Tidak lama kemudian, Dana datang merapikan semuanya lalu meninggalkan mereka lagi di kamar.
“Aku akan pergi sekarang,” kata Albert sembari membuka kemejanya dengan acuh di hadapan Sophia.
Sophia masih duduk di kursinya, belum beranjak sedikit pun. Dia lantas mengalihkan pandang ke luar jendela.
Albert tersenyum miring, lalu pergi mengambil vitamin dan suplemen makanan untuk Sophia. Setelah memastikan istrinya meminum semua itu, barulah dia beranjak pergi dari kamar Sophia menuju kamarnya sendiri untuk bersiap-siap ke kantor.
Meninggalkan Sophia yang masih melamun di tempatnya. Sophia tidak sabar untuk pergi ke tempat yang mereka bicarakan tadi. Albert dan Sophia memutuskan untuk mendiskusikannya lagi nanti. Dan mungkin, lelaki itu juga berencana untuk membuatnya menjadi kejutan.
Tidak lama setelah dia pergi bersiap-siap, Albert kembali datang ke kamar Sophia untuk mengumumkan kepergiannya. Sophia hanya mengangguk dari tempatnya di jende
“Albert, jangan pergi.”Albert menunduk, menatap wanita itu dengan tatapan dingin.Cecilia menyentuh lengan Albert, memintanya untuk tinggal.Tapi Albert tampak sama sekali tidak terpengaruh oleh itu. “Kau berbohong,” katanya.Cecilia menggeleng. “Tidak. Aku memang sakit.”“…”Cecilia memegang lengan Albert semakin erat seolah takut pria itu akan pergi darinya kapan saja. “Aku memang sakit, Albert, percayalah,” lirihnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Aku sakit melihatmu dengan Sophia. Apa kau masih mencintainya di saat dia bahkan sudah tidak lagi mencintaimu?” kata Cecilia, marah.Albert menjawab dengan tenang, “Aku akan terus mencintainya sampai kapan pun.”Cecilia memandang sedih, air mata jatuh ke pipinya. “Tapi dia pergi, Albert! Dia meninggalkanmu! Dia tidak berjuang untukmu! Itu artinya, dia tidak menginginkanmu lagi. J
Setelah selesai membersihkan diri, Albert keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan celana panjang hitam serta handuk putih untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Saat netranya menoleh ke atas ranjang lagi, Albert tertegun.Bayangan Sophia masih ada di sana.Albert lalu terkekeh datar, kemudian membuang handuk putih di kepalanya itu ke lantai dengan marah. Dia bergumam, “Kupikir aku harus mulai menemui Dokter. Halusinasi ini benar-benar menjadi semakin buruk.”Dia lalu terdiam, tidak mengalihkan pandanganya dari wajah Sophia. Halusinasi atau bukan, yang terpenting dia bisa melihat wanita itu.Keheningan di dalam ruangan semakin lama semakin terasa menggelitik. Albert lantas mendekati ranjang dan duduk di pinggir, menatap wajah damai wanita yang tengah tertidur itu. Suara deru napas halusnya mengganggu indera pendengaran Albert. Jantung Albert menjadi berdetak tidak karuan.“Bahkan aku bisa mendengar suara napasnya juga,&rd
Kamar bernuansa putih yang dindingnya dipenuhi oleh lukisan-lukisan itu dibanjiri cahaya matahari yang masuk melalui jendela. Di ranjang, tampak seorang perempuan tengah berbaring bergelung selimut, rambut coklatnya yang panjang tergerai di bantal, matanya yang dibingkai bulu-bulu lentik itu masih terpejam.Suara cicit burung bernyanyi di luar, aroma khas bebungaan dan maskulin tercium familiar di hidungnya.Perempuan itu pun tersadar dari tidurnya. Matanya bergerak-gerak pelan sampai kelopaknya perlahan membuka. Dia menggeliat, merasakan otot-otot tubuhnya melemas. Ini adalah tidur terbaik yang dia miliki setelah berhari-hari.Kenapa, ya? Sophia merasa seperti tengah melewatkan sesuatu yang sangat penting.Saat itulah kemudian semua ingatan itu menghantamnya keras. Matanya membelalak. Dan dia baru menyadari tangan yang melingkari perutnya posesif.Jangan bilang … Albert?!Jantung Sophia langsung berdetak tidak karuan. Baru saja dia b
