Gina terus berlari keluar rumah, dan mencoba untuk meredam tangisan pecahnya.
"Gina!" panggil Aston berteriak.
Belum sampai di gerbang rumah, Aston sudah menarik keras tangan Gina.
"Apalagi Aston?"
"Gin, wanita yang dirumah aku itu cuma wanita panggilan saja," Aston mencoba membela diri.
"Aston, lalu kau anggap apa aku ini?" tanya Gina serak.
Aston menggeram, lalu menatap sinis, "Kau tahu kenapa aku begitu? karena kau tidak memberikan kesucianmu untukku! kau paham!?" tekan Aston.
"Jadi, selama kita memiliki ikatan kau hanya menginginkan itu saja? kau tidak bisa menilaiku, yang jelas sangat mencintai dan memujamu?"
Plakk!!
Tamparan keras di pipi Gina, bahkan meninggalkan tanda merah dan panas. Gina semakin sesak dengan perlakuan Aston, bahkan perasaannya pun kini terasa perih.
Tamparan keras itu berhasil membuat napas Gina terasa memburu, juga perih.
"Kenapa kau malah selalu menamparku As?"
Plak!!
Aston menampar lagi.
Deraian air mata Gina menetes lagi.
"Kalau aku katakan kau menurut, ya harus menurut sama aku! Jangan banyak menuntut aku harus seperti yang kau minta. Kau paham?!" bentak Aston.
"Aston, kau selalu ingin dipahami lalu aku?" tanya Gina parau."Kau!!!" Aston menoyor kepala Gina.
Gina mengepalkan tangannya, lalu menatap Aston lantang.
"Aku akan pergi bekerja, Ini rantang buat makan siangmu," Gina menyerahkan rantang itu ke tangan Aston, lalu pergi mempercepat langkahnya.
"Ginaaa!!!" teriak Aston terus memanggil.Gina tidak perduli, meski ia ingin sekali berhenti.
Sepanjang perjalanan menuju toko Roti, Gina mencoba menghentikan tangisannya. Berusaha membuat keadaannya sebaik mungkin, karena ia akan bekerja, dan lagi kalau teman satu kerjanya, Alya tahu kalau ia mendapat kekerasan lagi bisa gawat.
Gina segera mengganti pakaiannya dengan pakaian dinas toko roti berwarna cokelat tua. Menatap wajah di kaca yang tersedia di Toko Roti. Mencoba menguatkan hatinya yang hampir setiap hari sakit dan sedih.
"Gina, kau tumben cepat hari ini. Tidak seperti biasanya," sapa Alya tersenyum sembari menyusun Roti di steeling.
"Iya, Al—" jawab Gina serak.
Alya menyelidik, Lalu mendekati posisi Gina yang tengah menyusun Roti baru masuk. Alya hanya ingin memperjelas apa yang terjadi di pipi Gina, tampak membekas dan memerah. Ia sudah menduga, seperti biasa mendapat kekerasan lagi.
Pria keparat itu memang tidak akan berhenti menyakiti Gina terus menerus.
"Pipimu kenapa?"
Gina merasa tersudut, napasnya mulai tercekat.
"Kalian bertengkar lagi?" tanya Alya menatap lekat.
Gina menggeleng, mencoba menepis. Meski ia tidak bisa membohongi hatinya yang tersentak. Lalu menatap Alya, menyentuh pipinya.
Gina menarik napas panjang, kemudian memberikan seulas senyuman kecil terindahnya.
"Hanya sedikit bertengkar," balas Gina.
"Gin, kau hampir setiap harinya mendapat kekerasan."
Gina masih bertahan agar tidak menangis.
"Hampir setiap hari juga kalian itu selalu bertengkar, kau harus memikirkan tubuhmu. Kau tahu'kan punya hanya pipimu saja yang lebam. Tapi sekujur tubuhmu terkadang membiru dan lebam," ungkap Alya merasa gemas.
