Anggela lihat bemper mobilnya dan cukup puas ketika mengetahui bahwa mobil miliknya baik-baik saja. Sekarang gadis itu menatap ke arah mobil yang berhadapan dengan mobilnya dengan sisi mobil sedikit miring. gadis itu meletakkan dua tangannya ke pinggang. siluetnya sempurna sangat indah, bisa membuat lelaki manapun meneguk ludah memandangnya.
Damian yang melihat perempuan obsesinya itu, Dengan cepat turun dari mobil.
"Anggela!" Panggil Damian dengan cepat. jantung lelaki itu terpompa cepat, timbul hasrat luar biasa seperti hendak meledak dalam dadanya.
Anggela menengok ke arah suara yang memanggilnya, tangan perempuan itu terlipat di depan dada. Melihat sosok Damian, kepalanya meneleng ke arah kiri, alis Anggela terangkat sebelah, "iya?"
"Aku sudah mencarimu kemana-mana, dan aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini."
"Apa aku mengenalmu?" Anggela bertanya heran, melihat ada seseorang yang memanggil dan sok akrab dengan dirinya.
"Kau tidak ingat aku?" Damian melotot, tidak percaya. Padahal baru dua hari yang lalu dia berkencan dengan perempuan ini.
Gadis itu menepuk pipinya dengan ujung jari, mencoba mengingat, lalu kemudian menggeleng, "maaf," ucapnya dengan wajah prihatin. mendengar ucapan maaf dari mulut Anggela membuat Damian memucat, wajahnya menjadi keras. Damian mencari gadis itu setengah mati, dan gadis itu tidak mengingatnya bahkan diujung kepalanya.
Lalu, dengan cepat, Anggela memutar tubuhnya ingin masuk kembali ke dalam mobilnya, membuat Damian yang sedari awal dihantam hasrat pada Anggela membuatnya langsung menyentuh tangan gadis itu dan menariknya agar gadis itu menengok.
"Kau tidak mungkin lupa padaku, kau pernah tidur denganku, Minggu kemarin!" Tukas Damian dengan suara sedikit keras.
Anggela, yang kini tangannya terpenjara oleh tangan Damian kini memicingkan mata, lalu dia tersenyum, "Ah, kamu yang di Garut itu? Tempat yang indah, sayang sekali, hanya bisa sebentar disana. Aku suka danaunya," puji Anggela dengan tulus.
"Aku bayar kamu 20 ribu dolar, temani aku semalam," ucap Damian cepat.
Anggela menatap ke arah Damian, wajah tenangnya tidak berubah, dia mendekat ke arah Damian, kini jarak mereka hanya lima centi.
Damian bisa memperhatikan wajah Anggela dengan cermat. Mata gadis itu besar, dilapisi dengan lensa mata biru, eyeshadow yang dikenakannya berwarna oranye seolah ingin menegaskan garis matanya. Alis matanya tebal, bibirnya yang tebal sensual dilapisi lipgos hingga berkilat menggoda. Yang paling indah adalah titik tahi lalat di bawah mata sebelah kiri, membuat kesan cantik pada wajahnya menjadi kian sempurna.
Damian sering menemukan wanita cantik dalam hidupnya, namun Anggela muncul dengan tiba-tiba, mengisi benaknya dengan dendam dan rindu yang berkelindan.
"Kau mengatakan hal yang sama waktu itu, dengan tawaran 10 ribu dolar, dan sekarang kau menawarkan dua kali lipatnya." Suara Anggela juga sangat merdu, penuh persuasif.
"Ya, tapi temani aku semalam, bukan satu kali, tapi semalaman." Tegas Damian. Lelaki itu tidak ingin kalah oleh aura menantang perempuan dihadapannya.
Anggela mengernyit kan kening, lalu dia tertawa kecil, "kau yakin kuat. Paling dua ronde kelelahan," jawab Anggela meremehkan.
Damian mengeram, buku buku tangannya menengang karena digenggam kuat, "Aku jamin, kamu akan puas." Ucap Damian penuh percaya diri.
Anggela menatap Damian, mata keduanya bertemu. Anggela sudah sering melihat tatapan mata seperti itu, tatapan mata penuh keinginan dan gairah.
Gadis itu mendesah, sepertinya percuma menolak lelaki ini sekarang dengan cara waktu itu. Dimatanya hanya ada hasrat membara, menolaknya bisa menimbulkan bara api permusuhan yang tidak baik.
"Baiklah," ucap Anggela, "tapi tidak malam ini. Aku sudah lelah menari hari ini. Besok, kau bisa menemuiku disini." Anggela mengeluarkan sebuah kartu nama sebuah hotel, lalu menyodorkannya pada Damian.
Damian menerima dan membaca nama hotel tersebut.
