Ah, Damian menyesal karena tidak pernah memotret Anggela. Kini dia tidak bisa membuktikan gadis itu sesungguhnya ada karena tidak memiliki bukti foto Anggela."Bagaimana kalau begini saja pak Syarif, ijinkan saya untuk menemui para penari." Ucap Damian memberi jalan keluar yang sekiranya menguntungkan dirinya.Syarif tampak mengernyit, lalu kemudian berkata dengan nada diplomatis, "Tuan, Eng--" Syarif menatap ke arah Damian"Damian, saya salah satu member VIP disini," Damian segera menyahuti Syarif sebelum Syarif menanyakan namanya."Oh, baiklah. Begini tuan Damian. Ada aturan dalam sistem kami. Bila pak Damian berminat melihat para penari, pak Damian bisa langsung melihat di atas panggung." Terang Syarif dengan sistematis."Apa tidak boleh saya melihat para penari itu?" Damian bertanya lagi."Maaf pak Damian, kami selalu bersikap adil pada para tamu. Bapak bisa melihat mereka di atas panggung, sepertinya hal ini tidak usah dibahas kembali." Tekan Syarif.Damian merasa sia-sia meminta
Apa maksudnya? Damian memutar mutar kertas lecek itu, hanya tulisan tolong dalam bahasa Inggris. Pikirannya yang sebelumnya berputar putar tidak karuan kini seolah kembali fokus. Dia menyadari, bila memang ini surat dari Anggela, berarti dia ada dalam bahaya!Damian kemudian memasukkan surat itu ke dalam sakunya. Kemudian dia bergegas meninggalkan tempat tersebut.Damian segera berjalan menuju parkiran dan kemudian mengambil mobilnya lalu mengarahkan ke jalanan. Pikirannya berputar putar tidak tentu arah. Surat dari Anggela, kematian pianis di klub, lalu gosip Anggela berpacaran dengan pianis. Damian tidak mengerti apa yang terjadi.Dia teringat seseorang, dalam salah satu kasus, orang itu pernah menjadi saksi di persidangan. Kemudian Damian mengarahkan mobil menuju kantornya.Satpam yang berjaga di depan kantor langsung memberi hormat pada Damian yang kembali ke kantor. Dia sudah biasa melihat sang bos kembali ke kantor kalau malam. Seringkali Damian meninggalkan mobil dan pergi ke
"Ram, gue enggak keberatan lu interogasi. Tapi tolong waktunya dijadwal ulang. Gue cuma sebagai saksi bukan, bukan tersangka?""Iya, kamu sebagai saksi saja. Kami hanya ingin meminta keteranganmu tentang korban.""Apa gue harus ke kantor polisi?""Hm, apa kamu bisa kesini?""Gue usahakan setelah pulang kantor gimana?" Tawar Damian."Itu juga boleh. Oke, gue tunggu jam 5 ya." Lalu telepon ditutup.Damian meletakkan hape kembali di atas meja, dia mengusap wajahnya. Kenapa jadi begini?Tiba tiba terdengar bunyi sambungan telepon dari Titania."Ya Tit?""Pak, ada yang ingin bertemu?"Damian mengernyitkan kening, "Pak Samsul?" Damian teringat bahwa hari ini dia ada janji bertemu seorang klien."Bukan pak. Belum ada janji sebenarnya. Dia, Eng...pak Johan Bahar.""Eh, Johan Bahar?" Damian sedikit terkejut. Dia mengenal nama Johan Bahar sebagai pewaris perusahaan rokok Sempurna. Pengusaha kelas kakap di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu Johan Bahar yang terbilang muda menerima perusahaan ke
Anggela?" Panggil Damian memastikan tapi Aniela hanya menatap Damian dengan bingung."Maaf, namaku Aniela." Ucap Aniela sambil menatap Damian bingung."Maaf, kau mirip sekali dengan perempuan yang aku kenal." Ucap Damian, "apa kau benar tidak mengenalku?"Aniela menatap Damian lurus-lurus, perempuan itu menggeleng, "ini pertemuan pertama kita. Tuan Damian, apakah kau bisa menolongku untuk keluar dari sini. Aku benar benar bingung, tiba-tiba saja polisi datang ke tempat tinggalnya dan menuduhku atas pembunuhan yang bahkan aku tidak pernah tahu. Mereka bilang aku membunuh seorang detektif swasta, itu aneh banget. Aku bahkan tidak kenal dengan detektif swasta itu." Terang Aniela pada Damian."Saya akan berusah semampu saya Bu." Ucap Damian.**Damian keluar ruangan, di depan Rama menunggu dengan melipat tangan di depan dadanya. Dia lalu kemudian memberi isyarat pada Damian untuk ikut dirinya."Pak Johan dimana?""Ada diruangan depan, apa kau ingin menemui dia dulu tuan pengacara?""Sarka