Alya tahu semua tentang asmara Gina dan Aston.
Gina menghela napas sesaknya, lalu ia memeluk Alya seerat mungkin. Hatinya terluka, hancur dan frustasi. Alya pun ikut merasa sedih, ia sudah berulang kali untuk mengingatkan Gina agar segera melepaskan Aston. Entah apa yang dilihat dari pria berandalan itu.
"Sudahlah, kau tidak perlu menangis. Tidak guna, hanya akan menghabiskan energimu," Alya mengelus lembut rambut Gina.
"Aku buatkan teh dahulu denganmu, kau tenangkan pikiranmu. Tolong, jangan menangis lagi. Toko Roti akan segera buka. Tidak enak dilihat pelanggan kalau kau masih menangis tersedu."
Mereka melepaskan pelukan, lalu Alya menuju belakang membuatkan teh untuk memenangkan Gina.
Seperginya Alya, tak henti Gina membayangkan perbuatan bejat Aston tadi, tega sekali ia berhubungan intim dengan wanita lain? Meski begitu, Gina masih tetap mencintai Aston. Bahkan ia tidak perduli dengan semua kejahatan serta perilaku kasar kekasihnya itu.
"Ini Minumlah, kau harus bersemangat. Jangan memikirkan pertengkaran kalian dahulu. Dia tidak penting! pikirkan pekerjaanmu," ujar Alya.
Gina mengangguk, menstabilkan keadaannya sambil menyeruput teh buatan Alya.
"Apa yang terjadi?"
"Tidak ada, Alya. Hanya sedikit pertengkaran saja."
Alya diam sesaat.
Mereka terhenyak untuk beberapa saat kemudian.
"Al, kalau suatu saat nanti aku menikah dengan Aston, kau setuju tidak?" tanya Gina pelan dan takut.
Alya mengernyitkan dahinya, merasa ia tidak tertarik. Pandangannya pun tampak lain, karena apapun terkait tentang Aston ia tidak akan pernah setuju meskipun tidak begitu menunjukkannya.
"Kukatakan padamu, Gin— Sampai kapanpun, Aston itu tidak akan pernah berubah. Kau saja yang terlalu mencintainya, Aku tanya apa yang bisa dibanggakan dari dia? Bekerja? tidak. Mapan? Tidak, itu harta Ibu killer-nya itu. Kau juga tahukan dia hanya berlindung dibawah naungan Ibunya saja. Kau tentu tahukan?" tanya Alya sedikit tersulut emosi.
"Al, hanya Aston yang bisa menerimaku sukarela tanpa memikirkan bagaimana masa depanku yang menyakitkan," balas Gina lagi sambil membayangkan kebersamaan mereka yang telah terlewati.
"Bukan dia saja. Hanya saja kau yang tidak membuka hatimu untuk pria lain! Coba kalau kau membuka pintu hatimu."
Gina diam sejenak.
"Dia bermain dengan wanita panggilan Al," akui Gina akhirnya, bernada lirih.
Alya tampak menggeleng. "Aston bermain dengan wanita lain saja, kau tetap setia dan malah memaafkannya?!" ungkap Alya menggeram.
Emosi Alya menggebu.
"Al, bukan seperti itu, tapi aku memang mencintainya, hanya dia yang aku punya," ucap Gina memperjelas lagi.
"Ya, Tuhan. buka mata dan pikiranmu Gina!" tekan Alya.
Gina menahan rasa sedihnya.
"Maafkan aku—" Gina memelas.
"Gin, diluar sana banyak pria yang bisa menerimamu. Bahkan, tidak semua pria yang menginginkan wanita mapan. Kau juga tidak perlu harus menunjukkan betapa menyedihkannya dirimu. Ingat, Gin! Tuhan sudah menentukan jodoh masing- masing."
"Aku tahu— Tapi aku—" Gina terbata-bata.