"Kamar 202, bawa uangmu 20 ribu dolar, aku mau cash" ucap Anggela sambil membuat tanda kecup pada dua jarinya, lalu dua jari itu ditempelkan di bibir Damian. Gadis itu melemparkan kedipan mata menggoda.
"Bagaimana aku bisa memastikan kau akan datang? Kau tidak memberi nomor telepon," tanya Damian.
Anggela menatap Damian, memberi senyum manis, lalu diambilnya kartu nama itu, Anggela mengambil pulpen dari dalam tasnya, lalu kemudian menulis angka dibalik kartu nama yang diberikannya dan mengembalikan kartu nama itu pada Damian.
Damian melihat belakang kartu yang dituliskan oleh Anggela, dia bisa menghapal sekali lihat.
"Hubungi aku hanya di jam 7 malam, selain dari jam itu, nomor hanya akan tersambung ke mail box" ucap Anggela sambil mengerling ke arah Damian.
Setelah itu Anggela masuk ke dalam sedan merahnya, dan melambaikan tangan pada Damian dan Steve, dia menarik perseneling, menekan gas dan melajukan mobilnya dengan cepat.
Steve keluar dari mobil, bersiul sebentar sambil mendekati karibnya.
"Wow!" Decaknya kagum. "Benar benar liar hah?"
Damian memukulkan kartu nama itu ke tangannya, lalu memasukkan kartu nama itu ke dalam sakunya. Senyumnya mengembang sumringah. Dia merangkul Steve dengan senyuman lebar.
"Yuk pulang," ucap Damian puas.
"Hei...hei...tunggu dulu, kita belum dapat apa-apa hari ini. Gue belum dapat tetesan surga bro!" Keluh Steve yang langsung disambar pelukan dipundak oleh Damian dengan kencang.
"Iya...iya, gue temani lho kencan ketempat yang lu suka." Ucap Damian terkekeh.
"Lu gimana?"
"Gue minum aja."
Mata Steve membulat, suatu hal yang langka mendengar ucapan Damian. Gila, nih cowok yang tadi emosi tak terkendali, hanya dengan perempuan 1000 dolar itu, langsung sumringah seolah sudah dikasih jatah.
"Wow, lu Damian kan?"
"Stil."
"Lagak lu kayak laki-laki alim? Kesambet apa lu?"
Damian tertawa, "udah, jangan banyak bacot. Mau gue temenin atau gue ajak pulang?"
"Ah," Steve mengusap mukanya dengan kedua tangan. Dia menggeleng-geleng kepala melihat kelakuan Damian.
"Gue yang nyetir deh," tiba-tiba Damian mengambil alih setir.
"Lho...lho tumben. Yang mulia Damian mau nyetirin gue," Steve langsung berpura-pura kaget. Dia memegang dadanya seperti baru saja mendengar suara petasan tepat di depannya.
"Anjir! Udah deh, enggak usah belagu!" Damian berteriak agak kesal melihat tingkah Steve. Lagak Damian pura-pura marah.
"Ini harus dinikmati," kekeh Steve sambil melirik Damian yang sedang memasang sabuk pengaman. Dia sendiri memasang sabuk pengaman.
Mereka sangat patuh pada cara berlalu lintas, setidaknya menurut Damian, sebagai orang yang berurusan dengan hukum, kepatuhan kepada hukum Mestinya diterapkan secara pribadi dalam kehidupan, minimal cara berkendara.
"Kemana?"
"Hm," Steve mengetuk dagunya seolah sedang berpikir, lalu ucapnya, "gue lagi pengen mandi air anget," ucapnya yang dijawab dengan gelak dari Damian.
"Lu mau main sama Tamy?"
Steve meletakkan dua tangannya kebelakang, menopang bagian belakang kepalanya. "Pas! Tamy membosankan, gue butuh variasi baru."
Seolah mengerti, Damian kemudian memutar mobil ke arah jalan yang berlawanan arah ke jalan pulang. Kalau masalah beberapa tempat dimana bisa mendapatkan tetesan surga, Damian hapal beberapa tempat favorit kawannya itu.
Mobil melaju membelah jalanan ibu kota..jam sudah berdetak pada pukul 12 malam. Bila orang orang pagi sudah terlelap tidur, maka kupu-kupu malam bergerak. Ibu kota tidak benar benar tertidur.
**Damian tampak gelisah, sudah sejak siang dia tidak fokus bekerja, berkali-kali dia menengok ke arah jam tangannya, seolah berharap jam itu melaju cepat. Tapi jam masih tetap berjalan seperti biasa, waktu berputar seperti umumnya.
