Erlangga terus mencari cara untuk membebaskan Venina dari segala tuduhan yang mengarah padanya. Dia bahkan telah menyewa pengacara terbaik untuk membela Venina, mengeluarkan segala sumber daya dan koneksi yang dimilikinya demi membuktikan bahwa kekasihnya tidak bersalah."Saya tidak peduli apa yang akan Anda lakukan. Saya ingin Venina bebas dari segala tuduhan ini!" desak Erlangga dengan tegas kepada Widianto S.H., pengacaranya yang duduk di hadapannya.Widianto menatap kliennya dengan serius. "Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk meringankan hukumannya, Pak," jawabnya dengan tenang."Saya ingin Venina bebas!" Erlangga menekankan kata-katanya. "Tidak peduli berapa banyak uang yang harus dikeluarkan, saya ingin dia bebas!""Bapak ingin saya melakukan suap?" tanya Widia
Ruangan sidang yang penuh sesak dengan orang-orang yang tegang seketika berubah menjadi hening saat hakim mengetuk palu untuk menjatuhkan vonis. "Setelah mempertimbangkan faktor-faktor yang memberatkan dan meringankan, pengadilan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, Venina Anastasya, dengan pidana penjara selama lima tahun.”Nadia, yang duduk di barisan penonton, langsung memekik sekeras-kerasnya, tangisnya pecah seketika. Hatinya hancur melihat putri yang begitu dicintainya harus berakhir seperti ini hanya karena cinta yang salah pada lelaki yang tak pantas."Kenapa, Nina? Kenapa kamu lakukan semua ini pada Ibu? Sampai hati kamu menghancurkan hati Ibu seperti ini?" jerit Nadia dengan suara tertahan ketika akhirnya dia menemui Venina untuk pertama kalinya setelah keputusan itu dijatuhkan.Venina hanya bi
Dia memilih kesendirian sebagai jalan untuk meredam kepedihan yang mendalam, walau dalam hatinya terus berkecamuk rasa penyesalan dan kerinduan yang tak terlukiskan. Selama hari-hari pertama di dalam penjara, setiap detik berlalu begitu berat baginya.Namun, ketika Rio dengan gigih selalu berusaha menemuinya, Venina merasa tidak bisa lagi menolak. Suara lembut yang begitu dikenal itu menembus keheningan dan kehampaan yang mengelilinginya di balik jeruji besi."Nina...!" seru Rio dengan penuh haru ketika akhirnya dia bisa melihat wanita yang selalu mendiami hatinya.Rio memandang Venina yang terlihat lebih kurus, wajahnya menyiratkan kepedihan yang tak ada habisnya. Namun, matanya tetap memancarkan sinar yang sama ketika memandangnya."Apa kabar, Nina?" tanyanya den
Setelah kembali ke dalam selnya, Venina merenungkan segalanya yang terjadi. Ia duduk di sudut sel, menundukkan kepalanya sambil memejamkan mata ketika kenangan-kenangan itu mulai merasuk lagi ke dalam benaknya dan mengusiknya, membawa perasaan sesak yang tak tertahankan."Saya tidak akan pernah membiarkan kamu pergi, Nina. Tidak akan pernah saya izinkan kamu keluar dari rumah ini," suara tegas Erlangga bergema dalam ingatannya, penuh ketegasan dan otoritas yang membuatnya menggigil."Mau sampai kapan kamu mengurung dan menyiksa hati saya di sini, Mas?" tanya Venina dengan suara yang terdengar hampa, penuh keputusasaan. "Belum cukupkah saya memberikan apa yang paling kamu inginkan?" tambahnya lagi, menatap kekasihnya dengan pandangan pahit yang membuat hati pria itu teriris.Erlangga tertegun di tempatnya. Kata-kata
