Venina duduk tegang di hadapan seorang detektif berwajah tegas yang duduk di seberang meja. Wajahnya pucat dan mata yang semula penuh kekosongan kini terlihat lapang, mencoba menanggapi setiap pertanyaan dengan hati-hati.
"Bu Venina, kami butuh klarifikasi dari Anda terkait insiden ini," ujar Detektif Utama Andika, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Kami membutuhkan keterangan Anda untuk memastikan semua detail yang diperlukan dalam penyelidikan kasus ini."
Venina menelan ludahnya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. Dia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini, diperiksa sebagai saksi penting atas kasus pembunuhan dan penyerangan. Pikirannya masih kacau, mencoba mengingat kembali bagaimana semuanya bisa berakhir seperti ini.
"Pikiran saya masih belum bisa menerima semua ini, Pak," ucap Venina dengan suara bergetar. "Saya tidak pernah bermaksud untuk melukai Nathalia atau siapapun. Saya tidak bisa membayangkan hal seperti i
Erlangga sangat terkejut sekaligus geram ketika mendengar bahwa Venina telah ditetapkan sebagai tersangka. Amarahnya membuncah, dan hatinya bergejolak. Bagaimana mungkin wanita yang dicintainya dituduh melakukan perbuatan sekeji itu? Dia yakin bahwa pihak kepolisian telah menjebak kekasihnya agar mengakui hal yang tidak pernah dia lakukan."Nina tidak mungkin membunuh orang, apalagi menyakiti Lia," seru Erlangga penuh emosi saat duduk di hadapan Kapten Rianto untuk diinterogasi. Wajahnya memerah, matanya menatap tajam, seolah mencoba menembus ketenangan kapten polisi di depannya. "Nina tidak akan pernah bisa melakukan itu."Kapten Rianto tetap tenang, pandangannya tak tergoyahkan. "Ibu Venina sendiri sudah mengakui perbuatannya," jawabnya sabar. "Sidik jarinya pun ditemukan pada senjata yang menewaskan pembantu Anda.""Pikirannya masih kacau, Pak. Nina belum bisa berpikir jernih dan dia sedang tertekan," Erlangga membalas setelah terdiam lama, suaranya gemetar menahan amarah dan frusta
Erlangga terus mencari cara untuk membebaskan Venina dari segala tuduhan yang mengarah padanya. Dia bahkan telah menyewa pengacara terbaik untuk membela Venina, mengeluarkan segala sumber daya dan koneksi yang dimilikinya demi membuktikan bahwa kekasihnya tidak bersalah."Saya tidak peduli apa yang akan Anda lakukan. Saya ingin Venina bebas dari segala tuduhan ini!" desak Erlangga dengan tegas kepada Widianto S.H., pengacaranya yang duduk di hadapannya.Widianto menatap kliennya dengan serius. "Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk meringankan hukumannya, Pak," jawabnya dengan tenang."Saya ingin Venina bebas!" Erlangga menekankan kata-katanya. "Tidak peduli berapa banyak uang yang harus dikeluarkan, saya ingin dia bebas!""Bapak ingin saya melakukan suap?" tanya Widia
Ruangan sidang yang penuh sesak dengan orang-orang yang tegang seketika berubah menjadi hening saat hakim mengetuk palu untuk menjatuhkan vonis. "Setelah mempertimbangkan faktor-faktor yang memberatkan dan meringankan, pengadilan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, Venina Anastasya, dengan pidana penjara selama lima tahun.”Nadia, yang duduk di barisan penonton, langsung memekik sekeras-kerasnya, tangisnya pecah seketika. Hatinya hancur melihat putri yang begitu dicintainya harus berakhir seperti ini hanya karena cinta yang salah pada lelaki yang tak pantas."Kenapa, Nina? Kenapa kamu lakukan semua ini pada Ibu? Sampai hati kamu menghancurkan hati Ibu seperti ini?" jerit Nadia dengan suara tertahan ketika akhirnya dia menemui Venina untuk pertama kalinya setelah keputusan itu dijatuhkan.Venina hanya bi
