akhirnya.Marsha membelalak. “Apa?! Apa yang terjadi?!”“Dia tertembak,” lanjut Harland tenang, meski matanya menyiratkan kemarahan yang ditekan. “Anak buah Felix menghancurkan m
“Kau mau ke mana?” tanya Emily dengan suara lemah saat melihat Felix berbalik badan dan mengambil jaket kulit hitamnya yang tergantung di dekat pintu.Felix menghentikan langkahnya sejenak, menoleh dengan tatapan datar. Tak ada emosi di wajahnya. Hanya ketegasan yang dingin, membuat Emily merasa semakin jauh darinya.“Urusanku dengan Mark belum selesai,” jawab Felix singkat, nadanya tak bisa diganggu gugat. “Aku akan menemuinya sekarang juga.”Emily langsung bangkit dari tempat tidurnya, menyusul langkah Felix dengan cepat. “Felix… tidak bisakah besok saja? Sekarang sudah malam. Dan… kau tidak tahu apa yang akan dia siapkan.”Namun, pria itu hanya menoleh sekilas, lalu kembali memalingkan wajahnya dan melangkah keluar kamar tanpa mengatakan sepatah kata pun.Pintu kamar tertutup dengan suara pelan, namun cukup menyakitkan bagi Emily. Ia berdiri di ambang pintu selama beberapa saat, seolah berharap Felix akan kembali. Tapi bayangan suaminya sudah tak tampak.Emily menarik napas dalam d
Felix duduk di ruang kerja, namun pikirannya jauh dari tumpukan dokumen yang ada di depannya. Kata-kata Noah masih terngiang di telinganya seperti gema yang tak bisa dibungkam.Bukankah kau dan Marsha pernah bercinta, sebelum pernikahan itu dilaksanakan?” Kalimat itu membuatnya geram bukan hanya karena Noah benar, tapi juga karena itu menyentuh luka lama yang ingin ia kubur dalam-dalam.Ia membuang napas kasar dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Dadanya sesak oleh berbagai pikiran yang saling bertabrakan.Felix ingin bertanya langsung pada Emily… tapi ia ragu. Bagaimana jika Emily benar-benar tidak tahu? Kalau begitu, ia justru akan membuat istrinya curiga.“Brengsek,” desis Felix dengan suara rendah, sebelum akhirnya berteriak frustasi, “SIALAN KAU, MARK!”Felix bangkit dari kursi dan berjalan mondar-mandir. Matanya memanas oleh rasa kesal yang menumpuk. Ia merasa langkahnya semakin sempit, seolah sedang dijebak oleh masa lalu yang ia anggap sudah selesai.Dengan langkah berat
Keesokan harinya, setelah kepastian kehamilan Emily diumumkan oleh dokter, suasana di rumah menjadi berbeda.Felix berubah menjadi sosok yang sangat protektif, namun tetap dengan cara yang khas dirinya—tegas, dingin, dan penuh aturan.Di dalam kamar mereka yang luas dan elegan, Emily sedang duduk bersandar di sandaran tempat tidur dengan bantal-bantal empuk menopangnya.Felix berdiri di hadapannya, tangan disilangkan di dada, matanya menatap tajam seolah sedang menyusun strategi perang.“Kau harus makan makanan bergizi, minum vitamin secara rutin, dan jangan lupa susu ibu hamil setiap pagi dan malam,” ucapnya tegas.“Istirahat cukup. Tidak boleh tidur larut. Dan yang paling penting, kau dilarang melakukan pekerjaan berat. Selama kau hamil, kau hanya perlu menjalankan tugasmu sebagai ibu hamil.”Emily menghela napas berat. Suara Felix yang seperti perintah militer itu membuatnya lelah, meskipun niatnya jelas karena perhatian. Ia tahu, tak ada ruang untuk perdebatan jika pria itu sudah
