“Kurang ajar! Menjaga satu wanita saja tidak becus!”Bugh! Bugh! Bugh!Tinju Felix melayang bak badai petir yang mengamuk di langit malam, menghantam wajah dua bodyguard yang kini hanya bisa menunduk dalam kepasrahan.Mereka, yang seharusnya menjadi tembok pelindung bagi Emily, justru menjadi celah yang membuatnya lenyap dibawa bayangan kelam malam.“Kalian ingin mati di tanganku, hah?” pekik Felix, suaranya menyayat udara seperti pedang tajam yang tak mengenal belas kasihan.Amarahnya membuncah seperti lahar yang meledak dari perut gunung berapi, tak ada satu pun yang mampu meredamnya kini.“Ampun, Tuan! Kami minta maaf karena sudah lalai menjaga Nona Emily. Kami dijebak—”“Aku tidak butuh alasan konyolmu itu, sialan!” bentaknya, suara Felix sekeras guntur yang membelah langit di tengah badai.Wajahnya merah padam, matanya menyala seperti bara api yang belum padam, siap membakar siapa pun yang berani menghalanginya.“Yang aku inginkan adalah Emily kembali!” teriaknya sambil menoleh k
“Sebenarnya, aku tak ingin berurusan denganmu, Emily,” ucap Mark dengan nada yang mengalir pelan, dingin seperti embun dini hari yang menusuk kulit.Ia mengepulkan asap rokoknya ke udara, membiarkannya melayang dan menari di antara cahaya lampu temaram yang menggantung lesu di langit-langit ruangan.“Namun, setelah tahu kau menikah dengan Felix… entah mengapa, tiba-tiba saja aku semakin ingin menghancurkan pria itu. Mengoyaknya, pelan-pelan, seperti serigala lapar yang menguliti mangsanya.”Mata Emily menatap tajam, seperti dua mata pisau yang diselubungi amarah dan kehancuran. Ia tahu Mark memang pernah mengaguminya—dulu, di masa yang terasa seperti bayangan mimpi yang telah pudar.Namun ia tak pernah menyangka, bara perasaan itu masih menyala—tidak lagi berupa cinta, tapi api obsesi yang membakar segala logika.“Jangan macam-macam dengan Felix, Mark,” suara Emily terdengar parau namun tajam, seperti sayatan belati tipis. “Kau tahu dia sangat kejam, bukan? Dia bisa saja membunuhmu… t
“Aku tidak sudi menjadi milikmu!” ucap Emily, suaranya datar namun mengandung lautan getir yang tak tertanggungkan.Plak! Tamparan Mark melayang seperti cambuk takdir yang menghantam pipi Emily, menyisakan jejak merah yang bukan sekadar rasa sakit, melainkan penghinaan yang menggores harga diri. Tubuhnya tersentak, dan tangannya secara refleks mencengkeram pundak yang kini digenggam erat oleh Mark—erat seperti jerat tak kasatmata yang perlahan mencekiknya.“Apa bedanya aku dengan Felix, hah?” Mark bertanya, suaranya seperti pisau yang menguliti luka lama. “Sama-sama hidup di bayang-bayang dunia gelap... tapi aku—aku lebih tulus mencintaimu!” serunya dengan keyakinan yang menusuk, seperti panah dilepaskan tanpa ampun.Emily menatap matanya, dan di sana—di balik sorot mata yang penuh obsesif dan gelap itu—ia tidak melihat cinta, hanya ego yang haus akan kepemilikan. Entah mengapa, dalam kekacauan yang menyelimuti ruang itu, pikirannya justru terbang pada Felix. Felix yang dingin, na