Venina memilih kesendirian sebagai jalan untuk meredam kepedihan yang mendalam, walau dalam hatinya terus berkecamuk rasa penyesalan dan kerinduan yang tak terlukiskan. Selama hari-hari pertama di dalam penjara, setiap detik berlalu begitu berat baginya. Namun, ketika Rio dengan gigih selalu berusaha menemuinya, Venina merasa tidak bisa lagi menolak. Suara lembut yang begitu dikenal itu menembus keheningan dan kehampaan yang mengelilinginya di balik jeruji besi."Nina...!" seru Rio dengan penuh haru ketika akhirnya dia bisa melihat wanita yang selalu mendiami hatinya.Rio memandang Venina yang terlihat lebih kurus, wajahnya menyiratkan kepedihan yang tak ada habisnya. Namun, matanya tetap memancarkan sinar yang sama ketika memandangnya."Apa kabar, Nina?" tanyanya dengan lembut.Venina menoleh perlahan, melihat sosok Rio yang tak pernah pudar dari ingatannya. Pria itu masih tampan dan gagah seperti dulu, dan pertemuan mereka di ruang kunjungan ini seolah membawa kembali semua kenangan
Setelah kembali ke dalam selnya, Venina merenungkan segalanya yang terjadi. Ia duduk di sudut sel, menundukkan kepalanya sambil memejamkan mata ketika kenangan-kenangan itu mulai merasuk lagi ke dalam benaknya dan mengusiknya, membawa perasaan sesak yang tak tertahankan."Saya tidak akan pernah membiarkan kamu pergi, Nina. Tidak akan pernah saya izinkan kamu keluar dari rumah ini," suara tegas Erlangga bergema dalam ingatannya, penuh ketegasan dan otoritas yang membuatnya menggigil."Mau sampai kapan kamu mengurung dan menyiksa hati saya di sini, Mas?" tanya Venina dengan suara yang terdengar hampa, penuh keputusasaan. "Belum cukupkah saya memberikan apa yang paling kamu inginkan?" tambahnya lagi, menatap kekasihnya dengan pandangan pahit yang membuat hati pria itu teriris.Erlangga tertegun di tempatnya. Kata-kata
Erlangga memandang kekasihnya yang masih terlelap di sebelahnya. Tanpa ragu, dia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Venina yang masih memejamkan mata."Selamat pagi, Sayang," sapa Erlangga lembut, bibirnya masih menempel di bibir wanita itu.Venina melenguh pelan, membuka matanya perlahan-lahan. Pandangannya langsung bertemu dengan mata kekasihnya yang memancarkan cinta. "Pagi," balasnya dengan suara serak khas bangun tidur.Dia masih ingin menikmati sisa kantuknya. "Saya mau tidur lagi, Mas. Masih ngantuk," katanya sambil memejamkan matanya kembali dan menarik selimutnya lebih rapat.Erlangga tersenyum, memandang Venina dengan penuh cinta. Dia mendekap tubuh kekasihnya erat-erat dari belakang. "Kamu tidak akan pergi, kan?" tanyanya dengan suara rendah, penuh harap.
Venina menoleh ke belakang, melihat gerbang penjara yang telah mengurungnya selama hampir lima tahun untuk terakhir kalinya. Di balik jeruji besi dan tembok kokoh itu, dia menjalani masa-masa penuh penyesalan dan harapan.Perlahan dia memalingkan wajahnya ke depan, menatap pria yang tengah menantinya dengan seuntai senyum di bibirnya. Pria itu masih sama seperti dulu—gagah, tenang, dan semakin matang dengan waktu."Hai, Nina!" sapanya dengan penuh kelembutan, matanya berbinar menyambut kehadiran wanita yang telah lama dirindukannya."Rio," desah Venina penuh haru ketika akhirnya dia bertemu kembali dengan pria yang begitu setia menunggunya dalam segala kondisi itu. Matanya berkaca-kaca, tak percaya bahwa hari ini akhirnya tiba."Boleh aku memelukmu, Nin
Venina keluar dari mobil perlahan, meraih tangan Rio yang sudah terulur di hadapannya. Hatinya berdebar kencang, campuran perasaan takut dan rindu menyelimuti dirinya."Ibu baik-baik saja kan, Rio?" bisiknya, mencoba menahan perasaannya yang berkecamuk."Lihatlah sendiri, Nina. Ibu pasti sudah menunggumu," balas Rio dengan lembut. Dengan penuh perhatian, dia membimbing Venina masuk ke dalam halaman rumah yang telah lama ia tinggalkan.Begitu menapakkan kakinya di halaman, tubuh Venina mulai bergetar ketika matanya menangkap sosok wanita paruh baya yang berdiri di ambang pintu, menyambutnya dengan senyuman penuh kasih. Senyum yang sangat dirindukannya selama bertahun-tahun."Nina...!" Suara Nadia terdengar gemetar, dan tanpa ragu dia langsung menghambur memeluk putri terc
