Ruangan itu terasa begitu dingin entah kenapa. Albert merapatkan tubuhnya pada sesuatu yang hangat di sampingnya. Dan dia semakin mendekati sumber kehangatan itu yang terasa seperti memeluknya.
Sophia? pikir Albert.
“Aku merindukanmu,” bisik Millie Matthew, ibu tiri Albert, dengan Albert yang berada di dalam pelukannya. Millie membelai puncak kepala lelaki itu dengan lembut dan memejamkan matanya rapat, sementara itu Albert bersender di dadanya.
Ruang keluarga yang dingin itu hanya disinari oleh lampu temaram. Perapian sengaja tidak dinyalakan oleh sang empu rumah. Bahkan para pelayan juga tidak tampak di mana pun. Karena hari sudah larut, jadi hanya ada mereka berdua di sana.
“Aku rindu dipeluk olehmu seperti ini, Albert,” kata Millie lalu setelah itu mendesah pelan.
“Hm,” sahut Albert, merapatkan pelukannya. “Aku juga merindukanmu, Sophie,” gumamnya lagi.
Millie tertegun, tapi kemudian senyum
“Aku sangat merindukanmu,” ucap Millie lagi. “Apakah kau tidak mau menciumku? Dan melepas rasa rindu yang begitu menyiksa ini?” godanya.“…” Albert tidak bereaksi.Berdecak pelan, Millie pun mulai melakukan lebih. Dia membelai punggung Albert, turun ke dada dan melepas jas yang tersampir longgar di tubuhnya. Setelah berhasil melepas benda itu, Millie melemparnya ke karpet perapian lalu mulai meraba kemeja putih milik Albert.Albert mengerang pelan, lalu menjauhkan tubuhnya dari Millie dan membuka matanya yang sayu.Millie tersenyum manis padanya. “Kau pasti merasa tidak nyaman menggunakan benda ini saat kita melakukannya nanti. Jadi aku akan membantumu melepasnya,” kata Millie dengan tatapan menggoda.Albert berkedip, matanya masih menatap sayu. Seiring dengan tangan Millie yang turun ke dadanya, melepas kancing kemejanya, kesadaran Albert semakin kembali ke permukaan.Menyadari itu, Mil
Plak!Satu tamparan melayang ke pipi Millie yang putih, yang kemudian langsung memerah oleh darahnya yang lantas bergejolak.“Berani-beraninya kau!” murka Adrian Raymond, suaminya, menatap Millie dengan pelototan tajam.Dalam hal mengintimidasi, Albert dan ayahnya memang hampir sama, keduanya sama-sama bisa membuat nyali lawan bicaranya menciut, seperti Millie sekarang.“A-aku tidak mengundangnya, Albert yang mendatangiku sendiri,” lirih Millie sambil terisak-isak.Adrian Raymond tertawa sampai kepalanya mendongak ke atas, wajahnya yang sudah tidak lagi muda tampak semakin mengerut. “Kau pikir aku akan percaya pada kata-kata dari wanita murahan sepertimu?!” kata Adrian dengan suaranya yang menggelegar.Millie masih menangis sesenggukan. Kemudian Adrian menyentuh dagunya dan memaksanya mendongak untuk menatapnya. “Tampaknya, kenaifanmu itu benar-benar belum hilang ya? Kupikir dengan semua uang yang te
Albert menatap tembok tinggi di hadapannya dengan tatapan dingin.Dua jam lalu dia telah menerima infromasi dari salah satu orang suruhannya, mengatakan bahwa mereka telah menemukan Sophia. Dan di sinilah istrinya itu sekarang, berada di dalam lingkup tembok keliling setinggi tiga meter itu. Dan dari informasi yang dia dapatkan, rumah ini adalah milik Daniel Mateo.Albert begitu terkejut dan tidak menyangka ketika pertama kali mendengarnya.Bagaimana bisa Sophia malah lari ke pelukan pria itu alih-alih pulang bersamanya? Albert tidak ingat bahwa Sopha bisa sedekat ini dengan seseorang, terlebih dengan seorang pria yang selain dirinya. Tapi Daniel Mateo, sejak awal dia memang telah mengundang perhatian Sophia. Sudah lama juga Albert cemburu karena kedekatan mereka.Dan sekarang, buktinya kekhawatiran Albert itu benar-benar terjadi.Sehingga Albert mulai menyusun sebuah rencana di kepalanya untuk masuk ke dalam dan menculik kembali istrinya untuk pul
