Pengacara pembela Lucas meraih sesuatu dari balik jasnya, lalu berujar tegas. “Ini ponsel milik mendiang Caesar yang ditemukan di lokasi kontruksi proyek Santa Manila, Yang Mulia!”Dia juga memampangkan benda pipih itu ke arah jaksa penuntut yang menatapnya. Dan itu membuat Felix yang berada di sebelah Ariella mengerutkan dahinya kesal.‘Sialan! Kenapa mereka bisa menemukan ponsel korban? Bukankah Matthias sudah mengurus semuanya?!’ cecarnya membatin geram.Reaksinya tersebut berbending terbalik dengan Ariella yang berbinar penuh harap.“Ponsel itu tidak akan membuktikan apapun!” Felix mencibir seakan mematahkan kesenangan Ariella.Namun, detik berikutnya sang pengacara menyalakan layar proyektor di depan ruang sidang. Di sana terpampang pesan obrolan mendiang korban proyek Santa Manila dengan sang istri, sebelum kecelakaan.Hakim ketua dan semua orang yang melihatnya sontak membelalak, mengetahui sepasang suami istri itu sengaja merencanakan kecelakaan.[Aku takut, istiku.][Kau suda
‘Hah … Tu-tuan Muda ingin membunuhku!’ batin Ariella menutup mulutnya dengan sebelah tangan.Sensasi empedu seperti naik ke leher, tubuhnya pun gemetar ketakutan saat mendapati orang mengincar nyawanya. Dan sial, saking terkejutnya, bahu Ariella tak sengaja menyenggol pintu ruangan tersebut, hingga terbuka lebih lebar.‘Ah! Celaka!’ Wanita itu bergeming kaget selaras dengan Peter yang kini menoleh ke arah pintu.“Tuan Muda, sepertinya ada tikus yang berusaha menguping pembicaraan kita!” tukas Peter menatap tegas.Lucas yang berada di kursinya, menilik ke arah pintu dengan sorot tajam. Tampak jelas amarah membara tergantung di matanya.“Saya akan menangkapnya, Tuan Muda!” Peter berujar sambil menoleh pada Lucas lagi.Alih-alih menyetujui, Lucas justru mengangkat telapak tangannya, memberi kode pada sang asisten untuk menahan diri.Sementara Ariella yang berada di balik ambang itu, semakin ketakutan. Dia buru-buru berbalik dan mangkir dari sana. Saking buncahnya, wanita tersebut hampir
“Brengsek!” Felix mengumpat geram. “Siapa yang berani masuk se—”Kata-kata lelaki itu kembali tertelan, bahkan maniknya langsung berubah seluas cakram begitu melihat Beatrice memicing jijik ke arahnya. “Hah! I-ibu?!” Felix seketika menjauh dari Ariella. Sang waninta yang sejak tadi tengkurap di meja billiard itu pun bergegas merapikan diri. Tapi saat berpaling pada Felix, dia tak segan menggampar wajah lelaki tersebut dengan kerasnya. “Kau!” Felix menatap tajam saat merasakan wajahnya memanas di bekas tamparan. Namun, Ariella tak gentar sebab dirinya tak bersalah. Wanita itu sudah lelah menjadi bahan fantasi bejat Felix. Hingga dengan manik yang memerah, Ariella berujar tegas pada Beatrice. “Nyonya Besar, Tuan Muda Felix berniat memperkosa saya!”“Sialan! Apa yang kau bicarakan, dasar jalang?!” Felix menyambar dengan raut wajah berangnya. Tapi bukannya menciut, Ariella malah menunjuk botol alkohol yang tergeletak di karpet dekat tempat Beatrice berdiri. “Alkohol itu! Tuan Muda