Steve melenggang ke meja Titania, dia sempat melongok ke dalam Sekat kaca, lalu bertanya pada Titania yang masih mengetik sambil melihat layar komputer."Tit, bos ada? Tanya Steve."Tadi keluar sama klien pak.""Oh," Steve mengangguk, lalu kemudian dia kembali keruangannya. Steve diam, wajahnya terlihat keruh, lalu kemudian dia mendesah dan akhirnya mengambil jas kerjanya lalu pergi keluar. Di luar, Cantika, sekretarisnya sedang asyik mengetik dokumen."Can, tolong rescedul lagi jadwalku. Aku mau keluar, mungkin lama. Kalau pak Damian cari, bilang ada perlu,""Baik pak."Steve lantas berjalan keluar kantor. Sebenarnya dua hari ini dia gelisah. Telah terjadi sesuatu pada dirinya. Steve ingin berkonsultasi pada Damian, tapi hal itu diurungkan. Setelah menimbang dengan hati-hati, akhirnya Steve memutuskan sendiri apa yang harus dia lakukan.Steve mengarahkan mobilnya ke sebuah rumah sakit yang tempatnya jauh dari kantor. Setelah melakukan pendaftaran, Steve beruntung langsung mendapat no
Duh, dari SMP kamu memang ahli merayu. Kakak senior saja kamu rayu sampai klepek-klepek." Dokter Monik menimpali rayuan steve sambil merobek kertas resep, "ini nanti di kasih perawat di depan, setelah itu langsung aja ke apotik." Ucap Monik sambil menyerahkan kertas resep tersebut.Steve melihat ke arah monik, lalu kemudian dia menodong bertanya, "eh, boleh tahu nomor kamu?""Wah," Monik tertawa, lalu dia mengeluarkan sesuatu dari lacinya. Sebuah kartu nama. "Ini kartu namaku."Steve menerima kartu nama itu dengan senyum lebar, lalu Steve mengeluarkan dompetnya dan mengulurkan kartu nama miliknya, "ini kartu namaku."Monik menerima dan memeriksa isi kartu nama tersebut, mata gadis itu membulat, lalu menatap ke arah Steve, "lawyer?""Kenapa? Enggak cocok ya?" Steve terlihat memperbaiki jas kerjanya.Monik mengulum senyum, "enggak, cocok kok. Keren malah." Puji monik tulus membuat Steve tersipu."Eng, kalau nanti aku ajak kamu keluar un
Rama menatap ke arah Damian, merasa iba. "Sorry bro, hasil ini bisa jadi bukti valid bahwa nyonya Aniela sempat menemui korban dan melakukan pembunuhan, rambutnya tertinggal ditubuh korban." Rama mengibas-ngibaskan map hasil dari forensik.Damian melipat tangannya di depan, "Begitu," Damian lalu kemudian menatap ke arah Rama, "Apa senjata pembunuhnya sudah ditemukan?" tanya Damian tajam."Kami masih melacaknya." ucap Rama.Damian berdiri, lalu kemudian berkata, "Kalau senjata pembunuhnya ditemukan dan valid di sana ada sidik jari klien gue, bisa jadi itu akan membuat gue sulit membebaskan nyonya Aniela. Tapi, kalau hanya bukti rambut ditubuh korban, gue masih bisa melawannya dipengadilan dan membuat bukti itu tidak berkutik untuk memberatkan klien gue.""Kamu itu sebenarnya mau bekerja sama atau tidak sih Dam?" Rama sedikit merasa jengkel dengan cara bicara Damian yang arogan. Tapi, Rama tahu ucapan Damian benar. Dengan berlandaskan bukti rambut milik Ani
