Perbincangan telah selesai. Laura merasa tenang, setelah Lewis menceritakan kisah masa lalunya. Walaupun tak mengetahui secara pasti, tetapi penuturan Lewis membuat Laura tak lagi berpikir negatif. Terlepas dari apa yang telah pria itu lakukan terhadap Sophia. Laura tak ingin menghakimi.
“Sampai kapan kita di sini?” tanya Lewis, setelah Laura kembali dari kamar Harper.
“Aku suka berada di sini. Bolehkah?”
Lewis tersenyum, seraya berjalan menghampiri Laura. “Tapi, aku ke akan ke Boston besok. Ada urusan yang harus diselesaikan.”
“Tidak apa-apa. Pergi saja.”
“Kau yakin?” Lewis menatap ragu.
Lau
Lewis terus mengemudikan sedan metaliknya dengan kecepatan sedang. Dia tak menyadari ada yang mengikuti sejak tadi. Sang pengusaha yang baru melepas masa lajang itu terlampau bahagia, bahkan sampai senyum-senyum sendiri. Embusan napas pelan dan dalam, meluncur dari bibir Bos Galaxy Smartphone tersebut. Terbayang dalam ingatan pria tiga puluh enam tahun itu, percintaan panas semalam dengan Laura. Kenikmatan dari keintiman masih terasa sehingga membuatnya harus berkali-kali menarik napas panjang, demi menetralkan gejolak yang tiba-tiba mengusik naluri kelelakiannya. “Astaga. Seharusnya aku tetap di rumah,” gumam Lewis, berakhir keluhan pelan. Namun, dia tetap melajukan kendaraan, hingga tiba di pusat kota. Seperti yang dikatakannya, pria itu datang ke kantor. Selama berada di Inggris, Lewis mengendalikan perusahaan dari jauh. Beruntung, dia mempekerjakan orang-orang kompeten di bidangnya. Mereka melakukan tugas masing-masing dengan baik sehingga stabilitas perusahaan tetap terjaga.
“A-apa maksudmu?” Dakota menatap ketakutan, pada pria tampan di hadapannya. “Jangan berpura-pura!” Lewis yang terlampau kesal, meraih lengan wanita dengan celana jeans dan blouse kemeja hijau emerald tersebut. “Cepat katakan! Dari mana kau mengetahui bahwa Harper bukan darah dagingku?” Lewis bertanya dengan penuh penekanan. “A-aku ….” Dakota tak bisa berkata-kata. Bahasa tubuhnya pun terlihat tidak nyaman. Wanita cantik tersebut memberanikan diri melawan tatapan tajam penuh amarah, yang dilayangkan Lewis terhadapnya. “Kenapa kau bersikap seperti ini?” tanya wanita itu lirih.Lewis yang kalut, tak menggubris pertanyaan mantan kekasih gelapnya. Pria itu mengempaskan tubuh indah, yang dulu selalu membangkitkan gairah dan membuatnya merasa puas. Suami Laura tersebut menatap tajam Dakota, yang terduduk di sofa. “Hanya kau yang mengetahui kondisi kesehatanku. Tak ada yang lain. Tidak juga Sophia,” ucap Lewis, setelah berhasil menetralkan laju napas jadi lebih teratur. Dia ikut duduk di s
Lewis terdiam memandangi amplop yang diberikan Laura. Dia tak tahu apa isinya. Rasa penasaran muncul. Pria tampan itu memberi isyarat, seakan bertanya.Namun, Laura tidak memberikan penjelasan. Ibunda Harper tersebut hanya tersenyum kecil, seraya membalas dengan isyarat pula agar Lewis segera membuka amplop tadi.“Kuharap ini bukan sesuatu yang mengejutkan,” ujar Lewis, masih terlihat tenang. Akan tetapi, raut wajahnya seketika berubah tegang, saat mengeluarkan dua lembar foto dari dalam amplop itu. Lewis diam membeku. Otaknya bekerja keras. Antara merangkai kata yang akan dijadikan sebagai penjelasan kepada sang istri, juga mencoba memahami apa yang terjadi dan akan dihadapinya setelah ini.“Aku bisa menjelaskan semua padamu. Sungguh,” ucap Lewis setelah terdiam beberapa sa
“Haruskah?” Lewis mengalihkan mode panggilan ke loudspeaker sehingga Laura dapat mendengar apa yang Christian katakan. “Aku hanya ingin membuktikan kecurigaan tentang status Harper. Kurasa tak ada salahnya. Iya, kan?” Lewis dan Laura saling pandang. “Bukankah sudah kutegaskan kemarin tentang hal itu? Kenapa kau masih keras kepala?”“Aku akan memperjuangkan apa yang menurutku benar. Terlebih, untuk sesuatu yang merupakan milikku. Jika kau ataupun Laura tak menyembunyikan kebenaran seperti informasi yang kudapat kemarin, kalian berdua tak perlu merasa takut? Lagi pula, ikatan darah antara ayah dengan putrinya tak akan terputus, meskipun dipisahkan belasan ribu kilometer. Kami pasti akan tetap dipersatukan Tuhan.”Christian begitu percaya diri dengan apa yang diucapkan tadi. Kali ini, pria tampan tiga puluh enam tahun tersebut yakin bahwa kebenaran akan didapat dengan melakukan tes DNA. Sementara itu, di pihak Laura dan Lewis pun tak ada pilihan selain menyetujui. Keesokan harinya.
