Flashback On
"Randy, tolong bersihkan kamar 205. Sebentar lagi mau ada yang masuk!" titah Manager Hotel malam itu.Dengan penuh semangat, Randy menjalankan perintah tersebut. Tetapi, hari itu nasib sial menimpanya. Tiba-tiba pintu Hotel terkunci rapat, Randy tidak menyadari ada orang yang masuk ke dalam kamar.Brak!Randy terjatuh sambil memegangi kepalanya yang sakit akibat pukulan benda tumpul. Ia hendak menoleh ke belakang, namun rasa pusing yang menjalar di kepalanya seolah tubuhnya terasa berputar. Detik kemudian, Randy pun jatuh pingsan."Maxim, apa yang kamu lakukan?" ucap seorang wanita berambut pirang dengan panik. "Aku tidak mau masuk penjara!""Aku tak punya banyak waktu, Sherren. Aku belum siap ketahuan Kak Bara. Jika dia tahu tentang hubungan kita aku akan dibunuh."Maxim langsung memapah tubuh Randy dan menidurkannya di atas kasur. Ia juga melepas kaos yang Randy kenakan, hingga pria itu bertelanjang dada."Kenapa kau egois, Maxim? Kau menyelamatkan dirimu sendiri, sementara aku? Bara pasti marah besar melihat aku bersama lelaki lain." raut ketakutan jelas terlihat di wajah wanita itu."Maafkan aku, Sherren. Aku harus pergi!" Maxim langsung membuka pintu jendela dan melompat dari atas."Maxim, tunggu!"Sherren hendak mengikuti jejak Maxim. Akan tetapi, ia terkejut saat mendengar pintu didobrak dari luar. Sherren menoleh ke arah pintu, melihat pria berwajah datar berdiri dengan Bodyguard di belakangnya."Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Vino mengintimidasi. Tatapan Vino mengarah pada lelaki yang tertidur tanpa menggunakan kaos."Davino, ini semua tidak seperti yang kalian pikirkan!" Sherren gemetar ketakutan. Ia membeku di tempat."Diam lah, Nona! Aku tidak butuh pengakuanmu! Semua bukti sudah ada di depan mata!"Davino memotret pria yang tertidur itu dan juga Sherren yang berdiri ketakutan di sampingnya.Davino langsung mengirim gambar tersebut ke Bara.Ketika bunyi sebuah pesan masuk, Bara langsung membacanya. Laki-laki itu mengerutkan wajahnya serius dan bolak-balik memperbesar tampilan gambar foto pria tanpa busana bersama Sherren yang berdiri tak jauh darinya.Seketika darah laki-laki itu mendidih melihat kekasih yang ia pacari selama 1 tahun ini bermain gila di belakangnya. Bara meremas jari-jarinya yang terkepal kuat. Giginya menggertak menahan amarah yang memuncak."Seret dia ke hadapanku!" tegas Bara pada Davino.Ketika Randy sadar, ia terkejut. Bagaimana ia bisa berada di hadapan Bara? Apakah Bara akan menagih utangnya yang sudah jatuh tempo? Bukankah Tuan Bara memberinyawaktu lagi selama 3 bulan dan dia boleh menyicilnya? Tapi, bukan itu masalahnya. Laki-laki yang terkenal kejam pada siapapun yang mencari masalah dengannya itu mengatakan bahwa dirinya telah bermain gila dengan Sherren, kekasihnya. Randy terkejut, ia tidak mengerti apa yang Bara katakan.Walaupun dirinya sudah bersumpah dan meyakinkan, Bara yang termakan emosi terlebih dahulu dan kenyataan yang dihadapinya tanpa menelusuri kepastian, tak menerima ucapan apapun yang keluar dari mulutnya. Bara malah menyuruh Bodyguard untuk mencari tahu informasi tentang keluarga Randy. Dan ketika mendapatkan informasi itu, seringai tipis hadir di sudut bibirnya. Bara menjadikan Adik Randy sebagai pelampiasan.Flashback Off1 Minggu kemudian."Tuan, gadis itu pingsan. Apa kita harus membawanya ke rumah sakit?" Davino terlihat panik.Bara menatap asisten sekaligus orang kepercayaannya dengan tatapan menyelidik. Seorang Davino yang tidak peduli akan wanita, tapi kali ini pria itu terlihat khawatir."Jangan bilang kau jatuh cinta padanya?" ucap Bara