"Bagaimana, Emily?" Suara Mark mengalun pelan. "Apa kau masih percaya pada suami tercintamu itu?"Ia melipat tangannya di dada, senyum sarkastik mengambang di bibirnya, seolah kalimatnya adalah racun manis yang sengaja diteteskan perlahan-lahan ke dalam luka yang masih menganga.Emily menatap datar wajah pria itu—tatapan yang menyerupai cermin yang menolak memantulkan sosok di hadapannya."Tapi Felix tidak mencintai Marsha," ucapnya tenang, namun suaranya bergetar, seperti senar biola yang dipetik dengan penuh luka.Mark mendecih pelan, lalu bersandar di dinding, memainkan ujung jarinya di permukaan meja kayu yang retak."Lalu, kau pikir Felix akan mencintaimu?" tanyanya seraya mencondongkan tubuh, suaranya melembut namun tajam seperti belati berlapis sutra."Tidak, kan? Kau tidak jauh berbeda dengan Marsha, Emily. Hanya dijadikan budak dari nafsu liarnya."Senyum tipis kembali tersungging di wajah Mark, namun kali ini senyum itu lebih mirip sayatan—datar, menyakitkan, tanpa jiwa.Tan
"Pernikahan akan tetap dilaksanakan. Emily, anak bungsu si tua bangka itu, akan menjadi pengganti Marsha.”Di tengah keramaian, Felix Anthony, pria tampan berusia tiga puluh tahun, seorang mafia yang terkenal kejam dan berkuasa di kota itu, dengan jas hitam elegan, berdiri tegak di depan altar.Wajahnya terlihat dingin dan penuh amarah setelah mendengar pengakuan Marsha bahwa ia mencintai pria lain dan menolak melanjutkan pernikahan.Felix mengarahkan pandangannya ke arah Emily, adik bungsu Marsha, yang berdiri tak jauh darinya. Emily, wanita berusia dua puluh tiga tahun itu, mengenakan gaun putih sederhana, awalnya hanya berniat hadir sebagai tamu. Namun, nasib berkata lain.Emily sontak menoleh dengan mata membelalak. “Apa maksudmu?” tanyanya dengan nada tidak percaya. “Aku tidak mau menikah denganmu, Felix!”Tatapan Felix semakin tajam. "Aku tidak memberi pilihan, Emily. Jika kau menolak, kau tahu apa yang akan terjadi pada keluargamu," desisnya pelan, tetapi cukup jelas untuk memb
“Yang salah kakakku, kenapa aku yang harus menerima penderitaan ini?” bisiknya, suaranya nyaris tenggelam oleh isaknya sendiri.Tangannya gemetar saat mengusap air matanya, mencoba memberi dirinya ketegaran yang terus menguap.Tatapan pria di depannya penuh kekejian, seperti iblis yang baru saja menikmati kekejaman yang dilakukannya.Felix menyeringai, tatapannya menusuk ke dalam jiwa Emily yang rapuh. Tubuh wanita itu terbungkus selimut tebal, seolah berusaha melindungi dirinya dari dingin sekaligus kebengisan pria itu.“I don’t care, Emily.” Suaranya rendah, tapi penuh ancaman yang terpendam. “Kau adalah bagian dari keluarga Harland. Dia sendiri—ayahmu—yang menjodohkanku dengan Marsha. Namun, nyatanya wanita itu malah berselingkuh sebelum kami menikah.”Kata-kata itu menghantam Emily seperti gelombang dingin. Dia menelan ludah dengan susah payah, mencoba mengendalikan gemetar tubuhnya.“Marsha meninggalkanmu karena tahu sifat gilamu ini, Felix!” ucapnya dengan getir, suaranya pecah
“K—kau … ingin membunuhku?” suara Emily nyaris tak terdengar, bibirnya bergetar seperti kelopak bunga yang diterpa angin dingin di penghujung musim gugur.Matanya membulat, ketakutan merayap di sela-sela tulang belakangnya, mengigit setiap urat nadinya dengan kebengisan yang tak terlihat.“Ya.” Suara Felix jatuh bagaikan belati yang mengiris keheningan. “Aku akan membunuhmu jika kau berani membangkang, tidak menurut, dan mencoba kabur dari rumah ini.”Tatapan Felix menancap tajam di wajah Emily, seperti elang yang mengunci mangsanya sebelum menyergap dengan cakarnya yang tajam.Cahaya lampu yang redup membuat bayangan lelaki itu semakin mengerikan, menciptakan siluet hitam yang seakan melahap setiap harapan yang masih berusaha bernafas di dalam diri Emily.Tak ada jalan keluar. Tak ada secercah cahaya di ujung lorong gelap bernama kehidupan ini. Dia hanya bisa diam, membiarkan kesedihan menyusup ke rongga dadanya, mengakar dalam dan menghisap habis mimpi-mimpinya.“Kecuali denganku,”
