Grisse mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Untuk beberapa saat ia bergeming, tidak menunjukkan reaksi apa pun. Otaknya sibuk bekerja, berpikir keras dan sesekali melakukan penyangkalan tatkala memikirkan pertanyaan, atau tepatnya permintaan, dari Vidwan. Grisse masih tidak percaya bila sang guru dengan gamblang dan tanpa ragu meminta apa yang selama ini ia jaga.
Kehormatannya.
Kesuciannya.
Mahkotanya.
Kegadisannya.
Ya Tuhan….
Selama ini orang tuanya, terutama sang ibu, selalu berpesan padanya agar tidak sekali pun tergoda pada rayuan lelaki. Tergoda rayuan yang memintanya menyerahkan keperawanan. Grisse menjerit dalam hati. Dipanggilnya ibu dan ayah berkali-kali. Mengapa ketika ia berada sangat jauh dari rumah, ia dihadapkan pada godaan seperti ini.
Grisse tidak menyangka bahwa kini, ketika ia berada sangat jauh dari rumah, ia akan menghadapi permasalahan seperti ini. Grisse yang semula cuek serta tidak peduli dengan keperawanan, kini harus berpikir ekstra keras untuk menolak permintaan sang guru. Grisse tengah berpikir bagaimana caranya agar tidak menyinggung gurunya dan mungkin dampak dari penolakannya adalah pemaksaan yang dilakukan oleh sang guru.
Perlahan Grisse menggerakkan kedua tangannya yang sebelumnya bebas berada di sisi tubuhnya. Ia pun menyilangkan kedua tangannya guna menutupi dadanya yang polos. Hm, sebenarnya bukan hanya dada Grisse saja yang polos, namun seluruh tubuhnya kini tidak tertutup apa pun. Grisse berharap Vidwan bisa mengerti penolakannya. Ia berdoa agar Vidwan menangkap makna tangan yang ia silangkan di depan dada.
Namun, sayang. Vidwan yang sepertinya tahu bahwa ia ditolak, bukannya mundur justru semakin mengayunkan langkah pendek, semakin mendekat ke arah Grisse.
“Jangan, Sir.” Grisse mundur sebagai reaksi. Ia pun menggelengkan kepalanya cepat.
“Kumohon, jangan.” Pinta Grisse sambil terus mundur seiring Vidwan yang semakin mendekat.
“Please, Grisse. Aku menyukaimu.” Bisik Vidwan sambil menempelkan kedua telapak tangannya pada punggung tangan Grisse. Grisse tersentak oleh sentuhan itu. Refleks ia berbalik ke arah dinding. Grisse merasa harus memunggungi Vidwan saat ini juga. Mungkin inilah satu-satunya cara untuk bertahan, setidaknya saat ini. Melihat bagian belakang tubuh Grisse yang berlekuk sempurna, gairah Vidwan justru semakin menyala. Tanpa ragu Vidwan kembali mendekati Grisse. Ia senang karena dengan posisi Grisse sekarang akan lebih memudahkannya untuk menjamah tubuh gadis itu.
Perlahan-lahan, Vidwan menempelkan bagian depan tubuhnya, dada dan perut yang terpahat sempurna, ke bagian belakang tubuh Grisse. Kepala Grisse sejajar dengan dada Vidwan, sementara perutnya menempel sempurna di punggung Grisse. Vidwan merasakan napas Grisse yang memburu. Ia tahu mahasiswinya itu tengah ketakutan, tapi ia tidak peduli. Toh yang akan ia berikan pada Grisse adalah kenikmatan, bukan ketakutan yang terus membayangi. Kedua tangan Vidwan mendarat sempurna pada sepasang bokong Grisse yang bulat dan penuh. Setelah membelai lembut permukaannya, Vidwan meremas kedua bokong Grisse dengan perlahan. Lagi-lagi Grisse tersentak. Dadanya naik turun dengan cepat seiring napas yang memburu. Ketika ujung jemari Vidwan membelai lembut belahan pantatnya, Grisse menggeliat bertepatan dengan luapan rasa asing yang kembali menyerangnya.
Vidwan tersenyum. Ia semakin lihai membuai permukaan tubuh Grisse. Sesekali ia mengecup bahu Grisse. Juga leher, puncak kepala, dan seluruh bagian punggung gadis itu. Grisse semakin intens menggeliat. Dan puncaknya, ia mendesah meskipun dengan suara lirih. Sayangnya, desahan lirih Grisse tetap mampu didengar Vidwan dengan jelas.
