"Grisse!" Suara Vidwan yang memanggil dari arah kamar membuat Grisse terlonjak. Refleks gadis itu memegangi dadanya yang berdebar hebat. Ia benar-benar terkejut mendengar panggilan Vidwan yang tiba-tiba. Tak berselang lama, Vidwan mengulangi panggilannya sekali lagi. Kali ini Grisse segera beranjak dari duduknya. Dengan sedikit bergegas, Grisse melangkah menuju kamar Vidwan. Diketuknya pintu kamar satu kali dan segera Grisse mendengar suara Vidwan dari dalam untuk menyuruhnya masuk.
"Sir." Panggil Grisse sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu.
"Masuklah!" Suara Vidwan terdengar dari sudut yang dekat dengan pintu kamar. Sepertinya di balik pintu itu kamar mandi karena Grisse bisa mendengar suara gemericik air yang perlahan menghilang. Grisse menurut. Ia melangkah masuk kemudian menutup pintu kamar perlahan. Grisse memilih diam mematung di tempatnya berdiri. Sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar Vidwan, Grisse bertanya-tanya dalam hati, mengapa Vidwan memintanya masuk ke kamar? Bukankah kamar tidur adalah area yang sangat pribadi? Memikirkan tentang area pribadi sang guru yang kini dimasukinya, membuat Grisse mengkhayalkan hal yang tidak-tidak.
"Grisse!"
"Ya, Sir."
"Bagus, kamu masih ada di sana."
"I… iya, Sir." Grisse menjawab ragu. Apa maksud kalimat Vidwan? Belum juga Grisse mampu menjawab pertanyaannya sendiri, perlahan pintu kamar mandi terbuka. Setelahnya Vidwan muncul dalam balutan handuk mandi warna putih yang menggantung di pinggang. Refleks Grisse memutar tubuhnya. Ia benar-benar malu melihat gurunya yang tampan dan…. nyaris telanjang. Sesaat Grisse membayangkan jika tetiba handuk yang dipakai Vidwan terlepas. Ia kemudian merasakan wajahnya memanas.
"Hey!" Vidwan menyentuh bahu Grisse kemudian memutar tubuh gadis itu. Grisse menundukkan wajahnya semakin dalam. Ia benar-benar takut menghadapi Vidwan dalam tampilan yang sangat provokatif.
"Kenapa?" Vidwan bertanya sambil tersenyum geli. Terlintaslah sebuah ide gila untuk mengerjai Grisse.
"Grisse?" Vidwan berkata lagi. Grisse menjawab, tapi tetap menundukkan kepala. Ia masih takut untuk melihat Vidwan. Tanpa ragu, Vidwan meraih ujung handuknya yang terselip. Tanpa menunggu detik berganti, handuk yang melilit pinggang Vidwan pun terlepas.
“Kalau kau terus menunduk, artinya kau menikmati pemandangan di bawah sana.” Vidwan berkata dengan nada tegas sambil berusaha menyembunyikan senyuman puasnya. Grisse tersentak. Ia buru-buru mengangkat kepalanya.
“Tidak, Sir. Aku tidak melihatnya.” Grisse mengacungkan dua jarinya sehingga membentuk huruf V.
“Sungguh, Sir.” Ia kembali menegaskan. Vidwan maju selangkah, mendekat ke arah mahasiswanya yang cantik.
“Aku justru kecewa karena kamu tidak melihatnya, Grisse.” Vidwan menangkup wajah Grisse menggunakan kedua tangannya yang lembab. Pipi Grisse pun seketika dingin. Vidwan kemudian mendekatkan wajahnya. Mempertemukan kedua ujung hidung mereka. Lagi-lagi sensasi dingin menerpa ujung hidung Grisse. Vidwan kemudian menempelkan keningnya pada kening Grisse. Ia menarik napas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Gairahnya telah tersulut sejak tadi. Embusan napas hangat yang dibuang Vidwan dan Grisse yang nyaris bersamaan melahirkan sensasi yang justru semakin memantik gairah mereka. Grisse mencoba memejamkan matanya, tapi Vidwan melarang.