Hanya saja, ketika Albert berbalik hendak masuk kembali ke mobilnya, dia dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita yang duduk di kursi roda. Di belakang wanita itu seorang gadis muda mengenakan pakaian perawat mendorong kursi rodanya.Albert terdiam di tempat, menatap wanita paruh baya yang juga tengah menatap ke arahnya. Kesiap kecil terdengar di belakang Albert dan setelah itu Sophia melangkah cepat melewatinya, mendekati si wanita di kursi roda.“Mom!” seru Sophia. “Apa yang kau lakukan di luar dalam cuaca seperti ini?” katanya, lalu beralih menatap perawat muda di belakang ibunya. Perawat itu tampak salah tingkah, tapi tidak berani mengatakan apapun.Laura menyentuh tangan putrinya, mendongak menatapnya dengan senyum menenangkan. “Kau tidak seharusnya mengatakan itu pada Melin. Aku lah yang memintanya untuk membawaku ke luar.”“Tapi di luar—““Cuaca sore ini tidak sedingin kemar
Sophia hanya diam saja saat Albert mengucapkan selamat malam pada ibunya, yang kemudian dibawa suster masuk ke kamar, meninggalkan Sophia dan Albert berdua di tengah ruangan yang sepi itu.Mereka sama-sama terdiam dalam kebisuan yang tidak pasti kapan akan disela. Albert lalu berbalik, menatap lurus ke arah wanita yang tengah menunduk di hadapannya, seolah lantai menjadi hal yang paling menarik di dunia baginya. Perlahan, Albert pun melangkah mendekati wanita itu, sembari berdoa dalam hati semoga keputusannya ini tidak membuat Sophia marah dan semakin menghindarinya.Tapi hal yang lebih buruk justru terjadi. Sophia hanya diam saja, tidak mengatakan apapun semenjak Albert mengumumkan bahwa dia akan menginap malam ini.Albert semakin mendekatinya karena melihat Sophia terus bergeming. Saat jarak di antara mereka tidak terlalu jauh lagi, barulah Sophia mengangkat kepalanya dan menatap Albert, melihat bagaimana manik keperakan itu mengobservasi sosoknya.Soph
Albert duduk di samping Sophia dalam diam. Menatap udara dengan tatapan nyaris kosong. Sementara itu, Sophia sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, yang Albert yakini pasti naskah novel yang tengah dia garap.Anehnya, keheningan di antara mereka kali ini terasa tidak menggangu. Seolah memang itulah yang mereka butuhkan. Duduk berdua, tanpa kata-kata yang akan berakhir menyakiti mereka sendiri.Albert teringat akan lima buku karya Sailendra A. di rumah yang baru-baru ini dia beli untuk memuaskan rasa rindunya pada sang istri. Albert memang baru membaca beberapa lembar saja, dia belum memiliki waktu luang untuk menghabiskan membaca semuanya.Namun, walau begitu, Albert sudah tahu bahwa Sophia adalah penulis yang hebat.Saat sedang memikirkan itu, perhatian Albert teralihkan oleh suara jari Sophia yang menari di atas keyboard-nya yang terdengar semakin keras. Ekspresi di wajah wanita itu juga tampak mengerut kesal.“Kenapa?” tanya Albert pad
