Natalie sudah keluar kamar untuk hari berikutnya. Namun, ketika gadis cantik itu duduk di ruang makan, orang-orang mulai berbisik. Beberapa mengomentari betapa lesu penampilannya, dan beberapa yang lain memasang taruhan apakah hari ini Nat akan menangis lagi karena siklus datang bulan.Natalie sepertinya tidak bisa menghilangkan kemurungan yang menempel padanya seperti mantel es. Tidurnya tidak nyenyak, dan dia hampir tidak bisa makan sarapan mewah yang disajikan di lantai bawah. Semua orang menganggap wajahnya yang pucat dan sikap diamnya sebagai efek yang tersisa dari sakitnya baru-baru ini, dan mereka telah memberinya simpati dan penghiburan sampai Natalie ingin mendorong orang-orang yang mengelilinginya pergi.Teman-temannya, Catherine, Chiara, dan gadis-gadis muda lain debutan Brussel juga sama-sama menyebalkan dalam kebaikan mereka. Sehingga untuk pertama kalinya Natalie tidak menikmati olok-olok ceria mereka. Natalie mencoba mengidentifikasi alasan ketika semangatnya menjadi be
Natalie duduk di bangku favoritnya di seluruh kastil Toussaint siang itu. Pohon beech yang besar menaunginya. Warna daun si pohon sudah berubah menjadi kecokelatan dan kemerahan. Akan tetapi, Natalie menyukainya.Gadis cantik itu sudah duduk di sana melewati berbagai musim semenjak masih kanak-kanak. Semuanya memiliki kenangan indah. Tempat ini juga tidak terlalu jauh dari istal—tempat yang sangat tepat untuk menunggu Dietrich dan para pegawai istal menyiapkan kuda-kuda yang akan mereka tunggangi.Kuda poni, dulu saat Natalie masih bocah dan kuda jinak lain disesuaikan berdasarkan pertumbuhan tinggi dan pertambahan usia gadis itu.Dietrich yang mengajarinya berkuda—selain tentu saja ada pelatih berkuda khusus yang dipanggil oleh keluarga Toussaint untuk mengajari anak-anak mereka. Namun, Dietrich adalah guru yang galak. Guru yang sangat disiplin jelas berkebalikan dengan Natalie yang menganggap santai semua hal di dunia ini.Hidup Natalie seolah sudah memiliki jalur. Seperti track ber
"Nat!" Dietrich kini berpaling, menunduk, dan memandang gadis cantik itu lurus-lurus. Raungannya kasar, dipenuhi campuran emosi yang kompleks. "Apa salahku? Mengapa kau melakukan itu padaku?"Natalie mengerjap. "Melakukan ... apa?""Kau berganti nomor, G*ddamnit! Jangan coba mengelak! Aku menghubungimu ratusan kali. Ratusan! Tapi, tak satu panggilan pun tersambung. Aku mengirimkan pesan. Melalui nomorku dan nomor para bawahanku juga. Namun, lagi-lagi tak satu pun terkirim. Kau benar-benar jahat, Natalie. Kau kejam!" Dietrich mulai mengamuk seperti balita tantrum.Lelaki itu memejamkan mata sekilas. Kemudian, saat membukanya lagi, Natalie dikejutkan oleh sisi lain Dietrich—yang memandangnya dengan keputusasaan. "Kau benar-benar membenciku, ya?"Natalie berusaha bernapas. Namun, sekali ia menghela napas dalam-dalam udara yang menyelubunginya menguarkan wangi tubuh Dietrich. Membuatnya mabuk kepayang. Natalie merasakan panas dalam sekejap juga dingin sekaligus. Tarikan napasnya semakin c
Rupanya, Dietrich membawa Natalie ke sebuah ruangan favorit mereka di masa kecil. Di quartier khusus anak-anak. Natalie awalnya tidak menyukai pengaturan seperti ini—anak-anak memiliki tempat bermainnya sendiri yang terpisah dengan orang dewasa. Akan tetapi, di kastil Toussaint, semuanya berbeda. Ada banyak anak-anak. Jadi, tidak ada yang kesepian, dan justru bagus untuk mendekatkan antar sepupu.Yang paling penting, Nat baru menyadarinya saat ia sudah berumur dua puluh enam seperti ini, adalah tidak ada anak-anak Toussaint yang menyelesaikan masalah mereka dengan teman sebayanya bertameng ayah atau ibu mereka. Mereka bebas bertengkar lalu berbaikan lagi dengan saudara mereka sendiri tanpa campur tangan orang tua, kecuali jika masalahnya menimbulkan luka fisik pada anak.Di antara semua anak-anak Toussaint, Dietrich adalah yang paling besar. Tidak hanya usianya, tapi juga badannya—meski sebetulnya usianya tidak berbeda terlalu jauh dengan Axel Junior, Julien, Pieter, Luc, dan Leroux.