“Jangan menutup matamu, Cantik! Jangan khawatir, aku tidak terlarang untuk dilihat bahkan dikagumi.” Tepat setelah Vidwan mengucapkan kata terakhir, bibirnya menyentuh bibir Grisse lembut. Ia sengaja untuk tidak terburu-buru menjulurkan lidahnya. Ia masih ingin menikmati bibir lembut Grisse dengan bibirnya. Memang terasa aneh, seperti muda-mudi yang baru belajar berciuman, tapi Vidwan tidak peduli. Ia tahu Grisse sedang gugup. Dan Vidwan yakin, kegugupan Grisse akan membuatnya melakukan penolakan sebagai bentuk pertahan diri. Vidwan tidak ingin ditolak malam ini.
“Grisse….”
“Iya, Sir.”
“Menginaplah di sini.”
“Tidak, Sir.”
“Kenapa?”
“Aku merasa tidak pantas.” Grisse bingung mencari alasan.
“Aku yang lebih berhak memutuskan. Menilai pantas atau tidak.”
“Tapi….”
“Jangan membantahku, Sayang.”
Hati Grisse berdesir mendengar Vidwan memanggilnya sayang.
Ah, laki-laki ini sepertinya tahu cara memperlakukan perempuan dengan baik. Dalam hati, Grisse memuji Vidwan.
“Menginaplah di sini.”
“Tapi aku tidak siap, Sir.” Sergah Grisse. Vidwan menarik wajahnya. Menciptakan sedikit jarak dengan Grisse.
“Apa maksudmu?”
“Aku tidak ada persiapan untuk menginap. Aku belum mandi dan aku tidak membawa baju ganti.”
“Kau melupakan satu hal.” Vidwan tersenyum kemudian kembali mengikis jarak dengan Grisse.
“Ini bukan di kelas sehingga kau tidak perlu berpakaian lengkap.”
“Maksud Anda, Sir?” Grisse menatap Vidwan bingung. Ia tidak bisa menebak jalan pikiran gurunya tersebut.
“Kau cukup memakai kemeja milikku. Pakaianmu bisa kamu cuci malam ini sehingga bisa dipakai lagi besok.”
“Tapi bagaimana dengan….”
“Kau tidak membutuhkan itu, Grisse.” Vidwan menjawab yakin. Ia tahu pasti apa yang Grisse maksudkan. Grisse tidak segera mengiyakan saran Vidwan. Ia masih berpikir bahwa dirinya akan menjadi setengah telanjang jika menyetujui saran Vidwan. Grisse ragu. Selama ini ia tidak pernah tidak memakai pakaian dalam. Mungkin sesekali ia masih tidak mengenakan penutup payudara, tapi tanpa celana dalam? Oh tidak. Ia tidak pernah melewatkan memakainya. Apalagi sekarang, ia akan berdua dengan seorang laki-laki penuh pesona.
“Aku tidak sabar melihatmu memakai kemejaku, Grisse.” Lagi, Vidwan mengatakan kalimat provokatif.
“Pergilah mandi. Aku akan mengambilkanmu kemeja milikku.” Vidwan melangkah menjauhi Grisse untuk menuju lemari pakaiannya. Grisse mengayun langkahnya perlahan. Sesampainya di dalam kamar mandi, Grisse segera melepaskan semua pakaiannya. Tepat setelah Grisse membuka keran shower dan air yang mengucur dari atas kepalanya membasahi seluruh tubuhnya, Grisse dikagetkan dengan suara pintu kamar mandi yang terbuka. Refleks Grisse menoleh ke arah sumber suara. Dilihatnya Vidwan berdiri mematung di pintu sesaat. Kemudian dengan gerak cepat dan terkesan terburu-buru, Vidwan melucuti pakaian yang menempel di tubuhnya. Segera setelahnya ia bergabung dengan Grisse. Berbasah-basah di bawah kucuran air yang mengalir cukup deras dari shower. Vidwan menyergap bibir Grisse kemudian memagutnya. Kedua tangannya berada pada bagian tengah tubuh Grisse kemudian menarik gadis itu mendekat. Tubuh mereka menempel. Masih terus memagut Grisse, kedua tangan Vidwan menangkup sepasang payudara Grisse. Dengan gerakan perlahan, Vidwan meremas payudara Grisse. Grisse berusaha melepaskan diri dari pagutan Vidwan. Ia merasakan dorongan yang kuat dari dalam dirinya. Dorongan untuk merespons sentuhan Vidwan dengan desahan yang sensual.
