Damian menengok ke arah Steve yang terlihat terpesona dengan cara penampilan Anggela yang tidak biasa. Muncul dengan gaun lebar, lalu melepasnya dengan drastis, seperti sulap. Gadis itu membuat banyak lelaki terpukau dengan performance nya yang spektakuler.
Kini Anggela menari ditengah para penari lain. Gadis itu menaikkan pinggulnya, meninggikan dagunya, dan meliuk ke bawah ke atas.
Empat gadis lainnya melakukan hal serupa, meliuk dengan gerakan sama, menciptakan harmoni indah para wanita penari tiang. Dilantuni dengan denting piano yang naik dan tinggi, mengikuti gerakan penari yang kadang perlahan, kadang cepat.
"Penampilan yang epik," bisik Steve menengok ke arah Damian. "Aku suka perempuan berambut merah itu!"
Damian merasa ada api yang membakar hatinya, seperti sebuah perasaan cemburu. Dia tidak menyukai Anggela menunjukkan keelokan tubuhnya dihadapannya para lelaki mata keranjang ini.
Namun, memangnya siapa Damian. Dia pun sama, penikmat surga dunia.
Steve yang tidak menyadari perasaan kawan satu tim bandelnya ini langsung menyeret bangku mendekat ke arah Damian.
"Bisa nggak gue booking cewek itu, si rambut merah?" Bisiknya pada Damian.
Damian lalu balas berkata, "lu tau, dia itu si gadis 1000 dolar."
"What?!" Steve melotot. Dia memandang gadis di atas panggung yang masih Melenggang melenggok.
"Lu bisa pesenin VIP untuk booking dia atau tidak?" tanya Damian akhirnya.
"Pesenin dia?" Steve menunjukkan dengan jempolnya ke arah Anggela.
"Iya."
"Oke bos." Steve memberi hormat seperti hormat kepolisian. Lalu dia pergi menghilangkan diantara keremangan.
Denting piano mulai melemah, lalu perlahan semakin pelan, dan kemudian berakhir.
Lampu sorot yang semula berada di atas panggung kini beralih menyoroti pemain piano di atas pentas. Seorang lelaki dengan wajah tampan berdiri, memberi hormat dengan mengangguk.
Damian menatap lelaki diatas panggung. sesuatu yang tidak biasa di tempat penari tiang seorang memberi hormat dalam bermain piano.
Mungkin inilah sebabnya Steve bilang tempat ini istimewa. Musik yang ditampilkan murni dari seorang pianis, yang mampu membawakan lagu klasik dengan aransemen menarik.
Damian melihat para penari mulai memunguti pakaian mereka di atas panggung dan berjalan menuju arah grand piano. Disebelah grand piano, ada tirai, dan para penari berbalik menuju tirai tersebut.
Steve datang membisikkan sesuatu pada Damian, Damian berjalan mengikuti Steve. Di tengah lorong, mereka bertemu seorang perempuan, bernama Ratna.
"Dam, kenalin, ini mba Ratna, dia supervisor disini."
Damian menyalami perempuan tersebut dan menyebutkan nama, perempuan itu lalu bertanya, "Apa anda yang ingin memesan VIP dengan Anggela?" tanya Ratna pada Damian.
"Ya, dia. Saya ingin memesannya," ucap Damian.
"Anggela bukan penari tetap kami Pak. Sebenarnya selain pak Damian, sudah banyak yang memesan dia, dan Anggela menolak." Jawab Ratna menerangkan.
"Lalu, bagaimana agar saya bisa berjumpa dengan Anggela?" Damian bertanya dengan nada panik. Padahal dia yakin sudah bisa memegang ekor gadis itu, tapi ternyata tidak begitu. Gadis itu demikian lincah berlari.
"Kalau itu maaf, pak Damian bisa datang lagi besok, dia masih menari di sini." Terang Ratna.
"Saya bayar lima ribu dolar, tolong datangkan gadis itu ke ruang VIP!" Damian langsung menyebut angka.
Steve agak terkejut melihat kawannya terkesan terburu-buru.
