Malam itu bagi Damian adalah malam surga, dimana seluruh panca inderanya ditarik pada kenikmatan luar biasa.
Gadis dengan tatto Dewi keadilan di tulang selangka bagian belakang memang memikatnya dengan birahi. Ketika damian mengerakkan pinggul gadis itu turun naik dari belakang, matanya tertuju pada tatto tersebut. Tatto Dewi keadilan dengan mata ditutup, seolah tengah menutup mata tentang kelakuannya hari itu.
Suara erangan gadis bertato itu semakin membuat Damian bersemangat. Pinggul Damian bergerak cepat, mengikuti irama lenguhan gadis itu.
Siapa namanya tadi?
Ah, Anggela. Gadis itu memperkenalkan diri dengan nama itu. Perempuan itu muncul di dangau yang disewanya di Garut. Dengan bibir merona merah delima dan eyeshadow berwarna cokelat membara dia muncul menggunakan dress hitam minimalis, memperlihatkan jenjang tungkainya yang indah.
Mata gadis itu biru, dan rambutnya berwarna merah menyala, seolah seperti api yang akan membakar Damian.
Pertama kali Damian terpesona, hasratnya langsung terbakar, perempuan itu sangat indah, seolah bunga sedap malam yang sedang merekah.
"Hargaku sangat mahal," ucap Anggela sambil melemparkan senyum manis yang membakar hasrat Damian lebih dalam lagi.
Damian, bertanya, memancing, "sebutkan hargamu?"
"Untuk satu jam, 1000 dolar." Jawab gadis itu sambil menunjukkan telunjuknya yang lentik.
Damian bukannya tidak tahu. Dia memang menyewa gadis itu seminggu sebelumnya. Gadis yang terkenal dari mulut ke mulut karena harganya yang dipatok dengan dolar, dan pemilih.
Damian belum pernah melihat gadis itu, tapi perempuan berharga 1000 dolar pasti cantik, minimal dirawat. Rasa penasarannya saja yang membuat Damian menyewa gadis bernama angela ini.
Damian jarang melakukan perjalanan ke luar kota hanya untuk menuntaskan hasratnya. Kalau dia ingin, di dalam kota pun tempat-tempat romantis tersedia di berbagai sudut kota.
Damian tinggal memilih, mau tempat remang-remang, hotel mewah, sauna panas, kolam mandi bergairah, semua tersedia di ibu kota. Hanya harus pandai mencari, dan punya uang.
Pekerjaan Damian sebagai pengacara membuat akses ketempat seperti itu bukan hal yang sulit. Para kliennya dengan senang hati menunjuk tempat tersebut, mengundangnya bahkan mentraktirnya bila dia ingin.
Namun, hari itu dia ingin bersenang-senang di sebuah dangau di wilayah Garut. Tempat yang dirancang dengan suasana temaram, romantis dan tenang. Dangau yang didirikan di tengah danau. Jauh dari hingar bingar lagu menyentak, atau Lampu berkedap kedip. Tempat dimana dia bisa membungkus ketenangan dengan keringat dan adrenalin yang berpacu deras.
Lalu, perempuan itu muncul di depan pintu dangau, mengenakan gaun hitam minimalis, memamerkan senyum manisnya yang menggoda. Pertama kali dalam hidup Damian dia terbakar hasrat hanya dengan melihat perempuan itu. Perempuan yang rambutnya di cat berwarna merah, perempuan yang mengenakan lensa kontak berwarna biru. Perempuan yang melangkah dengan kaki memakai high heels 5 cm.
Ketika perempuan itu menjejakkan kakinya di depan pintu, seolah ada pijar pijar berpendar di sekeliling perempuan itu, dan gerakannya melambat dengan anggun.
**
Damian menatapi gadis yang duduk di atas dirinya, bergoyang naik dan turun dengan teratur, matanya terlihat mengerjap tidak fokus. Perempuan itu mengangkat dagunya sedikit, membuka mulutnya yang semu merah. Suara erangan terdengar dan deru napasnya memburu.
Mata Damian lahap menatapi pemandangan indah di atasnya. Melihat hidung Anggela, dagunya, buah dadanya, yang bergerak dengan irama teratur. Perempuan ini sungguh sempurna dipandangi dari beragam view.