Suara dering notifikasi dari ponsel kembali membuat dua pasang mata itu terbuka. Karena nada dering yang sama, mereka sibuk mengecek ponsel masing-masing yang diletakkan di nakas.Sophia yang lebih dulu menyadari bahwa itu bukan bunyi dari ponselnya, pun kembali berbaring tidur.Saking sunyinya suasana di antara mereka, Sophia sampai bisa mendengar suara jari Albert mengetuk pada layar, mengetik sesuatu di sana. Sophia tidak tahan untuk tidak bertanya-tanya siapa yang kiranya menghubungi Albert selarut ini.Pasti wanita itu.Sophia tersenyum getir, lalu memperbaiki posisi tidurnya agar lebih nyaman.Nyaris saja Sophia lupa, bahwa ada sesuatu yang sangat serius di antara dirinya dan Albert. Lagi-lagi Sophia mengingatkan diri sendiri untuk tidak lagi terjatuh pada pesona pria itu, untuk melupakannya dan membuat kehidupan baru dengan anaknya kelak.Sedang Sophia sibuk dengan pikirannya sendiri, Albert juga sama. Dia membalas sebuah email yang b
Albert menekan tubuh Sophia dengan tubuhnya sendiri. Memagut bibir ranum itu, melumatnya lembut, dan merasakan perlakuan yang sama pada bibirnya.Rasanya seperti di surga; memeluk dan mencium wanita yang dicintainya ini.Tidak ada yang bisa Albert pikirkan selain luapan emosi di antara mereka, yang dia tuangkan dalam rengkuhan penuh hasrat itu.Suara cecap bibir saling bersahutan di kamar dengan suasana sunyi, menambah semangat kedua insan yang tengah saling memadu kasih. Bahkan sekali pun oksigen di paru-paru masing-masing mulai menipis, mereka masih enggan untuk menjauh.Sampai akhirnya dada Sophia semakin terasa sesak, dia pun menepuk bahu Albert dan mendorongnya, namun menyisakan jarak yang tidak cukup jauh.“Albert?” lirih Sophia dengan napas memburu.Albert menyahutinya dengan gumaman singkat, lalu beralih untuk mengecup leher istrinya itu, memeluknya kian erat, seolah takut bahwa Sophia akan berubah pikiran dan mendorongny
Matahari pagi menerpa wajahnya, memberikan ilusi seolah sinar suci keluar dari pori-porinya. Dan semua anak rambutnya yang berantakan di kepala dan sekitar wajah nya, berwarna keemasan alih-alih cokelat gelap.Albert tersenyum, menatap Sophia dengan mata teduh. Kebiasaan yang sudah dimilikinya sejak lama; bangun pagi-pagi supaya bisa menyisihkan waktu setidaknya setengah jam untuk berpuas diri menatap wajah istrinya itu.Anak pertama mereka sudah lahir, putra bermahkota yang membawa pesan baik; Istvanzino Raymond.Perhatian keduanya jadi terbagi antara satu sama lain dengan anak mereka yang baru berusia satu tahun. Tidak banyak waktu yang Albert habiskan bersama Sophia, begitu pun sebaliknya. Tapi itu tidak apa, karena dia menyayangi putranya lebih dari apapun, dia akan mengorbankan segalanya. Dan Albert tidak ragu bahwa Sophia juga pasti akan melakukan hal yang sama.Hanya pada waktu pagi hari, beberapa saat sebelum Istvanzino terbangun, Albert memiliki
“Albert.”Albert yang tengah memusatkan tatapannya pada layar laptop menoleh pada Sophia yang berdiri di hadapannya sembari berkacak pinggang. Perutnya yang telah membesar mengintip keluar dari kaus polos yang dia kenakan, dan pemandangan itu benar-benar menggemaskan, sukses mengalihkan fokus Albert seketika.“Ada apa, Sophie?”Kening wanita itu berkerut-kerut dalam. Albert mengernyit, kemudian bertanya dengan nada cemas. “Kenapa? Apa perutmu sakit?”Sophia menggeleng.“Lalu?”“Apa kau ingat dengan kalung yang … dulu aku berikan padamu?”“Kalung yang mana?”Tatapan mata Sophia tampak gelisah. Dia mencoba untuk menjelaskan sesuatu yang tampaknya sulit untuk dia jelaskan.“Kalung … yang dulu sering aku kenakan,” ucapnya.Albert mencoba untuk mengingat-ingat, tidak butuh lama dia pun langsung teringat. Tapi keberadaan benda tersebut memang benar-benar telah Albert lupakan.“Ya, kenapa dengan kalung itu?” tanya