“Tidak, Tuan Muda!” tukas Ariella yang seketika berpaling ke belakang. Dirinya telah susah payah masuk ke galeri seni itu. Dia masih harus mencari bukti kematian Elizabeth di galeri seni tersebut. Mana mungkin Ariella menyerah di tengah jalan?Belum sampai wanita itu melanjutkan ujarnya, Lucas malah beranjak pergi. Ariella tak bisa pasrah. Apapun yang terjadi, dia harus mengatakan semuanya pada sang suami.“Saya bisa menjelaskan bahwa saya tidak memihak Tuan Felix, tapi ….” Ucapan Ariella kembali teredam sebab Lucas tak menghentikan langkahnya. Dengan cepat, wanita itu pun merengkuh tangan Lucas agar berhenti. “Tolong dengarkan saya, Tuan Muda!” tukas Ariella penuh harap. Namun, tanpa diduga Lucas malah berpaling sambil menghempas cekalan Ariella amat kasar. Punggung istrinya itu menatap lemari pendingan, tapi Lucas yang sejak tadi membendung amarah, langsung mengungkungnya dengan sebelah tangan.Manik elang pria itu menatap tajam seraya mendecak, “apa kau tidak paham bahasa manus
“Oh? Bisa dibuka?!”Ariella tak sengaja melepas sambungan di leher patung itu. Maniknya pun mengerjap lebar begitu melihat mini kamera di bagian kepala patung tersebut.‘Apa ini kamera perekam?’ batin Ariella menerka.Dia lantas meraih kamera mini itu, tapi sayangnya indikator di kamera tersebut langsung mati. Dan itu membuat Ariella was-was.“Tidak, semoga ini tidak rusak karena jatuh tadi!” gumam wanita itu memeriksanya lebih dekat.Dirinya berharap penuh pada kamera tersebut. Karena tersembunyi dalam miniature patung, jelas sekali kamera itu menyimpan sesuatu. Mungkin saja Ariella bisa menemukan petunjuk mengenai kematian mendiang Elizabeth.Wanita tersebut hanya mengambil mini kamera tadi, lalu meletakkan miniature patung Potrait of Nancy ke almari pajangan belakang kursi. Dia juga merapikan area meja kerja direktur dan bergegas keluar dari ruangan tersebut.Sambil menggenggam kamera mini tadi, Ariella pun membatin, ‘Ayah, aku yakin kita akan mengungkap kebenaran di balik kecelaka
‘Ternyata selama ini Jalang itu mengorek kematian Elizabeth?!’ geming Beatrice dengan sorot mata membara.Wajahnya terpampang penuh amukan saat menyaksikan rekaman video Elizabeth yang meregang nyawa di ruang direktur Baratheon Gallery!“Hah!” Breatrice segera menutup layar laptop di hadapannya.Tangan wanita paruh baya itu mengepal geram. Ya, padahal selama ini dia sudah menutupi fakta ini dari semua orang. Tapi Ariella yang tiba-tiba mengusik masalah ini, sungguh membuatnya khawatir. Beatrice tidak akan membiarkan satu kutu pengganggu mengancam kedamaiannya.‘Aku harus bertindak. Jangan sampai jalang itu membongkar dan mengacaukan semuanya!’ batin Nyonya Baratheon tersebut amat dongkol. ‘Aku mencapai semua ini tidak mudah. Jadi satu-satunya cara agar segalanya aman, hanyalah menyingkirkan batu sandungan. Jalang itu harus dilenyapkan!’Napas Beatrice membara penuh amukan. Dengan geramnya, dia pun menatap pria bermasker hitam yang sejak tadi bersiaga di depannya.“Kau! Singkirkan jala
“Ugh!” Darah keluar dari mulut Ariella saat dirinya kembali menerima tembakan kedua.Kakinya yang tak bisa beranjak, membuat Ariella terdiam di tempat, hingga mobil yang melaju dari depan tak bisa menghindarinya. Hantaman yang keras membuat wanita itu terpental, bahkan terguling ke jalanan.Pria bermasker hitam yang melihat Ariella tertabrak, jadi mengurungkan langkah untuk mendekat. Terlebih saat dia melihat pengemudi mobil itu keluar. Antek Beatrice tersebut tak bisa mengambil risiko apapun, karena ada orang lain di sana.‘Sialan! Aku harus cepat pergi sebelum terlibat dengannya. Ya, lagi pula wanita itu tertembak di titik vital. Dia juga tertabrak mobil. Sudah pasti tidak akan selamat!’ batin pria masker hitam tersebut.Dirinya bergegas kembali ke mobilnya dan segera mangkir dari area tersebut.Sementara itu, seorang pria berjas hitam yang menabrak tadi buru-buru menghampiri Ariella. Pria tersebut mengernyit cemas melihat Ariella yang sudah tak sadaran diri. Bahkan pelipis dan seki