Kliennya, yang sedang berkonsultasi hanya di dengar sambil lalu. Untung saja saat itu ada Steve yang mendampingi. Saat ini memang sesi pendampingan dan membutuhkan dua orang pengacara.
Steve menyimak dengan baik, sesekali dia melihat ke arah Damian yang terlihat tidak fokus. Menyadari bahwa perasaan bosnya sedang terganggu, Steve berusaha mengambil alih obrolan. Dia yang mengarahkan dan juga memberi banyak masukan dengan klien mereka.
Setelah pembicaraan yang membosankan, akhirnya sang klien pergi. Setelah itu Steve merenggangkan tangannya yang terasa lelah. Pekerjaan mendengarkan bisa sangat melelahkan. Steve menaikkan pundaknya lalu memutar mutarnya ke depan dan belakang, untuk meringankan penat.
"Butuh kopi nih bos," ujar Steve. Tapi ucapannya seolah angin lalu, karena Damian masih terlihat seperti orang bengong.
Steve menengok ke arah Damian yang sekarang sedang membuka kemeja tangannya untuk sekali lagi melihat jam.
"Lu tengokin jam itu, enggak akan matahari langsung turun ke barat." Steve menyahuti.
Damian mengangkat kepalanya, tersenyum. "Udah selesai tadi dengan pak Abdul?"
"Tadi elu nggak nyimak?"
"Kan ada elu, jadi gue fokus ke yang lain." Jawab Damian sambil melempar senyum.
Steve tertawa, menggeleng kepalanya perlahan, benar benar lagi enggak fokus bosnya itu, tapi Steve tidak mau mengomentari. Jadi alih alih bertanya, malah Steve melempar pertanyaan yang lain, "Mau makan enggak, diluar?"
"Boleh deh," jawab Damian sambil menekan tombol penghubung ditelepon dengan sekretarisnya.
"Tit, saya mau keluar dulu, nanti kalau ada yang menghubungi, tolong dijadwal ulang buat besok."
"Baik pak," Titania menjawab.
Damian melihat ke arah jam tangannya, masih jam 3. "Habis makan, gue mau ke satu tempat, gue turunin elu di mana?""Gue bawa mobil sendiri aja." Sahut Steve tidak menggoda lagi akan kemana Damian.
Mereka berdua kemudian keluar dari ruangan Damian.
Biasanya kalau mereka menggunakan dua mobil, keduanya akan berkomunikasi dengan telepon, menggunakan wireless yang dipasang ditelinga.
Kadang, kalau keduanya memiliki rencana berbeda untuk pulang, mereka akan menggunakan dua mobil. Tapi, bila rencana mereka sama, maka seringkali Steve yang menyetir dan mobil Damian ditinggal di kantor. Setelah mereka selesai dengan urusannya, baru Steve akan mengantar Damian kembali ke kantor mengambil mobil.
**
Tepat jam 5 Damian mengarahkan mobilnya ke hotel yang ditujukan pada kartu nama yang diberikan Anggela.
Di cafe Lamosa, Damian sudah berpisah jalan dengan Steve. Damian ingin pergi ke hotel lebih dulu, memesan kamar dan kemudian membersihkan diri. Dia ingin menyambut anggela dengan kondisi prima.
Damian masih teringat ucapan Anggela di parkiran waktu itu tentang kekuatannya di ranjang. Pantang bagi lelaki seperti Damian yang memiliki gaya Casanova harus kalah dengan ucapan seorang wanita macam Anggela. Dia akan memberi gadis itu pelajaran yang tidak akan dilupakannya.
Sesampainya di hotel, Damian langsung memesan kamar 202 seperti yang diamanatkan Anggela. Dia tidak mengerti mengapa gadis itu memintanya untuk menunggu di kamar 202.
Ketika dia memesan kamar itu, sang resepsionis tiba tiba langsung berkata, "Maaf tuan, kamar 202 sudah di booking."
What? Damian sempat terperangah, lalu kemudian bertanya lagi untuk memastikan, " maaf mba, siapa yang booking. Apa atas nama Anggela?"
Resepsionis segera melihat ke arah komputer yang jaraknya di pinggang. "Bukan, dipesan atas nama Damian," urai resepsionis.
Lho? Damian terlongo, tidak menyangka bahwa itu adalah namanya, ternyata Anggela tahu namanya, itu berarti gadis itu tidak pernah benar-benar lupa padanya. Dia langsung menunjuk dirinya sendiri, "Nama saya Damian mba, apa pesanan kamarnya sudah dibayar?"
"Baru uang muka pak. Oh, Jadi ini atas nama bapak ya. Baiklah, kalau begitu bapak mau bayar tunai atau kartu kredit." Tanya resepsionis dengan senyum bisnis.
"Kartu saja mba."
Resepsionis langsung mengetik sambil menerima kartu yang disodorkan Damian di atas meja.