Sophia terus saja terdiam menatap Albert dan tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, sehingga Albert memanggil nama wanita itu.“Hm?” sahut Sophia.Albert lagi-lagi mengunci tatapan mereka, lalu berkata. “Aku sudah mengajukan tes DNA.”Tadinya Albert tidak berniat untuk memberitahu Sophia lebih awal. Dia ingin hasil tes itu keluar terlebih dahulu barulah hasilnya akan dia beri tahu pada Sophia. Tapi kehadiran Sophia di sini membuat Albert berubah pikiran. Dia ingin membuat Sophia tinggal lebih lama, bagaimana pun saranya.“Lalu hasilnya?” tanya Sophia, suaranya terdengar dingin.Albert menggeleng lemah. “Belum,” jawabnya. “Butuh waktu selama dua minggu paling cepat untuk mengetahui hasilnya. Tapi aku sudah meminta mereka untuk melakukannya lebih cepat dari itu.” Albert menjelaskan, tapi ekspresi di wajah Sophia tidak juga berubah membuat Albert bingung. Tapi, lagi, apa yang dia harapkan
Albert terus menatap kalung berbandul dandelion di tangannya sambil memikirkan apa maksud Sophia memberikannya benda ini. Albert selalu penasaran setiap kali melihat Sophia mengenakan kalung ini, seolah ini adalah perhiasan yang sangat berarti baginya. Dan Albert selalu merasa familiar. Di mana dia pernah melihatnya sebelum melihat Sophia mengenakan ini?Tapi Albert tidak kunjung menemukan jawabannya.Pagi tadi, Sophia pergi.Hubungan mereka belum berakhir bagi Albert, walau Sophia sudah menganggapnya begitu. Tapi sekarang, Albert tidak memiliki daya untuk menahan Sophia bersamanya jadi dia akan menghargai keputusan Sophia. Sekalipun sakit, Albert harus menerima keputusan istrinya itu.Tapi satu hal yang pasti, bahwa Albert tidak akan pernah menceraikan Sophia seperti yang Sophia inginkan.Setelah terdiam cukup lama di kamarnya tadi, Albert pergi ke kantor dan menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan secara gila-gilaan, bahkan membuat Maurice khawati
Ruangan itu terasa begitu dingin entah kenapa. Albert merapatkan tubuhnya pada sesuatu yang hangat di sampingnya. Dan dia semakin mendekati sumber kehangatan itu yang terasa seperti memeluknya.Sophia? pikir Albert.“Aku merindukanmu,” bisik Millie Matthew, ibu tiri Albert, dengan Albert yang berada di dalam pelukannya. Millie membelai puncak kepala lelaki itu dengan lembut dan memejamkan matanya rapat, sementara itu Albert bersender di dadanya.Ruang keluarga yang dingin itu hanya disinari oleh lampu temaram. Perapian sengaja tidak dinyalakan oleh sang empu rumah. Bahkan para pelayan juga tidak tampak di mana pun. Karena hari sudah larut, jadi hanya ada mereka berdua di sana.“Aku rindu dipeluk olehmu seperti ini, Albert,” kata Millie lalu setelah itu mendesah pelan.“Hm,” sahut Albert, merapatkan pelukannya. “Aku juga merindukanmu, Sophie,” gumamnya lagi.Millie tertegun, tapi kemudian senyum