Damian sendiri mendengus dengan napas resah, sesuatu seolah mengguncangnya dari bawah sampai atas dadanya, mengunci otaknya dalam kenikmatan.
Anggela terlihat seolah sedang meraih puncak dirinya di langit ketujuh, dan Damian bisa merasai sesuatu seolah akan meledak dari arah bawah perutnya. Lalu, Damian tidak sanggup menahannya, dia merentangkan tangannya meraih pinggang Anggela. Mempercepat gerakan gadis itu. Lalu, Damian mengerang dan kakinya mengejang.
Napas Damian memburu, matanya mengerjap. Anggela masih di atasnya, tersenyum. Gadis itu mengangkat kakinya dan berpindah tempat duduk.
Damian berdiri, masih mengatur napas. Dia menoleh ke arah Anggela, "berapa hargamu untuk menemaniku satu malam?"
Anggela terkejut, lalu menolehkan kepala kepada lelaki itu, tersenyum. Dia bangkit dan kemudian mengambil handuk yang tersampir diatas tiang gantungan.
Mengelap tubuh telanjangnya yang begitu sempurna. Perempuan itu lalu memunguti bajunya dan mengenakan dengan cepat.
"Bagaimana kalau 5000 dolar?" Tawar Damian lagi yang sekarang sudah duduk di atas kasur.
Anggela menatapnya, lalu mendekat ke arah Damian, dikecupnya pipi Damian seolah mengecup seorang anak sekolah yang sedang kasmaran.
"Ini bukan masalah uang," sahut Anggela sambil mengambil tas miliknya. "Aku hanya bermain satu kali untuk satu orang, itu aturannya."
Apa? Aturan macam apa itu?
"Memangnya tidak ada orang yang sama yang menyewamu?"
"Tentu saja ada, tapi anda bisa.mengantri," jawab Anggela sambil memamerkan gigi putihnya.
Damian segera berjalan ke arah Anggela, "sepuluh ribu dolar, aku akan mentransfernya sekarang."
"Simpan saja uangnya Tuan muda, aku hanya melayani satu kali. Bukankah Anda sudah merasakan surga?" Jawab Anggela sinis, dia lantas memakai high heels nya.
Damian langsung meraih tangan Anggela, "Kau cuma pecun, ngapain jual mahal!" Sentaknya kesal.
Anggela mengibaskan tangannya dengan cepat, lalu dia menatap lelaki itu dengan nanar, ada amarah terbayang di bola matanya yang dilapisi lensa kontak. "Kalau tidak tahu apa-apa tidak usah menghakimi. Bukankah Anda itu seorang pengacara!!"
Lalu kemudian perempuan itu membuang muka, dan segera bergegas menuju pintu. Dia menutup nya dengan keras, membuat kesadaran Damian yang sempat terpaku seolah kembali.
Apa-apaan perempuan itu! Perempuan murahan yang menjual kenikmatan lendir! Seolah matanya menyalahkan dirinya yang telah menyewanya.
Damian sudah membayarnya, dan perempuan itu yang mematok harganya. Betapa sombong sekali perempuan itu. Lihat saja, Damian akan mendapatkannya, dan dia akan membuat perempuan murahan itu bertekuk lutut padanya, memohon-mohon ketika damian menghancurkannya menjadi serpihan.
Damian menelepon seseorang yang menjadi perantara perempuan itu dengan dirinya. Lihat saja, dia akan mendapatkan kontak perempuan itu dan dia akan menjadikan perempuan itu miliknya.
Suara nada tunggu terdengar, beberapa saat Damian harus menunggu. Terdengar suara telepon diangkat.
"Haloo," sebentuk suara lelaki baru bangun dari tidur terdengar malas.
"Steve, ini aku Damian!"
"Oh, hai Bos, gimana malamnya? Bukannya sekarang elu sedang di Garut?"
"Iya, gue masih di Garut. Lu tahu, perempuan yang elu rekomendasikan. Perempuan 1000 dolar itu..."
"Ah, dia ya. Kenapa? Ada masalah bos?"
"Gue bisa dapat nomor privatnya?"
"Lho, kenapa?"
"Udah, enggak usah banyak tanya, kasih tahu gue nomor privatnya."