Alya mengerdikkan bahunya, "Terserah kau saja Gina, aku tidak bisa melakukan apapun. Aku hanya memberikanmu pengertian dan kalau kau tidak bisa menerimanya," Alya melebarkan tangannya merasa tidak tahu harus mengatakan apa.
"Oke, baiklah lebih baik kita mulai bekerja. Toko akan aku buka dahulu, jangan membawa masalahmu di Toko. Layani pelanggan dengan baik, dan tunjukkan senyum cantikmu seperti biasa," ucap Alya, lalu pergi melanjutkan pekerjaan untuk menyusun roti.
Gina menstabilkan hatinya dan memberikan senyum. Melupakan sejenak segala perkaranya.
Toko Roti khas kota Bandung itu telah terbuka, Gina sudah cukup siap untuk semuanya. Mereka pun kembali melayani para pelanggan Toko roti seperti biasanya. Menunjukkan ke-profersional layaknya sebagai karyawan.
Gina yakin, Aston akan meminta maaf dan berubah.
Hai kak, semoga kalian suka dengan cerita tersayatku yang satu ini ya...Berikan komentar terbaik kalian, juga hadiah dan Vote sebanyaknya, terimakasih kakak semuanya.Bersambung...Aston mencari bunga mawar merah, bunga favorite Gina. Tujuannya, ingin membujuk kekasihnya itu. Aston sudah sangat paham dengan sifat kekasihnya itu. Dengan diberikan bunga mawar saja, ia akan memaafkan Aston.Kembali mencintai dan memaafkan semua kesalahan Aston.Aston sudah menunggu Gina tepat diluar Toko. Menggenggam beberapa tangkai bunga mawar merah yang dibalut susunan bucket. Senyum tampan pria itu telah terpancar, bahkan matanya tak henti menatap dalam Toko.Gina dan Alya telah selesai dari pekerjaan lelah mereka, jam juga sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Gina telah bersiap untuk segera pulang, meski hatinya masih diliputi kesedihan mengingat perlakuan Aston. Gina tampak menyemangati dirinya sendiri meski sebenarnya ia pun mengalami masa sulit.Aston memang tipe pria urakan.Mereka berdua keluar dari Toko, Alya tetap menyemangati dengan senyuman. Sesekali membahas suatu hal ter
Semenjak percintaannya dengan Aston, ia semakin memantapkan hatinya hanya untuk Aston seorang. Hari-hari Gina begitu berwarna semenjak ia menyerahkan kesuciannya dengan Aston, pria itu semakin perhatian.Tidak sekali itu saja, mereka rutin melakukan hubungan suami istri itu meski mereka belum menikah. Gina menikmati, Aston juga merasakan hal yang sama. Bercinta dengan Gina adalah suatu hal yang menyenangkan, tidak terlebih pada Gina juga.Tidak memerdulikan apapun lagi, ia tetap mengiyakan apapun yang diinginkan Aston. Ia merasakan hatinya semakin berwarna, menggebu-gebu dan selalu merindukan Aston.Pagi sekali ia telah bangun, shift mereka telah ditetapkan pagi hari. Ia membiasakan dirinya untuk bangun pagi sekali agar tidak terlambat sampai Toko Roti. Namun, belum sempat ia melakukan aktivitas mandi ia merasakan gejolak perutnya kian menjadi ia mual dan terasa pusing sekali.Ia pijit keningnya, mualnya sem
"Cepat katakan!" tegas Aston."Kita harus berbicara empat mata, As," balas Gina masih terkatung."Apa begitu penting?" tanya Aston sinis.Gina menarik napas panjang, hatinya seakan terobek sulit mengungkapkan namun harus terpaksa mengatakan kebenaran yang sebenarnya.Aston menarik keras tangan Gina, teman Aston hanya melihat aneh sambil berbisik tidak tertarik. Mereka kini berada disebuah tempat sedikit sepi."Aston, kau menarik tanganku keras!" tukas Gina merasa pergelangan tangannya sakit.Aston melepaskan cengkraman erat tangannya, ia tampak menggertakan gigi dengan geram menatap Gina seakan ia adalah tumbal sasaran empuknya yang siap dimakan."Cepat, katakan!"Gina berusaha untuk tetap kuat, ia tidak bisa menutupi jika dirinya begitu kalut bahkan tidak tahu harus berbuat apalagi sekarang."Aku, hamil."