Bulan-bulan berlalu begitu saja.Musim dingin telah berganti menjadi musim semi, kemudian matahari terasa semakin tinggi dan musim panas pun datang. Usia kandungan Sophia sudah menginjak minggu ke dua puluh enam, atau sekitar tujuh bulan.Semuanya masih terasa sama, kecuali tubuhnya yang membesar dan keposesifan suaminya yang semakin menjadi. Selain perut yang membuncit, Sophia tidak mengalami perubahan signifikan pada area tubuhnya yang lain, tapi justru Albert yang mengalami perubahan-perubahan itu.Selama tiga minggu terakhir, Albert merutinkan olahraga untuk menjaga kondisi tubuhnya dalam bentuk yang ideal. Dia telah memakan makanan yang seharusnya Sophia makan, dia melakukan hal-hal yang seharusnya Sophia ingin lakukan. Dia juga masih sangat sensitif pada aroma dan masing sering muntah-muntah.Sophia tidak mengerti kenapa justru Albert yang mengalami semua itu. Bukankah seharusnya dirinya sebagai ibu yang mengandung? Tapi Dokter mengatakan bahwa itu
Siang yang mendung ini Sophia bangun dengan perasaan ringan di dadanya. Dia menggeliat sekaligus menguap untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku. Saat melirik pada jendela yang gordennya telah terbuka, salju turun dari langit dan semuanya nyaris tampak berwarna putih.Sophia pun bangkit duduk sembari menahan selimut untuk menutupi dadanya. Dia mengusap leher ketika mengingat aktivitasnya semalam dengan sang suami, Sophia nyaris merasa bahwa sentuhan pria itu masih tertinggal di kulitnya.Saat menoleh ke samping, dia tidak menemukan Albert di sana, dan seprai terasa dingin yang artinya Albert sudah bangun cukup lama. Sophia lantas bangkit, lalu dilepasnya selimut yang tadi menutupi tubuhnya, kemudian berjalan tanpa sehelai benang pun menuju tempat lilin aroma terapi masih menyala, Sophia meniupnya.Dia membutuhkan benda itu, karena ada begitu banyak lukisan di kamarnya ini sekarang. Aroma cat minyak masih tercium dari lukisan-lukisan yang belum sepenuhnya kering,
Suara deburan ombak memecah kesunyian malam. Semilir angin kencang bertiup, membawa aroma laut yang khas, menerbangkan embun air asin ke bibir pantai. Paula yakin kalau dia berdiri lebih lama di sana dia mungkin akan kembali ke kamar hotelnya dengan pakaian basah.Di akhir tahun yang terasa dingin di Inggris, membuat Paula memutuskan untuk berlibur ke Miami. Dia tidak pernah menyukai musim dingin. Baginya fashion di musim dingin itu terlalu membosankan, dia punya segudang pakaian untuk dipadupadankan di lemarinya.Namun jauh di dalam, alasan mengapa Paula pergi adalah bukan karena itu. Melainkan sesuatu yang mengganggu sikap rasionalnya akhir-akhir ini.Alexander Harrison. Pria yang dia pikir akan benar-benar memberinya cincin pertunangan, pergi meninggalkannya, sama seperti pria-pria sebelumnya.Melihat bagaimana Sophia, adik bungsunya yang kaku itu, bahagia dengan curahan cinta dari seorang pria, membuat Paula iri. Terlebih, pria itu adalah Albert Raymo