"Ah, soal itu sorry bos. Perempuan itu sangat rahasia, secret banget. Gue aja dapat antrian untuk lo susah banget. Kenapa? Elu ada komplain?"
"Bukan....."
Lalu terdengar tawa dari sebrang sana, "hahahaha, gue tahu. Lo ketagihan ya?"
Mendengar ucapan kawannya, wajah Damian merah padam. "sialan Lo!" Maki Damian dengan kesal. "Udah, buruan klo elo tahu kontak mucikarinya, kasih ke gue!"
"Iya-iya, nanti gue kirim nomornya sama elu. Eh, eh gimana dia mainnya, enak, nikmat?" Tanya steve diseberang sana dengan rasa penasaran.
"Klo elu penasaran, sewa aja dia!" Bentak Damian kesal.
Steve tergelak, "Bukannya enggak mau bos, enggak sanggup bayarannya," seru Steve.
Damian mendecakkan lidah, lalu kemudian berujar lagi, "ya pokoknya lu cari dulu kontaknya. Kirim ke gue secepatnya."
"Iya, iya, kenapa sih Lo buru-buru banget, barusan bukannya Lo menghabiskan malam dengan tuh pecun!"
"Gue mau menghancurkan tuh cewek!" Ucap Damian dengan menekan rahangnya yang saling beradu.
Setelah menutup teleponnya, Damian melempar handphone I phone keluaran terbaru itu dan melemparnya ke atas kasur. Dia sendiri melebarkan tangannya di atas kasur setelah menelentangkan tubuhnya di atas kasur berseprai putih itu.Wangi Anggela masih tertinggal diatas seprai. Wangi lembut yang seolah keluar dari buluh buluh kulit gadis itu. Damian tahu, itu hanya parfum yang dioleskan di sekujur tubuhnya, namun wangi itu melekat sampai ke dasar Sukma.Damian merasa dadanya bergemuruh keras, dalam matanya sosok anggela yang duduk di atas sofa, membelakanginya dan memegang bangku sofa dengan kuat ketika damian menghujamnya dari belakang. Pinggulnya putih bersih, dan pinggangnya samping, begitu pas dan enak udah dipegang.Arrrg! Seumur hidup Damian tidak pernah ditolak perempuan, apalagi perempuan pecun. Damian membaringkan tubuhnya di atas kasur, lalu kemudian berguling ketika mendengar nada pesan berbunyi diponselnya. Steve mengirim sebuah nomor dan sebuah nama, Claudia.Damian tidak mem
Damian masuk ke dalam ruangannya, sebuah ruangan yang diisi dengan meja, kursi tinggi dan empuk. Disisi meja ada sebuah lemari dan lemari kabinet. Lemari berisi photo, piagam, piala dan buku-buku, sedang lemari kabinet berisi data data manual kasus-kasus yang diurutkan berdasr abjad dan nomor. Lalu, setengah meter dari depan meja ada sofa dan meja pendek.Ruangan kerja Damian disekat oleh meja kaca sehingga dia bisa melihat sekretarisnya, Titania sedang sibuk menghadap ke depan komputer dan tengah mengetik.Damian meletakkan tas kerjanya di atas meja, dipandangnya Steve yang sudah mengulum senyum dengan alis mata yang digerak gerakkan. "Gimana perjalanan lu bos?" Tanya Steve langsung Nyamber."Capek. Nyetir dari Garut ke Jakarta sendirian bikin kaki pegel," jawab Damian sambil memencet telepon yang terhubung ke sekretarisnya."Tit, tolong buatkan kopi, dua," sahut Damian."Iya pak," jawab Titania.Damian melepaskan tombol penghubung dengan sekretarisnya, lalu kemudian duduk di atas
Steve berjalan masuk ke dalam ruangan, diikuti oleh Damian. Mereka mengambil posisi paling pinggir, karena posisi depan sepertinya sudah diisi oleh orang lain.Di depan mereka sebuah panggung yang memanjang. Posisi panggung memiliki posisi lebih tinggi dari tempat mereka duduk. Di atas panggung ada lima buah tiang yang menjulang dan berkilat bisu. Di ujung panggung, seseorang sedang memainkan musik menggunakan grand piano, sesuatu yang tidak umum ditempat tersebut. Dihadapan piano ada sebuah tirai yang menutup, sepertinya merupakan tempat untuk keluar, atau mungkin untuk tempat untuk masuk para penari yang sudah beraksi.Damian tahu tempat apa itu. Itu adalah tempat bagi penari striptis, atau sebutan lainnya penari telanjang di tiang. "Kukira apa, ternyata penari tiang," bisik Damian pada Steve.Steve menoleh ke arah Damian, mengulas senyum, "gue tahu elo khatam yang beginian, tapi gue jamin, yang ini beda," ucap Steve sambil menjilat bibirnya yang terasa kering."Apanya yang beda?"