Pernikahan digelar.Apakah pernikahan itu membuat ia merasa bahagia juga bangga? tentu saja ia merasa banyak tanda tanya. Salah satunya, dari menyewa kebaya pengantin padahal mereka keluarga terpandang namun kembali lagi Gina harus menelan rasa pahit itu.Ia tidak membangkang, ia terima dengan lapang hati.Impiannya sejak dulu bersama Aston kini terkabulkan, dalam kenyataan menyakitkan juga keadaan yang penuh luka. Ketika ia berharap Aston akan melindungi atau sekadar memberikan ia kebahagiaan malah tangisan dan rasa perih ia dapatkan.Pernikahan tanpa resepsi, hanya pernikahan sekadar berlangsung dirmahu namun membuat ia setidaknya mendapat status.Alya memilih tidak menghadiri, ia sejak awal sudah mengatakan tidak akan pernah setuju atas pernikahan mereka. Menolak keras Aston juga menentang pernikahan mereka namun Gina tetap kekeh mempertahankannya.Hati Gina?
Bandara Soekarno-Hatta, pesawat kelas bisnis telah mendarat dengan sempurna.Sosok tangan kekar, guratan halus di area tangan terlihat jelas. Ia menundukan kepalanya dengan elegan menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Bibir memerah tanda tidak mengisap rokok terlihat jelas.Penampilan begitu memesona dan yang lebih tepat, ia sangat tampan maksimal sehingga seisi pesawat tidak menghentikan pandangan dari pria tinggi, rahang tegas menunjukan kekuasaan sebagai pria terhormat dan mapan.Tatapan begitu memukau, siapa yang tidak langsung terpesona? apalagi jika sudah melihat manik matanya yang mencolok berwarna biru.Ya, pria tampan itu ialah Revan Alexander Djayaningrat, memiliki tinggi 180 cm, rambut sedikit keemasan membuat ia semakin terlihat sexy.Revan berusia 30 tahun, meski idak lagi dikatakan muda namun wajahnya awet bak formalin dan digilai semua wanita termasuk nega
Revan tak henti menatap kecantikan Vero sepanjang mereka berjalan menuju Toko Roti, Vero bercerita panjang lebar pada Revan."Konsep apa untuk pertunangan kita nanti?" tanya Vero sumringah."Sederhana saja," jawab Revan."Baiklah, aku memiliki langganan tempat kue. Kita akan kesana, lalu ke butik untuk pakaian yang akan aku kenakan.""Baiklah, sesuai yang kamu mau saja sayang ...," balas Revan.Vero tersenyum dan bersikap manja, Revan pun menyetir dengan kecepatan standartd.Akhirnya mereka sampai tepat di depan Toko Roti tersebut. Vero menatap dengan mata binar, bangga ia akan memesan kue ditempat langganannya apalagi sudah cukup lama tidak kemari sehingga ia merindukan kedua wanita yang sudah menjadi temannya."Nah, itu dia."Revan mengangguk, "Baiklah, kamu lebih dulu masuk. Aku akan memarkirkan mobil," perintah Revan lembut.