membuat Pria berperawakan hitam manis itu menunduk malu. "Aku akan membunuhmu jika kau berani mencintainya! Dia sudah terikat perjanjian padaku dan tak ada satu orang pun yang berani mengambilnya! Kau mengerti?""Iya, Tuan. Saya hanya ...""Aku akan mengeceknya sendiri." Bara keluar dari ruang kerjanya dan berjalan menuju kamar. Terpaksa ia menunda pekerjaannya demi gadis bernama Lea.Setibanya di sana, Bara mengecek kondisi Lea yang terbaring lemah di atas sofa. Bara memang tidak mengijinkan gadis itu tidur satu ranjang dengannya. Selama satu minggu ini ia membiarkan gadis itu tidur kedinginan tanpa selimut. Jahat? Dia memang pria jahat yang tak berperikemanusiaan."Gadis lemah! Jangan kau pikir aku akan kasian melihat kondisimu!" Lelaki berusia 29 tahun itu menatap intens wajah Lea yang berkeringat dingin sambil melipat kedua tangannya di dada.Sebuah pikiran licik terlintas di benak. Lalu, seringai jahat muncul di wajahnya. Ia akan mempermainkan gadis ini seperti apa yang Randy lakukan dengan kekasihnya."Pengkhianat! Kau terima balasannya lewat Adik perempuan mu!" Bara tersenyum simpul.Jahat? Ia memang jahat. Tak ada satu orang pun yang berani mencari masalah dengannya."Biarkan dia mati di sini, peduli apa diriku?" Bara bicara pada dirinya sendiri.Ia hendak keluar kamar meninggalkan Lea, namun langkahnya terhenti saat mendengar gumaman gadis itu yang mengigau memanggil nama Kakaknya."Kak Randy, Lea takut. Lea mau pulang," lirihnya dengan mata masih terpejam.Gumaman itu membuat hati Bara menyusut. Sekejam inikah dirinya pada gadis yang tak bersalah sama sekali? Bara memegang dagu lancip Lea dan menatapnya lama. Jarak mereka begitu dekat hingga tak menyisakan ruang di antara keduanya. Entah mengapa ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.Seketika jantung Bara berdetak lebih kencang. Tapi, ia berusaha menepisnya. Bagaimana pun juga tidak akan ada yang bisa menggoyahkan hatinya."Sssttt, brengsek! Kenapa dengan diriku? kenapa aku menjadi lemah dengan gadis ini?" Bara mengusap wajahnya kasar. "Tidak. Aku tidak akan membiarkan dia mati lebih cepat."Dengan sekali angkat, Lea sudah berada digenggaman Bara. Ia membawanya ke rumah sakit ditemani dengan Davino.10 menit lamanya menunggu. Dokter pun keluar dari ruangan."Bagaimana keadaan gadis itu?" baru saja Bara akan bertanya, Davino sudah mendahului. Bara menaikkan sudut bibirnya ke atas, menyadari kalau Davino menyukai gadis itu. Terlihat dari wajahnya yang khawatir."Dia hanya kelelahan, Pak. Anda tidak perlu khawatir, saya sudah membuatkan resep. Anda bisa langsung menebusnya di apotek," ucap Dokter, membuat Bara bernapas lega."Syukurlah, setidaknya dia tidak mati lebih cepat," gumam Bara. "Saya ingin melihat keadaannya!""Silahkan, Pak," ucap Dokter mempersilahkan.Bara masuk ke dalam melihat kondisi Lea yang sudah sadar. Laki-laki itu menatap intens wajah Lea yang pucat. Lea membuang muka ke sembarang arah. Hanya dari tatapannya saja, Lea tidak sanggup melihat pria itu. Pria tampan namun berbanding terbalik dengan sikapnya."Tatap aku!" ucap Bara membuat Lea sedikit menatapnya, lalu kembali memalingkan wajahnya.Bara berdecih."Kau tunggu di sini, aku akan menebus obat!"Mata Lea langsung menatap punggung Bara yang mulai keluar dari ruangan."Tuan kejam itu punya hati nurani juga ternyata." tanpa sadar senyum terukir di bibir gadis itu. Tetapi, mengingat perlakuan Bara yang telah merenggut kesuciannya membuat senyum itu pudar seketika."Apa yang kamu pikirkan, Lea! Dia membawamu ke sini agar aku tidak mati lebih cepat. Pria itu akan puas menyiksaku lebih lama