Denting halus dering ponsel memecah keheningan di pagi itu, merayap masuk ke dalam kesadaran Emily yang masih terperangkap dalam sisa-sisa mimpi yang samar.Kelopak matanya yang berat terbuka perlahan, menyesuaikan diri dengan temaram cahaya kamar.Tangannya terulur, meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Namun, begitu matanya menangkap nama yang tertera di layar, kantuknya seketika menguap.“Mama?”Jantungnya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang hangat, sesuatu yang nyaris terlupakan menyusup ke dalam dadanya.Rindu yang selama ini ia kubur dalam diam mendadak meletup, memenuhi rongga dadanya dengan desir harapan yang rapuh.“Mama?” suaranya bergetar pelan.Di seberang sana, suara lembut yang telah lama dirindukannya menyapa, “Apa kau baik-baik saja di sana, Nak?” tanya Mala dengan nada cemas.Emily menelan ludah. Ia ingin menangis, ingin memeluk ibunya, ingin kembali ke tempat yang penuh kehangatan. Namun, kenyataan menjebaknya dalam kebisuan. Ia menggigit bibirnya, menahan g
"Bagaimana, Emily?" Suara Mark mengalun pelan. "Apa kau masih percaya pada suami tercintamu itu?"Ia melipat tangannya di dada, senyum sarkastik mengambang di bibirnya, seolah kalimatnya adalah racun manis yang sengaja diteteskan perlahan-lahan ke dalam luka yang masih menganga.Emily menatap datar wajah pria itu—tatapan yang menyerupai cermin yang menolak memantulkan sosok di hadapannya."Tapi Felix tidak mencintai Marsha," ucapnya tenang, namun suaranya bergetar, seperti senar biola yang dipetik dengan penuh luka.Mark mendecih pelan, lalu bersandar di dinding, memainkan ujung jarinya di permukaan meja kayu yang retak."Lalu, kau pikir Felix akan mencintaimu?" tanyanya seraya mencondongkan tubuh, suaranya melembut namun tajam seperti belati berlapis sutra."Tidak, kan? Kau tidak jauh berbeda dengan Marsha, Emily. Hanya dijadikan budak dari nafsu liarnya."Senyum tipis kembali tersungging di wajah Mark, namun kali ini senyum itu lebih mirip sayatan—datar, menyakitkan, tanpa jiwa.Tan
“Aku tidak sudi menjadi milikmu!” ucap Emily, suaranya datar namun mengandung lautan getir yang tak tertanggungkan.Plak! Tamparan Mark melayang seperti cambuk takdir yang menghantam pipi Emily, menyisakan jejak merah yang bukan sekadar rasa sakit, melainkan penghinaan yang menggores harga diri. Tubuhnya tersentak, dan tangannya secara refleks mencengkeram pundak yang kini digenggam erat oleh Mark—erat seperti jerat tak kasatmata yang perlahan mencekiknya.“Apa bedanya aku dengan Felix, hah?” Mark bertanya, suaranya seperti pisau yang menguliti luka lama. “Sama-sama hidup di bayang-bayang dunia gelap... tapi aku—aku lebih tulus mencintaimu!” serunya dengan keyakinan yang menusuk, seperti panah dilepaskan tanpa ampun.Emily menatap matanya, dan di sana—di balik sorot mata yang penuh obsesif dan gelap itu—ia tidak melihat cinta, hanya ego yang haus akan kepemilikan. Entah mengapa, dalam kekacauan yang menyelimuti ruang itu, pikirannya justru terbang pada Felix. Felix yang dingin, na