Rasanya dingin.Sekujur tubuh dan ulu hatinya seolah membeku. Jalanan yang ramai tidak berhasil menepis rasa kesepian dan keputusasaan yang dia rasakan di dalam. Ucapan wanita itu terus terngiang dalam benaknya.Sophia Raymond.Apakah ini karma? pikir Cecilia.Sekarang, setelah dia tahu bahwa anak di dalam perutnya bukanlah anaknya bersama Albert, rasanya sedikit menyakitkan dan sulit dipercaya. Tapi kalau bukan Albert, siapa? Cecilia tahu bahwa dia telah bersikap seperti wanita murahan ketika memutuskan untuk mendekati Albert Raymond, namun pesona pria itu tidak bisa dia bantah, dan ayahnya saat itu begitu bangga ketika tahu Cecilia memiliki hubungan dekat dengan seorang seperti Albert.Cecilia merasa bahwa dia tidak bisa kehilangan lelaki itu, apapun alasannya, karena itu artinya dia akan kehilangan perhatian keluarganya juga. Sebab hanya dengan bersama Albert, dia akan dianggap berguna oleh ayahnya yang serakah.Namun kini, saat Cecilia s
Setelah menceritakannya pada Sophia, Albert bertanya, “Kenapa kau tidak mengangkat teleponku atau membaca pesanku?”Sophia menatap Albert dengan pelototan tajam dan juga balas bertanya, “Kenapa kau mematikan ponselmu?”“Baterainya habis.”Sophia lantas mengangguk paham. “Ponselku tertinggal di mobil Daniel saat tadi aku mencoba menghubungimu berulang kali. Mom jatuh sakit lagi jadi Daniel ingin aku datang menemaninya sementara dia memiliki urusan penting di kantor yang harus diurus. Aku mengobrol dengan Mom dan baru selesai satu jam lalu. Kemudian aku bangun karena pemanas di kamarku tidak berfungsi dengan baik.”Helaan napas lega menyahut penjelasannya.Tersenyum tenang, Albert menidurkan kepalanya lagi dan membawa Sophia bersamanya.Dia melirik setelan pakaian kerjanya yang teronggok di atas karpet. “Seharusnya kau melepas milikmu juga,” ucapnya berbisik.Sophia menggumam.
Sophia menarik selimut semakin rapat menutupi tubuhnya. Kamar ini memiliki penghangat ruangan yang buruk, mungkin karena sudah bertahun-tahun tidak digunakan. Sophia bersumpah bahwa dia akan berbicara pada Daniel mengenai hal ini besok. Dan oleh rasa dingin itulah Sophia terbangun dari tidurnya.Langsung diliriknya jam di atas nakas, ternyata dia baru terlelap selama satu jam. Setelah menemani ibunya di kamar sampai wanita itu terlelap, Sophia langsung ke kamarnya sendiri dan berbaring, tidak berniat untuk tidur, tapi kemudian jatuh tertidur.Sophia pun bangkit berdiri, dia butuh air hangat atau sesuatu yang mampu menepis rasa dingin itu. Sophia bangkit dan mencari ponselnya, lalu kemudian tersadar bahwa benda itu tertinggal di mobil Daniel.Dia belum memberi tahu Albert. Jadi Sophia memakai jubah tidurnya dan pergi ke luar kamar dengan tergesa, untuk pergi ke telepon rumah dan segera menghubungi suaminya itu. Albert pasti khawatir saat pulang ke apartemen dan t
Kemudian, sebuah deringan membuyarkan lamunan Sophia. Wanita itu sejenak mengedarkan pandang dan sadar bahwa dirinya tengah duduk di sofa, di dalam apartemen yang sepi, seorang diri. Kejadian tadi pagi masih begitu lekat dalam ingatannya.Sophia pun menghela napas.Pagi tadi, Albert hanya memberikannya satu pelepasan dengan permainan jarinya, bersikeras bahwa mereka harus menemui dokter terlebih dahulu untuk melakukan lebih dari itu. Kemudian Albert melesat ke kamar mandi, berada di sana cukup lama dan berangkat kerja setelahnya.Sophia menatap langit yang kini sudah gelap, lalu mengambil ponselnya yang sedari tadi berdering dan melihat nama Daniel tertera di sana. Sophia mengangkatnya.“Daniel.”“Sophie, kau di mana?”“Aku masih di apartemen Albert,” jawab Sophia. Dia sudah memberi tahu Daniel dan Luke beberapa hari lalu mengenai akhir dari permasalahan rumah tangganya. Mereka terdengar lega, tapi sekalig