Ratna menelan ludah, lidahnya langsung menjilat bibirnya sendiri. Uang yang demikian banyak. "Saya akan coba tanyakan pada anaknya ya pak Damian, tapi saya tidak janji." Ucap Ratna yang langsung pamit.
Steve mendekat ke arah Damian, berbisik dengan nada menasehati, "Bro, lu enggak perlu begitu banget. Kita tetap bisa pesan gadis yang menari tadi di ruang VIP, bisa dipakai juga. Ngapain buang-buang uang karena gadis 1000 dolar itu? Itu, ada cewek yang rambutnya keriting kan, yang nari-nari di paha elo, dia bisa dipanggil."
Damian hanya menggerakkan rahangnya. Dia memang sudah setengah gila, melakukan tindakan yang tidak semestinya. Padahal dia sudah sering bermain wanita, tapi terhadap perempuan satu ini dia sungguh penasaran. Sikap angkuhnya, sikap manisnya, lalu seolah uang terlihat tidak berharga. Damian merasa penasaran, obsesi aneh yang sudah menjalarinya sejak dia pulang dari Garut.
Tidak beberapa lama, Ratna datang. Perempuan bertubuh sintal namun bayangan usia sudah mulai terlihat dari cara berjalannya. Perempuan itu mendekat, tersenyum dengan tulus. "Maaf sekali pak Damian, dia tidak ingin bertemu atau menerima tamu VIP. Seperti sudah saya bilang, Anggela itu perempuan penari tamu, bukan pekerja tetap disini. Besok masih ada jadwal manggung dia, pak Damian bisa datang dan menonton." Terang Ratna, lalu kemudian perempuan itu pamit.
Damian mengepalkan tangannya, lalu dengan cepat dia menyentuh pundak Ratna sebelum perempuan itu pergi, "Mba, apa saya tidak bisa bicara dengannya?"
Ratna menggerakkan bahunya, isyarat agar Damian melepaskan tangannya. Perempuan itu tersenyum, dengan senyuman bisnis kali ini, "maaf sekali pak Damian, Anggela sudah pergi. Saya juga harus memberi tahu pada pelanggan lain yang meminta hal sama seperti bapak." Terang Ratna.
Mendengar hal itu, Damian merasa seperti ada sesuatu yang lepas, dan perasaan itu tidak nyaman.
Steve ingin memanggil Ratna kembali, namun melihat raut wajah Damian yang kecewa, dia mengurungkan niatnya.
"Jadi gimana?" Tanya Steve berharap kawannya itu mau melanjutkan intim intim di ruang VIP.
"Kita pulang aja."
"Lho, bro. Gimana acara senang-senangnya?"
Damian mengangkat bahu lalu beranjak pergi. Steve berjalan mengikuti walau dia masih melirik lirik di belakang. Tadi ada penari yang diincarnya, tapi mood kawannya itu sedang buruk dan Steve tidak ingin menambahi perasaan kawannya itu menjadi lebih buruk.
Mereka keluar dan kembali ke dalam mobil, Steve sudah bersiap memakai sabuk pengaman ketika Damian berujar, "lu besok bisa kesini lagi nggak?"
"Hah?"
"Besok."
"Ya, bisa aja sih. Kenapa? Lu masih penasaran dengan perempuan bernama Anggela itu?"
Damian diam. Benar, dia sangat sangat penasaran.
Steve menyalakan kunci mobil, lalu memajukan perseling, "jujur aja, dia cantik banget. Gue mau kencan sama tuh cewek. Gue rasa yang langsung tergila gila ngeliat bodynya bukan hanya lu doang. Buktinya tadi si Ratna itu bilang banyak yang minta VIP sama tuh cewek."
Damian mendecakkan lidah, lalu kemudian menatap ke depan. Perlahan mobil itu berjalan keluar dari parkiran. Ketika mobil menyusuri lorong menuju jalan keluar dari arah kiri sebuah mobil sedan berwarna merah keluar. Hampir saja hidung mobil Steve dan sedan itu bertabrakan.