Setelah mengurus administrasi sebentar, Damian langsung menerima kunci kartu dari resepsionis.
Damian menerima kunci tersebut, lalu kemudian berjalan menuju ke arah lift. Menggunakan kuncinya untuk bisa memilih nomor kamar.
Lift hotel tidak bisa sembarang dimasuki orang. Siapa pun bisa masuk lift, tapi tidak akan Bisa membuka pintu lift bila tidak menggunakan kartu kamar miliknya. Hal itu dilakukan untuk menjaga keamanan tamu hotel.
Setelah masuk kedalam kamar, Damian mengecek kamar mandinya. Dia melihat bathub dan memeriksa ukurannya. Kalau memungkinkan Damian mau mencoba mandi bareng di dalam bathtub.
Dalam kepala Damian sudah terlintas hal hal nakal yang akan dia lakukan pada Anggela. Hasratnya sudah membuncah sejak hari Minggu, tiga hari yang lalu.
Setelah itu dia melepas dasi yang dikenakannya, merapihkan semua pakaiannya di dalam lemari hotel. Lalu dia mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi.
Setengah tujuh malam, Damian memesan layanan antar kamar, lalu kemudian merapihkan diri. Mengenakan kaos ketat yang memperlihatkan lekuk dadanya yang bidang.
Jam tujuh layaran antar kamar sudah datang, Damian mempersilahkan pelayan hotel menyimpan semua pesanan nya dimeja. Dia sendiri segera menghubungi nomor telepon Anggela.
Setelah pelayan selesai meletakkan semua makanan, pelayan itu menunggu uang tips. Damian merogoh kantung celananya dan menemukan uang dua puluh ribu dan langsung memberikannya pada pelayan.
Telepon yang dia hubungkan pada nomor yang dibeli Anggela tampak bernyanyi, menunggu untuk di angkat. Setelah satu lagu di dengar Damian secara berulang, Damian dialihkan oleh mail box.
Damian mengulang kembali telepon, dan hal serupa terjadi. Nada sambung terdengar, sebuah lagu terdengar mengalun lembut, dan berulang, lalu kembali lagi pada mail box.
Damian mencobanya sampai beberapa kali, dan hal sama terulang lagi.
Damian segera menghubungi resepsionis lewat jalur telepon hotel. Suara renyah resepsionis menyambut.
"Mba, apa ada orang yang menanyakan kamar 202?" Tanya Damian
"Tidak ada pak," jawab resepsionis.
"Kalau nanti ada orang yang menanyakan tentang kamar 202, bisa tolong kabari saya. Atau tamunya langsung diantar ke kamar saya. Bisa?"
"Baik pak, ada lagi?"
"Tidak, itu aja cukup."
Damian langsung menutup sambungan telepon ke resepsionis, lalu kemudian dia melirik jam ditangannya, sudah pukul tujuh tiga puluh malam.
Damian kembali menelepon anggela, dan lagi lagi dia hanya terhubung oleh nada tunggu yang kemudian berakhir dengan mail box.
Ada apa ini? Apa Anggela tengah mengerjainya?
Damian merasa emosi, rasa senangnya sudah berganti jadi amarah. Dia mengepalkan tangan dan kemudian mengacak acak rambutnya.
Apa dia sedang di tipu?!
Damian menunggu, berkali kali mengecek hape lalu menelepon resepsionis, namun nihil. Tidak ada kabar dari Anggela, gadis itu tidak pernah datang ke hotel itu, dan Damian seolah mendengar tawa mengejek Anggela.
