"Rasanya saya harus menyampaikan keputusan ini sekarang," ujar Venina setelah mereka selesai bersantap malam. Wajahnya tegang, seolah ada beban berat yang harus segera diungkapkan. "Sebelum semuanya terlambat."
Erlangga, yang duduk di seberang meja, menatap Venina dengan sorot mata penuh pertanyaan. Hatinya berdegup kencang, penasaran dengan apa yang ingin dikatakan wanita itu. "Keputusan apa, Nina?" tanyanya lembut, meski kekhawatiran mulai merayapi suaranya.
Venina menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Dia melirik sekilas ke arah Nathalia yang duduk di pojok ruangan. Wajahnya tampak pucat pasi, seolah firasat buruk telah menyelimuti pikirannya. Lalu dia mengalihkan pandangannya ke arah Erlangga dengan mata yang penuh tekad.
"Kita tidak bisa terus seperti ini selamanya, Mas," kata Venina dengan suara t
Nathalia melangkah pelan mendekati Venina yang tengah tegak membelakangi kolam. Punggung wanita itu terlihat tegar, tetapi dia tahu bahwa di balik ketegaran itu ada hati yang rapuh dan terluka. Dengan suara yang hampir bergetar, dia mencoba memulai percakapan."Tolong pikirkan lagi keputusanmu sekali lagi, Nina. Saya mohon," pintanya dengan nada memohon.Venina tidak menoleh, matanya tetap terpaku pada permukaan kolam yang tenang. "Saya tidak bisa mengubahnya lagi, Mbak. Ini semua untuk kebaikan kita," sahut Venina, suaranya terdengar tegas meski ada getar yang samar. "Saya tidak akan menjadi penghalang lagi untuk kalian."Nathalia meremas jemarinya dengan gugup, merasa bingung harus mengatakan apa. "Nina, soal perkataan saya....""Tenang, Mbak. Saya tidak akan mengatakan apa-apa pada Mas Angga tentang apa yang saya lihat dan saya dengar malam itu," potong Venina cepat, seolah-olah tidak ingin mendengar penjelasan apa pun lagi. Baginya, semua kata-kata itu sudah tidak berarti."Kami ti
Suara sirine ambulans meraung-raung di jalanan kota yang padat, menambah kecemasan yang menggantung di udara. Di dalam ambulans, Nathalia dan salah seorang pembantunya terbaring tak berdaya. Wajah Nathalia pucat, sementara pembantunya sudah tidak bergerak sama sekali.Sesampainya di rumah sakit, paramedis dengan cepat mendorong brankar mereka menuju pintu ruang gawat darurat, bergegas melawan waktu. Venina, dengan wajah pucat pasi dan bibir bergetar, mengikuti di belakang mereka. Matanya yang basah memancarkan kekhawatiran yang mendalam, penuh doa agar semuanya bisa diselamatkan.Pintu ruang gawat darurat terbuka tiba-tiba, seorang perawat senior keluar dengan langkah tergesa-gesa. "Bagaimana keadaannya?Paramedis yang membawa Nathalia menjawab cepat, "Trauma kapitis, tapi dia masih hidup. Yang satunya sudah meningg
"Ada beberapa hal yang perlu kami klarifikasi terkait insiden ini, Bu Venina," kata Kapten Rianto. "Kami perlu memastikan semua detail untuk penyelidikan lebih lanjut."“Saya harap Ibu bisa bekerja sama dengan kami dan ikut ke Polres!"Mendengar permintaan tersebut, Erlangga langsung merasakan darahnya mendidih. Wajahnya merah padam. "Apa maksud Anda? Venina tidak mungkin menyakiti Lia!" seru Erlangga dengan nada tinggi, menahan diri untuk tidak berteriak.Kapten Rianto tetap tenang, berusaha meredakan situasi. "Kami hanya menjalankan tugas, Pak Erlangga. Kami membutuhkan kerjasama dari Ibu Venina untuk memecahkan kasus ini. Apalagi mengingat Sri, pembantu rumah tangga kalian, telah dinyatakan tewas," jelasnya dengan sabar, matanya menatap Erlangga dengan penuh pengertian.