Natalie mengangguk paham. Dietrich memang begitu, ‘kan? Sebetulnya, di balik cangkang ketidakpedulian yang dipasangnya sebagai tameng, Natalie tahu Dietrich adalah seseorang yang penuh perhatian. Terutama pada orang-orang yang sudah dianggap sebagai keluarga dan Natalie tahu dia seharusnya tidak berharap lebih dari kebaikan Dietrich yang seperti ini.Saudara perempuan Dietrich satu-satunya sudah menikah dengan lelaki yang mencintainya. Natalie menduga, Dietrich merasa bahwa beban berat di pundaknya untuk menjaga Catherine sudah terangkat. Oleh karena itu, enam tahun belakangan Dietrich jadi lebih memerhatikan Natalie.Karena Natalie dianggap sebagai saudara perempuan yang masih perlu dilindungi.Mon Dieu, Nat jadi ingin lebih cepat menemukan pria lain untuk menikah dengannya agar Dietrich tidak perlu terbebani olehnya.Benar. Kata-kata ibunya selalu saja benar. Perempuan yang menikah punya pelindung. Punya posisi yang lebih kuat dalam masyarakat. Itu sudah bukan merupakan sesuatu yang
Dada Nat naik turun dengan tempo lebih cepat. "Dietrich." Gadis itu merintih pelan. "Aahhh!" Ia mengejang sekilas saat lelaki tampan itu menggigit lehernya sekaligus mendaratkan tangan besar nan hangat di atas salah satu payudaranya.Natalie memiliki payudara yang indah di mata Dietrich. Tepat satu genggaman tangan penuh. Bulat dan kencang dengan puncak yang selalu mengacung tegak di bawah sentuhannya. Seolah menantang Dietrich untuk melakukan hal-hal yang tidak seharusnya.Hal-hal seperti mulai menyentuh mereka dalam gerakan memutar yang membuat desahan Natalie semakin keras atau menarik dan memilin agar pucuk-pucuk merah jambu tersebut memanjang dan seluruh tubuh Natalie mengejang."Ahhhh ... Dietrich ... aaahhh ...." Nat membusungkan dada berkali-kali. Matanya memejam dan jemari kakinya menekuk—tak sanggup menahan seluruh sensasi ini.Pada saat kehangatan dan kelembapan mulut Dietrich melingkupi payudaranya, Nat merasa seolah baru saja dilemparkan dari tebing. Kepalanya terkulai ke
Natalie memaksa tangannya bergerak cepat untuk memakai pakaian dengan benar begitu pintu tertutup dan Dietrich menghilang dari pandangan. Apa yang baru saja terjadi? Mon Dieu, kali ini tidak satu pun dari mereka mabuk. Tidak ada alasan yang masuk akal bagaimana mereka bisa hampir melakukannya di sini. Di ruangan khusus anak-anak—bahkan Natalie tadinya masih menggenggam boneka kepunyaan Nasya dan Tata.Setelah berhasil menguatkan dirinya sendiri, Natalie berpegangan pada sudut meja lalu berdiri. Ia berusaha berjalan dengan normal karena tak hanya hatinya, tubuhnya pun terasa porak poranda setelah yang barusan. Natalie memejamkan mata sekilas. Dietrich memang berengsek. Sangat. Akan tetapi, tidak pernah ada keraguan bahwa pria itu pencium yang hebat.Pecinta yang hebat.Pada saat pintu terbuka dengan panggilan panik dari luar, Nat sudah berdiri tegak."Natalie!" Itu suara Catherine dan sepertinya ada Chiara juga di belakang perempuan itu. Teriakan mereka sampai duluan sebelum pintu bena