Malam itu, suasana ruang makan dipenuhi aroma masakan hangat dan cahaya lampu gantung yang temaram. Felix dan Emily duduk berhadapan di meja makan, namun suasana di antara mereka terasa kaku.Di depan mereka, hidangan favorit Emily tersaji rapi, namun wanita itu hanya memandangi makanannya tanpa benar-benar berniat menyentuhnya.Felix melirik istrinya. Dia menyadari bahwa sejak mereka duduk, Emily belum banyak bicara.“Sudah. Makan saja,” katanya, suaranya tenang namun tegas. “Jangan memikirkan hal yang tidak perlu kau pikirkan.”Emily mengangkat wajahnya perlahan. Matanya menatap dalam ke arah suaminya, lalu dengan suara lirih ia berkata, “Maaf…”Felix tak membalas. Ia hanya menunduk, kembali menyendok makanannya dengan wajah datar. Tak ada senyum. Tak ada kata-kata penghiburan.Emily masih menatapnya. Hatinya terasa sesak.Padahal… saat dia baru sadar dari pingsannya siang tadi, Felix begitu perhatian. Tatapannya lembut, suaranya hangat, bahkan menggenggam tangannya tanpa ragu.Tapi
“Ibumu sudah pulang?” suara Felix pelan, tapi jelas, saat ia menghampiri Emily yang sedang berdiri diam di depan jendela kamar mereka.Cahaya senja menyorot separuh wajah perempuan itu, membuat bayangannya tampak rapuh.Emily menoleh pelan, dan mengangguk. “Ya. Sudah sejak dua jam yang lalu. Terima kasih, sudah memberi Mama tumpangan, Felix.” Senyumnya lembut, namun di baliknya tampak sisa-sisa kelelahan yang belum sepenuhnya reda.Felix memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana hitamnya. Langkahnya tenang, tapi matanya tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang ia simpan sejak siang tadi.Ia berdiri di sisi Emily, menyamakan tinggi pandangan mereka ke luar jendela, seakan mencoba membaca isi hati sang istri melalui pantulan kaca.“Apa saja yang dikatakan oleh Mark padamu?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh ketegangan.Emily terdiam. Hening menggantung cukup lama hingga bunyi detak jarum jam terdengar seperti dentuman. Ia akhirnya menghela napas, berat.“Dia… dia menginginkank
“Untuk yang pertama dan terakhir kalinya?” tanya Emily dengan suara pelan namun penuh dorongan rasa ingin tahu yang tak bisa ia bendung lagi.Hatinya bergolak, seolah jawaban itu akan menentukan bagaimana ia memandang seluruh masa lalunya bersama Felix.Mala mengangguk pelan. “Aku rasa begitu. Karena setelah itu, Marsha pergi. Tidak kembali dan menggunakan uang yang diberikan Felix untuk kabur. Dan Felix tidak tahu ke mana perginya Marsha.”Emily menatap ibunya lekat-lekat, mencoba membaca tiap gestur yang mungkin menyimpan sesuatu yang belum diucapkan.Ia bisa melihat dari sorot mata ibunya—betapa getir dan rumitnya masa lalu yang kini perlahan terbongkar di hadapannya.Bayangan akan hari pernikahan yang batal, akan gadis yang seharusnya menggantikan dirinya berdiri di altar, kini terasa lebih menyakitkan.Di saat pernikahan sudah di depan mata, Marsha memilih pergi begitu saja… meninggalkan kekacauan yang pada akhirnya harus ia tanggung sendiri.“Aku ingin tahu… apakah Felix sempat
"Ya. Dia tahu dariku," ucap Mala dengan nada pelan, seolah kata-kata itu membawa kembali kenangan pahit yang selama ini ia simpan sendiri."Dia sempat menanyakan kenapa ayahmu meninggal. Lalu, aku memberitahunya semuanya."Emily terdiam. Bibirnya mengatup, sementara pikirannya melayang pada percakapan terdahulu bersama Felix.Perlahan, ia menghela napas panjang—sebuah napas yang terdengar berat, seperti membawa seluruh beban hatinya."Pantas saja dia bertanya padaku tentang hal yang membuatku bingung saat mendengarnya," ucap Emily, suaranya pelan, nyaris seperti gumaman.Mala menoleh cepat, rasa penasaran tergambar jelas di wajahnya yang penuh kekhawatiran. "Apa yang dia tanyakan padamu, Nak?"Emily menatap ibunya. Ada luka yang tampak samar di balik matanya—bukan luka fisik, melainkan luka yang tak terlihat, namun terasa begitu menyakitkan."Apakah aku akan berpaling dari Felix jika ada orang yang mencintaiku," jawabnya akhirnya.Pertanyaan itu kembali terngiang di benaknya. Waktu it