Tik tok, detik jam terdengar menggema dalam kepala Damian. Pemuda itu membuka tangannya dan melihat jam berapa ini? Sudah jam 9 malam, dia ketiduran menunggu.Damian mengeram, merasa marah dan seperti terbakar. Lalu, di teleponnya Steve."Ya bos?" Steve menyahuti dari sebrang sana. Saat ini dia sedang mengetik di depan laptop, memeriksa berita acara untuk persidangan mendatang. Kebetulan jadwal sidang Minggu depan dan dia ingin memiliki persiapan maksimal."Lu lagi apa?""Gue lagi baca untuk kasus Pak Anggara. Sidangnya Minggu depan, kalau tidak ada persiapan bisa gawat.""Oh," Damian ingat, kasus hak waris dari sebuah keluarga kaya. Sudah masuk persidangan, tinggal tunggu waktu saja."Gimana bos? Udah kelar ngeluarin tai macannya?" Tanya Steve meledek. Damian tertawa hambar. Antara dia dan Steve, mereka selalu menyebut acara klimaks dalam penyatuan antara lelaki dan perempuan sebagai istilah ngeluarin tai macan. Istilah itu sudah digunakan sejak jaman kuliah. Kode yang hanya mereka
Anggela menatap lelaki dihadapannya, sedikit merasa heran ketika melihat sikap dingin dan tak acuh dari lelaki di hadapannya. Kemarin lelaki ini mengemis satu malam dengannya, sekarang sikapnya sungguh sombong sekali.Anggela lalu hendak menuju interkom yang dipasang di dinding ruangan tersebut, hendak meminta agar memasang lagu. Tapi Damian menghentikannya."Tidak perlu lagu, aku ingin kau menari tanpa musik."Anggela menatap ke arah Damian, sedikit bingung, tapi Anggela langsung memperbaiki emosinya. Anggela terbiasa menguasai diri, dia tidak Sudi memperlihatkan sisi hatinya pada siapapun.Gadis cantik itu mengangguk. Dia lalu membelakangi Damian. Mula-mula punggungnya bergoyang dengan nada patah-patah. Dari bagian bawah, lalu goyangannya naik ke atas. Anggela masih memunggungi Damian. Kini damian menaikkan satu kakinya ke atas pahanya sendiri, menikmati pertunjukan dari perempuan yang dibenci dan diinginkan sekaligus. Perasaannya yang sungguh-sungguh rumit.Anggela memutar lehernya
"Show me," Anggela kini meletakkan dua tangannya dipinggang, dengan kaki yang dilebarkan dengan mengenakan hak tinggi, membuat tampilannya begitu menggoda.Damian berdiri, memperbaiki dasinya, lalu mendekat ke arah Anggela, "aku tahu, bagimu uang bukan segalanya, jadi apa yang membuat mu tertarik, aku memikirkannya dengan seksama." Damian mengetuk ujung jarinya ke arah dahi.Anggela mengangkat dagunya, mulai terlihat tertarik."Jadi, nona Anggela, aku ingin kau jadi istriku. Aku akan menyayangimu setiap hari. Memenuhi semua kebutuhanmu. Kau hanya perlu menghangatkan aku setiap malam. Kurasa ini perjanjian yang bagus,"Anggela membelalakkan matanya, dan ini pertama kali Damian melihat emosi terpampang dihadapan gadis nan misterius ini.Damian mendekat, menyentuh pipi gadis dihadapannya. Mata Anggela seolah menggambarkan beragam perasaan yang tidak terbaca. Lalu, gadis itu melipat tangannya di dada."Kukira anda mau ngomong apa....""Kau tidak perlu lagi melayani lelaki lelaki lain, cu
Damian menatap ke arah kertas kertas di hadapannya, itu adalah berkas kasus yang tengah dipelajarinya. Saat dia tengah konsentrasi menatap ke arah kertas tersebut, pintu ruangannya diketuk dari luar.Damian mengangkat kepalanya, "masuk," ujarnya.Pintu terbuka, dari balik pintu sebuah kepala menyembul sambil melebarkan senyum."Bro, mau makan siang bareng nggak?" Tanya Steve.Damian melirik arloji di balik kemejanya. Jam kritis waktu untuk istirahat."Gue enggak. Ada berkas kasus yang harus gue pelajari. Pesan saja."Steve sedikit manyun, lalu kemudian dia berkata lagi, "Ya udah, gue duluan kalo gitu." Steve menunjukkan jempolnya ke arah Damian, lalu kemudian pintu di tutup kembali.Damian lalu memencet tombol telepon yang menghubungkannya dengan sekretarisnya, Titania."Ya pak?" Suara Titania terdengar lembut."Tit, tolong pesenin makan ya, yang biasa." Ucap Damian."Baik pak," jawab Titania.Damian menunggu pesanan makanannya sambil membuka-buka lembar kertas, memberi content pada s