"Jangan, Pak...," bisik Venina dengan suara gemetar, tetapi suaranya tenggelam dalam keheningan ketika bibirnya dipagut kasar oleh Erlangga. Seolah mematikan segala keberatan yang hendak diutarakan.Tubuh Venina bergetar, tak hanya oleh sentuhan kasar atasannya itu, tetapi juga oleh rasa takut yang melumpuhkannya. Aroma alkohol semakin terasa menusuk, merayap ke dalam setiap pori-porinya. "Maafkan aku, Lia," bisik Erlangga di tengah-tengah serangkaian ciuman yang ganas.Tapi aku bukan Lia, teriak Venina dalam hatinya. Tenaganya terasa habis saat itu juga. Sementara lututnya lemas, seperti tak bertulang. Tiba-tiba dia menyesali keputusannya untuk memeriksa ruang atasannya sebelum pergi tadi. Seharusnya dia langsung pulang ketika sudah mengambil ponselnya yang tertinggal. Bukannya malah sibuk mencari tahu kenapa lampu di ruangan pria itu masih menyala."Jangan tinggalkan aku, Lia," gumam Erlangga dengan suara yang hampir putus asa, namun dipenuhi oleh hasrat yang meluap-luap."S-saya…
“Apa kamu wanita itu?” Pertanyaan itu berhasil membuat tubuh Venina menegang. Dia memegang erat berkas di tangannya seolah benda itu adalah perisai yang akan menyelamatkannya. “Saya… saya tidak mengerti maksud, Bapak,” sahutnya dengan gemetar. “Apa kamu ada di ruangan saya semalam?” desak Erlangga dengan tak sabar.Ayrin menghela napas sambil berusaha menenangkan diri agar keresahannya tak terlihat. “Saya langsung pulang, Pak.”Namun, Erlangga tidak puas dengan jawaban itu. “Lalu kenapa kacamatamu ada di ruangan saya?” tanya Erlangga dengan suaranya yang berat, menekan Venina untuk memberikan penjelasan yang jelas.Venina merasakan detak jantungnya semakin cepat. Dia merutuki dirinya sendiri karena kecerobohannya yang menyebabkan kacamatanya tertinggal di ruangan Erlangga. "Saya… saya tidak tahu, Pak," ucapnya yang terdengar bodoh, hampir terdengar seperti bisikan yang terhenti di tenggorokannya.Jari-jemari Erlangga menyentuh wajahnya, membuat Venina terkejut. "Kamu tahu betul apa
"Kenapa kamu harus sebodoh ini, Nina?" umpatnya pada dirinya sendiri dengan nada penuh keputusasaan ketika dia baru saja keluar dari ruangan Erlangga.Tubuhnya kembali bergetar ketika mengingat kata-kata lancangnya kepada atasannya itu. Dia menampar pipinya berkali-kali, mencoba mengusir semua bayangan buruk di kepalanya.Namun, alih-alih tenang, perasaannya malah semakin tidak karuan ketika membayangkan bagaimana reaksi Erlangga saat melihat video yang menampilkan percintaan mereka semalam. Rasa malu dan penyesalan menyergapnya, dia merasa ingin tenggelam di dalam tanah dan menghilang dari pandangan semua orang."Aargh! Apa sih yang kamu pikirkan, Nina?" desisnya frustrasi pada dirinya sendiri. Tanpa berpikir panjang, dia mengambil keputusan untuk pergi ke rooftop, berharap pikiran dan perasaannya akan menjadi lebih tenang di sana.Namun, harapannya tidak sesuai kenyataan. Setelah susah payah menaiki ratusan tangga sampai kakinya terasa sakit dan dadanya terasa panas, bayangan pria i
“Nah, gaun ini sangat pas di tubuhmu, Nina,” kata Alfian, wakil direktur yang baru saja bergabung di perusahaan yang juga menjadi atasan Venina untuk sementara waktu."Tapi… gaun ini…” Venina terdiam, merasa kesulitan untuk mengungkapkan ketidaknyamanannya. Dia tahu bahwa dia harus berbicara dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Alfian, tetapi sulit untuk menyembunyikan ketidaknyamanannya dengan gaun tersebut. “Sebaiknya saya mengganti pakaian saya, Pak. Saya tidak ingin mempermalukan Bapak.”“Oh, ayolah, Nina! Tidak ada yang salah dengan gaunmu,” sahut Alfian dengan santai tanpa nada melecehkan. “Lagipula kita bukannya pergi ke acara resmi. Jadi, tidak perlu berpakaian terlalu formal.”Venina mengangguk pelan, tapi hatinya tetap gelisah. Dia merasa canggung saat melihat sorot mata terkesan Alfian yang memandangnya. "Kamu cantik, dan saya yakin siapa pun yang melihatmu malam ini, dia akan terpikat. Jadi, sebaiknya kamu lebih percaya diri, Nina," tambahnya dengan nada meyaki