Entah mengapa, perasaan Laura begitu sakit melihat sorot kecewa yang terpancar dari sepasang iris gelap Christian. Apa yang pria itu katakan pun membuatnya merasa jadi wanita paling hina. Laura seperti dapat merasakan sakit hati yang tergambar jelas di wajah sang mantan suami. Terlebih, saat menyaksikan langkah gagah Christian yang makin menjauh, hingga akhirnya hilang di balik dinding rumah sakit. Ketika dalam perjalanan pulang, Laura tak banyak bicara. Ada rasa sesal mendalam, mengingat semua yang telah dilakukannya. Ya. Demi mendapatkan hasil negatif dari tes DNA yang dilakukan, dia dan Lewis nekat memberikan sampel yang bukan milik Harper. Segala alasan Lewis kemukakan, saat petugas laboratorium meminta mengambil sampel secara langsung dari bayi tiga bulan tersebut. “Apakah kita sudah melakukan kejahatan?” tanya Laura pelan, seperti pada diri
Ragu. Laura hanya menatap deretan angka yang tertera di layar telepon genggam. Dia tak berani menjawab panggilan masuk itu. Ibunda Harper tersebut memilih mengabaikan. Dia menutup pintu belakang mobil, lalu masuk melalui pintu sopir.Setelah memasang sabuk pengaman serta mengenakan kacamata hitam, wanita cantik yang kini sudah menginjak usia dua puluh sembilan tahun tersebut bersiap menyalakan mesin mobil. Akan tetapi, dering panggilan dari nomor tadi kembali terdengar. Laura mengembuskan napas pelan. Terpaksa, dia menerima panggilan itu.“Laura Bellingham di sini. Ada yang bisa dibantu? Boleh kutahu dengan siapa ini?”“Nyonya Bellingham?” Terdengar suara seorang pria dari ujung telepon.“Ya, aku. Anda siapa?
“Hallo,” sapa Laura. “Apa kau sibuk?” tanya Emma. “Aku sedang di makam Lewis. Ada apa?” “Nanti saja kuhubungi lagi.” “Baiklah.” Laura menutup sambungan telepon. Dia kembali fokus pada niat awal datang ke makam Lewis, yang selalu dikunjungi setiap minggu.Tiap kali berkunjung, Harper selalu membawakan bunga yang berbeda. Dia juga biasa bercerita banyak hal, di depan nisan Lewis. Gadis kecil itu tak pernah tahu bahwa Lewis bukanlah ayah kandungnya. Selama menjalani pernikahan dengan Lewis, Laura belum dikaruniai buah hati. Namun, itu tak menjadi masalah besar. Lagi pula, Lewis begitu menyayangi Harper. Dia bersikap seolah anak itu merupakan darah dagingnya. “Apa ayah tidak kelaparan, Bu?” tanya Harper tiba-tiba sehingga membuyarkan lamunan Laura. “Kau selalu menanyakan itu, tiap kali kita kemari,” ucap Laura, seraya menyentuh pucuk kepala putrinya. Harper tak segera menjawab. Dia memperhatikan makam Lewis. “Apakah ayah tahu kita datang dan membawakan bunga untuknya?” tanya gadi
Emma langsung menoleh ke sumber suara. Wanita itu terkejut luar biasa, mendapati seorang pria yang tak lain adalah Christian. “Ah, apa-apaan ini?” ucapnya dalam hati.“Emma?” Christian menaikkan sebelah alis, disertai tatapan aneh pada saudara kembar Laura tersebut. Satu hal yang menjadi perhatian pengusaha tampan itu, ialah gadis kecil di dekat Emma. Christian menatap lekat Harper, yang tengah asyik menikmati camilan.Merasa tak ada hal penting yang harus dibahas dengan Emma, perhatian Christian beralih pada Mairi. “Ayo, Nak. Kita harus pulang,” ajaknya.Namun, Mairi justru memalingkan wajah sambil melipat kedua tangan di dada. “Aku tidak mau pulang, sebelum melihat Delila,” tolak gadis kecil berambut cokelat itu.