"Dietrich!"Demi semesta alam, Dietrich sangat tidak menyukai suara itu sekarang. Bukan, bukan suara paman Axel atau kakek Auguste, melainkan suara paman Arthur—ayah dari Julien—Saat menoleh ke belakang, Dietrich melihat paman Arthur mendatanginya dengan Anthony Toussaint—papanya sendiri—"Sedang apa kau di sini? Kau seharusnya sedang bekerja di Praha!" Paman Arthur mulai berkacak pinggang.Dietrich pusing sekali. Pusing di kepala atas sekaligus kepala bawah. Setelah kebersamaan yang belum tertuntaskan dengan Natalie tadi. "Paman—""Kau benar-benar tidak sopan. Bagaimana bisa kau datang dan pergi sesuka hatimu? Kau ini sedang dihukum, Dietrich!" Paman Arthur sepertinya merasa teramat tidak terima.Anthony Toussaint melambaikan tangan pada putranya. "Dietrich, kemarilah. Apa maksudnya ini? Kau baru sehari di Praha dan sekarang kau kembali ke sini. Memangnya kau pikir hukuman dari Kakek Auguste ini main-main? Hmm?"Dietrich menghela napas. "Tidak. Tentu saja aku sangat menghormati Kake
Dietrich kembali ke Brussel sendirian, setelah Natalie dibawa pulang ke Monte Carlo malam itu ... tanpa berpamitan. Seluruh keluarga Toussaint masih berada di istana musim panas Babushka. Vladimir dan Catherine berencana menghentikan pesta yang berlangsung untuk menyambut kelahiran kedua putra mereka—demi menghormati Dietrich dan menyatakan bahwa mereka turut berduka atas kehilangan yang Dietrich dan Natalie rasakan.Namun, Dietrich menolak. Fyodor dan Mykola berhak mendapatkan semua pesta itu. Begitu pula dengan Catherine—yang meski sudah memiliki empat anak, tetapi baru pertama kali merasakan bahwa pengalaman melahirkannya dirayakan. Jadi, malam itu juga Dietrich mengemasi barang-barangnya kemudian bertolak menuju bandara Pulkovo untuk selanjutnya terbang kembali ke rumah.Ke kastil Toussaint.Malam di awal bulan Januari itu gelap dan sungguh tanpa bintang. Membeku ... menggigit hingga ke dalam sukma. Dietrich menatap hampa semuanya melalui jendela pesawat—dan limosin yang dikemudik
"Kau dengar sendiri apa yang dikatakan oleh putriku." Dietrich mendengar Tuan Casiraghi—ayah mertuanya—berjalan mendekat tatkala Natalie tertidur di dalam kamar rawat inapnya.Ya. Dietrich tidak tuli. Tentu saja dia mendengar semuanya."Kami akan membawanya pulang ke Monte Carlo," kata Tuan Casiraghi di depan semua orang. "Urusan perceraian nanti akan diselesaikan oleh tim pengacara yang kami tunjuk."Dietrich termenung. Semua yang terjadi padanya hari ini benar-benar terasa bagai mimpi yang jauh—sebuah mimpi buruk. Lelaki itu mengerling pada Natalie yang masih berada di atas bed pasien, namun sosok cantik itu telah mengalihkan pandangan ke arah lain.Bagaimana semuanya bisa menjadi seperti ini? Bagaimana cintanya dapat menyerah pada hubungan mereka berdua di saat mereka sama-sama kehilangan?Di saat seluruh ruangan hening selama beberapa saat, Dietrich tahu bahwa semua orang sedang menunggu jawabannya. Maka, ia mengangguk. Ia tidak sanggup mengatakan apa pun. Dan ia menahan diri agar
Derap kaki Dietrich menggema di seluruh lorong rumah sakit, diikuti langkah kedua orang tuanya—Anthony Toussaint dan Lady Louise. Raut penuh kepanikan tampak jelas di wajah pria tampan itu. Tubuhnya yang tinggi dan tegap berpacu lebih dulu dibandingkan dengan siapa pun untuk mencapai ruang operasi tempat istrinya berada.Operasi masih berlangsung. Ruang tunggu di depannya lengang. Sunyi. Seolah mengejek lelaki itu dalam keheningan yang menyakitkan."Duduklah dulu dan tenangkan dirimu, Dietrich," bujuk Anthony Toussaint. "Kita doakan saja agar semuanya berjalan lancar dan Natalie baik-baik saja."Lady Louise sependapat dengan sang suami. "Aku sudah menghubungi Stéphanie. Dia dan keluarganya sudah dalam perjalanan kemari."Kedua tangan Dietrich lari ke kepala untuk meremas rambutnya sendiri. Kemudian, turun ke bagian tengkuk, dan berakhir membentuk sebuah kepalan yang diarahkannya ke mulut pria tampan itu sendiri. Kekalutan melanda dirinya—sampai paru-parunya mulai terasa kesulitan untu