“Begitulah seharusnya, Grisse. Mendesahlah lagi, Sayang.” Vidwan berbisik di telinga kiri Grisse. Setelahnya, lelaki itu menggigit kecil daun telinga Grisse.
“Dan seharusnya, bukan ini yang kau tutupi dengan tanganmu, Gadis manis.” Kedua tangan Vidwan menyentuh tangan Grisse yang masih menyilang di depan dada. Sementara dagu lelaki itu menumpu pada bahu kiri Grisse. Pelan-pelan, Vidwan menarik tangan Grisse. Menjauhkan tangan gadis itu dari dadanya. Grisse sempat melakukan perlawanan, tapi dengan cepat Vidwan membisikkan kata-kata yang akhirnya membuat gadis itu pasrah.
“Aku akan menunjukkan padamu, mana yang seharusnya kamu tutupi Grisse.” Vidwan masih menggenggam tangan Grisse dan membawanya kembali ke samping tubuh gadis itu. Setelahnya, Vidwan melepaskan tangan Grisse. Ia pun mengangkat dagunya dari bahu Grisse. Namun sebelum menegakkan kembali tubuhnya, Vidwan mengecup bahu kiri Grisse. Dengan satu gerakan lembut, Vidwan mendorong tubuh Grisse hingga dada gadis itu menyentuh dinding kamar mandi yang basah. Setelahnya, tanpa Grisse duga, tangan Vidwan sudah berada di area sensitifnya. Vidwan membelai lembut bagian di bawah perut yang ditumbuhi rambut ikal. Lagi-lagi, Grisse diserang rasa yang sama, yang sayangnya kali ini sangat ia nantikan.
“Kau tahu, Grisse? Aku menyukai gadis sepertimu karena beberapa alasan. Karena kau polos, pintar, dan… ternyata sangat seksi. Dan salah satu hal yang membuatmu sangat seksi adalah ini.” Vidwan mengusap bagian sensitif Grisse lebih cepat.
“Aku suka ini yang berambut, Grisse. Ikal, tapi tidak terlalu lebat dan lembut. Seperti milikmu.” Vidwan kembali melancarkan pujiannya untuk Grisse. Sesekali laki-laki itu meniupkan napasnya yang hangat ke arah belakang telinga Grisse. Oh, rasanya Grisse ingin menggeliat lagi dan lagi. Ia merasa miliknya basah. Dan sialnya, Vidwan mengetahuinya ketika tangan laki-laki itu bergerak lebih jauh. Ya, tangan Vidwan telah menyusup di antara pangkal paha Grisse.
“Seharusnya, bagian inilah yang kamu lindungi dengan tanganmu, Grisse. Bukan payudara indahmu. Namun sekarang, milikmu sudah mendapatkan pelindung terbaiknya. Tanganku.” Vidwan mencoba membuka lipatan bibir bawah Grisse dengan jarinya.
“Hey, kamu sudah basah, Grisse. Itu artinya kamu terangsang oleh sentuhanku.” Tanpa ragu, Vidwan melesakkan satu jarinya ke dalam milik Grisse. Hal itu sukses membuat Grisse mendesah sambil menengadahkan wajahnya. Leher jenjang Grisse yang terekspos ketika gadis itu menengadah menjadi sasaran bibir Vidwan yang lapar. Dengan cepat, laki-laki itu menghujani leher Grisse dengan ciuman yang sesekali diselingi gigitan. Vidwan tidak peduli jika leher Grisse akan dipenuhi bekas gigitannya setelah ini.
“Kumohon hentikan, Sir.” Grisse mulai terisak. Bersamaan dengan itu Vidwan menghentikan gerakan jarinya. Masih dengan jari yang berada di dalam milik Grisse, Vidwan mencoba membelai rambut Grisse dengan sebelah tangannya yang bebas.
“Hey, kenapa kau menangis?”
“Kumohon hentikan semuanya, Sir.” Grisse menjawab sambil terus terisak. Ia benar-benar khawatir pertahanan dirinya runtuh karena serangan, berupa sentuhan, dari Vidwan yang bertubi-tubi. Vidwan masih bergeming. Ia seolah tengah memikirkan permohonan Grisse. Perlahan ia menarik jarinya dari inti tubuh Grisse kemudian melangkah mundur, sedikit menjauhi Grisse. Setelah merasa cukup mencipta jarak, Vidwan menyentuh bahu Grisse.