lagi."Kesempatan tidak datang dua kali. Dengan cepat, Lea melepas inpus yang ada di pergelangan tangannya. Ia harus bebas dari jeratan Tuan kejam yang sudah mengurungnya satu minggu ini. Persetan dengan surat kontrak yang sudah ia tandatangani, Lea harus segera melarikan diri.Ia mengendap-endap menuju parkiran mobil. Meski tubuhnya terasa lemah, namun ia harus tetap semangat. Dengan cepat, Lea meninggalkan rumah sakit itu melalui jalan pintas sehingga tidak ada satupun orang yang melihatnya pergi.Ketika Bara kembali ke ruangan, ia dikejutkan Lea tak berada di tempatnya. Seketika darah laki-laki itu mendidih. Tangannya terkepal kuat, giginya menggertak, wajahnya merah padam."Davino!""Iya, Tuan?"DUAK!Satu hantaman mengenai perut Davino hingga pria itu meringis menahan sakit."Dasar bodoh! Menjaga satu gadis saja kau tidak bisa. Temukan gadis itu secepatnya dan bawa ke hadapanku!""Tuan, saya mendapat informasi kalau Nona Sherren kini berada di Paris," ucap Davino. Pria itu menghentikan kegiatannya yang tengah sibuk membaca buku. "Bagaimana dengan Lea, apa dia sudah ditemukan?" "Belum, Tuan." jawaban itu membuat emosi Bara meledak sampai ke ubun-ubun. "Saya masih melanjutkan mencari informasi tentang Nona Sherren."Brak!Tak tahan mendengar ucapan Vino, Bara menggebrak meja kerjanya dengan keras. Tangannya terulur menarik kerah kemeja asistennya itu. Wajahnya memerah dengan gigi menggertak. Raut kemurkaan sangat jelas terlihat karena ia berani menyebut nama wanita yang sudah berani mempermainkannya. "Berapa tahun kau bekerja denganku, Vin?" tanya Bara membuat pria itu menunduk diam. Seorang Bara Melviano kalau sedang emosi, jawaban apapun pasti akan salah di matanya. Menjawab pun tak ada gunanya."Aku menyuruhmu untuk mencari Lea sampai ketemu dan membawa ke hadapanku, bukan malah memberi informasi wanita itu. Kau tahu, dia mau di manapun, dia matipun aku
Bara berdiri merapihkan kemejanya yang sedikit berantakan, lalu melangkah maju menatap wajah Lea yang terus menunduk. "Davino?" panggil Bara. "Iya, Tuan." "Kira-kira hukuman apa yang pantas kuberikan pada gadis tak tahu diri ini?" ucap Bara, membuat Lea mengangkat wajahnya ke atas dan menggeleng cepat. Lea tak mau dihukum apapun. "Sebaiknya ..." "Aaaaaaa ... lepaskan!" baru saja Vino akan menjawab, Bara sudah menggendong gadis itu ala bridal style. Bara membawanya ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh Lea ke atas ranjang. Brakkk "Kau bermain-main denganku, Lea! Kau melupakan sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan kita berdua." Bara mengepalkan tangannya erat-erat dan sedikit menggeram. "Maafkan aku, Tuan. Aku rasa kau tidak berhak mengurungku seperti ini! Tolong lepaskan aku!" Lea hendak berdiri, tapi Bara langsung menahan pergelangan tangannya dan kembali menghempaskan tubuh Lea ke atas ranjang. Tangan Lea mendorong kuat-kuat dada Bara, namun pria sialan itu malah mengapi
Lea menyipitkan mata saat cahaya pagi menerpa matanya. "Bodoh, kenapa aku bisa ketiduran." padahal Lea sudah menyiapkan cara bagaimana ia bisa keluar dari istana ini dengan memanfaatkan Oliv. Perlahan Lea bangun dan duduk di tepi pembaringan. Saat tak sengaja melihat dirinya di pantulan kaca, Lea pun terkejut karena dirinya sudah berganti pakaian. Padahal semalem Lea masih memakai dress dan belum menggantinya. Di tengah kebingungannya, Oliv datang entah dari mana. "Saya yang mengganti pakaian Anda semalem, Nona." Dengan senyum mengembang, Oliv berdiri di hadapan Lea sambil membungkuk hormat. "Kalau Nona butuh sesuatu jangan sungkan beritahu saya. Untuk sarapan pagi, chef profesional sudah menyiapkan sarapan untuk Nona di meja makan."Tidak! Ini sungguh berlebihan. Bara tidak mungkin memerintah Oliv memperlakukannya seperti Ratu di mansion ini. Mengingat perlakuan Bara waktu itu, mana mungkin dia berubah dalam sekejap. Atau mungkin pria itu punya maksud terselubung untuk mengelabu
