Albert duduk di samping Sophia dalam diam. Menatap udara dengan tatapan nyaris kosong. Sementara itu, Sophia sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, yang Albert yakini pasti naskah novel yang tengah dia garap.
Anehnya, keheningan di antara mereka kali ini terasa tidak menggangu. Seolah memang itulah yang mereka butuhkan. Duduk berdua, tanpa kata-kata yang akan berakhir menyakiti mereka sendiri.
Albert teringat akan lima buku karya Sailendra A. di rumah yang baru-baru ini dia beli untuk memuaskan rasa rindunya pada sang istri. Albert memang baru membaca beberapa lembar saja, dia belum memiliki waktu luang untuk menghabiskan membaca semuanya.
Namun, walau begitu, Albert sudah tahu bahwa Sophia adalah penulis yang hebat.
Saat sedang memikirkan itu, perhatian Albert teralihkan oleh suara jari Sophia yang menari di atas keyboard-nya yang terdengar semakin keras. Ekspresi di wajah wanita itu juga tampak mengerut kesal.
“Kenapa?” tanya Albert pad
Suara dering notifikasi dari ponsel kembali membuat dua pasang mata itu terbuka. Karena nada dering yang sama, mereka sibuk mengecek ponsel masing-masing yang diletakkan di nakas.Sophia yang lebih dulu menyadari bahwa itu bukan bunyi dari ponselnya, pun kembali berbaring tidur.Saking sunyinya suasana di antara mereka, Sophia sampai bisa mendengar suara jari Albert mengetuk pada layar, mengetik sesuatu di sana. Sophia tidak tahan untuk tidak bertanya-tanya siapa yang kiranya menghubungi Albert selarut ini.Pasti wanita itu.Sophia tersenyum getir, lalu memperbaiki posisi tidurnya agar lebih nyaman.Nyaris saja Sophia lupa, bahwa ada sesuatu yang sangat serius di antara dirinya dan Albert. Lagi-lagi Sophia mengingatkan diri sendiri untuk tidak lagi terjatuh pada pesona pria itu, untuk melupakannya dan membuat kehidupan baru dengan anaknya kelak.Sedang Sophia sibuk dengan pikirannya sendiri, Albert juga sama. Dia membalas sebuah email yang b
Albert menekan tubuh Sophia dengan tubuhnya sendiri. Memagut bibir ranum itu, melumatnya lembut, dan merasakan perlakuan yang sama pada bibirnya.Rasanya seperti di surga; memeluk dan mencium wanita yang dicintainya ini.Tidak ada yang bisa Albert pikirkan selain luapan emosi di antara mereka, yang dia tuangkan dalam rengkuhan penuh hasrat itu.Suara cecap bibir saling bersahutan di kamar dengan suasana sunyi, menambah semangat kedua insan yang tengah saling memadu kasih. Bahkan sekali pun oksigen di paru-paru masing-masing mulai menipis, mereka masih enggan untuk menjauh.Sampai akhirnya dada Sophia semakin terasa sesak, dia pun menepuk bahu Albert dan mendorongnya, namun menyisakan jarak yang tidak cukup jauh.“Albert?” lirih Sophia dengan napas memburu.Albert menyahutinya dengan gumaman singkat, lalu beralih untuk mengecup leher istrinya itu, memeluknya kian erat, seolah takut bahwa Sophia akan berubah pikiran dan mendorongny
“Albert?” lirih sebuah suara.Albert langsung tersadar dan sedikit menunduk, melihat sepasang kelopak mata yang bergerak, walau dia tidak bisa melihat mata Sophia sepenuhnya, tapi Albert tahu istrinya itu telah terjaga.“Apa aku membangunkanmu?” tanya Albert kemudian. Detak jantungnya kembali melaju cepat, oleh rasa takut kalau Sophia akan tersadar dan menyudahi semuanya.“Hm,” sahut wanita itu.Dan beberapa menit berlalu, hal yang Albert khawatirkan tidak kunjung terjadi. Dia pun menunduk lagi dan melihat Sophia masih tidak bergeming.“Albert,” kata wanita itu.Tubuh Albert langsung menegang. “Ya?”“Bagaimana kabar Cecil?”“….”“Hm?” ucap Sophia lagi.“Kenapa kau bertanya?” sahut Albert.“Aku hanya penasaran. Bukankah tadi kalian saling mengirim pesan?”Sejenak, Albert