Steve menengokkan kepala dari jendela mobil melihat ke arah mobil sedan merah itu. Pintu sedan terbuka dan keluarlah seorang wanita mengenakan gaun merah dengan belahan sepaha.
Mata Damian melebar ketika melihat sosok bergaun merah dengan rambut berwarna senada dengan pakaiannya. Dia Anggela, perempuan yang menjadi obsesi baru Damian.
Anggela lihat bemper mobilnya dan cukup puas ketika mengetahui bahwa mobil miliknya baik-baik saja. Sekarang gadis itu menatap ke arah mobil yang berhadapan dengan mobilnya dengan sisi mobil sedikit miring. gadis itu meletakkan dua tangannya ke pinggang. siluetnya sempurna sangat indah, bisa membuat lelaki manapun meneguk ludah memandangnya.Damian yang melihat perempuan obsesinya itu, Dengan cepat turun dari mobil."Anggela!" Panggil Damian dengan cepat. jantung lelaki itu terpompa cepat, timbul hasrat luar biasa seperti hendak meledak dalam dadanya.Anggela menengok ke arah suara yang memanggilnya, tangan perempuan itu terlipat di depan dada. Melihat sosok Damian, kepalanya meneleng ke arah kiri, alis Anggela terangkat sebelah, "iya?""Aku sudah mencarimu kemana-mana, dan aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini.""Apa aku mengenalmu?" Anggela bertanya heran, melihat ada seseorang yang memanggil dan sok akrab dengan dirinya."Kau tidak ingat aku?" Damian melotot, tidak perc
Tik tok, detik jam terdengar menggema dalam kepala Damian. Pemuda itu membuka tangannya dan melihat jam berapa ini? Sudah jam 9 malam, dia ketiduran menunggu.Damian mengeram, merasa marah dan seperti terbakar. Lalu, di teleponnya Steve."Ya bos?" Steve menyahuti dari sebrang sana. Saat ini dia sedang mengetik di depan laptop, memeriksa berita acara untuk persidangan mendatang. Kebetulan jadwal sidang Minggu depan dan dia ingin memiliki persiapan maksimal."Lu lagi apa?""Gue lagi baca untuk kasus Pak Anggara. Sidangnya Minggu depan, kalau tidak ada persiapan bisa gawat.""Oh," Damian ingat, kasus hak waris dari sebuah keluarga kaya. Sudah masuk persidangan, tinggal tunggu waktu saja."Gimana bos? Udah kelar ngeluarin tai macannya?" Tanya Steve meledek. Damian tertawa hambar. Antara dia dan Steve, mereka selalu menyebut acara klimaks dalam penyatuan antara lelaki dan perempuan sebagai istilah ngeluarin tai macan. Istilah itu sudah digunakan sejak jaman kuliah. Kode yang hanya mereka
Anggela menatap lelaki dihadapannya, sedikit merasa heran ketika melihat sikap dingin dan tak acuh dari lelaki di hadapannya. Kemarin lelaki ini mengemis satu malam dengannya, sekarang sikapnya sungguh sombong sekali.Anggela lalu hendak menuju interkom yang dipasang di dinding ruangan tersebut, hendak meminta agar memasang lagu. Tapi Damian menghentikannya."Tidak perlu lagu, aku ingin kau menari tanpa musik."Anggela menatap ke arah Damian, sedikit bingung, tapi Anggela langsung memperbaiki emosinya. Anggela terbiasa menguasai diri, dia tidak Sudi memperlihatkan sisi hatinya pada siapapun.Gadis cantik itu mengangguk. Dia lalu membelakangi Damian. Mula-mula punggungnya bergoyang dengan nada patah-patah. Dari bagian bawah, lalu goyangannya naik ke atas. Anggela masih memunggungi Damian. Kini damian menaikkan satu kakinya ke atas pahanya sendiri, menikmati pertunjukan dari perempuan yang dibenci dan diinginkan sekaligus. Perasaannya yang sungguh-sungguh rumit.Anggela memutar lehernya