"Jangan, Pak...," bisik Venina dengan suara gemetar, tetapi suaranya tenggelam dalam keheningan ketika bibirnya dipagut kasar oleh Erlangga. Seolah mematikan segala keberatan yang hendak diutarakan.Tubuh Venina bergetar, tak hanya oleh sentuhan kasar atasannya itu, tetapi juga oleh rasa takut yang melumpuhkannya. Aroma alkohol semakin terasa menusuk, merayap ke dalam setiap pori-porinya. "Maafkan aku, Lia," bisik Erlangga di tengah-tengah serangkaian ciuman yang ganas.Tapi aku bukan Lia, teriak Venina dalam hatinya. Tenaganya terasa habis saat itu juga. Sementara lututnya lemas, seperti tak bertulang. Tiba-tiba dia menyesali keputusannya untuk memeriksa ruang atasannya sebelum pergi tadi. Seharusnya dia langsung pulang ketika sudah mengambil ponselnya yang tertinggal. Bukannya malah sibuk mencari tahu kenapa lampu di ruangan pria itu masih menyala."Jangan tinggalkan aku, Lia," gumam Erlangga dengan suara yang hampir putus asa, namun dipenuhi oleh hasrat yang meluap-luap."S-saya…
“Apa kamu wanita itu?” Pertanyaan itu berhasil membuat tubuh Venina menegang. Dia memegang erat berkas di tangannya seolah benda itu adalah perisai yang akan menyelamatkannya. “Saya… saya tidak mengerti maksud, Bapak,” sahutnya dengan gemetar. “Apa kamu ada di ruangan saya semalam?” desak Erlangga dengan tak sabar.Ayrin menghela napas sambil berusaha menenangkan diri agar keresahannya tak terlihat. “Saya langsung pulang, Pak.”Namun, Erlangga tidak puas dengan jawaban itu. “Lalu kenapa kacamatamu ada di ruangan saya?” tanya Erlangga dengan suaranya yang berat, menekan Venina untuk memberikan penjelasan yang jelas.Venina merasakan detak jantungnya semakin cepat. Dia merutuki dirinya sendiri karena kecerobohannya yang menyebabkan kacamatanya tertinggal di ruangan Erlangga. "Saya… saya tidak tahu, Pak," ucapnya yang terdengar bodoh, hampir terdengar seperti bisikan yang terhenti di tenggorokannya.Jari-jemari Erlangga menyentuh wajahnya, membuat Venina terkejut. "Kamu tahu betul apa
"Kenapa kamu harus sebodoh ini, Nina?" umpatnya pada dirinya sendiri dengan nada penuh keputusasaan ketika dia baru saja keluar dari ruangan Erlangga.Tubuhnya kembali bergetar ketika mengingat kata-kata lancangnya kepada atasannya itu. Dia menampar pipinya berkali-kali, mencoba mengusir semua bayangan buruk di kepalanya.Namun, alih-alih tenang, perasaannya malah semakin tidak karuan ketika membayangkan bagaimana reaksi Erlangga saat melihat video yang menampilkan percintaan mereka semalam. Rasa malu dan penyesalan menyergapnya, dia merasa ingin tenggelam di dalam tanah dan menghilang dari pandangan semua orang."Aargh! Apa sih yang kamu pikirkan, Nina?" desisnya frustrasi pada dirinya sendiri. Tanpa berpikir panjang, dia mengambil keputusan untuk pergi ke rooftop, berharap pikiran dan perasaannya akan menjadi lebih tenang di sana.Namun, harapannya tidak sesuai kenyataan. Setelah susah payah menaiki ratusan tangga sampai kakinya terasa sakit dan dadanya terasa panas, bayangan pria i
“Nah, gaun ini sangat pas di tubuhmu, Nina,” kata Alfian, wakil direktur yang baru saja bergabung di perusahaan yang juga menjadi atasan Venina untuk sementara waktu."Tapi… gaun ini…” Venina terdiam, merasa kesulitan untuk mengungkapkan ketidaknyamanannya. Dia tahu bahwa dia harus berbicara dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Alfian, tetapi sulit untuk menyembunyikan ketidaknyamanannya dengan gaun tersebut. “Sebaiknya saya mengganti pakaian saya, Pak. Saya tidak ingin mempermalukan Bapak.”“Oh, ayolah, Nina! Tidak ada yang salah dengan gaunmu,” sahut Alfian dengan santai tanpa nada melecehkan. “Lagipula kita bukannya pergi ke acara resmi. Jadi, tidak perlu berpakaian terlalu formal.”Venina mengangguk pelan, tapi hatinya tetap gelisah. Dia merasa canggung saat melihat sorot mata terkesan Alfian yang memandangnya. "Kamu cantik, dan saya yakin siapa pun yang melihatmu malam ini, dia akan terpikat. Jadi, sebaiknya kamu lebih percaya diri, Nina," tambahnya dengan nada meyaki
“Kenapa Bapak membawa saya ke sini?” ulang Venina dengan dingin setelah Erlangga menurunkan tubuhnya di atas ranjang. “Ini kamar saya. Gunakanlah saja kamar ini karena saya bisa memesan kamar lain,” sahut Erlangga dengan santai. “Nanti saya akan meminta bellboy untuk memindahkan barang-barangmu.”Venina merasa api kemarahan mulai membara di dalam dirinya. Dia menahan diri untuk tidak langsung meledak. “Tidak perlu, saya ingin tidur di kamar saya sendiri,” ucapnya dengan nada tegas.Namun, Erlangga menahan lengan Venina dengan lembut. “Mau sampai kapan kamu bersikap seperti anak kecil begini, Nina?” ujarnya dengan suara yang tenang, tetapi penuh dengan penegasan.Emosi Venina mendidih mendengar celaan tersebut. Dengan gerakan cepat, ia menarik tangannya kembali, tatapannya tajam ke arah Erlangga. “Sampai Bapak berhenti mempermainkan saya,” sahutnya dengan suara yang dipenuhi dengan kekesalan.“Mempermainkanmu?” tanya Erlangga dengan alis terangkat, tampak bingung dengan tuduhan terseb