Setelah kembali ke dalam selnya, Venina merenungkan segalanya yang terjadi. Ia duduk di sudut sel, menundukkan kepalanya sambil memejamkan mata ketika kenangan-kenangan itu mulai merasuk lagi ke dalam benaknya dan mengusiknya, membawa perasaan sesak yang tak tertahankan."Saya tidak akan pernah membiarkan kamu pergi, Nina. Tidak akan pernah saya izinkan kamu keluar dari rumah ini," suara tegas Erlangga bergema dalam ingatannya, penuh ketegasan dan otoritas yang membuatnya menggigil."Mau sampai kapan kamu mengurung dan menyiksa hati saya di sini, Mas?" tanya Venina dengan suara yang terdengar hampa, penuh keputusasaan. "Belum cukupkah saya memberikan apa yang paling kamu inginkan?" tambahnya lagi, menatap kekasihnya dengan pandangan pahit yang membuat hati pria itu teriris.Erlangga tertegun di tempatnya. Kata-kata
Erlangga memandang kekasihnya yang masih terlelap di sebelahnya. Tanpa ragu, dia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Venina yang masih memejamkan mata."Selamat pagi, Sayang," sapa Erlangga lembut, bibirnya masih menempel di bibir wanita itu.Venina melenguh pelan, membuka matanya perlahan-lahan. Pandangannya langsung bertemu dengan mata kekasihnya yang memancarkan cinta. "Pagi," balasnya dengan suara serak khas bangun tidur.Dia masih ingin menikmati sisa kantuknya. "Saya mau tidur lagi, Mas. Masih ngantuk," katanya sambil memejamkan matanya kembali dan menarik selimutnya lebih rapat.Erlangga tersenyum, memandang Venina dengan penuh cinta. Dia mendekap tubuh kekasihnya erat-erat dari belakang. "Kamu tidak akan pergi, kan?" tanyanya dengan suara rendah, penuh harap.
Venina menoleh ke belakang, melihat gerbang penjara yang telah mengurungnya selama hampir lima tahun untuk terakhir kalinya. Di balik jeruji besi dan tembok kokoh itu, dia menjalani masa-masa penuh penyesalan dan harapan.Perlahan dia memalingkan wajahnya ke depan, menatap pria yang tengah menantinya dengan seuntai senyum di bibirnya. Pria itu masih sama seperti dulu—gagah, tenang, dan semakin matang dengan waktu."Hai, Nina!" sapanya dengan penuh kelembutan, matanya berbinar menyambut kehadiran wanita yang telah lama dirindukannya."Rio," desah Venina penuh haru ketika akhirnya dia bertemu kembali dengan pria yang begitu setia menunggunya dalam segala kondisi itu. Matanya berkaca-kaca, tak percaya bahwa hari ini akhirnya tiba."Boleh aku memelukmu, Nin
Venina keluar dari mobil perlahan, meraih tangan Rio yang sudah terulur di hadapannya. Hatinya berdebar kencang, campuran perasaan takut dan rindu menyelimuti dirinya."Ibu baik-baik saja kan, Rio?" bisiknya, mencoba menahan perasaannya yang berkecamuk."Lihatlah sendiri, Nina. Ibu pasti sudah menunggumu," balas Rio dengan lembut. Dengan penuh perhatian, dia membimbing Venina masuk ke dalam halaman rumah yang telah lama ia tinggalkan.Begitu menapakkan kakinya di halaman, tubuh Venina mulai bergetar ketika matanya menangkap sosok wanita paruh baya yang berdiri di ambang pintu, menyambutnya dengan senyuman penuh kasih. Senyum yang sangat dirindukannya selama bertahun-tahun."Nina...!" Suara Nadia terdengar gemetar, dan tanpa ragu dia langsung menghambur memeluk putri terc
Venina melangkah dengan gemulai, gaun pengantin putihnya mengalir menawan di sepanjang lorong gereja. Ia digandeng oleh ibunya yang menatapnya dengan penuh kebanggaan. Di ujung altar, Pendeta Abraham telah menunggu bersama Rio, yang memandang calon pengantinnya dengan tatapan penuh haru dan cinta.Venina tampil memukau dalam gaun pengantin putih yang disiapkan sendiri oleh ibunya. Meski sederhana, gaun itu tidak bisa menutupi pesona kecantikan alamnya. Rambutnya yang terurai lembut dan riasan yang natural semakin mempertegas kecantikannya.Rio mengulurkan tangannya untuk menerima Venina, yang dengan penuh haru diserahkan oleh ibunya. Dalam sorot mata Nadia, Rio bisa membaca keharuan dan kebahagiaan yang mendalam. Kata-kata Nadia kembali terngiang di telinganya, “Titip Nina ya, Rio. Jaga dia dan sayangi dia seumur hidupmu.”
Venina memandangi alat tes kehamilan di tangannya dengan bergetar. Air mata mulai mengalir, dan hatinya serasa diremukkan oleh kenyataan yang terus menerus mengecewakan. Dia menjatuhkan dirinya di tepi ranjang, tubuhnya gemetar hebat."Tolong beri aku kesempatan untuk memberikan seorang anak untuk suamiku, Tuhan," bisiknya lirih sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Isak tangisnya memenuhi kamar, menggema dengan kepedihan yang mendalam.Venina terus terisak sampai Rio masuk ke dalam kamar. Melihat keadaan istrinya, Rio langsung tahu apa yang terjadi. Dia bergegas mendekat, duduk di samping Venina dan merangkulnya dengan penuh kehangatan."Jangan menangis, Sayang," bisik Rio sambil mendekap tubuh Venina dan mengusap punggungnya dengan lembut, berusaha menenangkan wanita yang sangat dicintainya itu.
Venina tidak pernah menyerah. Di samping segala usaha medis, dia juga terus berdoa dan rutin pergi ke gereja, berharap suatu hari Tuhan mendengarkan doanya. Dan akhirnya, keajaiban itu datang beberapa bulan kemudian, saat usia pernikahan mereka menginjak tahun ke-delapan.Pagi itu, ketika Venina duduk di ruang periksa, hatinya berdebar tak karuan. Dokter Andrew mengamati hasil tes dengan seksama. Senyum kecil mulai tersungging di wajah dokter yang sudah lama dikenalnya itu."Selamat ya, Bu Venina. Akhirnya yang ditunggu-tunggu sudah datang. Ibu hamil."Venina nyaris tak bisa menahan kebahagiaannya. Matanya berbinar, penuh air mata haru.“Saya benar-benar hamil, Dok?” tanyanya lagi, memastikan.Dokter Andrew
Selama masa kehamilannya, Venina benar-benar merasakan kasih sayang suaminya yang semakin melimpah. Tidak hanya memberi perhatian dan memanjakannya, Rio juga menuruti semua permintaan istrinya dengan penuh cinta."Barangkali sebentar lagi rumah kita akan menjadi taman bunga, Rio," ujar Venina sambil tertawa ketika malam itu dia menerima buket bunga yang cukup besar dari suaminya."Asal kamu suka, aku tidak keberatan, Nina," sahut Rio asal sambil memeluk tubuh istrinya dari belakang dengan lembut. Dia mencium leher Venina, merasakan aroma harum tubuh istrinya yang selalu membuatnya tenang.Venina memandang bunga-bunga itu dengan haru. "Jangan terlalu memanjakan aku, Rio. Lama-lama aku bisa rusak," pintanya dengan suara penuh kasih.Rio mengelus perut istrinya yang semakin