"Show me," Anggela kini meletakkan dua tangannya dipinggang, dengan kaki yang dilebarkan dengan mengenakan hak tinggi, membuat tampilannya begitu menggoda.Damian berdiri, memperbaiki dasinya, lalu mendekat ke arah Anggela, "aku tahu, bagimu uang bukan segalanya, jadi apa yang membuat mu tertarik, aku memikirkannya dengan seksama." Damian mengetuk ujung jarinya ke arah dahi.Anggela mengangkat dagunya, mulai terlihat tertarik."Jadi, nona Anggela, aku ingin kau jadi istriku. Aku akan menyayangimu setiap hari. Memenuhi semua kebutuhanmu. Kau hanya perlu menghangatkan aku setiap malam. Kurasa ini perjanjian yang bagus,"Anggela membelalakkan matanya, dan ini pertama kali Damian melihat emosi terpampang dihadapan gadis nan misterius ini.Damian mendekat, menyentuh pipi gadis dihadapannya. Mata Anggela seolah menggambarkan beragam perasaan yang tidak terbaca. Lalu, gadis itu melipat tangannya di dada."Kukira anda mau ngomong apa....""Kau tidak perlu lagi melayani lelaki lelaki lain, cu
Damian menatap ke arah kertas kertas di hadapannya, itu adalah berkas kasus yang tengah dipelajarinya. Saat dia tengah konsentrasi menatap ke arah kertas tersebut, pintu ruangannya diketuk dari luar.Damian mengangkat kepalanya, "masuk," ujarnya.Pintu terbuka, dari balik pintu sebuah kepala menyembul sambil melebarkan senyum."Bro, mau makan siang bareng nggak?" Tanya Steve.Damian melirik arloji di balik kemejanya. Jam kritis waktu untuk istirahat."Gue enggak. Ada berkas kasus yang harus gue pelajari. Pesan saja."Steve sedikit manyun, lalu kemudian dia berkata lagi, "Ya udah, gue duluan kalo gitu." Steve menunjukkan jempolnya ke arah Damian, lalu kemudian pintu di tutup kembali.Damian lalu memencet tombol telepon yang menghubungkannya dengan sekretarisnya, Titania."Ya pak?" Suara Titania terdengar lembut."Tit, tolong pesenin makan ya, yang biasa." Ucap Damian."Baik pak," jawab Titania.Damian menunggu pesanan makanannya sambil membuka-buka lembar kertas, memberi content pada s
Rama mengawasi ekspresi Damian yang terlihat berubah. Sebagai seorang yang bekerja di bidang penyelidikan, memerhatikan raut wajahnya seseorang merupakan bagian dari pekerjaannya."Kenapa Dam? Elu kenal?" Rama langsung menyahuti ketika melihat Damian terpaku sejenak. Damian mengangkat wajahnya, ragu apa sebaiknya dia menginformasikan hal yang dia tahu. Tapi kalau itu dilakukannya, bisa-bisa tempat tersebut digerebek. Kalau sudah begitu akan banyak yang dirugikan. Dirinya, Anggela dan tentu lelaki yang memiliki hasrat yang sama dengan dirinya.Lagipula, tanpa informasi dari Damian juga pasti Rama cepat atau lambat akan mendapat petunjuk tentang tempat rahasia itu. Kalau sudah begitu, sepertinya rencana menjemput Anggela harus dipercepat. Bila perkiraannya tidak salah, semua orang di tempat itu pasti akan diinterogasi. "Enggak, gue enggak kenal. Kasihan saja masih muda, tapi sudab meninggal, pasti banyak impiannya yang belum terkabul. Dia mati karena apa?" Damian menjawab cepat setela