Ketika sebuah desahan berhasil lolos dari bibir Grisse, Vidwan seolah tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Dengan ibu jari dan telunjuk yang mengapit puncak kecoklatan payudara Grisse, Vidwan pun memilinnya dengan gerakan yang awalnya perlahan lalu berubah menjadi cepat dan sedikit menjepit.
Dan…. benarlah dugaan Vidwan, Grisse menggeliat sambil meloloskan desahan panas. Membuat Vidwan semakin bernafsu untuk menjamah Grisse lebih jauh.
“Kau pernah disentuh sebelumnya, Sayang?” Bisik Vidwan lembut. Suara lirihnya bersaing dengan gemericik air yang masih mengucur deras.
“Belum pernah, Sir.” Grisse menjawab dengan polosnya. Vidwan menyeringai. Ia pun kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Grisse.
“Kau masih perawan?”
“Iya, Sir.”
“Kumohon berikan padaku, Sayang.”
***
Grisse mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Untuk beberapa saat ia bergeming, tidak menunjukkan reaksi apa pun. Otaknya sibuk bekerja, berpikir keras dan sesekali melakukan penyangkalan tatkala memikirkan pertanyaan, atau tepatnya permintaan, dari Vidwan. Grisse masih tidak percaya bila sang guru dengan gamblang dan tanpa ragu meminta apa yang selama ini ia jaga.Kehormatannya.Kesuciannya.Mahkotanya.Kegadisannya.Ya Tuhan….Selama ini orang tuanya, terutama sang ibu, selalu berpesan padanya agar tidak sekali pun tergoda pada rayuan lelaki. Tergoda rayuan yang memintanya menyerahkan keperawanan. Grisse menjerit dalam hati. Dipanggilnya ibu
Vidwan berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Ke arah pintu kamarnya yang sengaja ia tinggalkan terbuka. Ya, Vidwan memang sengaja melakukan itu karena jika ia menutup pintu kamarnya, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk mengintip Grisse ketika gadis itu sedang berganti pakaian. Vidwan kembali teringat tubuh polos Grisse tadi. Ia masih mengingat dengan baik tiap jengkal tubuh gadis itu. Bahkan kedua tangannya pun, ia sangat yakin, masih bisa mengingat dengan jelas apa yang telah dilakukannya tadi. Ya Tuhan, hati kecil Vidwan protes dengan kelakuannya yang tidak senonoh. Mengintip. Betapa ia telah melakukan hal gila. Selain gila, tentu saja yang Vidwan lakukan itu juga hina. Namun, Vidwan tidak peduli. Ia benar-benar tergila-gila pada Grisse. Benar saja, mendapati Grisse menanggalkan jubah mandinya dan memperlihatkan kembali tubuh polosnya, Vidw