Sophia menjauh dari pintu saat Albert membukanya. Dia hendak menghindar supaya tidak ketahuan menguping, tapi selimut yang melilit tubuhnya itu terinjak sehingga Sophia terjatuh ke lantai dengan kedua tangan sebagai tumpuan.“Sophie!” seru Albert terkejut, lalu langsung berlari membantu Sophia untuk bangun. “Kau tidak apa-apa?” tanya Albert.Sophia bergeming. Dia memang tidak apa-apa, tidak ada yang sakit. Tapi menyadari bahwa dirinya baru saja hampir menyakiti sang janin di perut, membuatnya tertegun. Bagaimana kalau tadi dia tidak memiliki refleks cepat sehingga jatuh dengan perutnya yang mendarat lebih dulu? Sophia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Memang belum genap satu bulan dia mengetahui dirinya tengah hamil, tapi Sophia telah mengikat hubungan yang sangat erat dengan bayi di dalam perutnya dan kehilangannya adalah hal terakhir yang Sophia inginkan.Melihat tatapan kosong di mata wanita itu, Albert menjadi cemas. &ldq
Sophia keluar dari kamarnya pada waktu makan siang. Saat itu, Albert sudah pergi dengan amarah yang tidak bisa terucapkan.Sophia menunduk, menatap makanan di piringnya tanpa minat.“Sophie? Kau baik-baik saja?” tanya Laura pada putrinya yang tampak sedu itu.“Hm,” sahut Sophia.“Apa kau dan Albert sudah berbicara?” tanya Laura lagi, menatapnya penasaran.Saat sedang berada di ruang santai tadi, Albert sempat mendatanginya untuk pamit. Laura tidak menyangka kalau menantu lelakinya itu akan bersikap penuh sopan padanya dan benar-benar menganggapnya sebagai ibu. Sudah terlalu lama Laura jauh dari kehidupan Sophia sehingga terkadang dia merasa dirinya tidak pantas untuk mencampuri urusan-urusan sang putri.Tapi kali ini, Laura begitu penasaran.“Ya, Mom,” jawab Sophia, diikuti helaan napas pendek.“Ada apa denganmu? Bukankah seharusnya kau senang dia pergi?” tukas Daniel
Sore itu Sophia terbangun dalam keadaan linglung. Dia terdiam beberapa saat sebelum deringan di ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Luke Abraham.Sophia, yang belum benar-benar mengumpulkan kesadarannya pun langsung menatap layar ponselnya dengan mata memicing. Setelah beberapa hari tidak ada kabar, baru kali ini Luke kembali menghubunginya. Dan isi pesan tersebut membuat Sophia semakin keheranan.[Pulanglah sebentar ke Kediaman Abraham, aku punya berita penting yang harus aku beri tahukan padamu.]Sophia lalu bangun dari tidurnya dan pergi bersiap-siap sembari menduga-duga berita penting apa yang hendak Luke katakan.Apa Paula atau Billie akan menikah? Atau Luke sendiri yang sudah menemukan pasangan untuk membangun rumah tangga? Apa pun itu, Sophia tetap dibuat penasaran.Dua jam kemudian Sophia sampai di Kediaman Abraham, tepat saat makan malam. Namun, saat Sophia masuk, Luke sudah menyambutnya di depan pintu.Saat So