“Aku sangat merindukanmu,” ucap Millie lagi. “Apakah kau tidak mau menciumku? Dan melepas rasa rindu yang begitu menyiksa ini?” godanya.“…” Albert tidak bereaksi.Berdecak pelan, Millie pun mulai melakukan lebih. Dia membelai punggung Albert, turun ke dada dan melepas jas yang tersampir longgar di tubuhnya. Setelah berhasil melepas benda itu, Millie melemparnya ke karpet perapian lalu mulai meraba kemeja putih milik Albert.Albert mengerang pelan, lalu menjauhkan tubuhnya dari Millie dan membuka matanya yang sayu.Millie tersenyum manis padanya. “Kau pasti merasa tidak nyaman menggunakan benda ini saat kita melakukannya nanti. Jadi aku akan membantumu melepasnya,” kata Millie dengan tatapan menggoda.Albert berkedip, matanya masih menatap sayu. Seiring dengan tangan Millie yang turun ke dadanya, melepas kancing kemejanya, kesadaran Albert semakin kembali ke permukaan.Menyadari itu, Mil
Plak!Satu tamparan melayang ke pipi Millie yang putih, yang kemudian langsung memerah oleh darahnya yang lantas bergejolak.“Berani-beraninya kau!” murka Adrian Raymond, suaminya, menatap Millie dengan pelototan tajam.Dalam hal mengintimidasi, Albert dan ayahnya memang hampir sama, keduanya sama-sama bisa membuat nyali lawan bicaranya menciut, seperti Millie sekarang.“A-aku tidak mengundangnya, Albert yang mendatangiku sendiri,” lirih Millie sambil terisak-isak.Adrian Raymond tertawa sampai kepalanya mendongak ke atas, wajahnya yang sudah tidak lagi muda tampak semakin mengerut. “Kau pikir aku akan percaya pada kata-kata dari wanita murahan sepertimu?!” kata Adrian dengan suaranya yang menggelegar.Millie masih menangis sesenggukan. Kemudian Adrian menyentuh dagunya dan memaksanya mendongak untuk menatapnya. “Tampaknya, kenaifanmu itu benar-benar belum hilang ya? Kupikir dengan semua uang yang te
Matahari pagi menerpa wajahnya, memberikan ilusi seolah sinar suci keluar dari pori-porinya. Dan semua anak rambutnya yang berantakan di kepala dan sekitar wajah nya, berwarna keemasan alih-alih cokelat gelap.Albert tersenyum, menatap Sophia dengan mata teduh. Kebiasaan yang sudah dimilikinya sejak lama; bangun pagi-pagi supaya bisa menyisihkan waktu setidaknya setengah jam untuk berpuas diri menatap wajah istrinya itu.Anak pertama mereka sudah lahir, putra bermahkota yang membawa pesan baik; Istvanzino Raymond.Perhatian keduanya jadi terbagi antara satu sama lain dengan anak mereka yang baru berusia satu tahun. Tidak banyak waktu yang Albert habiskan bersama Sophia, begitu pun sebaliknya. Tapi itu tidak apa, karena dia menyayangi putranya lebih dari apapun, dia akan mengorbankan segalanya. Dan Albert tidak ragu bahwa Sophia juga pasti akan melakukan hal yang sama.Hanya pada waktu pagi hari, beberapa saat sebelum Istvanzino terbangun, Albert memiliki
“Albert.”Albert yang tengah memusatkan tatapannya pada layar laptop menoleh pada Sophia yang berdiri di hadapannya sembari berkacak pinggang. Perutnya yang telah membesar mengintip keluar dari kaus polos yang dia kenakan, dan pemandangan itu benar-benar menggemaskan, sukses mengalihkan fokus Albert seketika.“Ada apa, Sophie?”Kening wanita itu berkerut-kerut dalam. Albert mengernyit, kemudian bertanya dengan nada cemas. “Kenapa? Apa perutmu sakit?”Sophia menggeleng.“Lalu?”“Apa kau ingat dengan kalung yang … dulu aku berikan padamu?”“Kalung yang mana?”Tatapan mata Sophia tampak gelisah. Dia mencoba untuk menjelaskan sesuatu yang tampaknya sulit untuk dia jelaskan.“Kalung … yang dulu sering aku kenakan,” ucapnya.Albert mencoba untuk mengingat-ingat, tidak butuh lama dia pun langsung teringat. Tapi keberadaan benda tersebut memang benar-benar telah Albert lupakan.“Ya, kenapa dengan kalung itu?” tanya