‘Brengsek! Jika mereka memang ada hubungannya dengan kematian Ibu, aku tidak akan memberi ampun!’ Lucas memaki berang dalam batinnya. Dia mengamati Beatrice dan Felix yang kini berbelok masuk ke dalam mansion. ‘Aku harus menyelidiki mereka!’ sambung Lucas merapatkan alis. Pria itu tak akan mengabaikan kemungkinan sekecil apapun jika menyangkut Elizabeth. Kecurigaannya pun kian menebal pada Beatrice sebab selama ini dia-lah yang menjadi duri di kehidupan mendiang sang ibu. Bahkan kematian Elizabeth juga sangat menguntungkannya, karena Beatrice yang semula gundik di vila Baratheon berhasil menjadi Nyonya Besar di mansion. Hingga waktu sarapan tiba, Lucas yang sudah beberapa hari tak bergabung, kini turun ke ruang makan dan duduk di kursi pertama dekat tempat Richard. Dia bahkan hadir sebelum anggota keluarga Baratheon lainnya datang. Itu membuat Felix yang baru tiba seketika menajamkan pandangan. Tanpa segan, putra bungsu Richard itu berkata, “Kakak, bisakah kau geser ke sebelah?”
“Akhirnya dapat!” tutur Ava yang kini menekuk lutut sambil meraih pin di dekat kaki Lucas. Dia menggenggam pin bertandakan logo Baratheon Gallery itu dengan tatapan antusias, setelah tak sengaja menjatuhkannya. Namun, dari sisi Lucas, Ava terlihat seperti bocah kecil yang ceroboh karena berlarian di aula galeri, tanpa pengawasan orang dewasa. Dan itu membuatnya risih. ‘Hah! Sebenarnya ke mana semua penjaga? Kenapa mereka tidak mengatur pengunjung galeri dengan benar?!’ cecar pria itu dalam batin. Dengan wajah datarnya, Lucas pun berkata, “apa yang kau lakukan di sini, anak kecil? Di mana Ibumu?!” Ava yang masih berjongkok di bawah, seketika mendongak dengan manik hitamnya yang besar. Sepasang netra tersebut membuat Lucas tak berkedip, sebab kebanyakan orang-orang San Carlo memiliki warna mata yang cerah. Anak ini sungguh berbeda! “Wah! Paman sangat tinggi dan tampan!” Ava tiba-tiba berdiri dengan sorot binar. Kalimat tersebut memicu sebelah alis Lucas terangkat. Tanpa Ava bilang
‘Aish, sial! Apa Lucas sudah menyelidiki diriku?!’ batin Ariella gelisah dalam hati. Dia berusaha keras memikirkan cara agar lolos tanpa risiko, sebab tahu benar bahwa Lucas Baratheon bukan orang yang murah hati dalam memberikan hukuman. Namun, belum sampai Ariella menjawab, tiba-tiba lift terhenti. “Hah?!” Ariella tersentak dengan iris membelalak lebar. Guncangan yang mendadak itu membuatnya nyaris ambruk karena tak bisa menjaga keseimbangan. Apalagi tangannya terangkat ke atas dan tak bisa meraih pegangan. Tapi beruntungnya, Lucas langsung melepas cengkeraman di leher Ariella, lalu beralih memegangi pinggangnya. Ariella mengejap tegang. Usai melirik kanan kiri dan menyadari ada masalah dalam elevator itu, dia pun mendorong Lucas menjauh. “Lift-nya rusak!” tedas wanita tersebut dengan tatapan buncah. Dia bergegas menuju tombol di dinding lift itu, memencetnya dan berharap bisa terbuka. Sialnya tetap macet, bahkan sekarang lampu dalam ruangan sempit itu juga mati. “Hah … a-apa