"Kita tidak bisa diam saja, Ka. Kita harus lapor polisi!" ucap Lastri. Beberapa hari ini ia memikirkan sahabatnya itu. "Tidak semudah itu, Lastri. Tuan Bara bukan orang sembarangan." Randy memijat pelipisnya beberapa kali, memikirkan sang Adik yang kini berada di rumah Bara. Randy sudah meminta bukti cctv malam itu, namun satu pun dari mereka tak ada yang memberikannya. Bukannya dia diam saja, dia pun berusaha mati-matian untuk menyelamatkan Adiknya. "Ponsel Lea tidak aktiv. Bagaimana aku bisa tenang kalau Lea di sana baik-baik saja atau tidak." Keduanya nampak frustrasi. Apalagi Lastri adalah Sabahat Lea sejak kecil. Mana mungkin dia diam saja melihat sahabatnya yang mungkin menderita di sana. Sementara Lea kini tengah meminum teh ditemani Oliv. Oliv, baginya seperti manekin. Ia tidak bisa diajak bercanda seperti Lastri. Oliv hanya menjawab apapun yang Lea butuhkan. "Aku bosan membaca majalah ini. Adakah yang lain, Oliv?" tanya Lea. "Ada, Nona?" Oliv pun memberikan majalah yang
Brakk!!Bara melempar kasar semua bukti di tangannya ke hadapan Davino. Betapa tidak, bertahun-tahun menjadi asisten kepercayaannya baru inilah Davino tidak becus memberi informasi. Bagaimana mungkin ia bisa salah sasaran. Jelas dalam cctv tersebut, Randy masuk ke dalam kamar dengan membawa alat kebersihan. Sedangkan setelah Randy masuk, tak lama kemudian sepasang pria dan wanita mengintainya dan mereka mengikuti Randy masuk ke dalam kamar yang sama. Dari bukti cctv itu sang pria membawa sebuah pentungan yang diyakini alat itu untuk memukul Randy.Pria itu menggunakan masker dan juga penutup kepala. Namun, dari tubuh pria itu Bara bisa mengenalinya."Kau pikir kau bisa bebas dengan menjadikan orang lain sebagai kambing hitam atas perbuatan mu!" Bara menggeram, tangannya mengepal erat, wajahnya merah padam."Tuan, apa yang harus saya lakukan?" ucap Vino membuat Bara menatap asistennya itu dengan mata menyala."Diam kau bodoh! Kerjamu tidak becus akhir-akhir ini! Kau sadar tidak apa ke
"Aaaahhh ... sakit ... sakit." Teriakan menggema di sebuah hotel membuat Davino rasanya ingin mendobrak pintu dengan kencang. Tetapi, jika ia melakukannya pasti sang Tuan marah besar dan akan membunuhnya.Seorang pria dengan wajah babak belur mendekati pintu hendak menerobos masuk, namun kedua orang berbadan besar sudah mencekal pergelangan tangannya lebih dulu agar tak mengganggu kegiatan Tuannya di dalam sana."Vino, tolong selamatkan Adikku! Dia tidak tahu apa-apa tentang masalah ini. Ku mohon ..." lirihnya dengan iba.Pria itu menangis memikirkan sang Adik di dalam sana yang berada di bawah kuasa Tuan kejam. Kedua pengawal terus saja mencekal tangannya dengan erat. Ia terus memberontak melepaskan diri.Vino mengusap wajahnya frustrasi. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Jika selangkah saja menyelamatkan sang gadis, maka habislah nyawanya di tangan Tuan kejam. Vino mondar-mandir di depan pintu, memikirkan sebuah cara agar Tuannya tidak bertindak lebih jauh.Semua penghuni hotel lang