“Sebenarnya, aku tak ingin berurusan denganmu, Emily,” ucap Mark dengan nada yang mengalir pelan, dingin seperti embun dini hari yang menusuk kulit.Ia mengepulkan asap rokoknya ke udara, membiarkannya melayang dan menari di antara cahaya lampu temaram yang menggantung lesu di langit-langit ruangan.“Namun, setelah tahu kau menikah dengan Felix… entah mengapa, tiba-tiba saja aku semakin ingin menghancurkan pria itu. Mengoyaknya, pelan-pelan, seperti serigala lapar yang menguliti mangsanya.”Mata Emily menatap tajam, seperti dua mata pisau yang diselubungi amarah dan kehancuran. Ia tahu Mark memang pernah mengaguminya—dulu, di masa yang terasa seperti bayangan mimpi yang telah pudar.Namun ia tak pernah menyangka, bara perasaan itu masih menyala—tidak lagi berupa cinta, tapi api obsesi yang membakar segala logika.“Jangan macam-macam dengan Felix, Mark,” suara Emily terdengar parau namun tajam, seperti sayatan belati tipis. “Kau tahu dia sangat kejam, bukan? Dia bisa saja membunuhmu… t
“Kurang ajar! Menjaga satu wanita saja tidak becus!”Bugh! Bugh! Bugh!Tinju Felix melayang bak badai petir yang mengamuk di langit malam, menghantam wajah dua bodyguard yang kini hanya bisa menunduk dalam kepasrahan.Mereka, yang seharusnya menjadi tembok pelindung bagi Emily, justru menjadi celah yang membuatnya lenyap dibawa bayangan kelam malam.“Kalian ingin mati di tanganku, hah?” pekik Felix, suaranya menyayat udara seperti pedang tajam yang tak mengenal belas kasihan.Amarahnya membuncah seperti lahar yang meledak dari perut gunung berapi, tak ada satu pun yang mampu meredamnya kini.“Ampun, Tuan! Kami minta maaf karena sudah lalai menjaga Nona Emily. Kami dijebak—”“Aku tidak butuh alasan konyolmu itu, sialan!” bentaknya, suara Felix sekeras guntur yang membelah langit di tengah badai.Wajahnya merah padam, matanya menyala seperti bara api yang belum padam, siap membakar siapa pun yang berani menghalanginya.“Yang aku inginkan adalah Emily kembali!” teriaknya sambil menoleh k
Suasana hotel yang semula tenang mendadak berubah ketika dua bodyguard Felix ditemukan tidak sadarkan diri di dalam toilet. Tanpa ada yang menyadari, seorang pria misterius telah menyusup dan melumpuhkan mereka dengan obat bius.Sementara itu, Emily yang sedang berada di lobi tidak menyadari bahaya yang mengintainya. Tiba-tiba, seseorang mendekatinya dari belakang dan menutupi wajahnya dengan sapu tangan yang telah dibasahi cairan bius. Emily meronta sejenak, namun dalam hitungan detik, kesadarannya hilang.Dengan cepat, pria itu membawa tubuh Emily yang lemas ke dalam mobil hitam yang telah menunggunya di luar hotel. Mobil itu melaju dengan kecepatan stabil, menjauh dari lokasi tanpa ada yang mencurigai apa pun.Setengah perjalanan, kelopak mata Emily bergerak pelan. Kesadarannya mulai kembali. Ia mengerang pelan dan mengusap dahinya yang terasa berat. Namun, saat matanya terbuka sepenuhnya, jantungnya berdegup kencang.Emily melihat dirinya berada di dalam mobil yang asing. Ia duduk
“Kenapa kau bertanya seperti itu? Secara tiba-tiba?” tanya Emily, sedikit bingung dengan pertanyaan yang diberikan oleh suaminya itu.Felix, pria dengan sorot mata tajam dan wajah yang sulit ditebak ekspresinya, tetap duduk dengan santai di kursinya. Namun, ada sesuatu dalam caranya menatap Emily yang membuat wanita itu merasa aneh.“Hanya ingin tahu saja. Karena di dunia ini bukan hanya aku saja yang menginginkanmu,” ucap Felix, membuat Emily semakin bingung.Emily menghela napas panjang, mencoba mencari makna tersembunyi di balik kata-kata suaminya. Ia menatap Felix dengan pandangan penuh tanda tanya, namun pria itu tidak memberikan petunjuk apa pun.“Aku tidak tahu apa maksudmu bertanya seperti itu padaku. Tapi, yang jelas aku tidak akan bisa lepas darimu, kan? Andaikan ada orang yang menginginkanku dan mencintaiku, aku tidak akan bersamanya.” Suara Emily terdengar pelan, namun cukup tegas.Felix tidak merespons dengan cepat. Ia hanya menatap wajah istrinya tanpa berkedip, seolah s