Malam pun menyambut, malam gelap itu membuat Gina semakin menggelap. Ia menunggu sang suami dengan perasaan hitam. Ia sudah tahu jika Aston tidak akan pernah mau datang menemuinya, ia saja yang terlalu percaya diri besar untuk berharap Aston-mencintainya.Aston pria keras, sampai kapanpun ia tidak akan mau meluluhkan hatinya termasuk menjemout atau sekadar memberikan perhatian lebih pada Gina."Menunggu Aston?" tanya Alya tidak berselera, sambil memasang jacketnya bergegas pulang."Iya, Al ... aku menunggu Aston menjemputku.""Dia bilang mau jemput kamu?"Tumben."Nggak, aku hanya berharap dia datang menjemputku. Itu saja," jawab Gina sekenanya."Gina?!" panggil seorang pria dibelakang mereka.Gina dan Alya kompak melirik, setelah melihat sosok siapa yang datang Alya membuang wajahnya. Sampai kapanpun, ia tidak akan menyukai semua sifat Aston, ia me
Bisakah ia sejenak dengan pria bermata biru ini?"Mari kubantu," tawar Revan.Revan membantunya berdiri, ia dapat merasakan wewangian tubuh Revan menguar di hidungnya. Sentuhan itu terasa membuat Gina semu juga merasakan sesuatu hal berbeda sedang tersentuh disekujur tubuhnya."M-maaf Pak!? Maaf jika aku membuat Bapak merasa terancam.""Nggak apa, kamu baik saja?" Revan masih membantu Gina.Revan membantunya duduk di kursi luar Toko roti, Gina mengelus perutnya smabil meringis menahan sakit."Dia suamimu?" tanya Revan pelan.Gina terdiam sejenak lalu mengangguk mengiyakan, "Ya, dia suamiku."Revan mengangguk paham, tanpa sengaja ia memperhatikan ada darah dari sudut bibir Gina. Ia terlihat sangat tenang menanggapi namun terlihat meremang karena ingin mengobati luka itu."Ada darah di sudut bibirmu, apa kau ti
Di perusahaan cabang di Indonesia, Revan tengah mengetuk pena di meja kerja dengan terletak jelas cetakan jabatan CEO perusahaan yang ia geluti sejak lama. Menunduk memikirkan suatu hal. Ya, masa waktu Revan di negara ini akan segera berakhir. Tidak terasa sebentar lagi, ia akan kembali ke New York tapi kali ini tidak pulang sendiri atau bersama Vero tapi bersama dengan Gina. Wanita berbeda dari yang ia nyatakan di hati kecil dahulu.Setelah menjalani beberapa meeting, Revan memilih kembali ke rumah. Ingin bertemu Gina, masih belum menemukan waktu yang tepat.Sembari menyetiir, Revan memikirkan bagaimana perkataan yang pantas ia katakan nanti pada Vero. Sesampai di rumah, ia menuju pantry meneguk beberapa tegukan air putih dan menetralkan pikiran berkecamuk. Ia meletak kasar gelas tersebut, ia meremat rambut sehingga teracak serta kegelisahan mulai menyerang perlahan."Tumben siangan begini sudah pulang kamu," ucap Alline mengagetkan Revan.Revan menoleh sejenak wajah Alline yang mas
Pagi ini Revan menikmati sarapan pagi, tapi setelah berpikiran semalaman kalau Gina bersentuhan lagi dengan Aston-suaminya. Jujur, ia marah dan tidak rela demi apa pun membiarkan Gina berpaling darinya.Ia sudah menekankan di hati, Gina akan tetap menjadi milik Revan utuh. Tidak akan membiarkan kesakitan dihati wanita yang begitu ia cintai tersebut.Bayang-bayang percintaan panas mneyeruak dalam pikiran Revan, sentuhan yang ia berikan membuat Gina ikhlas lahir batin bahkan tidak ada kata menyesal atau mara ia ungkapkan entah karena menikmati atau sentuhan seperti inilah yang ia inginkan sesungguhnya.Revan sudah berjanji pada hati kecil, kalau Gina akan tetap menjadi wanita terbahagia. Ia sudah bertekat untuk menjalani perlahan hingga waktu tiba membawa Gina sejauh-jauhnya dari Aston. Pria iu sudah menyiakan Gina yang seharusnya ia hujani dengan penuh cinta."Ehem-- pikirin apaan? Bengong begitu, kosong pandangan." Alline nyeletuk.Revan