Steve kaget melihat Cantika berdiri mematung di dekat pintu dengan wajah kikuk karena melihat bosnya sedang menari. Langsung saja Steve memperbaiki sikap."Kok enggak ngetuk pintu dulu?" Tanya Steve dengan galak, menutupi rasa malu Karena terlihat berindak konyol dihadapan sekretarisnya."Sudah pak, dari tadi. Bapak tidak dengar." Jelas Cantika, sambil mengepit map di dadanya dengan ketat.Steve masuk kembali ke belakang meja, lalu kemudian menatap gadis dihadapannya, "Ada apa?" Tanyanya dengan sikap seolah tidak terjadi apa-apa."Oh, saya mau memberi laporan untuk ditandatangani," Cantika mengangsurkan map berwarna biru pada Steve yang langsung diambil Steve dan dibuka."Ini mau diantar ke pak Damian?""Iya pak, tadi pak Damian minta," terang Cantika.Steve memberi tanda tangannya di kertas tersebut dan menyerahkan pada Cantika. Setelah menerima map tersebut, Cantika keluar ruangan sambil geleng-geleng kepala dan menahan senyum yang sudah ditekannya dari tadi.**Damian menatap ke ar
Ketika SMA, Damian dan Rama punya tempat tongkrongan unik disebuah warung kecil untuk makan mie instan dan makan bubur kacang ijo. Tempatnya sedikit mojok, terpencil dan privasi, tapi kalau jam makan pagi sama malam ramainya minta ampun. Tempat tesebut sudah menjadi favorit kedua sahabat tersebut.Rama memilih jam makan siang karena tempat itu kerap sepi di jam tersebut. Jadi ketika dia datang, tidak banyak yang memperhatikan.Damian sendiri memilih bersalin baju untuk bertemu dengan Rama. Tempat pertemuan mereka bukan untuk orang orang yang terbiasa mengenakan jas, jadi pemuda itu menyalin bajunya dengan kaos lengan pendek dan juga mengganti celananya menjadi celana jins biasa.Ketika Damian muncul, ternyata Rama sudah duduk di pojok. Damian kemudian memesan makanan dan duduk dihadapan Rama."Udah pesan?" Tanya Rama."Baru aja gue pesan." Sahut Damian."Sori, ini masih jam kantormu ya?" Rama menatap ke arah Damian."Kalau elu k
Steve langsung mengetuk pintu ruang kerja Damian, ketika mendengar suara Damian mempersilahkannya masuk, Steve segera membuka pintu."Bro, gue denger dari satpam, kemarin keadaan gawat ya?"Damian yang berada di belakang meja kerjanya menaikkan kepalanya melihat Steve berdiri di ujung pintu, tidak masuk tapi juga tidak berada di luar.Damian mendesah, dia sudah menduga bakal heboh kalau ada yang tahu, tampaknya satpam di depan pintu masuk ember juga. Sempat-sempatnya dia menceritakan pada Steve perihal kejadian kemarin. "Masuk Steve," ucap Damian karena dia paling tidak suka bicara sambil teriak begitu."Gue denger terjadi sesuatu kemarin," Steve langsung to the point ketika dia sudah duduk di sofa.Damian tersenyum, "lu dapat infonya dari mana?""Ada lah,"Damian tertawa, "palingan dari satpam.""Betul. Katanya kemarin lu di cegat orang, trus di culik!""Klo gue di culik, enggak akan ada di kantor lagi.""Iya, bener, tapi memang ada yang terjadi kan?"Damian lagi-lagi tersenyum, mem
Rama mengulurkan tangan untuk membantu Laila berdiri. Laila meraih tangan Rama dan kemudian berdiri. Lalu setelahnya Rama berjongkok di sisi kaki Laila untuk membantu gadis itu mengeluarkan hak sepatunya yang masuk ke dalam celah batako jalan."Aku kaget tadi, aku lihat kau lari, makanya aku khawatir," ucap Rama ketika dia sudah berhasil melepaskan hak sepatu Laila dari dalam celah.Laila yang kontan seketika merasa lemas, langsung menjatuhkan diri di dada Rama yang bidang."Kamu tidak apa-apa?" Tanya Rama ketika mendapati Laila roboh di dadanya."Aku lemas, takut sekali.""Mereka sudah kuhajar, biar aku bekuk mereka," Rama langsung berbalik hendak menyusul di tempat dua lelaki itu roboh, tapi ternyata kedua orang itu sudah raib dari tempat itu."Lho, kemana mereka?"Ketika Rama hendak bergerak, tangan Laila langsung menggenggam lengannya dengan kuat. Rama segera mengalihkan pandangannya ke arah Laila. Dia melihat Laila menggeleng."Enggak usah dikejar...." Desis Laila, "aku takut..."