Rama mengawasi ekspresi Damian yang terlihat berubah. Sebagai seorang yang bekerja di bidang penyelidikan, memerhatikan raut wajahnya seseorang merupakan bagian dari pekerjaannya."Kenapa Dam? Elu kenal?" Rama langsung menyahuti ketika melihat Damian terpaku sejenak. Damian mengangkat wajahnya, ragu apa sebaiknya dia menginformasikan hal yang dia tahu. Tapi kalau itu dilakukannya, bisa-bisa tempat tersebut digerebek. Kalau sudah begitu akan banyak yang dirugikan. Dirinya, Anggela dan tentu lelaki yang memiliki hasrat yang sama dengan dirinya.Lagipula, tanpa informasi dari Damian juga pasti Rama cepat atau lambat akan mendapat petunjuk tentang tempat rahasia itu. Kalau sudah begitu, sepertinya rencana menjemput Anggela harus dipercepat. Bila perkiraannya tidak salah, semua orang di tempat itu pasti akan diinterogasi. "Enggak, gue enggak kenal. Kasihan saja masih muda, tapi sudab meninggal, pasti banyak impiannya yang belum terkabul. Dia mati karena apa?" Damian menjawab cepat setela
"Enggak. Dia enggak terlihat curiga. Dia datang kesini mau main karena katanya lokasi itu dekat dengan tempat gue." Sahut Damian menenangkan.Steve terlihat sedikit lega, tidak terbayangkan dalam kepalanya jika harus menjadi saksi karena dipanggil polisi, reputasinya bisa hancur kalau ada yang tahu dia sering pergi malam untuk menangkap kupu-kupu."Menurutmu tentang pianis itu, apa kira-kira polisi tahu tentang pekerjaannya?"Damian merenung sebentar. Dengan reputasi sebagai seorang pianis tingkat dunia, ketahuan bermain di dunia malam akan mencoreng nama baiknya. "Kurasa itu adalah job secret. Kecuali dia meninggalkan bukti, bisa jadi tempat itu akan terendus cepat atau lambat."Damian menerawang, pikirannya terlempar pada Anggela, dia harus segera membawa gadis itu pergi dari tempat itu. Bila Anggela merupakan bagian dari para penari, maka tidak mustahil mereka akan mengintrogasi Anggela. Damian tidak mau itu.Damian membuka lengan baju panjang nya, menarik kebelakang untuk melihat
Ah, Damian menyesal karena tidak pernah memotret Anggela. Kini dia tidak bisa membuktikan gadis itu sesungguhnya ada karena tidak memiliki bukti foto Anggela."Bagaimana kalau begini saja pak Syarif, ijinkan saya untuk menemui para penari." Ucap Damian memberi jalan keluar yang sekiranya menguntungkan dirinya.Syarif tampak mengernyit, lalu kemudian berkata dengan nada diplomatis, "Tuan, Eng--" Syarif menatap ke arah Damian"Damian, saya salah satu member VIP disini," Damian segera menyahuti Syarif sebelum Syarif menanyakan namanya."Oh, baiklah. Begini tuan Damian. Ada aturan dalam sistem kami. Bila pak Damian berminat melihat para penari, pak Damian bisa langsung melihat di atas panggung." Terang Syarif dengan sistematis."Apa tidak boleh saya melihat para penari itu?" Damian bertanya lagi."Maaf pak Damian, kami selalu bersikap adil pada para tamu. Bapak bisa melihat mereka di atas panggung, sepertinya hal ini tidak usah dibahas kembali." Tekan Syarif.Damian merasa sia-sia meminta
Apa maksudnya? Damian memutar mutar kertas lecek itu, hanya tulisan tolong dalam bahasa Inggris. Pikirannya yang sebelumnya berputar putar tidak karuan kini seolah kembali fokus. Dia menyadari, bila memang ini surat dari Anggela, berarti dia ada dalam bahaya!Damian kemudian memasukkan surat itu ke dalam sakunya. Kemudian dia bergegas meninggalkan tempat tersebut.Damian segera berjalan menuju parkiran dan kemudian mengambil mobilnya lalu mengarahkan ke jalanan. Pikirannya berputar putar tidak tentu arah. Surat dari Anggela, kematian pianis di klub, lalu gosip Anggela berpacaran dengan pianis. Damian tidak mengerti apa yang terjadi.Dia teringat seseorang, dalam salah satu kasus, orang itu pernah menjadi saksi di persidangan. Kemudian Damian mengarahkan mobil menuju kantornya.Satpam yang berjaga di depan kantor langsung memberi hormat pada Damian yang kembali ke kantor. Dia sudah biasa melihat sang bos kembali ke kantor kalau malam. Seringkali Damian meninggalkan mobil dan pergi ke