‘Astaga?!’ Peter yang berada di dalam lift itu tersentak kaget melihat Ariella.Dia berkedip, tapi sosok wanita di hadapannya tidak berubah. Dan itu membuatnya semakin tertegun.‘Hah! Apa dia benar-benar Ariella Edelred? Jadi dia masih hidup?!’ sambung Peter menerka-nerka.Dirinya diam-diam melirik Lucas di sebelahnya, tapi sang tuan hanya memampangkan wajah dingin tanpa perasaan apapun.‘Jika wanita ini memang Ariella, kenapa Tuan Lucas diam saja?’ batin Peter tak mengerti.Ditambah ekspresi Ariella juga amat datar seakan tak mengenali tuannya. Bahkan wanita itu hanya menunduk hormat, lalu membiarkan Lucas berlalu keluar lift.‘Apa di sini aku yang gila? Tapi mataku tidak salah lihat ‘kan? Dia memang Ariella!’ batin Peter mengernyit bingung.Namun, detik berikutnya Lucas malah menghentikan langkah.“Tunggulah di mobil!” titahnya.Belum sampai Peter menimpali, Lucas malah berbalik ke arah lift. Pintu yang hampir tertutup, kini diganjal sepatu hitam mengkilapnya, hingga Ariella yang be
“A-apa maksudmu, Damien?” Ariella berujar terbata.Seluruh tubuhnya kikuk. Selama ini Damien tak pernah mendekatinya secara intim seperti ini. Ariella yang merasakan napas hangat pria tersebut sangat yakin, Damien sekarang mabuk!“Tolong mundurlah, kita bicara di—”“Tetaplah seperti ini,” sahut Damien sengaja memangkas ucapan wanita di hadapannya. “Aku akan tidak bisa mendengar jawabannya jika melihat wajahmu. Jadi tetaplah seperti ini dan katakan padaku, Ariella. Jika kau tidak menghindariku, kenapa kau pergi padahal makananmu belum habis? Apa kau jadi tidak nyaman karena aku menyentuh bibirmu?”Leher jenjang Ariella kian mengencang. Dia tahu sikapnya terlalu kentara, tapi bukankah selama ini Damien tidak pernah mempermasalahkannya?Wanita itu menelan saliva dengan berat, lalu berkata, “maaf, maksudku bukan seperti itu, Damien. Aku hanya ….”Ariella yang menjeda ucapnya sejenak, kini membelalak saat tangan Damien merengkuh jari kanannya, lalu menuntunnya ke bawah pancuran kran wastaf
Ariella mengembangkan senyum sembari berkata lembut. “Itu karena Ava masih kecil. Kalau Ava sudah besar, pasti bisa membuat lukisan yang cantik juga seperti Mommy.”“Benarkah?” sahut Ava memastikan.“Tentu saja. Mommy akan mengajari Ava cara melukis.” Ariella lantas mengelus kepala sang putri.Akan tetapi, Ava malah menatapnya lekat, memicu Ariella terheran-heran akan hal apa lagi yang membuat anak perempuannya penasaran.Hingga detik berikutnya, Ava kembali berujar dengan polosnya. “Tapi Mommy, kenapa rambut Mommy berwarna cokelat, sedangkan Ava warnanya hitam? Paman Damien dan Bibi Jane rambutnya pirang karena mereka bersaudara ‘kan? Lalu kenapa rambut Ava hitam sendiri?”Terdiam. Semua kata-kata Ariella seolah tersangkut di tenggorokan, hingga dia tak tahu harus menjawab apa.Tapi belum sampai Ariella menimpali, sang putri melemparkan tanya lagi. “Apa Daddy Ava rambutnya juga hitam, Mommy? Apa Ava mirip Daddy?”Manik Ariella seketika berubah tegang. Memang sial, karena gen Lucas te
‘Jadi dia Ibu anak itu?’ batin Lucas sambil mengernyitkan dahi.Sayang, dia tak bisa melihat wajah wanita yang kini memeluk Ava, sebab Jane menutupinya. Lucas pun kembali mengalihkan pandang, tapi maniknya tak sengaja bertatapan dengan Peter yang melirik dari kaca kecil mobilnya.“Ehem! Maafkan saya, Tuan!” tutur Peter berdehem canggung.Ekspresinya kikuk, tampak ingin menanyakan sesuatu. Tapi Lucas hanya bungkam karena jika hal itu penting, maka sang asisten akan langsung bicara padanya.“Cepatlah, kita bisa terlambat!” ujar Lucas memerintah.“Baik, Tuan!” Peter menyahut tegas.Dia mengembuskan napas panjang seiring kakinya yang menginjak pedal gas. Tapi isi kepalanya tak bisa berhenti memikirkan rupa Ava yang nyaris ditabraknya tadi.‘Tidak salah lagi, wajah anak perempuan tadi mengingatkanku pada seseorang,’ batin Peter semakin mencengkeram kemudi mobilnya. ‘Tapi itu mustahil ‘kan? Pasti hanya kebetulan!’Sementara masih di pinggir trotoar tadi, Ariella yang baru menemukan Ava masi