Bulan-bulan berlalu begitu saja.Musim dingin telah berganti menjadi musim semi, kemudian matahari terasa semakin tinggi dan musim panas pun datang. Usia kandungan Sophia sudah menginjak minggu ke dua puluh enam, atau sekitar tujuh bulan.Semuanya masih terasa sama, kecuali tubuhnya yang membesar dan keposesifan suaminya yang semakin menjadi. Selain perut yang membuncit, Sophia tidak mengalami perubahan signifikan pada area tubuhnya yang lain, tapi justru Albert yang mengalami perubahan-perubahan itu.Selama tiga minggu terakhir, Albert merutinkan olahraga untuk menjaga kondisi tubuhnya dalam bentuk yang ideal. Dia telah memakan makanan yang seharusnya Sophia makan, dia melakukan hal-hal yang seharusnya Sophia ingin lakukan. Dia juga masih sangat sensitif pada aroma dan masing sering muntah-muntah.Sophia tidak mengerti kenapa justru Albert yang mengalami semua itu. Bukankah seharusnya dirinya sebagai ibu yang mengandung? Tapi Dokter mengatakan bahwa itu
Siang yang mendung ini Sophia bangun dengan perasaan ringan di dadanya. Dia menggeliat sekaligus menguap untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku. Saat melirik pada jendela yang gordennya telah terbuka, salju turun dari langit dan semuanya nyaris tampak berwarna putih.Sophia pun bangkit duduk sembari menahan selimut untuk menutupi dadanya. Dia mengusap leher ketika mengingat aktivitasnya semalam dengan sang suami, Sophia nyaris merasa bahwa sentuhan pria itu masih tertinggal di kulitnya.Saat menoleh ke samping, dia tidak menemukan Albert di sana, dan seprai terasa dingin yang artinya Albert sudah bangun cukup lama. Sophia lantas bangkit, lalu dilepasnya selimut yang tadi menutupi tubuhnya, kemudian berjalan tanpa sehelai benang pun menuju tempat lilin aroma terapi masih menyala, Sophia meniupnya.Dia membutuhkan benda itu, karena ada begitu banyak lukisan di kamarnya ini sekarang. Aroma cat minyak masih tercium dari lukisan-lukisan yang belum sepenuhnya kering,
Suara deburan ombak memecah kesunyian malam. Semilir angin kencang bertiup, membawa aroma laut yang khas, menerbangkan embun air asin ke bibir pantai. Paula yakin kalau dia berdiri lebih lama di sana dia mungkin akan kembali ke kamar hotelnya dengan pakaian basah.Di akhir tahun yang terasa dingin di Inggris, membuat Paula memutuskan untuk berlibur ke Miami. Dia tidak pernah menyukai musim dingin. Baginya fashion di musim dingin itu terlalu membosankan, dia punya segudang pakaian untuk dipadupadankan di lemarinya.Namun jauh di dalam, alasan mengapa Paula pergi adalah bukan karena itu. Melainkan sesuatu yang mengganggu sikap rasionalnya akhir-akhir ini.Alexander Harrison. Pria yang dia pikir akan benar-benar memberinya cincin pertunangan, pergi meninggalkannya, sama seperti pria-pria sebelumnya.Melihat bagaimana Sophia, adik bungsunya yang kaku itu, bahagia dengan curahan cinta dari seorang pria, membuat Paula iri. Terlebih, pria itu adalah Albert Raymo