Perlahan Lea membuka matanya yang terasa berat, tubuh dan tulangnya terasa remuk. Namun, tidak kalah perih bagian privasinya yang terkoyak seperti habis dimasuki benda besar dan panjang. Ini semua perbuatan lelaki kejam itu yang menggagahinya seperti singa kelaparan, sangat buas dan tak memberi jeda sedikit pun. Lea menggeram. Sialnya, dia teringat bagaimana expresi lelaki tersebut yang tertawa di atas penderitaannya. Spontan Lea bangkit dari tidurnya dan bersandar pada headboard ranjang dengan selimut yang dia tarik menutupi sampai batas dadanya. Gadis itu mengerang, merasakan denyutan kecil di kepalanya yang masih terasa. "Brengsek! Aku akan membalas semuanya. Lihat saja!" Lea meremas jari-jarinya yang terkepal kuat. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke seisi kamar. Lea ingat ia disekap di sebuah Hotel dengan lelaki kejam itu. Lalu, untuk apa ia dipindahkan ke sini? Tunggu, kamar mewah ini berhasil menyita perhatiannya. Kamar dengan aksen warna gold yang elegan. Ada cermin besa
"Selamat pagi, Tuan. Ibu dan Adik Anda sudah menunggu di bawah untuk sarapan," ucap Vino membuat laki-laki itu mengangkat satu alisnya."Ngapain mereka ke sini?""Tidak tahu, Tuan. Katanya mau sarapan bersama.""Baik, aku segera turun," jawabnya yang diangguki kepala oleh Davino.Sementara Lea yang sudah terbangun dari awal hanya menyaksikan dua orang itu bicara dari kejauhan. Semalaman ia tidur di sofa dekat ujung jendela. Lelaki itu benar-benar tega. Ia tak memberikan Lea selimut untuk menutupi tubuhnya yang kedinginan."Hei, kenapa kau masih di situ? Cepat mandi!" titahnya dengan tegas."Ta-tapi bukannya Anda juga akan mand ...""Kita mandi bersama!""A-apa?" mata Lea membulat sempurna. Mana mungkin ia mandi bareng dengan lelaki yang bukan suaminya.Tetapi, bukankah laki-laki itu sudah melihat semuanya. Lea merasa seperti wanita murahan yang tidak punya harga diri. Bahkan untuk melawan pun tidak sanggup. Lea hanya bisa mengangguk pasrah dengan helaan napas panjang.30 menit kemudia
Brakk!!Bara melempar kasar semua bukti di tangannya ke hadapan Davino. Betapa tidak, bertahun-tahun menjadi asisten kepercayaannya baru inilah Davino tidak becus memberi informasi. Bagaimana mungkin ia bisa salah sasaran. Jelas dalam cctv tersebut, Randy masuk ke dalam kamar dengan membawa alat kebersihan. Sedangkan setelah Randy masuk, tak lama kemudian sepasang pria dan wanita mengintainya dan mereka mengikuti Randy masuk ke dalam kamar yang sama. Dari bukti cctv itu sang pria membawa sebuah pentungan yang diyakini alat itu untuk memukul Randy.Pria itu menggunakan masker dan juga penutup kepala. Namun, dari tubuh pria itu Bara bisa mengenalinya."Kau pikir kau bisa bebas dengan menjadikan orang lain sebagai kambing hitam atas perbuatan mu!" Bara menggeram, tangannya mengepal erat, wajahnya merah padam."Tuan, apa yang harus saya lakukan?" ucap Vino membuat Bara menatap asistennya itu dengan mata menyala."Diam kau bodoh! Kerjamu tidak becus akhir-akhir ini! Kau sadar tidak apa ke
"Kita tidak bisa diam saja, Ka. Kita harus lapor polisi!" ucap Lastri. Beberapa hari ini ia memikirkan sahabatnya itu. "Tidak semudah itu, Lastri. Tuan Bara bukan orang sembarangan." Randy memijat pelipisnya beberapa kali, memikirkan sang Adik yang kini berada di rumah Bara. Randy sudah meminta bukti cctv malam itu, namun satu pun dari mereka tak ada yang memberikannya. Bukannya dia diam saja, dia pun berusaha mati-matian untuk menyelamatkan Adiknya. "Ponsel Lea tidak aktiv. Bagaimana aku bisa tenang kalau Lea di sana baik-baik saja atau tidak." Keduanya nampak frustrasi. Apalagi Lastri adalah Sabahat Lea sejak kecil. Mana mungkin dia diam saja melihat sahabatnya yang mungkin menderita di sana. Sementara Lea kini tengah meminum teh ditemani Oliv. Oliv, baginya seperti manekin. Ia tidak bisa diajak bercanda seperti Lastri. Oliv hanya menjawab apapun yang Lea butuhkan. "Aku bosan membaca majalah ini. Adakah yang lain, Oliv?" tanya Lea. "Ada, Nona?" Oliv pun memberikan majalah yang