Pada saat mobil telah berhenti di depan ruang gawat darurat rumah sakit, Natalie tidak sempat berpikir lagi. Segalanya terasa bagai mimpi—bagaimana dia diangkat dan diletakkan di sebuah brankar. Brankar tersebut didorong ke dalam, lalu Dokter Özge tampak berbicara dengan beberapa petugas medis dan dalam sekejap Natalie dimasukkan menuju sekat pemeriksaan.Sebuah gelengan pelan yang dilakukan oleh Dokter Özge sesaat setelah pemeriksaan menghancurkan hati Natalie bahkan sebelum sang dokter sempat berbicara."Nyonya Natalie maafkan saya. Saya tidak menemukan detak jantung janin Anda lagi." Dokter Özge berkata gamblang.Penegasan itu membuat Natalie sontak terisak. Tangisannya pecah begitu saja—tanpa bisa ditahan lagi. Ini adalah hal yang menakutkan. Tidak, bukan. Sesungguhnya, ini adalah hal yang paling ia takutkan. Bahkan sejak awal kehamilan, Natalie tidak pernah merasa percaya diri bahwa semua akan baik-baik saja. Seolah dia sudah tahu bahwa ini akan terjadi."Nyonya," Dokter Özge men
"Apa yang Anda rasakan?"Pertanyaan Dokter Özge menyentakkan Natalie kembali pada kenyataan. Wanita itu melarikan tangan ke belakang leher, lalu mengusap keringat dingin yang terus membasahi kerah sweater-nya di sana sembari menelan ludah. "Tidak ada."Dokter Özge mengangguk. "Nyonya .... Sering kali kita tidak memerhatikan. Namun, apa yang kita rasakan tidak selalu itulah yang bayi kita rasakan. Anda mungkin tidak merasa lelah ... atau mungkin tidak sadar bahwa Anda sebenarnya sedang stres. Banyak sekali hal yang bisa memicu timbulnya flek. Pemeriksaan oleh dokter Anda di Venezuela menunjukkan beberapa gejala yang tidak bagus. Namun, jangan khawatir. Bukan berarti sekarang kondisinya belum membaik."Natalie mengangguk, kemudian memejamkan mata. Sebelah tangannya mengusap lembut perutnya. Wanita cantik itu berusaha merasakan. Apa pun—entah itu hingar bingar suara musik di kejauhan, kembang api yang terus memeriahkan langit musim dingin, suhu udara yang semakin menurun seiring bertamba
Pada saat Natalie sampai di kamar tempat Catherine dan anak-anaknya berada, Dokter Özge membuka pintu dan keluar sebelum Natalie sempat menyentuh gagang pintu. Wanita berkacamata tebal itu agak terkejut, tetapi senang melihat kedatangan Natalie."Nyonya Toussaint!" Dokter Özge berseru lalu kedua tangannya meraih pundak Natalie. "Saya mendengar banyak hal tentang pernikahan Anda yang sensasional. Selamat, Nyonya. Semoga pernikahan Anda mendapatkan keberkahan dan langgeng. Anda ingin menjenguk Nyonya Alexandrov?"Natalie tersenyum. "Terima kasih. Ya, Dok. Saya kemari untuk melihat bayi-bayi Catherine."Dokter Özge mengangguk. "Bagaimana dengan kehamilan Anda sendiri? Apakah semuanya baik-baik saja?"Natalie terdiam agak lama."Nyonya? Apakah ada yang bisa saya bantu? Anda tampak ... sedikit pucat." Dokter Özge membantu Natalie untuk duduk di sebuah kursi di lorong. "Apakah ada masalah?"Natalie menelan ludah. "Saya sempat memeriksakan kandungan sebelum terbang kemari, tetapi ... dokter