Venina sedang menyiapkan teh di dapur ketika Erlangga menghampirinya dengan wajah serius. "Nina, kita harus bicara soal Erna," ujarnya dengan nada tegas.Venina menghela napas panjang, sudah menduga arah pembicaraan ini. "Ada apa lagi, Mas?""Saya rasa kita harus lebih tegas. Erna harus menggugurkan kandungannya," Erlangga berkata tanpa basa-basi.Cangkir teh di tangan Venina hampir terlepas. Dia menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. "Apa? Mas bercanda, kan?""Saya serius, Nina. Ini demi masa depan Erna. Dia masih terlalu muda, belum siap jadi ibu," Erlangga bersikeras.Venina menatap suaminya dengan tajam, "Mas, aku nggak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu. Erna itu anak kita, darah daging kita sendiri. Gimana bisa
Erlangga berdiri kaku di depan ruang pemeriksaan, matanya tak lepas dari pintu yang tertutup rapat, seolah-olah bisa menembus dinding untuk melihat keadaan putrinya. Kekhawatiran terukir jelas di wajahnya, campuran antara rasa takut akan kondisi Erna dan amarah yang masih bergolak dalam dadanya.“Erna…," bisiknya berulang-ulang, suaranya serak oleh emosi yang tak terbendung. Tangannya mengepal dan mengendur secara bergantian, menunjukkan pergulatan batin yang hebat di dalam dirinya.Venina berdiri di sampingnya, berusaha menenangkan suaminya dengan kata-kata lembut di tengah kecemasannya sendiri. "Erna akan baik-baik saja, Mas. Dia gadis yang kuat."Erlangga menoleh tajam, rahangnya mengeras. Dia masih belum bisa memaafkan Venina yang telah menyembunyikan kehamilan Erna darinya. "Baik-baik saja?" desisn
Erlangga dengan mata berkilat penuh amarah, menerobos masuk ke ruang rapat tanpa peduli tatapan kaget karyawan di sekelilingnya. Fokusnya hanya tertuju pada satu orang: Arya Prasetya.Tanpa basa-basi dan tanpa peduli dengan kehadiran orang lain di ruangan itu, Erlangga mencengkeram kerah kemeja Arya dengan kekuatan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri."Brengsek kau!" desis Erlangga, giginya bergemeletuk menahan amarah yang sudah di ujung tanduk.Arya, yang biasanya tampil penuh wibawa, kini hanya bisa pasrah. Dia tahu hari ini akan tiba, hari di mana Erlangga akan datang padanya.Begitu berada di luar, Erlangga melepaskan cengkeramannya hanya untuk melayangkan pukulan telak ke wajah Arya. Suara debuman keras terdengar ketika tubuh Arya terhempas ke dinding. Namun, Ar
"Mama, cukup!" teriak Erlangga, suaranya bergetar menahan amarah. "Berhentilah menyakiti Venina dan menghancurkan keluarga saya!"Amita mendengus keras, matanya menyipit penuh kebencian. "Menghancurkan keluargamu? Justru wanita itu yang menghancurkan segalanya!" Dia menunjuk Venina dengan jari gemetar. "Kamu tidak bisa memperlakukan Mama seperti ini hanya karena wanita penghasut seperti dia, Angga!"Erlangga menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Mama, please. Hentikan semua ini."Namun Amita seolah kerasukan. Dia melanjutkan dengan suara melengking, "Kamu tidak bisa menjadi anak durhaka hanya karena membela wanita penggoda yang telah membunuh Nathalia dan membuat Erna kehilangan kasih sayang!"Kata-kata itu menjadi pemicu yang menghancurkan pertaha
Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Venina mencengkeram setir erat, sesekali melirik ke arah Erna yang duduk diam di sampingnya. Putrinya itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, matanya kosong menatap jalanan yang bergerak cepat di luar jendela.Venina ingin sekali memecah kesunyian ini, ingin memeluk Erna dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dia tahu ini bukan saat yang tepat. Luka dan kebencian yang selama ini tertanam di hati gadis itu tidak bisa begitu saja hilang dalam sekejap.Erna, di sisi lain, merasakan pergolakan batin yang hebat. Selama ini dia selalu percaya bahwa ibunya adalah wanita jahat yang telah menghancurkan keluarganya. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Venina. Sisi seorang ibu yang rela berjuang melawan dunia demi anaknya.Setel
Ketegangan memenuhi ruangan itu seperti listrik statis yang siap meledak. Amita, dengan wajah merah padam dan mata berkilat-kilat penuh amarah, menatap Venina seolah-olah ingin menghancurkannya di tempat."Berani-beraninya kamu datang ke sini!" desis Amita, suaranya penuh kebencian. "Kamu pikir kamu siapa, tiba-tiba muncul dan merusak segalanya?"Venina, yang berdiri tegak di ambang pintu, tak gentar menghadapi tatapan membunuh mertuanya. Matanya terfokus pada Erna yang terbaring pucat di ranjang pemeriksaan."Erna, Sayang," panggil Venina lembut, mengabaikan Amita. "Kamu nggak apa-apa?"Amita mendengus keras. "Jangan pura-pura peduli, dasar wanita jalang! Kamu tidak punya hak atas Erna!"Venina menoleh tajam ke arah Amita, m
Erna meringkuk di sudut kamarnya, tubuhnya gemetar hebat seolah dilanda demam. Matanya yang sembab menatap kosong ke dinding, sementara tangannya tak henti-hentinya mengusap perutnya yang masih rata. Pikirannya berkecamuk, suara-suara dalam kepalanya saling berteriak."Om Arya..." nama itu terucap lirih, penuh kepedihan. Pria beristri itu, yang hanya menghabiskan satu malam bersamanya, kini telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam hidupnya. Erna terisak, "Kenapa? Kenapa harus seperti ini?"Pikirannya terus berkecamuk, bayangan-bayangan mengerikan berkelebat di benaknya. Wajah kecewa papanya, tatapan jijik dari masyarakat, masa depannya yang hancur... tapi kemudian, dia membayangkan senyum seorang bayi, tawa kecil yang mungkin tak akan pernah dia dengar. Air matanya kembali mengalir deras.Suara ketukan pi
Erna merebahkan tubuhnya di atas ranjang, matanya memandang kosong ke arah langit-langit kamar. Kepalanya berdenyut-denyut menahan gejolak emosi yang bergejolak di dalam dirinya.Sepeninggal Om Arya, gadis itu merasa hidupnya seolah runtuh berkeping-keping. Hatinya seakan terkoyak, meninggalkan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh. Semua kebahagiaan yang sempat dirasakannya kini berganti dengan rasa sakit yang menyeruak.Tanpa terasa, air mata mulai mengalir di pipinya. Erna menangis dalam diam, tak sanggup lagi menahan gejolak perasaannya. Kenapa Om Arya tega membuangnya begitu saja? Kenapa pria itu begitu keras kepala dengan keputusannya?Erna mengerang frustrasi, menutupi wajahnya dengan bantal, berharap bisa meredam tangisannya. Namun, isak tangisnya tetap lolos, membuat tubuhnya berguncang hebat.
Arya turun dari ranjang, berlutut di samping Erna. Dengan lembut ia mengangkat dagu gadis itu, memaksa Erna menatap matanya. "Dengarkan Om, Erna. Kamu adalah gadis yang luar biasa. Kamu cantik, pintar, dan punya hati yang baik. Suatu hari nanti, kamu akan menemukan pria yang tepat untukmu. Pria yang bisa mencintaimu sepenuhnya, tanpa beban masa lalu atau kewajiban lain.""Tapi aku maunya Om Arya!" Erna berseru frustasi, air matanya mengalir deras. "Apa kurangnya aku, Om? Apa yang harus aku lakukan supaya Om mau sama aku?"Arya menggeleng pelan, matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam. "Bukan masalah kurang atau lebih, Erna. Ini masalah benar dan salah. Hubungan kita... ini salah. Harus berakhir di sini.""Nggak! Aku nggak mau!" Erna mencengkeram lengan Arya erat. "Om nggak bisa ninggalin aku gitu aja setelah apa