Damian menengok ke arah Steve yang terlihat terpesona dengan cara penampilan Anggela yang tidak biasa. Muncul dengan gaun lebar, lalu melepasnya dengan drastis, seperti sulap. Gadis itu membuat banyak lelaki terpukau dengan performance nya yang spektakuler.Kini Anggela menari ditengah para penari lain. Gadis itu menaikkan pinggulnya, meninggikan dagunya, dan meliuk ke bawah ke atas.Empat gadis lainnya melakukan hal serupa, meliuk dengan gerakan sama, menciptakan harmoni indah para wanita penari tiang. Dilantuni dengan denting piano yang naik dan tinggi, mengikuti gerakan penari yang kadang perlahan, kadang cepat."Penampilan yang epik," bisik Steve menengok ke arah Damian. "Aku suka perempuan berambut merah itu!"Damian merasa ada api yang membakar hatinya, seperti sebuah perasaan cemburu. Dia tidak menyukai Anggela menunjukkan keelokan tubuhnya dihadapannya para lelaki mata keranjang ini.Namun, memangnya siapa Damian. Dia pun sama, penikmat surga dunia.Steve yang tidak menyadari
Anggela lihat bemper mobilnya dan cukup puas ketika mengetahui bahwa mobil miliknya baik-baik saja. Sekarang gadis itu menatap ke arah mobil yang berhadapan dengan mobilnya dengan sisi mobil sedikit miring. gadis itu meletakkan dua tangannya ke pinggang. siluetnya sempurna sangat indah, bisa membuat lelaki manapun meneguk ludah memandangnya.Damian yang melihat perempuan obsesinya itu, Dengan cepat turun dari mobil."Anggela!" Panggil Damian dengan cepat. jantung lelaki itu terpompa cepat, timbul hasrat luar biasa seperti hendak meledak dalam dadanya.Anggela menengok ke arah suara yang memanggilnya, tangan perempuan itu terlipat di depan dada. Melihat sosok Damian, kepalanya meneleng ke arah kiri, alis Anggela terangkat sebelah, "iya?""Aku sudah mencarimu kemana-mana, dan aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini.""Apa aku mengenalmu?" Anggela bertanya heran, melihat ada seseorang yang memanggil dan sok akrab dengan dirinya."Kau tidak ingat aku?" Damian melotot, tidak perc
Tik tok, detik jam terdengar menggema dalam kepala Damian. Pemuda itu membuka tangannya dan melihat jam berapa ini? Sudah jam 9 malam, dia ketiduran menunggu.Damian mengeram, merasa marah dan seperti terbakar. Lalu, di teleponnya Steve."Ya bos?" Steve menyahuti dari sebrang sana. Saat ini dia sedang mengetik di depan laptop, memeriksa berita acara untuk persidangan mendatang. Kebetulan jadwal sidang Minggu depan dan dia ingin memiliki persiapan maksimal."Lu lagi apa?""Gue lagi baca untuk kasus Pak Anggara. Sidangnya Minggu depan, kalau tidak ada persiapan bisa gawat.""Oh," Damian ingat, kasus hak waris dari sebuah keluarga kaya. Sudah masuk persidangan, tinggal tunggu waktu saja."Gimana bos? Udah kelar ngeluarin tai macannya?" Tanya Steve meledek. Damian tertawa hambar. Antara dia dan Steve, mereka selalu menyebut acara klimaks dalam penyatuan antara lelaki dan perempuan sebagai istilah ngeluarin tai macan. Istilah itu sudah digunakan sejak jaman kuliah. Kode yang hanya mereka