“Kumohon berbaliklah.”
Grisse menurut. Perlahan ia memutar tubuhnya, kembali menghadap Vidwan yang menatapnya lekat. Sesaat kedua mata Grisse bertemu tatap dengan netra milik Vidwan. Dan setelahnya Grisse menunduk. Ia tidak kuasa membalas tatapan Vidwan.
“Grisse, kumohon dengarkan aku.”
“Cukup, Sir. Jika Anda hanya ingin kembali merayu saya, sebaiknya jangan mengatakan apa pun. Saya setuju untuk berkunjung karena saya ingin belajar. Saya ingin pengetahuan saya bertambah. Bukannya diperlakukan seperti ini.”
“Aku tidak memperlakukanmu dengan buruk, Grisse.”
“Cukup, Sir. cukup!” Isakan Grisse berubah menjadi tangis yang cukup keras.
“Anda telah melecehkan saya, Sir.”
Vidwan menggeleng tidak terima. Ia bermaksud membantah tuduhan Grisse, tapi gadis itu serta merta menggeleng. Dan di luar dugaan Vidwan, Grisse menempelkan telunjuknya ke bibir Vidwan.
“Kumohon jangan katakan apa pun lagi, Sir.” Bisik Grisse sambil kembali terisak. Dada gadis itu naik turun dengan cepat. Ia berusaha bernapas dengan normal, namun sulit. Kentara sekali jika Grise sangat tertekan.
Vidwan mengangguk sambil menyentuh telunjuk Grisse yang nemepel pada bibirnya. Ia kemudian mengajak Grisse untuk emyudahi aktivitas mandi mereka. Dengan hati-hati, Vidwan menyelimuti tubuh Grisse dengan handuk. Ia sebenarnya ingin menyusut sisa-sisa air yang menempel di tubuh Grisse, tapi ia takut gadis itu akan salah paham lagi.
“Pakailah ini.” Vidwan mengangsurkan jubah mandi yang segera disambut Grisse. Gadis itu memakai jubah mandi dalam diam. Sementara Vidwan memakai handuk yang sebelumnya Grisse pakai untuk menutup bagian bawah tubuhnya.
“Aku minta maaf, Grisse.”
“Saya juga minta maaf, Sir.”
“Setelah kita berganti pakaian, kita akan mulai belajar.”
“Baik, Sir.”
Vidwan mendahului Grisse keluar dari kamar mandi setelah mengambil kaus dan celana pendek yang tadi ditanggalkannya.
“Aku sudah menyiapkan kemeja untukmu. Buatlah dirimu senyaman mungkin. Aku akan menunggumu di ruang kerjaku. Kita akan belajar di sana.”
Grisse menatap Vidwan yang melangkah keluar dari kamar tidur. Sengaja Vidwan tidak menutup pintu karena ia enggan melihat Grisse saat ini. Vidwan yang kecewa karena gairahnya tidak tersalurkan, mencoba menahan rasa sakit yang tetiba menghantam kepalanya. Sementara Grisse, gadis itu memilih untuk mematung cukup lama. Setelah apa yang dialaminya di kamar mandi, Grisse menjadi gamang. Di satu sisi, ia senang karena berhasil melindungi dirinya. Melindungi miliknya yang berharga. Namun, di sisi lain, tetiba Grisse merasa kecewa karena tidak bisa lagi merasakan sentuhan Vidwan.
Diam-diam, di sudut hati kecilnya, Grisse mendambakan Vidwan untuk kembali menyentuhnya.