Ketika SMA, Damian dan Rama punya tempat tongkrongan unik disebuah warung kecil untuk makan mie instan dan makan bubur kacang ijo. Tempatnya sedikit mojok, terpencil dan privasi, tapi kalau jam makan pagi sama malam ramainya minta ampun. Tempat tesebut sudah menjadi favorit kedua sahabat tersebut.Rama memilih jam makan siang karena tempat itu kerap sepi di jam tersebut. Jadi ketika dia datang, tidak banyak yang memperhatikan.Damian sendiri memilih bersalin baju untuk bertemu dengan Rama. Tempat pertemuan mereka bukan untuk orang orang yang terbiasa mengenakan jas, jadi pemuda itu menyalin bajunya dengan kaos lengan pendek dan juga mengganti celananya menjadi celana jins biasa.Ketika Damian muncul, ternyata Rama sudah duduk di pojok. Damian kemudian memesan makanan dan duduk dihadapan Rama."Udah pesan?" Tanya Rama."Baru aja gue pesan." Sahut Damian."Sori, ini masih jam kantormu ya?" Rama menatap ke arah Damian."Kalau elu k
Steve langsung mengetuk pintu ruang kerja Damian, ketika mendengar suara Damian mempersilahkannya masuk, Steve segera membuka pintu."Bro, gue denger dari satpam, kemarin keadaan gawat ya?"Damian yang berada di belakang meja kerjanya menaikkan kepalanya melihat Steve berdiri di ujung pintu, tidak masuk tapi juga tidak berada di luar.Damian mendesah, dia sudah menduga bakal heboh kalau ada yang tahu, tampaknya satpam di depan pintu masuk ember juga. Sempat-sempatnya dia menceritakan pada Steve perihal kejadian kemarin. "Masuk Steve," ucap Damian karena dia paling tidak suka bicara sambil teriak begitu."Gue denger terjadi sesuatu kemarin," Steve langsung to the point ketika dia sudah duduk di sofa.Damian tersenyum, "lu dapat infonya dari mana?""Ada lah,"Damian tertawa, "palingan dari satpam.""Betul. Katanya kemarin lu di cegat orang, trus di culik!""Klo gue di culik, enggak akan ada di kantor lagi.""Iya, bener, tapi memang ada yang terjadi kan?"Damian lagi-lagi tersenyum, mem
Rama mengulurkan tangan untuk membantu Laila berdiri. Laila meraih tangan Rama dan kemudian berdiri. Lalu setelahnya Rama berjongkok di sisi kaki Laila untuk membantu gadis itu mengeluarkan hak sepatunya yang masuk ke dalam celah batako jalan."Aku kaget tadi, aku lihat kau lari, makanya aku khawatir," ucap Rama ketika dia sudah berhasil melepaskan hak sepatu Laila dari dalam celah.Laila yang kontan seketika merasa lemas, langsung menjatuhkan diri di dada Rama yang bidang."Kamu tidak apa-apa?" Tanya Rama ketika mendapati Laila roboh di dadanya."Aku lemas, takut sekali.""Mereka sudah kuhajar, biar aku bekuk mereka," Rama langsung berbalik hendak menyusul di tempat dua lelaki itu roboh, tapi ternyata kedua orang itu sudah raib dari tempat itu."Lho, kemana mereka?"Ketika Rama hendak bergerak, tangan Laila langsung menggenggam lengannya dengan kuat. Rama segera mengalihkan pandangannya ke arah Laila. Dia melihat Laila menggeleng."Enggak usah dikejar...." Desis Laila, "aku takut..."
Ya?" Tanya Surtini."Nyonya, apa anda membenci menantu anda?"Surtini terdiam, hanya beberapa detik, lalu setelahnya berujar dengan nada tegas, "Saya sudah bilang di awal pembicaraan kita, bagi saya yang penting adalah keluarga. Saya harus menjaga nama baik keluarga Bahar."Damian diam, sebenarnya dia masih ingin menanyakan banyak hal, tapi mulutnya menjadi terkunci. Damian memilih menahan diri. Lelaki itu merasa sedikit jeri dengan nyonya Surtini.Surtini segera berdiri lantas berbalik menghadap ke arah ajudannya yang kemudian mengeluarkan tas miliknya dan menyerahkan tas tersebut pada Surtini, lalu perempuan tua itu berbalik kembali ke arah Damian."Tuan pengacara, apa kau memiliki kendaraan untuk pulang?"Damian mengangkat bahu, "saya dibawa kesini dengan paksaan bukan?" Ucap Damian untuk mengingatkan nyonya tua itu bahwa dia dibawa diluar kehendak dirinya."Baiklah, Ryan akan mengantarkan anda kembali ke kantor." Surtini lantas me
"Ah," Damian berdecak, namun menahan informasi yang hampir saja keluar dari mulutnya. Damian masih ingin tahu lebih banyak lagi informasi tentang Aniela. Berita tentang keluarga Bahar tidak terlalu banyak dan sulit untuk diakses. Mereka bukan keluarga yang menyukai ekspos besar di media, walau begitu kekayaannya sangatlah besar dan berpengaruh.Perempuan tua dihadapannya tahu bahwa Damian sudah mulai paham siapa yang dia maksud, lalu kemudian perempuan itu menggerakkan tangannya. Salah satu lelaki kekar disampingnya mendekat."Bawakan tuan pengacara itu kursi," seru Surtini sambil menjentikkan jari. Salah seorang bodyguard Surtini pun pergi ke luar dan tidak beberapa lama kemudian datang kembali sambil membawakan sebuah kursi lipat dan kemudian membuka kursi lipat itu di belakang Damian.Damian, dengan tidak mengurangi sikap tenangnya mengikuti saran perempuan tua dihadapannya. Dia duduk sambil melonggarkan jasnya. Sikapnya tentu saja tetap diperhatikan oleh Sur