“Duduklah, Grisse. Mari kita mulai belajar.” Vidwan membuka buku catatan yang dipegangnya. Ketika Grisse sudah benar-benar duduk, gadis itu tidak tahu juga tidak sadar jika Vidwan terlihat sangat menikmati pemandangan di sampingnya meskipun ia hanya melihat melalui sudut matanya. Pemandangan Grisse yang duduk dengan belahan depan kemeja yang terbuka membuat darah Vidwan berdesir. Oh… jiwa lelaki Vidwan meraung kembali. Tidak tahan dengan apa yang tersaji di dekatnya.Vidwan berdeham sehingga Grisse menoleh ke arah lelaki itu.“Kau sudah bisa menulis menggunakan aksara Devanagari?” Tanya Vidwan tanpa melihat Grisse. Vidwan membuat dirinya terlihat sedang sibuk membaca catatan miliknya, yang ia sangga dengan tangan kirinya. Grisse mengangguk, namun seketika ia sadar bahwa sang guru tidak melihatnya. Grisse pun mengulangi jawabannya
“Well, karena kamu sudah bersedia. Ayo kita lanjutkan belajarnya.” Vidwan beranjak dari posisinya diiringi tatapan penuh tanya dari Grisse. Grisse sempat menoleh ke sisi kanan, melihat jam yang berada di atas meja dekat ranjang Vidwan.Pukul dua puluh dua lebih lima belas menit.Sudah malam begini dan Vidwan masih ingin mengajaknya belajar? Grisse mendesah guna melepaskan keluh kesah yang tentu saja tidak mungkin dikatakan pada Vidwan secara langsung. Grisse sudah merasa penat sejak tadi. Tadi siang ketika ia baru saja menginjakkan kakinya di kampus, Grisse sempat berkeinginan untuk segera kembali ke asrama. Ya, ia ingin beristirahat di kamar asramanya lebih awal. Berharap tubuhnya bisa lebih segar untuk beraktivitas besok.Grisse memang sudah datang ke negara ini sejak tiga hari yang lalu. Namun t
Vidwan tertegun beberapa saat. Ia merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.Benarkah apa yang baru saja ditangkap indera pendengarannya?Benarkah Grisse menuntut yang lebih lagi?Benarkah itu yang dikatakan Grisse?Benarkah?Benarkah?Kepala Vidwan dipenuhi berbagai pertanyaan yang ia lontarkan hanya untuk dirinya sendiri.Vidwan berdeham untuk memecah keheningan di antara dirinya dan Grisse."Vidwan…." Panggilan Grisse membuat Vidwan tanggap. Untuk sesaat ia menghentikan gerakan tangannya."Iya, Grisse."
Vidwan sempat terheran-heran melihat ekspresi wajah Grisse yang meskipun hanya menunjukkan seulas senyum tipis, tapi Vidwan tahu bahwa hati Grisse sedang berbunga-bunga.Tentu saja.Gadis mana yang tidak berbunga-bunga jika seorang laki-laki dengan latar belakang seperti Vidwan telah melamarnya. Seorang dosen yang sudah jelas pintar serta tampan. Benar-benar kombinasi dambaan Grisse.Ya, Vidwan telah melamar Grisse. Tak tanggung-tanggung, laki-laki dengan usia yang terpaut dua puluh tahun dengan Grisse itu baru saja memintanya untuk menjadi istrinya.Ya, bukan menjadi kekasih atau pacar, tapi istri.Bukankah kedudukan seorang istri lebih baik daripada kekasih?Tentu saja.