“Gadis kecil, apa kau tidak apa-apa?” Peter tampak buncah menghampiri Ava yang nyaris tertabrak mobilnya.Dia berjongkok. Alisnya pun bertaut melihat lutut Ava terluka karena menghantam kerasnya aspal.Namun, bocah perempuan itu hanya menatap Peter dengan manik yang berkaca-kaca. Bahkan dia menggigit bibirnya kuat, berusaha untuk tidak menangis.Dengan lembut, Peter lantas bertanya, “di mana ibumu? Kenapa kau berjalan sendirian di jalan raya?”“A-aku tidak tau,” sahut Ava dengan suara yang gemetar.Peter menoleh ke belakang. Di dalam mobilnya, Lucas sudah menunggu dan harus cepat bertemu kliennya. Terlebih sejak pagi wajah pria itu sudah muram, Peter was-was jika Lucas semakin marah karena dirinya hampir terlibat kecelakaan.Lelaki bersetelan jas hitam itu pun mengulurkan tangan pada Ava, lalu berkata, “Paman bukan orang jahat. Bangunlah dulu, Paman akan mengantarmu menemui ibumu.”“Be-benarkah?” Ava mengerjap dengan bola mata besarnya.Peter mengangguk, memberi kode pada Ava bahwa di
“Apa yang baru saja kau katakan, Jane?! Ava … menghilang?!” Ariella bertanya dengan leher yang mengencang.Dan itu membuat Damien yang duduk di sebelahnya tercengang juga. Bahkkan kecemasan langsung menjalar ke seluruh nadinya, saat menatap mata Ariella yang kebak rasa khawatir.Dari seberang telepon, Jane lantas menjelaskan. “Maafkan aku, Kak Ariella. Saat aku datang ke taman kanak-kanak Dalin Court, Ava sudah tidak ada di sini. Para guru dan petugas keamanan tidak tahu kapan Ava keluar gerbang Dalin Court.”Sungguh, dada Ariella serasa dihantam beton mendengarnya. Dia tak bisa tenang, karena memikirkan beragam hal buruk terjadi pada putrinya.“A-aku akan ke Dalin Court sekarang!” tuturnya amat sesak.Dirinya berpaling pada Damien yang tengah mengemudi.Belum sampai membuka suara, sang pria lantas berkata, “kau harus tenang, Ariella. Kita pasti menemukan Ava!”Ya, Damien juga sangat menyayangi gadis kecil itu. Bahkan sudah menganggap Ava seperti putrinya sendiri. Dia akan melakukan a
“A-ayah?” Ava berujar terbata. Dia yang selama ini jarang mengucapkan kata itu, jadi sulit mengucapkannya. Terlebih Ariella juga tak pernah menyinggungnya. “Ya, ayahmu mengajak ke mana?” sahut anak berpipi gembul tadi. “Jangan bilang kau tidak pernah liburan dengan ayahmu!” Ava hanya bungkam, dan itu semakin membuat teman lainnya membenarkan tebakan anak berpipi gembul. “Astaga, kau sangat kasihan, Ava,” tutur gadis yang memakai pita. “Jika kau mau, aku bisa membawakanmu oleh-oleh dari Donald Land.” Tapi belum sampai Ava menyahut, anak berpipi gembul tadi malah menyambar, “kenapa kau harus memberinya oleh-oleh? Ayahnya tidak pernah mengajak ke Donald Land, artinya dia tidak pantas berteman dengan kita!” “Tapi bisa saja Ava pergi ke tempat lain. Benarkan, Ava? Ayahmu pasti pernah mengajakmu ke luar negeri ‘kan?” Gadis berpita itu menimpali lagi. Putri Ariella itu semakin merapatkan bibirnya, apalagi semua anak-anak di sana melihat ke arahnya. Bahkan tatapan mereka seola