Vero yang merasa hidupnya hancur berkeping tak berhenti menangis pilu, tadi itu? Ia merasa kebahagiaan itu hanya miliknya sejenak tidak selamanya. Beginikah hasil ketika mengetahui sang tunangan tak lagi mencintai sepenuh hati?Tidak bisa ia bayangkan jika ia dan Revan harus berpisah.Baru kemarin mereka bahagia, bertunangan dan kini pria berstatus tunangannya harus merenggang menyakitkan. Tanpa ia sadari, sang ibu menyadari kesedihan Vero yang tampak menutupi kalau hati sedang kalut.Sebagai ibu yang paham tentang keadaan Vero, ia berdiri di ambang pintu dan menyaksikan bagaimana Vero menahan sedih tapi ingin mencuatkan semua. Ia mencoba membaur, tersenyum kecil."Begadang sayang?" Anita memasuki kamar."Eh, Mama--" Vero langsung mengusap air mata secepat mungkin.Mencatut wajah sang putri dari cermin, ia mengusap punggug Vero. Ia yakin, melalui sentuhan ini ia sedang memberi koneksi Vero agar mengatakan tentang isi hati sebenar
Revan menggertakkan gigi, masih di lokasi tempat Gina dan Aston tengah berbincang seolah tidak menyadari kehadirannya. Tidak akan tinggal diam, padahal tadi dia sudah sangat gempar ingin membuat Gina mempercayai dan membawa wanita ia cintai tersebut jauh dari jangkauan orang.Baiklah, kalau memang Gina dan Aston menginginkan persaingan di mulai dengan senang hati Revan menerima dan sangat siap untuk menyerang secara halus. Segala perbuatan merebut tidak harus terangan terlihat.Hati-hati tapi mematikan.Bila perlu mematikan secara perlahan hingga ke jantung. Ia mengalah malam ini, tapi tidak dengan hari berikutnya. Akan ia balas, Revan pun menghidupkan mesin mobil dan memundurkan perlahan.Dencitan demi dencitan terdengar nyaring, ia sedikit kasar sambil membunyikkan gas-rem beberapa kali memberitahu kalau ia siap menyerang.Ia pergi meninggalkan lokasi, menjauh dari Gina beberapa saat. Gina tau, mobil yang baru saja pergi tersebut milik
Gina menatap dengan pandangan tak berkedip sedikit pun. Mulutnya tengah terkatup setelah menyadari kalau Aston-suaminya yang memanggil."Istriku?!" Aston tersenyum bak pria iblis sedang memenangkan kehadiran."K-kau sedang apa?"Aston mengernyit, "Hubungan kita kurang baik belakangan ini, kenapa kau seperti tidak menyukai kehadiranku? Kau tergganggu?"Gina menarik napas, tatapan merah nanar. Menggeleng gelisah karena sulit mengatakan apa pun saat ini. Bukankah seharusnya bertemu Revan malam ini?Ke mana pria tersebut?"B-bukan, aku hanya kaget kau hampir tidak pernah laggi menjemputku. Hanya merasa bingung dan kaget.""Gina sayang, aku tau ... aku melakukan banyak kesalahan padamu. Aku juga ingin membuatmu tetap nyaman.""Maksud ucapanmu?""Eh, begini, aku sedang menunggumu pulang. Aku sudah menantikan jam pulangmu. Tapi, aku berkeliling dahulu tadi ke kota."Tubuh Gina mulai gemetar, apa yang baru saja Aston katakan? Ia masih tidak percaya kalau su