“Tunggu, kamu mau ke mana?” Tanya Grisse sambil menahan pergelangan tangan Vidwan. Yang ditanya hanya mengulas senyum tanpa mengatakan apa pun. Vidwan mengangkat tangannya yang tengah digenggam Grisse kemudian membawanya mendekat ke arah bibirnya.Cup.Sebuah kecupan lembut didaratkan Vidwan ke punggung tangan Grisse.“Aku akan menyiapkan air hangat untuk kita berendam.” Vidwan kembali mengecup tangan Grisse kemudian mengurai genggaman tangan gadis itu perlahan.“Tidak bisakah kita berendam setelah kita… melakukannya?” Grisse ragu-ragu menyelesaikan kalimatnya. Wajahnya kembali bersemu kemerahan.“Berendam di air hangat yang bercampur aromaterapi a
“Kenapa kau terus merajuk, Grisse?” Tanya Vidwan sambil mengulum senyum.“Aku tidak merajuk. Aku hanya ingin kita segera selesai berendam.”“Hey, kamu sudah tidak sabar ya?” Vidwan menjawil dagu Grisse. Dengan polosnya Grisse mengangguk. Vidwan terbahak. Ia senang melihat reaksi polos Grisse.“Mana yang kamu ingin lakukan terlebih dulu, bercinta di kamar mandi atau di atas ranjang.”“Tentu saja di ranjang.” Sergah Grisse cepat. Vidwan pun kembali terbahak mendengarnya.Vidwan kemudian mengambil spons mandi yang berada di sisi kanannya. Dengan perlahan ia menggosok punggung Grisse sambil menggoda puting gadis itu.&l
“Pagi!” Sapa Krish ketika Grisse membuka kedua matanya perlahan. Grisse menjawab kemudian menggeliat, mencoba meregangkan tubuhnya yang terasa pegal luar biasa. “Kau pasti kelelahan.” Imbuh Krish sambil memandang penuh ketertarikan pada wajah Grisse. Satu tangan laki-laki itu bergerak perlahan, menyingkirkan anak rambut dari wajah khas bangun tidur sang kekasih. Grisse tersenyum kemudian mengangguk. Bagaimana tidak kelelahan jika sepanjang malam mereka sibuk bergulat di atas ranjang. Bagi Grisse, Krish seperti menggila tadi malam. Stamina laki-laki itu mendadak menjadi luar biasa. Padahal Grisse seratus persen yakin bahwa Krish tidak mengonsumsi apa pun sebelumnya. Tidak ada jenis makanan afrodisiak dalam menu makan malam mereka kemarin. Krish juga terkesan enggan membiarkan waktu berlalu begitu saja, terbuang percuma istilahnya. Dan yang terpenting dari semuanya, dari semua kenangan indah yang diciptakannya bersama Krish tadi malam adalah perasaan Grisse. Ya, Grisse merasa senang b
Grisse menatap sedih bangunan rumah Krish yang setiap sudutnya dikenalnya dengan baik. Tidak, bukan hanya baik tapi bisa dikatakan sangat baik. Rumah Krish telah menjelma menjadi tempat terfavorit bagi Grisse sehingga ada rasa tidak rela ketika ia mendapati kenyataan bahwa dirinya akan segera meninggalkan rumah itu.Krish yang telah melepas sabuk pengamannya, melihat ke arah Grisse yang sedari tadi sangat irit bicara. Gadis di sampingnya itu terlihat lebih pendiam dari biasanya. Sangat kentara jika pikirannya tengah berkecamuk saat ini. “Ada apa?” Pertanyaan Krish membuat Grisse menoleh. Gadis itu mengerjap beberapa kali, berusaha menahan bulir bening yang telah menggenang di kelopak matanya, sebelum akhirnya menggeleng. Krish ingin kembali bersuara, tapi urung ketika Grisse dengan gerakan cepat melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil.“Kurasa kopermu tidak perlu diturunkan.” Saran Krish ketika tangan Grisse telah menyentuh pintu bagasi. “Aku membutuhkan beberapa pakaian unt