Vidwan berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Ke arah pintu kamarnya yang sengaja ia tinggalkan terbuka. Ya, Vidwan memang sengaja melakukan itu karena jika ia menutup pintu kamarnya, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk mengintip Grisse ketika gadis itu sedang berganti pakaian. Vidwan kembali teringat tubuh polos Grisse tadi. Ia masih mengingat dengan baik tiap jengkal tubuh gadis itu. Bahkan kedua tangannya pun, ia sangat yakin, masih bisa mengingat dengan jelas apa yang telah dilakukannya tadi. Ya Tuhan, hati kecil Vidwan protes dengan kelakuannya yang tidak senonoh. Mengintip. Betapa ia telah melakukan hal gila. Selain gila, tentu saja yang Vidwan lakukan itu juga hina. Namun, Vidwan tidak peduli. Ia benar-benar tergila-gila pada Grisse. Benar saja, mendapati Grisse menanggalkan jubah mandinya dan memperlihatkan kembali tubuh polosnya, Vidw
“Duduklah, Grisse. Mari kita mulai belajar.” Vidwan membuka buku catatan yang dipegangnya. Ketika Grisse sudah benar-benar duduk, gadis itu tidak tahu juga tidak sadar jika Vidwan terlihat sangat menikmati pemandangan di sampingnya meskipun ia hanya melihat melalui sudut matanya. Pemandangan Grisse yang duduk dengan belahan depan kemeja yang terbuka membuat darah Vidwan berdesir. Oh… jiwa lelaki Vidwan meraung kembali. Tidak tahan dengan apa yang tersaji di dekatnya.Vidwan berdeham sehingga Grisse menoleh ke arah lelaki itu.“Kau sudah bisa menulis menggunakan aksara Devanagari?” Tanya Vidwan tanpa melihat Grisse. Vidwan membuat dirinya terlihat sedang sibuk membaca catatan miliknya, yang ia sangga dengan tangan kirinya. Grisse mengangguk, namun seketika ia sadar bahwa sang guru tidak melihatnya. Grisse pun mengulangi jawabannya
“Well, karena kamu sudah bersedia. Ayo kita lanjutkan belajarnya.” Vidwan beranjak dari posisinya diiringi tatapan penuh tanya dari Grisse. Grisse sempat menoleh ke sisi kanan, melihat jam yang berada di atas meja dekat ranjang Vidwan.Pukul dua puluh dua lebih lima belas menit.Sudah malam begini dan Vidwan masih ingin mengajaknya belajar? Grisse mendesah guna melepaskan keluh kesah yang tentu saja tidak mungkin dikatakan pada Vidwan secara langsung. Grisse sudah merasa penat sejak tadi. Tadi siang ketika ia baru saja menginjakkan kakinya di kampus, Grisse sempat berkeinginan untuk segera kembali ke asrama. Ya, ia ingin beristirahat di kamar asramanya lebih awal. Berharap tubuhnya bisa lebih segar untuk beraktivitas besok.Grisse memang sudah datang ke negara ini sejak tiga hari yang lalu. Namun t
Vidwan tertegun beberapa saat. Ia merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.Benarkah apa yang baru saja ditangkap indera pendengarannya?Benarkah Grisse menuntut yang lebih lagi?Benarkah itu yang dikatakan Grisse?Benarkah?Benarkah?Kepala Vidwan dipenuhi berbagai pertanyaan yang ia lontarkan hanya untuk dirinya sendiri.Vidwan berdeham untuk memecah keheningan di antara dirinya dan Grisse."Vidwan…." Panggilan Grisse membuat Vidwan tanggap. Untuk sesaat ia menghentikan gerakan tangannya."Iya, Grisse."
Vidwan sempat terheran-heran melihat ekspresi wajah Grisse yang meskipun hanya menunjukkan seulas senyum tipis, tapi Vidwan tahu bahwa hati Grisse sedang berbunga-bunga.Tentu saja.Gadis mana yang tidak berbunga-bunga jika seorang laki-laki dengan latar belakang seperti Vidwan telah melamarnya. Seorang dosen yang sudah jelas pintar serta tampan. Benar-benar kombinasi dambaan Grisse.Ya, Vidwan telah melamar Grisse. Tak tanggung-tanggung, laki-laki dengan usia yang terpaut dua puluh tahun dengan Grisse itu baru saja memintanya untuk menjadi istrinya.Ya, bukan menjadi kekasih atau pacar, tapi istri.Bukankah kedudukan seorang istri lebih baik daripada kekasih?Tentu saja.