"Enggak. Dia enggak terlihat curiga. Dia datang kesini mau main karena katanya lokasi itu dekat dengan tempat gue." Sahut Damian menenangkan.Steve terlihat sedikit lega, tidak terbayangkan dalam kepalanya jika harus menjadi saksi karena dipanggil polisi, reputasinya bisa hancur kalau ada yang tahu dia sering pergi malam untuk menangkap kupu-kupu."Menurutmu tentang pianis itu, apa kira-kira polisi tahu tentang pekerjaannya?"Damian merenung sebentar. Dengan reputasi sebagai seorang pianis tingkat dunia, ketahuan bermain di dunia malam akan mencoreng nama baiknya. "Kurasa itu adalah job secret. Kecuali dia meninggalkan bukti, bisa jadi tempat itu akan terendus cepat atau lambat."Damian menerawang, pikirannya terlempar pada Anggela, dia harus segera membawa gadis itu pergi dari tempat itu. Bila Anggela merupakan bagian dari para penari, maka tidak mustahil mereka akan mengintrogasi Anggela. Damian tidak mau itu.Damian membuka lengan baju panjang nya, menarik kebelakang untuk melihat
Ah, Damian menyesal karena tidak pernah memotret Anggela. Kini dia tidak bisa membuktikan gadis itu sesungguhnya ada karena tidak memiliki bukti foto Anggela."Bagaimana kalau begini saja pak Syarif, ijinkan saya untuk menemui para penari." Ucap Damian memberi jalan keluar yang sekiranya menguntungkan dirinya.Syarif tampak mengernyit, lalu kemudian berkata dengan nada diplomatis, "Tuan, Eng--" Syarif menatap ke arah Damian"Damian, saya salah satu member VIP disini," Damian segera menyahuti Syarif sebelum Syarif menanyakan namanya."Oh, baiklah. Begini tuan Damian. Ada aturan dalam sistem kami. Bila pak Damian berminat melihat para penari, pak Damian bisa langsung melihat di atas panggung." Terang Syarif dengan sistematis."Apa tidak boleh saya melihat para penari itu?" Damian bertanya lagi."Maaf pak Damian, kami selalu bersikap adil pada para tamu. Bapak bisa melihat mereka di atas panggung, sepertinya hal ini tidak usah dibahas kembali." Tekan Syarif.Damian merasa sia-sia meminta
Ketika SMA, Damian dan Rama punya tempat tongkrongan unik disebuah warung kecil untuk makan mie instan dan makan bubur kacang ijo. Tempatnya sedikit mojok, terpencil dan privasi, tapi kalau jam makan pagi sama malam ramainya minta ampun. Tempat tesebut sudah menjadi favorit kedua sahabat tersebut.Rama memilih jam makan siang karena tempat itu kerap sepi di jam tersebut. Jadi ketika dia datang, tidak banyak yang memperhatikan.Damian sendiri memilih bersalin baju untuk bertemu dengan Rama. Tempat pertemuan mereka bukan untuk orang orang yang terbiasa mengenakan jas, jadi pemuda itu menyalin bajunya dengan kaos lengan pendek dan juga mengganti celananya menjadi celana jins biasa.Ketika Damian muncul, ternyata Rama sudah duduk di pojok. Damian kemudian memesan makanan dan duduk dihadapan Rama."Udah pesan?" Tanya Rama."Baru aja gue pesan." Sahut Damian."Sori, ini masih jam kantormu ya?" Rama menatap ke arah Damian."Kalau elu k
Steve langsung mengetuk pintu ruang kerja Damian, ketika mendengar suara Damian mempersilahkannya masuk, Steve segera membuka pintu."Bro, gue denger dari satpam, kemarin keadaan gawat ya?"Damian yang berada di belakang meja kerjanya menaikkan kepalanya melihat Steve berdiri di ujung pintu, tidak masuk tapi juga tidak berada di luar.Damian mendesah, dia sudah menduga bakal heboh kalau ada yang tahu, tampaknya satpam di depan pintu masuk ember juga. Sempat-sempatnya dia menceritakan pada Steve perihal kejadian kemarin. "Masuk Steve," ucap Damian karena dia paling tidak suka bicara sambil teriak begitu."Gue denger terjadi sesuatu kemarin," Steve langsung to the point ketika dia sudah duduk di sofa.Damian tersenyum, "lu dapat infonya dari mana?""Ada lah,"Damian tertawa, "palingan dari satpam.""Betul. Katanya kemarin lu di cegat orang, trus di culik!""Klo gue di culik, enggak akan ada di kantor lagi.""Iya, bener, tapi memang ada yang terjadi kan?"Damian lagi-lagi tersenyum, mem