Sophia benar-benar pergi menemui Alexander, tapi dia tidak menunggu besok melainkan melakukannya malam itu juga. Saat Sophia bertemu dengannya di lobi perusahaan, Alexander tengah dalam perjalanan untuk pulang. Dia terkejut ketika melihat Sophia berada di sana.“Sophia,” katanya.Sophia tersenyum ramah. “Halo, Alex.”Beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di sebuah bar yang menyajikan anggur. Alexander sengaja mengatakan bahwa dia hendak mengunjungi tempat ini untuk melepas penatnya setelah seharian kerja. Sophia awalnya meminta waktu lelaki itu sejenak, tapi Alexander menolaknya mentah-mentah.“Aku pesan champagne,” kata Sophia pada si bartender yang duduk di balik meja. Dia mengangguk lalu mulai menyiapkan pesanan Sophia.“Aku juga,” kata Alexander ikut.Sophia menatapnya, dan Alex memberikannya senyum penuh arti. “Kau tahu? Sekarang setiap kali aku meminum champagne, aku selalu
Albert membawa Sophia ke mobil dengan susah payah, menggendong istrinya yang terus saja memberontak. Pengunjung lain yang ada di luar mulai menatap mereka aneh, bahkan salah seorang penjaga mendekati Albert dengan tatapan penuh curiga.“Dia istriku,” sahut Albert tanpa menghentikan langkahnya, si penjaga pun kembali mundur.Pintu dibuka, Albert memasukkan Sophia ke dalam dan memasangkannya safety-belt juga.“Apa yang kau lakukan?! Biarkan aku pergi!” berontak Sophia dengan tenaga yang mulai melemah.Albert tidak menghiraukannya dan segera berlari ke sisi lain mobil kemudian masuk ke dalam. Tepat ketika Albert menyalakan mesin, Sophia membuka sabuk pengamannya lalu bergerak cepat membuka pintu. Tapi gerakan Albert lebih cepat lagi, menangkap tubuh istrinya itu dan mendorongnya ke kursi, lalu tanpa peringatan menyatukan bibir mereka dalam pagutan yang dalam.Rontaan Sophia melemah, tangannya yang mencengkeram lengan Albert per
Rasanya dingin.Sekujur tubuh dan ulu hatinya seolah membeku. Jalanan yang ramai tidak berhasil menepis rasa kesepian dan keputusasaan yang dia rasakan di dalam. Ucapan wanita itu terus terngiang dalam benaknya.Sophia Raymond.Apakah ini karma? pikir Cecilia.Sekarang, setelah dia tahu bahwa anak di dalam perutnya bukanlah anaknya bersama Albert, rasanya sedikit menyakitkan dan sulit dipercaya. Tapi kalau bukan Albert, siapa? Cecilia tahu bahwa dia telah bersikap seperti wanita murahan ketika memutuskan untuk mendekati Albert Raymond, namun pesona pria itu tidak bisa dia bantah, dan ayahnya saat itu begitu bangga ketika tahu Cecilia memiliki hubungan dekat dengan seorang seperti Albert.Cecilia merasa bahwa dia tidak bisa kehilangan lelaki itu, apapun alasannya, karena itu artinya dia akan kehilangan perhatian keluarganya juga. Sebab hanya dengan bersama Albert, dia akan dianggap berguna oleh ayahnya yang serakah.Namun kini, saat Cecilia s
Setelah menceritakannya pada Sophia, Albert bertanya, “Kenapa kau tidak mengangkat teleponku atau membaca pesanku?”Sophia menatap Albert dengan pelototan tajam dan juga balas bertanya, “Kenapa kau mematikan ponselmu?”“Baterainya habis.”Sophia lantas mengangguk paham. “Ponselku tertinggal di mobil Daniel saat tadi aku mencoba menghubungimu berulang kali. Mom jatuh sakit lagi jadi Daniel ingin aku datang menemaninya sementara dia memiliki urusan penting di kantor yang harus diurus. Aku mengobrol dengan Mom dan baru selesai satu jam lalu. Kemudian aku bangun karena pemanas di kamarku tidak berfungsi dengan baik.”Helaan napas lega menyahut penjelasannya.Tersenyum tenang, Albert menidurkan kepalanya lagi dan membawa Sophia bersamanya.Dia melirik setelan pakaian kerjanya yang teronggok di atas karpet. “Seharusnya kau melepas milikmu juga,” ucapnya berbisik.Sophia menggumam.