Anggela menatap lelaki dihadapannya, sedikit merasa heran ketika melihat sikap dingin dan tak acuh dari lelaki di hadapannya. Kemarin lelaki ini mengemis satu malam dengannya, sekarang sikapnya sungguh sombong sekali.Anggela lalu hendak menuju interkom yang dipasang di dinding ruangan tersebut, hendak meminta agar memasang lagu. Tapi Damian menghentikannya."Tidak perlu lagu, aku ingin kau menari tanpa musik."Anggela menatap ke arah Damian, sedikit bingung, tapi Anggela langsung memperbaiki emosinya. Anggela terbiasa menguasai diri, dia tidak Sudi memperlihatkan sisi hatinya pada siapapun.Gadis cantik itu mengangguk. Dia lalu membelakangi Damian. Mula-mula punggungnya bergoyang dengan nada patah-patah. Dari bagian bawah, lalu goyangannya naik ke atas. Anggela masih memunggungi Damian. Kini damian menaikkan satu kakinya ke atas pahanya sendiri, menikmati pertunjukan dari perempuan yang dibenci dan diinginkan sekaligus. Perasaannya yang sungguh-sungguh rumit.Anggela memutar lehernya
"Show me," Anggela kini meletakkan dua tangannya dipinggang, dengan kaki yang dilebarkan dengan mengenakan hak tinggi, membuat tampilannya begitu menggoda.Damian berdiri, memperbaiki dasinya, lalu mendekat ke arah Anggela, "aku tahu, bagimu uang bukan segalanya, jadi apa yang membuat mu tertarik, aku memikirkannya dengan seksama." Damian mengetuk ujung jarinya ke arah dahi.Anggela mengangkat dagunya, mulai terlihat tertarik."Jadi, nona Anggela, aku ingin kau jadi istriku. Aku akan menyayangimu setiap hari. Memenuhi semua kebutuhanmu. Kau hanya perlu menghangatkan aku setiap malam. Kurasa ini perjanjian yang bagus,"Anggela membelalakkan matanya, dan ini pertama kali Damian melihat emosi terpampang dihadapan gadis nan misterius ini.Damian mendekat, menyentuh pipi gadis dihadapannya. Mata Anggela seolah menggambarkan beragam perasaan yang tidak terbaca. Lalu, gadis itu melipat tangannya di dada."Kukira anda mau ngomong apa....""Kau tidak perlu lagi melayani lelaki lelaki lain, cu
Ketika SMA, Damian dan Rama punya tempat tongkrongan unik disebuah warung kecil untuk makan mie instan dan makan bubur kacang ijo. Tempatnya sedikit mojok, terpencil dan privasi, tapi kalau jam makan pagi sama malam ramainya minta ampun. Tempat tesebut sudah menjadi favorit kedua sahabat tersebut.Rama memilih jam makan siang karena tempat itu kerap sepi di jam tersebut. Jadi ketika dia datang, tidak banyak yang memperhatikan.Damian sendiri memilih bersalin baju untuk bertemu dengan Rama. Tempat pertemuan mereka bukan untuk orang orang yang terbiasa mengenakan jas, jadi pemuda itu menyalin bajunya dengan kaos lengan pendek dan juga mengganti celananya menjadi celana jins biasa.Ketika Damian muncul, ternyata Rama sudah duduk di pojok. Damian kemudian memesan makanan dan duduk dihadapan Rama."Udah pesan?" Tanya Rama."Baru aja gue pesan." Sahut Damian."Sori, ini masih jam kantormu ya?" Rama menatap ke arah Damian."Kalau elu k
Steve langsung mengetuk pintu ruang kerja Damian, ketika mendengar suara Damian mempersilahkannya masuk, Steve segera membuka pintu."Bro, gue denger dari satpam, kemarin keadaan gawat ya?"Damian yang berada di belakang meja kerjanya menaikkan kepalanya melihat Steve berdiri di ujung pintu, tidak masuk tapi juga tidak berada di luar.Damian mendesah, dia sudah menduga bakal heboh kalau ada yang tahu, tampaknya satpam di depan pintu masuk ember juga. Sempat-sempatnya dia menceritakan pada Steve perihal kejadian kemarin. "Masuk Steve," ucap Damian karena dia paling tidak suka bicara sambil teriak begitu."Gue denger terjadi sesuatu kemarin," Steve langsung to the point ketika dia sudah duduk di sofa.Damian tersenyum, "lu dapat infonya dari mana?""Ada lah,"Damian tertawa, "palingan dari satpam.""Betul. Katanya kemarin lu di cegat orang, trus di culik!""Klo gue di culik, enggak akan ada di kantor lagi.""Iya, bener, tapi memang ada yang terjadi kan?"Damian lagi-lagi tersenyum, mem