Rama mengulurkan tangan untuk membantu Laila berdiri. Laila meraih tangan Rama dan kemudian berdiri. Lalu setelahnya Rama berjongkok di sisi kaki Laila untuk membantu gadis itu mengeluarkan hak sepatunya yang masuk ke dalam celah batako jalan."Aku kaget tadi, aku lihat kau lari, makanya aku khawatir," ucap Rama ketika dia sudah berhasil melepaskan hak sepatu Laila dari dalam celah.Laila yang kontan seketika merasa lemas, langsung menjatuhkan diri di dada Rama yang bidang."Kamu tidak apa-apa?" Tanya Rama ketika mendapati Laila roboh di dadanya."Aku lemas, takut sekali.""Mereka sudah kuhajar, biar aku bekuk mereka," Rama langsung berbalik hendak menyusul di tempat dua lelaki itu roboh, tapi ternyata kedua orang itu sudah raib dari tempat itu."Lho, kemana mereka?"Ketika Rama hendak bergerak, tangan Laila langsung menggenggam lengannya dengan kuat. Rama segera mengalihkan pandangannya ke arah Laila. Dia melihat Laila menggeleng."Enggak usah dikejar...." Desis Laila, "aku takut..."
Ya?" Tanya Surtini."Nyonya, apa anda membenci menantu anda?"Surtini terdiam, hanya beberapa detik, lalu setelahnya berujar dengan nada tegas, "Saya sudah bilang di awal pembicaraan kita, bagi saya yang penting adalah keluarga. Saya harus menjaga nama baik keluarga Bahar."Damian diam, sebenarnya dia masih ingin menanyakan banyak hal, tapi mulutnya menjadi terkunci. Damian memilih menahan diri. Lelaki itu merasa sedikit jeri dengan nyonya Surtini.Surtini segera berdiri lantas berbalik menghadap ke arah ajudannya yang kemudian mengeluarkan tas miliknya dan menyerahkan tas tersebut pada Surtini, lalu perempuan tua itu berbalik kembali ke arah Damian."Tuan pengacara, apa kau memiliki kendaraan untuk pulang?"Damian mengangkat bahu, "saya dibawa kesini dengan paksaan bukan?" Ucap Damian untuk mengingatkan nyonya tua itu bahwa dia dibawa diluar kehendak dirinya."Baiklah, Ryan akan mengantarkan anda kembali ke kantor." Surtini lantas me
"Ah," Damian berdecak, namun menahan informasi yang hampir saja keluar dari mulutnya. Damian masih ingin tahu lebih banyak lagi informasi tentang Aniela. Berita tentang keluarga Bahar tidak terlalu banyak dan sulit untuk diakses. Mereka bukan keluarga yang menyukai ekspos besar di media, walau begitu kekayaannya sangatlah besar dan berpengaruh.Perempuan tua dihadapannya tahu bahwa Damian sudah mulai paham siapa yang dia maksud, lalu kemudian perempuan itu menggerakkan tangannya. Salah satu lelaki kekar disampingnya mendekat."Bawakan tuan pengacara itu kursi," seru Surtini sambil menjentikkan jari. Salah seorang bodyguard Surtini pun pergi ke luar dan tidak beberapa lama kemudian datang kembali sambil membawakan sebuah kursi lipat dan kemudian membuka kursi lipat itu di belakang Damian.Damian, dengan tidak mengurangi sikap tenangnya mengikuti saran perempuan tua dihadapannya. Dia duduk sambil melonggarkan jasnya. Sikapnya tentu saja tetap diperhatikan oleh Sur