Sophia menarik selimut semakin rapat menutupi tubuhnya. Kamar ini memiliki penghangat ruangan yang buruk, mungkin karena sudah bertahun-tahun tidak digunakan. Sophia bersumpah bahwa dia akan berbicara pada Daniel mengenai hal ini besok. Dan oleh rasa dingin itulah Sophia terbangun dari tidurnya.Langsung diliriknya jam di atas nakas, ternyata dia baru terlelap selama satu jam. Setelah menemani ibunya di kamar sampai wanita itu terlelap, Sophia langsung ke kamarnya sendiri dan berbaring, tidak berniat untuk tidur, tapi kemudian jatuh tertidur.Sophia pun bangkit berdiri, dia butuh air hangat atau sesuatu yang mampu menepis rasa dingin itu. Sophia bangkit dan mencari ponselnya, lalu kemudian tersadar bahwa benda itu tertinggal di mobil Daniel.Dia belum memberi tahu Albert. Jadi Sophia memakai jubah tidurnya dan pergi ke luar kamar dengan tergesa, untuk pergi ke telepon rumah dan segera menghubungi suaminya itu. Albert pasti khawatir saat pulang ke apartemen dan t
Kemudian, sebuah deringan membuyarkan lamunan Sophia. Wanita itu sejenak mengedarkan pandang dan sadar bahwa dirinya tengah duduk di sofa, di dalam apartemen yang sepi, seorang diri. Kejadian tadi pagi masih begitu lekat dalam ingatannya.Sophia pun menghela napas.Pagi tadi, Albert hanya memberikannya satu pelepasan dengan permainan jarinya, bersikeras bahwa mereka harus menemui dokter terlebih dahulu untuk melakukan lebih dari itu. Kemudian Albert melesat ke kamar mandi, berada di sana cukup lama dan berangkat kerja setelahnya.Sophia menatap langit yang kini sudah gelap, lalu mengambil ponselnya yang sedari tadi berdering dan melihat nama Daniel tertera di sana. Sophia mengangkatnya.“Daniel.”“Sophie, kau di mana?”“Aku masih di apartemen Albert,” jawab Sophia. Dia sudah memberi tahu Daniel dan Luke beberapa hari lalu mengenai akhir dari permasalahan rumah tangganya. Mereka terdengar lega, tapi sekalig
Sophia mengernyit, kemudian membelalak dan refleks menepis tangan Albert dari wajahnya. Dia memelototi pria itu dengan tatapan tajam.“Jangan berkata seolah kau juga tidak!” seru Sophia. Wajahnya memerah karena malu, seolah dia diingatkan tentang sebuah ketidaksenonohan dari semua undangan-undangan terbuka yang dia lakukan beberapa malam ini secara berturut-turut pada Albert, dan secara berturut-turut juga Albert menolaknya.Dituduh seperti itu, Sophia merasa langsung kehilangan wajahnya sendiri. Dia lantas berbalik dan memunggungi Albert ke jendela.Apakah aku sudah bertindak keterlaluan? pikirnya. Padahal dia hanya senang menggoda Albert, melihat wajah lelaki itu tersiksa oleh kekeraskepalaannya sendiri adalah sebuah hiburan baru bagi Sophia. Tapi dia juga tidak bisa menampik hasrat yang timbul bersamaan dengan kesenangan itu.Namun Sophia tidak suka akan bagaimana Albert mengatakannya sekarang seolah hanya Sophia yang menginginkannya.