Dengan meneguk ludah, pengacara itu menjawab santai dan lugas, "ya. Dia menceritakannya pada saya."Dokter Wiryo mengangguk, lalu kemudian mengecek hape miliknya, setelah menatap dan meneliti jadwal miliknya, dia kemudian mengalihkan kembali tatapannya ke arah Damian."Jadwal saya kosong dua hari lagi. Kalau itu tidak apa-apa?" ucap sang Dokter."Tidak Masalah dok, jam berapa?" tanya Damian lagi."Kita ambil jam 10 pagi. Nanti tolong dikondisikan saja agar saya bisa melakukan wawancara awal." Dokter Wiryo menambahkan.Damian mengangguk, lalu kemudian dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan sang dokter."Baik, dua hari lagi dok, saya akan menghubungi anda."Setelah berhasil mendapatkan keinginannya, Damian lantas meninggalkan rumah sakit dan berjalan menuju mobil miliknya.Dia menyetir mobilnya langsung menuju kantor. Di dalam perjalanan pikirannya tenggelam terhadap banyak hal. Tentang Aniela, tentang Anggela yang tidak juga muncul. Tentang kesepakatannya dengan Rama da
Damian kemudian kembali ke mobilnya dan kemudian bersiap melakukan perjalanan. Untuk menuju rumah sakit bakti Husada, Damian harus menghabiskan waktu setengah jam perjalanan.Ketika Damian sampai di rumah sakit, dia langsung menuju ruangan dokter Wiryo dan memberi tahu tentang janji temu dengan sang dokter.Perawat yang berada di depan ruang praktek dokter segera memeriksa jadwal, lalu kemudian masuk ke ruang periksa dokter untuk mengabarkan tentang ke datangan Damian. Tidak beberapa lama, perawat keluar dari kamar periksa dan mempersilahkan Damian untuk masuk ke dalam.Damian membuka pintu dan melihat seorang lelaki memakai jas putih panjang sedang melihat status pasien, ketika Damian mengetuk pintu, dokter Wiryo mengangkat kepalanya."Silahkan masuk," ucap dokter Wiryo ramah.Damian masuk ke dalam ruangan tersebut. Lalu kemudian berdiri dihadapan dokter Wiryo. Dokter itu kemudian meletakkan status Pasien yang dipegangnya.Damian dengan sopan mengulurkan tangannya untuk berjabat tang
Monik memerah mendengar ucapan Steve yang seolah sungguhan. Sedikit sulit dia memahami lelaki di hadapannya ini. Monik langsung menutup mulutnya.“Kamu tuh, beneran deh Steve. Aku tuh sampai kaget rasanya jantungan kalau denger kamu ngerayu gitu, kayak ada rasa manis-manisnya gitu…” ucap Monik membalas rayuan Steve dengan gaya seolah terpesona.Steve tertawa.“Ohya, gimana obatnya, sering minum kan, sakitnya udah kurang nggak?”Deg! Rasanya jantung Steve seolah jatuh dari tempatnya mendengar pertanyaan dari Monik. Dia merasa gugup hingga dengan cepat diraihnya gelas kopinya dan langsung diteguk sampai lupa dengan late art yang tergambar indah dipermukaannya.“Kamu tuh, bikin aku jantungan dengar pertanyaan kamu gitu!” keluh Steve ketika dia selesai meminum kopinya. Kumpulan busa putih tampak mengumpul di sekeliling bibir Steve, membuat Monik menjadi gemas melihatnya.Monik mengambil tisu, lalu den
Damian mendesah ketika mendapatkan pertanyaan tersebut. Entah kenapa dia seolah disadarkan bahwa perempuan dihadapannya adalah istri orang.Damian menggerakkan tangannya dan membiarkan Aniela duduk di depannya. Wajah gadis itu terlihat kuyu, tapi kecantikannya tetap bersinar.“Duduk dulu Nyonya,” ucap damian.Aniela lantas duduk di bangku, dihadapan damian. “Saya sudah menunggu dari kemarin, namun suami saya tidak kunjung menemui saya.” Keluh Aniela pada damian.“Nyonya, jangan berpikiran buruk. Bila suami nyonya kemari, dikhawatirkan media akan mengendus mengenai kasus ini. Hal ini sangat sensitive. Jadi, saya harap nyonya bersabar kalau hanya saya saja yang berkunjung.” Jelas Damian.Aniela menghela napas, lalu dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Lalu kemudian dia mengangkat wajahnya dan memandang pengacaranya, “Lalu, kapan saya bisa keluar dari sini. Saya sungguh-sungguh tidak betah.”