“Tunggu, kamu mau ke mana?” Tanya Grisse sambil menahan pergelangan tangan Vidwan. Yang ditanya hanya mengulas senyum tanpa mengatakan apa pun. Vidwan mengangkat tangannya yang tengah digenggam Grisse kemudian membawanya mendekat ke arah bibirnya.Cup.Sebuah kecupan lembut didaratkan Vidwan ke punggung tangan Grisse.“Aku akan menyiapkan air hangat untuk kita berendam.” Vidwan kembali mengecup tangan Grisse kemudian mengurai genggaman tangan gadis itu perlahan.“Tidak bisakah kita berendam setelah kita… melakukannya?” Grisse ragu-ragu menyelesaikan kalimatnya. Wajahnya kembali bersemu kemerahan.“Berendam di air hangat yang bercampur aromaterapi a
“Kenapa kau terus merajuk, Grisse?” Tanya Vidwan sambil mengulum senyum.“Aku tidak merajuk. Aku hanya ingin kita segera selesai berendam.”“Hey, kamu sudah tidak sabar ya?” Vidwan menjawil dagu Grisse. Dengan polosnya Grisse mengangguk. Vidwan terbahak. Ia senang melihat reaksi polos Grisse.“Mana yang kamu ingin lakukan terlebih dulu, bercinta di kamar mandi atau di atas ranjang.”“Tentu saja di ranjang.” Sergah Grisse cepat. Vidwan pun kembali terbahak mendengarnya.Vidwan kemudian mengambil spons mandi yang berada di sisi kanannya. Dengan perlahan ia menggosok punggung Grisse sambil menggoda puting gadis itu.&l
“Kau lelah?” Tanya Vidwan sambil membelai punggung Grisse yang berbaring memunggunginya. Grisse mengangguk lemah. Tentu saja ia kelelahan. Entah sudah berapa kali Vidwan membuatnya mereguk kenikmatan bercinta. Meraih puncak kenikmatan bersanggama jauh lebih banyak daripada lelakinya. Vidwan memang piawai membuat Grisse orgasme. Dan kini, sambil berbaring miring membelakangi Vidwan, Grisse berpikir tentang kepiawaian Vidwan dalam bercinta. Entah sudah berapa kali Vidwan bercinta selama ini. Sudah berapa banyak wanita yang ia puaskan seperti dirinya.Menyadari kenyataan bahwa tentunya ada banyak sekali wanita yang mengerang di bawah kungkungan Vidwan serta meneriakkan nama laki-laki itu membuat Grisse sedih.“Vidwan...” panggil Grisse masih tetap pada posisinya. Vidwan tidak menyahut. Yang dilakukan lelaki itu adalah menarik Grisse kemudia
“Pagi!” Sapa Krish ketika Grisse membuka kedua matanya perlahan. Grisse menjawab kemudian menggeliat, mencoba meregangkan tubuhnya yang terasa pegal luar biasa. “Kau pasti kelelahan.” Imbuh Krish sambil memandang penuh ketertarikan pada wajah Grisse. Satu tangan laki-laki itu bergerak perlahan, menyingkirkan anak rambut dari wajah khas bangun tidur sang kekasih. Grisse tersenyum kemudian mengangguk. Bagaimana tidak kelelahan jika sepanjang malam mereka sibuk bergulat di atas ranjang. Bagi Grisse, Krish seperti menggila tadi malam. Stamina laki-laki itu mendadak menjadi luar biasa. Padahal Grisse seratus persen yakin bahwa Krish tidak mengonsumsi apa pun sebelumnya. Tidak ada jenis makanan afrodisiak dalam menu makan malam mereka kemarin. Krish juga terkesan enggan membiarkan waktu berlalu begitu saja, terbuang percuma istilahnya. Dan yang terpenting dari semuanya, dari semua kenangan indah yang diciptakannya bersama Krish tadi malam adalah perasaan Grisse. Ya, Grisse merasa senang b
Grisse menatap sedih bangunan rumah Krish yang setiap sudutnya dikenalnya dengan baik. Tidak, bukan hanya baik tapi bisa dikatakan sangat baik. Rumah Krish telah menjelma menjadi tempat terfavorit bagi Grisse sehingga ada rasa tidak rela ketika ia mendapati kenyataan bahwa dirinya akan segera meninggalkan rumah itu.Krish yang telah melepas sabuk pengamannya, melihat ke arah Grisse yang sedari tadi sangat irit bicara. Gadis di sampingnya itu terlihat lebih pendiam dari biasanya. Sangat kentara jika pikirannya tengah berkecamuk saat ini. “Ada apa?” Pertanyaan Krish membuat Grisse menoleh. Gadis itu mengerjap beberapa kali, berusaha menahan bulir bening yang telah menggenang di kelopak matanya, sebelum akhirnya menggeleng. Krish ingin kembali bersuara, tapi urung ketika Grisse dengan gerakan cepat melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil.“Kurasa kopermu tidak perlu diturunkan.” Saran Krish ketika tangan Grisse telah menyentuh pintu bagasi. “Aku membutuhkan beberapa pakaian unt