Rama mengulurkan tangan untuk membantu Laila berdiri. Laila meraih tangan Rama dan kemudian berdiri. Lalu setelahnya Rama berjongkok di sisi kaki Laila untuk membantu gadis itu mengeluarkan hak sepatunya yang masuk ke dalam celah batako jalan."Aku kaget tadi, aku lihat kau lari, makanya aku khawatir," ucap Rama ketika dia sudah berhasil melepaskan hak sepatu Laila dari dalam celah.Laila yang kontan seketika merasa lemas, langsung menjatuhkan diri di dada Rama yang bidang."Kamu tidak apa-apa?" Tanya Rama ketika mendapati Laila roboh di dadanya."Aku lemas, takut sekali.""Mereka sudah kuhajar, biar aku bekuk mereka," Rama langsung berbalik hendak menyusul di tempat dua lelaki itu roboh, tapi ternyata kedua orang itu sudah raib dari tempat itu."Lho, kemana mereka?"Ketika Rama hendak bergerak, tangan Laila langsung menggenggam lengannya dengan kuat. Rama segera mengalihkan pandangannya ke arah Laila. Dia melihat Laila menggeleng."Enggak usah dikejar...." Desis Laila, "aku takut..."
Ya?" Tanya Surtini."Nyonya, apa anda membenci menantu anda?"Surtini terdiam, hanya beberapa detik, lalu setelahnya berujar dengan nada tegas, "Saya sudah bilang di awal pembicaraan kita, bagi saya yang penting adalah keluarga. Saya harus menjaga nama baik keluarga Bahar."Damian diam, sebenarnya dia masih ingin menanyakan banyak hal, tapi mulutnya menjadi terkunci. Damian memilih menahan diri. Lelaki itu merasa sedikit jeri dengan nyonya Surtini.Surtini segera berdiri lantas berbalik menghadap ke arah ajudannya yang kemudian mengeluarkan tas miliknya dan menyerahkan tas tersebut pada Surtini, lalu perempuan tua itu berbalik kembali ke arah Damian."Tuan pengacara, apa kau memiliki kendaraan untuk pulang?"Damian mengangkat bahu, "saya dibawa kesini dengan paksaan bukan?" Ucap Damian untuk mengingatkan nyonya tua itu bahwa dia dibawa diluar kehendak dirinya."Baiklah, Ryan akan mengantarkan anda kembali ke kantor." Surtini lantas me
"Ah," Damian berdecak, namun menahan informasi yang hampir saja keluar dari mulutnya. Damian masih ingin tahu lebih banyak lagi informasi tentang Aniela. Berita tentang keluarga Bahar tidak terlalu banyak dan sulit untuk diakses. Mereka bukan keluarga yang menyukai ekspos besar di media, walau begitu kekayaannya sangatlah besar dan berpengaruh.Perempuan tua dihadapannya tahu bahwa Damian sudah mulai paham siapa yang dia maksud, lalu kemudian perempuan itu menggerakkan tangannya. Salah satu lelaki kekar disampingnya mendekat."Bawakan tuan pengacara itu kursi," seru Surtini sambil menjentikkan jari. Salah seorang bodyguard Surtini pun pergi ke luar dan tidak beberapa lama kemudian datang kembali sambil membawakan sebuah kursi lipat dan kemudian membuka kursi lipat itu di belakang Damian.Damian, dengan tidak mengurangi sikap tenangnya mengikuti saran perempuan tua dihadapannya. Dia duduk sambil melonggarkan jasnya. Sikapnya tentu saja tetap diperhatikan oleh Sur