Ya?" Tanya Surtini."Nyonya, apa anda membenci menantu anda?"Surtini terdiam, hanya beberapa detik, lalu setelahnya berujar dengan nada tegas, "Saya sudah bilang di awal pembicaraan kita, bagi saya yang penting adalah keluarga. Saya harus menjaga nama baik keluarga Bahar."Damian diam, sebenarnya dia masih ingin menanyakan banyak hal, tapi mulutnya menjadi terkunci. Damian memilih menahan diri. Lelaki itu merasa sedikit jeri dengan nyonya Surtini.Surtini segera berdiri lantas berbalik menghadap ke arah ajudannya yang kemudian mengeluarkan tas miliknya dan menyerahkan tas tersebut pada Surtini, lalu perempuan tua itu berbalik kembali ke arah Damian."Tuan pengacara, apa kau memiliki kendaraan untuk pulang?"Damian mengangkat bahu, "saya dibawa kesini dengan paksaan bukan?" Ucap Damian untuk mengingatkan nyonya tua itu bahwa dia dibawa diluar kehendak dirinya."Baiklah, Ryan akan mengantarkan anda kembali ke kantor." Surtini lantas me
"Ah," Damian berdecak, namun menahan informasi yang hampir saja keluar dari mulutnya. Damian masih ingin tahu lebih banyak lagi informasi tentang Aniela. Berita tentang keluarga Bahar tidak terlalu banyak dan sulit untuk diakses. Mereka bukan keluarga yang menyukai ekspos besar di media, walau begitu kekayaannya sangatlah besar dan berpengaruh.Perempuan tua dihadapannya tahu bahwa Damian sudah mulai paham siapa yang dia maksud, lalu kemudian perempuan itu menggerakkan tangannya. Salah satu lelaki kekar disampingnya mendekat."Bawakan tuan pengacara itu kursi," seru Surtini sambil menjentikkan jari. Salah seorang bodyguard Surtini pun pergi ke luar dan tidak beberapa lama kemudian datang kembali sambil membawakan sebuah kursi lipat dan kemudian membuka kursi lipat itu di belakang Damian.Damian, dengan tidak mengurangi sikap tenangnya mengikuti saran perempuan tua dihadapannya. Dia duduk sambil melonggarkan jasnya. Sikapnya tentu saja tetap diperhatikan oleh Sur
Dengan meneguk ludah, pengacara itu menjawab santai dan lugas, "ya. Dia menceritakannya pada saya."Dokter Wiryo mengangguk, lalu kemudian mengecek hape miliknya, setelah menatap dan meneliti jadwal miliknya, dia kemudian mengalihkan kembali tatapannya ke arah Damian."Jadwal saya kosong dua hari lagi. Kalau itu tidak apa-apa?" ucap sang Dokter."Tidak Masalah dok, jam berapa?" tanya Damian lagi."Kita ambil jam 10 pagi. Nanti tolong dikondisikan saja agar saya bisa melakukan wawancara awal." Dokter Wiryo menambahkan.Damian mengangguk, lalu kemudian dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan sang dokter."Baik, dua hari lagi dok, saya akan menghubungi anda."Setelah berhasil mendapatkan keinginannya, Damian lantas meninggalkan rumah sakit dan berjalan menuju mobil miliknya.Dia menyetir mobilnya langsung menuju kantor. Di dalam perjalanan pikirannya tenggelam terhadap banyak hal. Tentang Aniela, tentang Anggela yang tidak juga muncul. Tentang kesepakatannya dengan Rama da