Lea menyipitkan mata saat cahaya pagi menerpa matanya. "Bodoh, kenapa aku bisa ketiduran." padahal Lea sudah menyiapkan cara bagaimana ia bisa keluar dari istana ini dengan memanfaatkan Oliv. Perlahan Lea bangun dan duduk di tepi pembaringan. Saat tak sengaja melihat dirinya di pantulan kaca, Lea pun terkejut karena dirinya sudah berganti pakaian. Padahal semalem Lea masih memakai dress dan belum menggantinya. Di tengah kebingungannya, Oliv datang entah dari mana. "Saya yang mengganti pakaian Anda semalem, Nona." Dengan senyum mengembang, Oliv berdiri di hadapan Lea sambil membungkuk hormat. "Kalau Nona butuh sesuatu jangan sungkan beritahu saya. Untuk sarapan pagi, chef profesional sudah menyiapkan sarapan untuk Nona di meja makan."Tidak! Ini sungguh berlebihan. Bara tidak mungkin memerintah Oliv memperlakukannya seperti Ratu di mansion ini. Mengingat perlakuan Bara waktu itu, mana mungkin dia berubah dalam sekejap. Atau mungkin pria itu punya maksud terselubung untuk mengelabu
Bara berdiri merapihkan kemejanya yang sedikit berantakan, lalu melangkah maju menatap wajah Lea yang terus menunduk. "Davino?" panggil Bara. "Iya, Tuan." "Kira-kira hukuman apa yang pantas kuberikan pada gadis tak tahu diri ini?" ucap Bara, membuat Lea mengangkat wajahnya ke atas dan menggeleng cepat. Lea tak mau dihukum apapun. "Sebaiknya ..." "Aaaaaaa ... lepaskan!" baru saja Vino akan menjawab, Bara sudah menggendong gadis itu ala bridal style. Bara membawanya ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh Lea ke atas ranjang. Brakkk "Kau bermain-main denganku, Lea! Kau melupakan sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan kita berdua." Bara mengepalkan tangannya erat-erat dan sedikit menggeram. "Maafkan aku, Tuan. Aku rasa kau tidak berhak mengurungku seperti ini! Tolong lepaskan aku!" Lea hendak berdiri, tapi Bara langsung menahan pergelangan tangannya dan kembali menghempaskan tubuh Lea ke atas ranjang. Tangan Lea mendorong kuat-kuat dada Bara, namun pria sialan itu malah mengapi
"Tuan, saya mendapat informasi kalau Nona Sherren kini berada di Paris," ucap Davino. Pria itu menghentikan kegiatannya yang tengah sibuk membaca buku. "Bagaimana dengan Lea, apa dia sudah ditemukan?" "Belum, Tuan." jawaban itu membuat emosi Bara meledak sampai ke ubun-ubun. "Saya masih melanjutkan mencari informasi tentang Nona Sherren."Brak!Tak tahan mendengar ucapan Vino, Bara menggebrak meja kerjanya dengan keras. Tangannya terulur menarik kerah kemeja asistennya itu. Wajahnya memerah dengan gigi menggertak. Raut kemurkaan sangat jelas terlihat karena ia berani menyebut nama wanita yang sudah berani mempermainkannya. "Berapa tahun kau bekerja denganku, Vin?" tanya Bara membuat pria itu menunduk diam. Seorang Bara Melviano kalau sedang emosi, jawaban apapun pasti akan salah di matanya. Menjawab pun tak ada gunanya."Aku menyuruhmu untuk mencari Lea sampai ketemu dan membawa ke hadapanku, bukan malah memberi informasi wanita itu. Kau tahu, dia mau di manapun, dia matipun aku