Vero benar-benar kalut kalau saja memang Revan memiliki wanita lain selainGina menyusun rapi roti yang baru masuk, ia tersenyum penuh raut wajah tersungging memesona. Tampilan yang memperlihatkan kalau ia akan baik saja. Mencintai Revan tanpa siapa pun yang tau. Tidak. Alya mengetahui dan apa saja tentang Gina.Revan akhirnya sampai di Toko Roti, memendarkan pandangannya dan menatap Gina dengan lembut. Seulas senyum tercetak menawan dari pahatan wajah Revan. Embusan napas tertoreh elegan dari bibir sensualnya."Hai," sapanya.Gina menoleh, susah payah menelan saliva. Ia menatap lama wajah tampan dilapisi kulit legam eksotis. Dia memang pria bule yang khas.Gina Syakilla menatap Revan sambil meletakkan kue yang hendak ia susun."Revan, kau sedang apa? K-kenapa?" Gina sedikit gugup."Bertemu denganmu," jawab Revan.Alya yang menatap mereka syok, hanya bisa termangu dan tidak menyangka kalau Revan mulai terangan b
Revan meraih kemeja putihnya, ia mengenakan ke tubuh sempurna yang banyak digilai para wanita. Ia tahu, jika tubuhnya banyak diidamkan kaum hawa termasuk Gina. Ia telah merasakan betapa nikmat ia dalam kungkungan pria tersebut.Ia ingin memutuskan bertemu Gina, ia ingin menunjukkan sikap kalau ia juga berhak memberikan perhatian terhadap Gina. Ia sisir dengan rapi rambutnya ke belakang. Ia tersenyum pulas sambil menyemprotkan cologne. Reavn begitu memukau, bak sedang ingin menyatakan cinta pada wanita yang begitu ia cintai.Revan memang bukanlah tipikal pria yang sukanya mengumbar pesona di hadapan banyak wanita. Sekali ia mencintai, ia akan mencintai satu orang wanita tanpa memikirkan syarat apa untuk sekadar mencintainya saja. Revan memiliki kelembutan luar biasa, ia akan senang membantu kaum wanita yang tertindas.Kecuali dengan Gina, ia memang membantu tapi ia jatuh cinta.Ah!
Gina tampak menunduk setelah percakapannya dengan Vero. Kini ia menatap kosong area dapur tempat melaksanakan makan siang bergantian dengan Alya.Hati kecilnya seolah terkikis ingin marah pada kenyataan, tapi ia memikirkan ia pun pantas mendapatkan yang sudah menjadi impiannya sejak sekian lama. Perasaan yang telah lama tersakiti, telah diberi warna oleh Revan.Pria yang sudah memberikannya banyak warna.Alya tampak membawa bekal, ia memang sudah terbiasa selalu membawa bekal ke Toko. Ia menatap Gina yang tengah melamunkan entah apa. Ia terlihat gelisah, mengembuskan napas kelelahan yang tidak berhenti.Alya tahu perasaannya."Gina," panggilnya menyentuh pundak lembut."Eh ... Alya, apa kau tidak memiliki pelanggan di depan?""Lagi kosong."Alya memberesi bekalnya, Gina hanya menatap dengan tatapan kosong.&nbs
Semenjak pengakuan Gina kemarin, Alya masih tidak menyangka bahkan perasaan mereka semakin gugup juga sulit mengungkapkan hal apapun lagi. Alya menatap Gina ragu namun ia tidak bisa menyalahkan Gina karena ia memang pantas diberi perhatian oleh pria asing.Sangat disayangkan, jika pria itu sudah dimiliki orang lain tak lain pelanggan yang mereka anggap kakak. Sulit mengartikan namun inilah kenyataan hidup yang harus Gina jalani."Gina, Re—""Gina? Alya?" Vero menyapa.Deg!Belum sempat Gina menyebut nama Revan, Vero telah hadir di antara mereka. Melihat Vero rasanya ia tidak memiliki kuasa untuk mengucapkan tentang Revan lagi, ia menatap Alya berharap merahasiakan hal ini."Hey, apa yang terjadi dengan kalian? Kalian tampak menegang sekali," ucap Vero dengan senyum tipis.Alya mempertunjukkan wajah menyimpan perasaan kaku, menegang