Natalie tidak berani banyak bergerak. Dokter kandungan yang diam-diam ia temui di Venezuela meresepkan serangkaian obat penguat kandungan dan beberapa vitamin tambahan, serta memberikan saran untuk beristirahat sebanyak mungkin demi menghindari stres.Yang terakhir adalah yang paling sulit. Natalie tidak merasa stres akan apa pun, tetapi entah mengapa dokter mengatakan itu. Badannya pun tidak terasa lelah bahkan setelah perjalanan panjang dari Brussel ke New York, kawin lari ke Las Vegas, kembali ke Monte Carlo, berbulan madu ke Caracas, kemudian sekarang sedang dalam penerbangan lanjutan dari Brussel menuju St. Petersburg."Selamat datang di Rusia, Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya sekalian!" Erik—tangan kanan Vladimir Alexandrov—menyambut kedatangan pesawat jet pribadi terbesar milik Alexandrov, Lexstream One, yang ditugaskan khusus menjemput keluarga Toussaint—di bandar udara Pulkovo, dengan senyum ramah yang kini tidak lagi tampak seperti seringaian beruang di mata Natalie.Dietrich men
"Vladimir Alexandrov baru saja memberi tahuku bahwa hari perkiraan lahir anak-anaknya sudah dekat. Keluarga Toussaint sudah akan berangkat ke Rusia. Tapi, aku ingin bertanya padamu dulu sebelum memutuskan apa pun. Bagaimana menurutmu? Apakah kita ikut berangkat ke St. Petersburg? Atau kita masih tinggal di sini untuk beberapa lama lagi?"Dietrich Toussaint kembali pada istrinya setelah memesan makan siang dan menerima telepon lain dari adik iparnya. Lelaki itu tampak riang. Sumringah. Senyumannya teramat lebar menandakan kebahagiaan menyambut calon keponakan-keponakan barunya.Ia menghampiri sisi ranjang istrinya, kemudian menggenggam jemari perempuan cantik itu lembut. "Mereka baru akan lahir, tetapi aku sudah tidak sabar menanti mereka dewasa. Kurasa, mereka akan sama ugal-ugalannya dengan kedua kakak mereka," ucapnya. "Dan mereka akan menjadi sepupu-sepupu yang baik untuk anak kita."Natalie menelan ludah. Sekilas, Dietrich sempat melihat kilau kesedihan di mata wanita cantik itu,
"Natalie! Dieu, ke mana saja kau? Aku sudah selesai meeting—dan hasilnya menakjubkan. Kami akan memperluas jaringan hotel di Venezuela selama setahun ke depan. Apakah saat-saat berbelanjamu menyenangkan?" Dietrich bangkit dari sofa dan menutup laptop saat melihat sang istri datang dengan beberapa bodyguard wanita yang menenteng banyak sekali paperbag hasil belanja.Natalie mendekat dengan cepat. Perempuan cantik itu melemparkan tangan ke sekeliling leher sang suami, sedangkan Dietrich merengkuh dan membenamkan wajah di ceruk lehernya. "Wah, benarkah? Haruskah aku mengucapkan selamat? Kau memang hebat, Di!"Dietrich tampak bangga dengan dirinya sendiri. Ya Tuhan, sudah berapa lama ini berlangsung? Lelaki itu selalu mengharapkan ini setelah melakukan hal-hal yang prestisius—pengakuan dan pujian dari Nat. Seolah ia hidup hanya untuk itu.Mengapa selama ini Dietrich tidak menyadarinya? Dia sungguh bisa gila jika Natalie waktu itu benar-benar menikah dengan orang lain. Membayangkan itu di