Grisse tidak menggubris pertanyaan Krish. Gadis itu lebih memilih mengepak barang-barangnya dengan cepat. Beruntung, barang yang dimiliki Grisse tidak terlalu banyak. Sejak awal sebelum berangkat, Grisse memang bertekad untuk tidak membawa terlalu banyak barang. Ia berusaha seefisien mungkin. Berusaha menyediakan seluas mungkin ruang kosong dalam kopernya. Semua itu dilakukan Grisse agar ia bisa membawa buku-buku yang dibelinya selama menjadi peserta program pertukaran mahasiswa. Sementara Krish, laki-laki itu yang sangat tahu jika dirinya diabaikan oleh Grisse, akhirnya lebih memilih untuk mengamati Grisse berkemas. Diam-diam, Krish memuji kepiawaian Grisse dalam mengepak barang-barangnya yang bisa muat dalam satu koper besar. Krish menjadi sangat tertarik ketika Grisse melipat kaos-kaosnya menjadi super kecil hingga kemudian dijejalkan di sela-sela barang lainnya. Krish sempat menahan napas ketika dengan susah payah Grisse akhirnya berhasil menutup koper dan menguncinya.“Hah….” Hel
Grisse masih bergeming. Pertanyaan Aditi jelas membuatnya tersudut. Di saat seperti ini, Grisse sangat berharap Vidwan buka suara untuk mengklarifikasi semuanya. "Grisse…." Hati-hati, Aditi memanggil nama Grisse sambil menyentuh punggung tangan gadis itu lembut. Aditi terlihat sangat tegang. Sangat kentara jika Aditi sebenarnya juga takut mendengar jawaban Grisse. Antara takut dan tidak siap, tepatnya."Oh, itu…." Grisse berusaha menjawab dengan suara sejernih mungkin. Sedikit saja terdengar getar dalam suaranya akan membuat Aditi curiga. Grisse sengaja menggantung kalimatnya, berusaha mengulur waktu. Gadis itu sibuk memutar otak untuk menemukan jawaban yang menurutnya terbaik."Aku tidak tahu. Aku hanya diminta mengantarkannya ke kantor Pencatatan Pernikahan." Tanpa Grisse dan Aditi duga, Vidwan akhirnya buka suara. Sayangnya, Grisse justru tidak suka mendengar jawaban Vidwan.Sialan!Berengsek!Serta berbagai kata makian lainnya, Grisse tujukan pada Vidwan meskipun dalam hati.Adit
“Krish… kau sudah siap?” Tanya Grisse dari arah meja makan. Gadis itu sudah rapi dalam balutan kemeja warna putih dengan rok pensil berwarna hitam sebatas lutut. Sebuah blazer berwarna senada dengan rok diletakkan Grisse pada salah satu sandaran kursi makan. Krish menyahut sambil menuruni anak tangan dengan setengah berlari.“Kemeja dan dasi?” Tanya Grisse keheranan melihat penampilan Krish. Tidak biasanya Krish bekerja dengan “kostum” seperti ini: Kemeja lengan panjang polos berwarna putih tulang yang terlihat serasi dengan dasi motif garis dengan warna dasar abu tua. Celana hitam dari bahan kain dengan bekas lipatan berupa garis vertikal di bagian depan celana membuat penampilan Krish sempurna. Penampilan Krish ini tentu saja berbanding terbalik dengan kebiasaan laki-laki itu. Andalan Krish, untuk urusan pakaian kerja, biasanya adalah kaos hitam dipadu dengan kemeja motif kotak dari bahan flanel yang tidak dikancingkan serta celana jin.“Ada apa dengan… penampilanmu, Krish?” Pertany
“Hey, kau sudah bangun?” Sapa Krish, tepat ketika Grisse menyandarkan punggungnya pada kepala tempat tidur. Grisse menjawab pertanyaan Krish dengan senyuman disertai anggukan pelan.“Hai, Krish.” Balas Grisse sambil menatap sosok Krish yang sedikit berkeringat. Bulir-bulir keringat tampak meleleh dari kening Krish.“Selamat pagi, Sayang.” Sapa Krish. Laki-laki itu kemudian menyeka peluh di keningnya dengan punggung tangan. “Selamat pagi. Ke marilah, Krish.” Pinta Grisse sambil menepuk sisi kanan tubuhnya. Krish menurut. Perlahan, ia melangkah mendekat ke arah Grisse. Ekspresi wajah Krish penuh tanya. Ia memang penasaran dengan permintaan Grisse untuk mendekat pada gadis itu.“Beri aku pelukan selamat pagi, Krish.” Lanjut Grisse sambil merentangkan kedua lengannya, menyambut Krish ke dalam pelukannya. “Tentu, tapi maaf aku sangat berkeringat.” Balas Krish sambil membungkuk sekaligus mencondongkan tubuhnya.“Tidak masalah. Aku juga baru bangun tidur. Tubuhku pun masih bau.” Grisse ber