Dengan meneguk ludah, pengacara itu menjawab santai dan lugas, "ya. Dia menceritakannya pada saya."Dokter Wiryo mengangguk, lalu kemudian mengecek hape miliknya, setelah menatap dan meneliti jadwal miliknya, dia kemudian mengalihkan kembali tatapannya ke arah Damian."Jadwal saya kosong dua hari lagi. Kalau itu tidak apa-apa?" ucap sang Dokter."Tidak Masalah dok, jam berapa?" tanya Damian lagi."Kita ambil jam 10 pagi. Nanti tolong dikondisikan saja agar saya bisa melakukan wawancara awal." Dokter Wiryo menambahkan.Damian mengangguk, lalu kemudian dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan sang dokter."Baik, dua hari lagi dok, saya akan menghubungi anda."Setelah berhasil mendapatkan keinginannya, Damian lantas meninggalkan rumah sakit dan berjalan menuju mobil miliknya.Dia menyetir mobilnya langsung menuju kantor. Di dalam perjalanan pikirannya tenggelam terhadap banyak hal. Tentang Aniela, tentang Anggela yang tidak juga muncul. Tentang kesepakatannya dengan Rama da
Damian kemudian kembali ke mobilnya dan kemudian bersiap melakukan perjalanan. Untuk menuju rumah sakit bakti Husada, Damian harus menghabiskan waktu setengah jam perjalanan.Ketika Damian sampai di rumah sakit, dia langsung menuju ruangan dokter Wiryo dan memberi tahu tentang janji temu dengan sang dokter.Perawat yang berada di depan ruang praktek dokter segera memeriksa jadwal, lalu kemudian masuk ke ruang periksa dokter untuk mengabarkan tentang ke datangan Damian. Tidak beberapa lama, perawat keluar dari kamar periksa dan mempersilahkan Damian untuk masuk ke dalam.Damian membuka pintu dan melihat seorang lelaki memakai jas putih panjang sedang melihat status pasien, ketika Damian mengetuk pintu, dokter Wiryo mengangkat kepalanya."Silahkan masuk," ucap dokter Wiryo ramah.Damian masuk ke dalam ruangan tersebut. Lalu kemudian berdiri dihadapan dokter Wiryo. Dokter itu kemudian meletakkan status Pasien yang dipegangnya.Damian dengan sopan mengulurkan tangannya untuk berjabat tang
Monik memerah mendengar ucapan Steve yang seolah sungguhan. Sedikit sulit dia memahami lelaki di hadapannya ini. Monik langsung menutup mulutnya.“Kamu tuh, beneran deh Steve. Aku tuh sampai kaget rasanya jantungan kalau denger kamu ngerayu gitu, kayak ada rasa manis-manisnya gitu…” ucap Monik membalas rayuan Steve dengan gaya seolah terpesona.Steve tertawa.“Ohya, gimana obatnya, sering minum kan, sakitnya udah kurang nggak?”Deg! Rasanya jantung Steve seolah jatuh dari tempatnya mendengar pertanyaan dari Monik. Dia merasa gugup hingga dengan cepat diraihnya gelas kopinya dan langsung diteguk sampai lupa dengan late art yang tergambar indah dipermukaannya.“Kamu tuh, bikin aku jantungan dengar pertanyaan kamu gitu!” keluh Steve ketika dia selesai meminum kopinya. Kumpulan busa putih tampak mengumpul di sekeliling bibir Steve, membuat Monik menjadi gemas melihatnya.Monik mengambil tisu, lalu den
Damian mendesah ketika mendapatkan pertanyaan tersebut. Entah kenapa dia seolah disadarkan bahwa perempuan dihadapannya adalah istri orang.Damian menggerakkan tangannya dan membiarkan Aniela duduk di depannya. Wajah gadis itu terlihat kuyu, tapi kecantikannya tetap bersinar.“Duduk dulu Nyonya,” ucap damian.Aniela lantas duduk di bangku, dihadapan damian. “Saya sudah menunggu dari kemarin, namun suami saya tidak kunjung menemui saya.” Keluh Aniela pada damian.“Nyonya, jangan berpikiran buruk. Bila suami nyonya kemari, dikhawatirkan media akan mengendus mengenai kasus ini. Hal ini sangat sensitive. Jadi, saya harap nyonya bersabar kalau hanya saya saja yang berkunjung.” Jelas Damian.Aniela menghela napas, lalu dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Lalu kemudian dia mengangkat wajahnya dan memandang pengacaranya, “Lalu, kapan saya bisa keluar dari sini. Saya sungguh-sungguh tidak betah.”