Grisse tidak menggubris pertanyaan Krish. Gadis itu lebih memilih mengepak barang-barangnya dengan cepat. Beruntung, barang yang dimiliki Grisse tidak terlalu banyak. Sejak awal sebelum berangkat, Grisse memang bertekad untuk tidak membawa terlalu banyak barang. Ia berusaha seefisien mungkin. Berusaha menyediakan seluas mungkin ruang kosong dalam kopernya. Semua itu dilakukan Grisse agar ia bisa membawa buku-buku yang dibelinya selama menjadi peserta program pertukaran mahasiswa. Sementara Krish, laki-laki itu yang sangat tahu jika dirinya diabaikan oleh Grisse, akhirnya lebih memilih untuk mengamati Grisse berkemas. Diam-diam, Krish memuji kepiawaian Grisse dalam mengepak barang-barangnya yang bisa muat dalam satu koper besar. Krish menjadi sangat tertarik ketika Grisse melipat kaos-kaosnya menjadi super kecil hingga kemudian dijejalkan di sela-sela barang lainnya. Krish sempat menahan napas ketika dengan susah payah Grisse akhirnya berhasil menutup koper dan menguncinya.“Hah….” Hel
Grisse masih bergeming. Pertanyaan Aditi jelas membuatnya tersudut. Di saat seperti ini, Grisse sangat berharap Vidwan buka suara untuk mengklarifikasi semuanya. "Grisse…." Hati-hati, Aditi memanggil nama Grisse sambil menyentuh punggung tangan gadis itu lembut. Aditi terlihat sangat tegang. Sangat kentara jika Aditi sebenarnya juga takut mendengar jawaban Grisse. Antara takut dan tidak siap, tepatnya."Oh, itu…." Grisse berusaha menjawab dengan suara sejernih mungkin. Sedikit saja terdengar getar dalam suaranya akan membuat Aditi curiga. Grisse sengaja menggantung kalimatnya, berusaha mengulur waktu. Gadis itu sibuk memutar otak untuk menemukan jawaban yang menurutnya terbaik."Aku tidak tahu. Aku hanya diminta mengantarkannya ke kantor Pencatatan Pernikahan." Tanpa Grisse dan Aditi duga, Vidwan akhirnya buka suara. Sayangnya, Grisse justru tidak suka mendengar jawaban Vidwan.Sialan!Berengsek!Serta berbagai kata makian lainnya, Grisse tujukan pada Vidwan meskipun dalam hati.Adit
“Krish… kau sudah siap?” Tanya Grisse dari arah meja makan. Gadis itu sudah rapi dalam balutan kemeja warna putih dengan rok pensil berwarna hitam sebatas lutut. Sebuah blazer berwarna senada dengan rok diletakkan Grisse pada salah satu sandaran kursi makan. Krish menyahut sambil menuruni anak tangan dengan setengah berlari.“Kemeja dan dasi?” Tanya Grisse keheranan melihat penampilan Krish. Tidak biasanya Krish bekerja dengan “kostum” seperti ini: Kemeja lengan panjang polos berwarna putih tulang yang terlihat serasi dengan dasi motif garis dengan warna dasar abu tua. Celana hitam dari bahan kain dengan bekas lipatan berupa garis vertikal di bagian depan celana membuat penampilan Krish sempurna. Penampilan Krish ini tentu saja berbanding terbalik dengan kebiasaan laki-laki itu. Andalan Krish, untuk urusan pakaian kerja, biasanya adalah kaos hitam dipadu dengan kemeja motif kotak dari bahan flanel yang tidak dikancingkan serta celana jin.“Ada apa dengan… penampilanmu, Krish?” Pertany