Flashback On"Randy, tolong bersihkan kamar 205. Sebentar lagi mau ada yang masuk!" titah Manager Hotel malam itu.Dengan penuh semangat, Randy menjalankan perintah tersebut. Tetapi, hari itu nasib sial menimpanya. Tiba-tiba pintu Hotel terkunci rapat, Randy tidak menyadari ada orang yang masuk ke dalam kamar. Brak!Randy terjatuh sambil memegangi kepalanya yang sakit akibat pukulan benda tumpul. Ia hendak menoleh ke belakang, namun rasa pusing yang menjalar di kepalanya seolah tubuhnya terasa berputar. Detik kemudian, Randy pun jatuh pingsan."Maxim, apa yang kamu lakukan?" ucap seorang wanita berambut pirang dengan panik. "Aku tidak mau masuk penjara!" "Aku tak punya banyak waktu, Sherren. Aku belum siap ketahuan Kak Bara. Jika dia tahu tentang hubungan kita aku akan dibunuh."Maxim langsung memapah tubuh Randy dan menidurkannya di atas kasur. Ia juga melepas kaos yang Randy kenakan, hingga pria itu bertelanjang dada."Kenapa kau egois, Maxim? Kau menyelamatkan dirimu sendiri, sem
"Selamat pagi, Tuan. Ibu dan Adik Anda sudah menunggu di bawah untuk sarapan," ucap Vino membuat laki-laki itu mengangkat satu alisnya."Ngapain mereka ke sini?""Tidak tahu, Tuan. Katanya mau sarapan bersama.""Baik, aku segera turun," jawabnya yang diangguki kepala oleh Davino.Sementara Lea yang sudah terbangun dari awal hanya menyaksikan dua orang itu bicara dari kejauhan. Semalaman ia tidur di sofa dekat ujung jendela. Lelaki itu benar-benar tega. Ia tak memberikan Lea selimut untuk menutupi tubuhnya yang kedinginan."Hei, kenapa kau masih di situ? Cepat mandi!" titahnya dengan tegas."Ta-tapi bukannya Anda juga akan mand ...""Kita mandi bersama!""A-apa?" mata Lea membulat sempurna. Mana mungkin ia mandi bareng dengan lelaki yang bukan suaminya.Tetapi, bukankah laki-laki itu sudah melihat semuanya. Lea merasa seperti wanita murahan yang tidak punya harga diri. Bahkan untuk melawan pun tidak sanggup. Lea hanya bisa mengangguk pasrah dengan helaan napas panjang.30 menit kemudia
Perlahan Lea membuka matanya yang terasa berat, tubuh dan tulangnya terasa remuk. Namun, tidak kalah perih bagian privasinya yang terkoyak seperti habis dimasuki benda besar dan panjang. Ini semua perbuatan lelaki kejam itu yang menggagahinya seperti singa kelaparan, sangat buas dan tak memberi jeda sedikit pun. Lea menggeram. Sialnya, dia teringat bagaimana expresi lelaki tersebut yang tertawa di atas penderitaannya. Spontan Lea bangkit dari tidurnya dan bersandar pada headboard ranjang dengan selimut yang dia tarik menutupi sampai batas dadanya. Gadis itu mengerang, merasakan denyutan kecil di kepalanya yang masih terasa. "Brengsek! Aku akan membalas semuanya. Lihat saja!" Lea meremas jari-jarinya yang terkepal kuat. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke seisi kamar. Lea ingat ia disekap di sebuah Hotel dengan lelaki kejam itu. Lalu, untuk apa ia dipindahkan ke sini? Tunggu, kamar mewah ini berhasil menyita perhatiannya. Kamar dengan aksen warna gold yang elegan. Ada cermin besa
"Aaaahhh ... sakit ... sakit." Teriakan menggema di sebuah hotel membuat Davino rasanya ingin mendobrak pintu dengan kencang. Tetapi, jika ia melakukannya pasti sang Tuan marah besar dan akan membunuhnya.Seorang pria dengan wajah babak belur mendekati pintu hendak menerobos masuk, namun kedua orang berbadan besar sudah mencekal pergelangan tangannya lebih dulu agar tak mengganggu kegiatan Tuannya di dalam sana."Vino, tolong selamatkan Adikku! Dia tidak tahu apa-apa tentang masalah ini. Ku mohon ..." lirihnya dengan iba.Pria itu menangis memikirkan sang Adik di dalam sana yang berada di bawah kuasa Tuan kejam. Kedua pengawal terus saja mencekal tangannya dengan erat. Ia terus memberontak melepaskan diri.Vino mengusap wajahnya frustrasi. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Jika selangkah saja menyelamatkan sang gadis, maka habislah nyawanya di tangan Tuan kejam. Vino mondar-mandir di depan pintu, memikirkan sebuah cara agar Tuannya tidak bertindak lebih jauh.Semua penghuni hotel lang