Damian kemudian kembali ke mobilnya dan kemudian bersiap melakukan perjalanan. Untuk menuju rumah sakit bakti Husada, Damian harus menghabiskan waktu setengah jam perjalanan.Ketika Damian sampai di rumah sakit, dia langsung menuju ruangan dokter Wiryo dan memberi tahu tentang janji temu dengan sang dokter.Perawat yang berada di depan ruang praktek dokter segera memeriksa jadwal, lalu kemudian masuk ke ruang periksa dokter untuk mengabarkan tentang ke datangan Damian. Tidak beberapa lama, perawat keluar dari kamar periksa dan mempersilahkan Damian untuk masuk ke dalam.Damian membuka pintu dan melihat seorang lelaki memakai jas putih panjang sedang melihat status pasien, ketika Damian mengetuk pintu, dokter Wiryo mengangkat kepalanya."Silahkan masuk," ucap dokter Wiryo ramah.Damian masuk ke dalam ruangan tersebut. Lalu kemudian berdiri dihadapan dokter Wiryo. Dokter itu kemudian meletakkan status Pasien yang dipegangnya.Damian dengan sopan mengulurkan tangannya untuk berjabat tang
Monik memerah mendengar ucapan Steve yang seolah sungguhan. Sedikit sulit dia memahami lelaki di hadapannya ini. Monik langsung menutup mulutnya.“Kamu tuh, beneran deh Steve. Aku tuh sampai kaget rasanya jantungan kalau denger kamu ngerayu gitu, kayak ada rasa manis-manisnya gitu…” ucap Monik membalas rayuan Steve dengan gaya seolah terpesona.Steve tertawa.“Ohya, gimana obatnya, sering minum kan, sakitnya udah kurang nggak?”Deg! Rasanya jantung Steve seolah jatuh dari tempatnya mendengar pertanyaan dari Monik. Dia merasa gugup hingga dengan cepat diraihnya gelas kopinya dan langsung diteguk sampai lupa dengan late art yang tergambar indah dipermukaannya.“Kamu tuh, bikin aku jantungan dengar pertanyaan kamu gitu!” keluh Steve ketika dia selesai meminum kopinya. Kumpulan busa putih tampak mengumpul di sekeliling bibir Steve, membuat Monik menjadi gemas melihatnya.Monik mengambil tisu, lalu den
Damian mendesah ketika mendapatkan pertanyaan tersebut. Entah kenapa dia seolah disadarkan bahwa perempuan dihadapannya adalah istri orang.Damian menggerakkan tangannya dan membiarkan Aniela duduk di depannya. Wajah gadis itu terlihat kuyu, tapi kecantikannya tetap bersinar.“Duduk dulu Nyonya,” ucap damian.Aniela lantas duduk di bangku, dihadapan damian. “Saya sudah menunggu dari kemarin, namun suami saya tidak kunjung menemui saya.” Keluh Aniela pada damian.“Nyonya, jangan berpikiran buruk. Bila suami nyonya kemari, dikhawatirkan media akan mengendus mengenai kasus ini. Hal ini sangat sensitive. Jadi, saya harap nyonya bersabar kalau hanya saya saja yang berkunjung.” Jelas Damian.Aniela menghela napas, lalu dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Lalu kemudian dia mengangkat wajahnya dan memandang pengacaranya, “Lalu, kapan saya bisa keluar dari sini. Saya sungguh-sungguh tidak betah.”