Langit gelap perlahan turun dari jendela, yang selama setengah jam lalu Sophia tatap dengan mata menerawang. Tangannya terlipat di atas sandaran sofa dan dagunya terpaku di sana dengan mata yang setengah terutup.Bosan, itulah yang Sophia rasakan. Hampir satu minggu sudah dia tinggal di apartemen Albert ini dan tidak pernah keluar kemana pun. Sementara Albert bekerja, Sophia ditinggalkan sendiri tanpa aktivitas apapun.Albert melarangnya melakukan banyak hal; memasak, bersih-bersih, mengangkat barang-barang berat, atau berdiri terlalu lama, berjalan terlalu jauh. Lelaki itu menjadi begitu konyol pada beberapa hal. Walau Sophia tahu itu hanya bentuk kekhawatirannya yang berlebihan saja.Setiap malam saat waktunya tidur, Albert akan terjaga sampai dia memastikan Sophia sudah tertidur lelap. Lalu paginya, Sophia harus bangun dalam pelukan pria itu, atau setidaknya Sophia harus di sana saat Albert membuka mata. Kalau tidak, Albert akan tampak panik dengan mata liar
Sophia akan kembali pada Albert.Itulah yang dia inginkan, yang selalu dia inginkan, tapi lebih sering dia tutup-tutupi dengan berbagai macam alasan di kepalanya karena rasa takut untuk tersakiti kembali. Namun kini, entah perasaan ini datang dari mana, Sophia merasa yakin. Terlebih ketika dia teringat pada ucapan menohok yang Daniel katakan siang tadi.“Pastikan bahwa kau tidak akan menyesal di kemudian hari karena keegoisanmu ini, Sophia. Bayi di dalam kandunganmu … membutuhkan ayahnya. Kau tidak akan mau dia berakhir sepertimu, ‘kan?”Kalimat itu bergema dalam telinga Sophia, menguasai benaknya. Dia terlahir tanpa figur ayah, dia tahu bagaimana rasanya. Dan ketika dia memiliki sosok ayah itu, ekspektasinya dijatuhkan oleh kehadiran ibu dan saudara-saudara yang tidak dia kenal. Sophia tidak ingin hal itu terjadi pada anaknya.Mungkin tidak apa-apa kalau memang suatu hari nanti hubungannya dengan Albert tidak berjal
Sophia terkikik-kikik geli oleh respon yang diberikan suaminya. Dia lantas berjinjit, lalu mengecup belakang telinga Albert yang tengah memerah.Sesaat setelah melakukan itu, tubuh Sophia tiba-tiba saja didorong ke belakang dan berhenti saat punggungnya menyentuh meja pantri. Dia pikir akan merasakan sakit akibat benturan tersebut, namun ternyata Albert menahan punggungnya dengan tangan pria itu sendiri, seolah bersikap melindungi Sophia.Perlakuan kecil itu saja sudah membuat jantung Sophia berdetak kencang, terlebih ketika dia mendongak ke atas dan melihat mata pria di hadapannya yang menatapnya dengan tatapan liar. Sejenak, Sophia merasa menyesal telah menggoda Albert. Tadinya dia hendak lari ke kamar sesaat setelah mengecup pria itu, namun ternyata Albert memiliki pikiran lain. Dan pikiran lelaki itu sungguh berbahaya bagi kinerja jantung Sophia saat ini.Albert mendekatkan wajahnya pada sang istri, menghirup aroma manis buah anggur yang tadi disantapnya seb
“Apa kau pernah mendengar sebelumnya seorang ayah yang mengidam ketika istrinya hamil?” kata Sophia.Albert mengernyit, menaikkan sebelah alisnya skeptis, lalu menunduk ke arah perut Sophia. Seketika, ekspresinya berubah datar.Sophia lantas terkekeh geli. “Kau pasti terkejut. Ya tuhan, pantas saja aku sudah tidak lagi mengalami mual-mual, rupanya masalah itu sudah dilimpahkan padamu.” Sophia benar-benar tertawa dengan senang.Albert yang tadinya hendak menggoda istrinya itu mendadak tercenung oleh suara tawa Sophia yang rasanya sudah lama tidak dia dengar. Albert memandang wajah cantik istrinya itu yang tampak berseri-seri, cerah, dan begitu terhibur. Albert merasa dia tidak akan bisa lagi mengalihkan pandangnya dari apa yang kini ada di hadapannya.Namun, karena keterdiaman Albert itu, Sophia langsung sadar dan menghentikan tawanya. Dia berdeham pelan. “Maaf, tidak seharusnya aku bersikap seperti tadi,” kata Sophia de