Grisse memperlihatkan kekecewaan di wajahnya dengan teramat jelas. Pertanyaan yang baru saya ia lontarkan hanya dijawab dengan gelengan cepat Krish. Laki-laki itu memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Grisse. Krish lebih suka menyimpan semuanya sendiri, menjadikannya rahasia yang akan dijaganya sampai batas waktu yang tidak Grisse ketahui.“Krish….” Desis Grisse sambil mencoba peruntungannya satu kali lagi. Dan sayangnya, Krish juga masih teguh dengan pendiriannya.“Aku tidak merencanakan apa pun.”Bohong! Kau pasti merencanakan sesuatu, Krish!Napas Grisse berubah tersengal. Ia seolah baru selesai melontarkan kalimat makian pada Krish. Padahal kenyataannya, kemarahan Grisse tidak pernah ia luapkan. Grisse hanya mampu marah dalam hati. Sudut terkecil hatinya mengatakan bahwa Krish pasti punya alasan untuk tidak mengatakan apa pun. Kejutankah?Krish pasti tahu bahwa Grisse sangat menyukai kejutan, tapi kejutan seperti apa yang akan diberikan Krish kali ini? Seandainya memang benar
“Mencariku?” Tanya Grisse dengan wajah semringah. Sepasang bibir gadis itu membentuk lengkung sempurna. Melukiskan senyum yang secara instan membuat wajah manisnya terlihat semakin manis. Laki-laki yang disapa Grisse dengan sebuah pertanyaan singkat itu sontak menoleh ke arahnya. “Tentu saja!” Jawab Krish lantang. Seolah enggan didahului detik yang akan berlalu, Krish segera mendekati Grisse yang berdiri tidak jauh darinya.“Bagaimana, apa jadwal presentasimu sudah keluar?” Tanya Krish sambil melingkarkan lengannya ke pinggang Grisse. Grisse memandangi tangan Krish yang telah mendarat di pinggangnya. Gadis itu kemudian meraih tangan Krish lalu menyingkirkannya dari tempatnya semula.“Kita di tempat umum, Krish.” Bisik Grisse dengan suara lembut namun tegas. Krish hanya nyengir kuda. “Aku tidak peduli. Justru aku ingin mereka tahu tentang hubungan kita.” “Jangan konyol, Krish. Aku tidak ingin membuat seluruh kampus heboh.” Grisse mulai menekuk wajahnya. Gadis itu kesal. Grisse tidak
"Aku harus bertemu Vidwan!" Ujar Grisse dalam gerakan bibir yang teramat samar. Gadis itu kemudian membawa langkahnya menyusuri koridor yang menghubungkan seluruh ruangan dalam gedung kampus tersebut. Langkahnya mantap, semantap pendiriannya untuk menuntaskan apa yang mengganjal dalam hatinya setelah mendengar percakapan Krish dengan Vidwan tadi. Sebelumnya, Grisse memang sudah bertekad untuk mengakhiri semua hal yang berhubungan dengan Vidwan. Ia merasa harus menyudahi semua kisah yang melibatkan Vidwan di dalamnya. Grisse hanya tidak ingin bayangan Vidwan akan mengikutinya terus hingga ia tiba di negara asalnya.Ya, Grisse akan segera meninggalkan negara ini dalam waktu dekat. Program yang diikutinya hampir berakhir dan tidak lama setelahnya izin tinggalnya juga akan habis masa berlakunya. Hal-hal itulah yang membuat Grisse membulatkan tekadnya untuk menemui Vidwan. Kau adalah masa lalu! Kalimat itu terus-menerus didengungkan oleh Grisse. Sudah seperti merapal mantra saja bagi Gri