“Hey, kau sudah bangun?” Sapa Krish, tepat ketika Grisse menyandarkan punggungnya pada kepala tempat tidur. Grisse menjawab pertanyaan Krish dengan senyuman disertai anggukan pelan.“Hai, Krish.” Balas Grisse sambil menatap sosok Krish yang sedikit berkeringat. Bulir-bulir keringat tampak meleleh dari kening Krish.“Selamat pagi, Sayang.” Sapa Krish. Laki-laki itu kemudian menyeka peluh di keningnya dengan punggung tangan. “Selamat pagi. Ke marilah, Krish.” Pinta Grisse sambil menepuk sisi kanan tubuhnya. Krish menurut. Perlahan, ia melangkah mendekat ke arah Grisse. Ekspresi wajah Krish penuh tanya. Ia memang penasaran dengan permintaan Grisse untuk mendekat pada gadis itu.“Beri aku pelukan selamat pagi, Krish.” Lanjut Grisse sambil merentangkan kedua lengannya, menyambut Krish ke dalam pelukannya. “Tentu, tapi maaf aku sangat berkeringat.” Balas Krish sambil membungkuk sekaligus mencondongkan tubuhnya.“Tidak masalah. Aku juga baru bangun tidur. Tubuhku pun masih bau.” Grisse ber
Grisse memperlihatkan kekecewaan di wajahnya dengan teramat jelas. Pertanyaan yang baru saya ia lontarkan hanya dijawab dengan gelengan cepat Krish. Laki-laki itu memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Grisse. Krish lebih suka menyimpan semuanya sendiri, menjadikannya rahasia yang akan dijaganya sampai batas waktu yang tidak Grisse ketahui.“Krish….” Desis Grisse sambil mencoba peruntungannya satu kali lagi. Dan sayangnya, Krish juga masih teguh dengan pendiriannya.“Aku tidak merencanakan apa pun.”Bohong! Kau pasti merencanakan sesuatu, Krish!Napas Grisse berubah tersengal. Ia seolah baru selesai melontarkan kalimat makian pada Krish. Padahal kenyataannya, kemarahan Grisse tidak pernah ia luapkan. Grisse hanya mampu marah dalam hati. Sudut terkecil hatinya mengatakan bahwa Krish pasti punya alasan untuk tidak mengatakan apa pun. Kejutankah?Krish pasti tahu bahwa Grisse sangat menyukai kejutan, tapi kejutan seperti apa yang akan diberikan Krish kali ini? Seandainya memang benar
“Mencariku?” Tanya Grisse dengan wajah semringah. Sepasang bibir gadis itu membentuk lengkung sempurna. Melukiskan senyum yang secara instan membuat wajah manisnya terlihat semakin manis. Laki-laki yang disapa Grisse dengan sebuah pertanyaan singkat itu sontak menoleh ke arahnya. “Tentu saja!” Jawab Krish lantang. Seolah enggan didahului detik yang akan berlalu, Krish segera mendekati Grisse yang berdiri tidak jauh darinya.“Bagaimana, apa jadwal presentasimu sudah keluar?” Tanya Krish sambil melingkarkan lengannya ke pinggang Grisse. Grisse memandangi tangan Krish yang telah mendarat di pinggangnya. Gadis itu kemudian meraih tangan Krish lalu menyingkirkannya dari tempatnya semula.“Kita di tempat umum, Krish.” Bisik Grisse dengan suara lembut namun tegas. Krish hanya nyengir kuda. “Aku tidak peduli. Justru aku ingin mereka tahu tentang hubungan kita.” “Jangan konyol, Krish. Aku tidak ingin membuat seluruh kampus heboh.” Grisse mulai menekuk wajahnya. Gadis itu kesal. Grisse tidak
"Aku harus bertemu Vidwan!" Ujar Grisse dalam gerakan bibir yang teramat samar. Gadis itu kemudian membawa langkahnya menyusuri koridor yang menghubungkan seluruh ruangan dalam gedung kampus tersebut. Langkahnya mantap, semantap pendiriannya untuk menuntaskan apa yang mengganjal dalam hatinya setelah mendengar percakapan Krish dengan Vidwan tadi. Sebelumnya, Grisse memang sudah bertekad untuk mengakhiri semua hal yang berhubungan dengan Vidwan. Ia merasa harus menyudahi semua kisah yang melibatkan Vidwan di dalamnya. Grisse hanya tidak ingin bayangan Vidwan akan mengikutinya terus hingga ia tiba di negara asalnya.Ya, Grisse akan segera meninggalkan negara ini dalam waktu dekat. Program yang diikutinya hampir berakhir dan tidak lama setelahnya izin tinggalnya juga akan habis masa berlakunya. Hal-hal itulah yang membuat Grisse membulatkan tekadnya untuk menemui Vidwan. Kau adalah masa lalu! Kalimat itu terus-menerus didengungkan oleh Grisse. Sudah seperti merapal mantra saja bagi Gri