Dengan meneguk ludah, pengacara itu menjawab santai dan lugas, "ya. Dia menceritakannya pada saya."Dokter Wiryo mengangguk, lalu kemudian mengecek hape miliknya, setelah menatap dan meneliti jadwal miliknya, dia kemudian mengalihkan kembali tatapannya ke arah Damian."Jadwal saya kosong dua hari lagi. Kalau itu tidak apa-apa?" ucap sang Dokter."Tidak Masalah dok, jam berapa?" tanya Damian lagi."Kita ambil jam 10 pagi. Nanti tolong dikondisikan saja agar saya bisa melakukan wawancara awal." Dokter Wiryo menambahkan.Damian mengangguk, lalu kemudian dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan sang dokter."Baik, dua hari lagi dok, saya akan menghubungi anda."Setelah berhasil mendapatkan keinginannya, Damian lantas meninggalkan rumah sakit dan berjalan menuju mobil miliknya.Dia menyetir mobilnya langsung menuju kantor. Di dalam perjalanan pikirannya tenggelam terhadap banyak hal. Tentang Aniela, tentang Anggela yang tidak juga muncul. Tentang kesepakatannya dengan Rama da
Damian kemudian kembali ke mobilnya dan kemudian bersiap melakukan perjalanan. Untuk menuju rumah sakit bakti Husada, Damian harus menghabiskan waktu setengah jam perjalanan.Ketika Damian sampai di rumah sakit, dia langsung menuju ruangan dokter Wiryo dan memberi tahu tentang janji temu dengan sang dokter.Perawat yang berada di depan ruang praktek dokter segera memeriksa jadwal, lalu kemudian masuk ke ruang periksa dokter untuk mengabarkan tentang ke datangan Damian. Tidak beberapa lama, perawat keluar dari kamar periksa dan mempersilahkan Damian untuk masuk ke dalam.Damian membuka pintu dan melihat seorang lelaki memakai jas putih panjang sedang melihat status pasien, ketika Damian mengetuk pintu, dokter Wiryo mengangkat kepalanya."Silahkan masuk," ucap dokter Wiryo ramah.Damian masuk ke dalam ruangan tersebut. Lalu kemudian berdiri dihadapan dokter Wiryo. Dokter itu kemudian meletakkan status Pasien yang dipegangnya.Damian dengan sopan mengulurkan tangannya untuk berjabat tang
Monik memerah mendengar ucapan Steve yang seolah sungguhan. Sedikit sulit dia memahami lelaki di hadapannya ini. Monik langsung menutup mulutnya.“Kamu tuh, beneran deh Steve. Aku tuh sampai kaget rasanya jantungan kalau denger kamu ngerayu gitu, kayak ada rasa manis-manisnya gitu…” ucap Monik membalas rayuan Steve dengan gaya seolah terpesona.Steve tertawa.“Ohya, gimana obatnya, sering minum kan, sakitnya udah kurang nggak?”Deg! Rasanya jantung Steve seolah jatuh dari tempatnya mendengar pertanyaan dari Monik. Dia merasa gugup hingga dengan cepat diraihnya gelas kopinya dan langsung diteguk sampai lupa dengan late art yang tergambar indah dipermukaannya.“Kamu tuh, bikin aku jantungan dengar pertanyaan kamu gitu!” keluh Steve ketika dia selesai meminum kopinya. Kumpulan busa putih tampak mengumpul di sekeliling bibir Steve, membuat Monik menjadi gemas melihatnya.Monik mengambil tisu, lalu den
Damian mendesah ketika mendapatkan pertanyaan tersebut. Entah kenapa dia seolah disadarkan bahwa perempuan dihadapannya adalah istri orang.Damian menggerakkan tangannya dan membiarkan Aniela duduk di depannya. Wajah gadis itu terlihat kuyu, tapi kecantikannya tetap bersinar.“Duduk dulu Nyonya,” ucap damian.Aniela lantas duduk di bangku, dihadapan damian. “Saya sudah menunggu dari kemarin, namun suami saya tidak kunjung menemui saya.” Keluh Aniela pada damian.“Nyonya, jangan berpikiran buruk. Bila suami nyonya kemari, dikhawatirkan media akan mengendus mengenai kasus ini. Hal ini sangat sensitive. Jadi, saya harap nyonya bersabar kalau hanya saya saja yang berkunjung.” Jelas Damian.Aniela menghela napas, lalu dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Lalu kemudian dia mengangkat wajahnya dan memandang pengacaranya, “Lalu, kapan saya bisa keluar dari sini. Saya sungguh-sungguh tidak betah.”