Lampu-lampu kristal menggantung megah di langit-langit ballroom hotel mewah, memancarkan cahaya keemasan yang berpendar di antara ornamen-ornamen berlapis emas.Lantunan musik klasik dari orkestra live bergema lembut, berpadu dengan suara gelak tawa serta percakapan para tamu yang mengenakan busana terbaik mereka.Emily menatap sekeliling dengan mata berbinar. Gaun hitam elegan yang membalut tubuhnya terasa begitu pas, tetapi tidak ada yang lebih menyilaukan daripada pesta yang kini dihadirinya.“Woah. Pestanya benar-benar meriah,” gumamnya, nyaris tanpa sadar. Tak pernah sekalipun ia melihat kemewahan seperti ini sebelumnya—sebuah dunia yang terasa begitu jauh dari kehidupannya yang sederhana.Felix, yang berdiri di sampingnya dengan jas hitam yang disesuaikan dengan sempurna, segera menoleh padanya.Tatapannya tajam namun tidak sepenuhnya dingin. “Jangan memperlihatkan ketertarikanmu di sini, Emily. Kau akan dinilai buruk oleh para pengusaha sombong yang ada di sini.”Emily mengerja
“Kita akan pergi ke mana, Felix?" tanya Emily dengan suara pelan, matanya menatap penuh tanya saat Felix menyodorkan sebuah dress berwarna putih tulang kepadanya."Ada pesta rekan kerjaku dua jam lagi. Segera ganti pakaianmu, kita berangkat tiga puluh menit lagi," jawab Felix dengan nada tegas, tanpa menyisakan ruang untuk penolakan.Emily menggigit bibirnya, hatinya berdebar. "Apakah aku harus ikut?" tanyanya, nyaris tidak percaya jika Felix benar-benar ingin membawanya ke acara itu.Felix menatapnya dengan sorot mata tajam yang sulit ditebak. "Semua orang sudah tahu bahwa kau adalah istriku. Lalu, jika aku tidak membawamu ke pesta itu, apa kau akan membiarkan para wanita murahan mendekati dan menggodaku?" ucapnya sinis, menimbulkan perasaan teraduk dalam dada Emily.Tanpa berpikir panjang, Emily menggeleng pelan. "Tidak! Aku akan segera ganti baju," katanya cepat, kemudian bergegas menuju kamar mandi dengan langkah tergesa.Setelah beberapa menit, Emily keluar dengan dress putih tul
Asap rokok mengepul di udara, memenuhi ruangan dengan aroma tembakau yang menyengat.Di dalam markas yang remang-remang, Mark duduk santai di kursi kulit hitam, jemarinya dengan terampil memutar korek api yang belum lama ia gunakan untuk menyalakan rokoknya. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, dingin dan tak terbaca.Langkah tergesa memasuki ruangan. Harland, pria paruh baya dengan wajah yang tampak lebih tua dari usianya, berdiri di hadapan Mark dengan raut penuh kegelisahan."Mark. Aku memohon bantuanmu." Suaranya terdengar serak, hampir seperti bisikan putus asa.Mark tidak langsung merespons. Ia menarik napas dalam, mengepulkan asap rokoknya ke udara, lalu mengalihkan pandangan malas ke arah pria yang berdiri di depannya."Ada apa, Harland?" tanyanya akhirnya, nada suaranya tetap dingin, seolah sama sekali tidak tertarik dengan masalah yang dibawa tamunya itu.Harland menelan ludahnya, kedua tangannya mengepal, menahan ketakutan dan ketegangan yang menghimpitnya."Anakku... anak