Rasanya dingin.Sekujur tubuh dan ulu hatinya seolah membeku. Jalanan yang ramai tidak berhasil menepis rasa kesepian dan keputusasaan yang dia rasakan di dalam. Ucapan wanita itu terus terngiang dalam benaknya.Sophia Raymond.Apakah ini karma? pikir Cecilia.Sekarang, setelah dia tahu bahwa anak di dalam perutnya bukanlah anaknya bersama Albert, rasanya sedikit menyakitkan dan sulit dipercaya. Tapi kalau bukan Albert, siapa? Cecilia tahu bahwa dia telah bersikap seperti wanita murahan ketika memutuskan untuk mendekati Albert Raymond, namun pesona pria itu tidak bisa dia bantah, dan ayahnya saat itu begitu bangga ketika tahu Cecilia memiliki hubungan dekat dengan seorang seperti Albert.Cecilia merasa bahwa dia tidak bisa kehilangan lelaki itu, apapun alasannya, karena itu artinya dia akan kehilangan perhatian keluarganya juga. Sebab hanya dengan bersama Albert, dia akan dianggap berguna oleh ayahnya yang serakah.Namun kini, saat Cecilia s
Setelah menceritakannya pada Sophia, Albert bertanya, “Kenapa kau tidak mengangkat teleponku atau membaca pesanku?”Sophia menatap Albert dengan pelototan tajam dan juga balas bertanya, “Kenapa kau mematikan ponselmu?”“Baterainya habis.”Sophia lantas mengangguk paham. “Ponselku tertinggal di mobil Daniel saat tadi aku mencoba menghubungimu berulang kali. Mom jatuh sakit lagi jadi Daniel ingin aku datang menemaninya sementara dia memiliki urusan penting di kantor yang harus diurus. Aku mengobrol dengan Mom dan baru selesai satu jam lalu. Kemudian aku bangun karena pemanas di kamarku tidak berfungsi dengan baik.”Helaan napas lega menyahut penjelasannya.Tersenyum tenang, Albert menidurkan kepalanya lagi dan membawa Sophia bersamanya.Dia melirik setelan pakaian kerjanya yang teronggok di atas karpet. “Seharusnya kau melepas milikmu juga,” ucapnya berbisik.Sophia menggumam.
Sophia menarik selimut semakin rapat menutupi tubuhnya. Kamar ini memiliki penghangat ruangan yang buruk, mungkin karena sudah bertahun-tahun tidak digunakan. Sophia bersumpah bahwa dia akan berbicara pada Daniel mengenai hal ini besok. Dan oleh rasa dingin itulah Sophia terbangun dari tidurnya.Langsung diliriknya jam di atas nakas, ternyata dia baru terlelap selama satu jam. Setelah menemani ibunya di kamar sampai wanita itu terlelap, Sophia langsung ke kamarnya sendiri dan berbaring, tidak berniat untuk tidur, tapi kemudian jatuh tertidur.Sophia pun bangkit berdiri, dia butuh air hangat atau sesuatu yang mampu menepis rasa dingin itu. Sophia bangkit dan mencari ponselnya, lalu kemudian tersadar bahwa benda itu tertinggal di mobil Daniel.Dia belum memberi tahu Albert. Jadi Sophia memakai jubah tidurnya dan pergi ke luar kamar dengan tergesa, untuk pergi ke telepon rumah dan segera menghubungi suaminya itu. Albert pasti khawatir saat pulang ke apartemen dan t
Kemudian, sebuah deringan membuyarkan lamunan Sophia. Wanita itu sejenak mengedarkan pandang dan sadar bahwa dirinya tengah duduk di sofa, di dalam apartemen yang sepi, seorang diri. Kejadian tadi pagi masih begitu lekat dalam ingatannya.Sophia pun menghela napas.Pagi tadi, Albert hanya memberikannya satu pelepasan dengan permainan jarinya, bersikeras bahwa mereka harus menemui dokter terlebih dahulu untuk melakukan lebih dari itu. Kemudian Albert melesat ke kamar mandi, berada di sana cukup lama dan berangkat kerja setelahnya.Sophia menatap langit yang kini sudah gelap, lalu mengambil ponselnya yang sedari tadi berdering dan melihat nama Daniel tertera di sana. Sophia mengangkatnya.“Daniel.”“Sophie, kau di mana?”“Aku masih di apartemen Albert,” jawab Sophia. Dia sudah memberi tahu Daniel dan Luke beberapa hari lalu mengenai akhir dari permasalahan rumah tangganya. Mereka terdengar lega, tapi sekalig