Emma langsung menoleh ke sumber suara. Wanita itu terkejut luar biasa, mendapati seorang pria yang tak lain adalah Christian. “Ah, apa-apaan ini?” ucapnya dalam hati.
“Emma?” Christian menaikkan sebelah alis, disertai tatapan aneh pada saudara kembar Laura tersebut. Satu hal yang menjadi perhatian pengusaha tampan itu, ialah gadis kecil di dekat Emma. Christian menatap lekat Harper, yang tengah asyik menikmati camilan.
Merasa tak ada hal penting yang harus dibahas dengan Emma, perhatian Christian beralih pada Mairi. “Ayo, Nak. Kita harus pulang,” ajaknya.
Namun, Mairi justru memalingkan wajah sambil melipat kedua tangan di dada. “Aku tidak mau pulang, sebelum melihat Delila,” tolak gadis kecil berambut cokelat itu.
Keesokan harinyaGrace diizinkan pulang oleh dokter yang menanganinya selama dirawat di rumah sakit. Dia dijemput oleh Jamie dan diantar hingga ke rumah. Di rumah, Laura sudah menyiapkan aneka masakan untuk menyambut kepulangan sang ibunda. Dia memasak makanan khusus untuk Grace, berhubung wanita itu belum diperbolehkan mengonsumsi sembarang makanan. Grace harus benar-benar memperhatikan asupan gizi yang masuk ke tubuhnya. Wanita paruh baya tampak sangat bahagia. Satu minggu menjalani perawatan di rumah sakit, tak lagi diingat setelah bertemu langsung dengan Harper. Selama ini, mereka hanya bertegur sapa lewat telepon dan sambungan video call. “Aku turut berduka cita atas kepergian suamimu,” ucap Jamie.“Terima kasih, Tuan Carson,” balas Laura berusaha terlihat biasa. “Sudah lewat tiga bulan dan aku harus melanjutkan hidup.” Wanita itu tersenyum kelu. “Ayahku pun begitu ketika ibu tiada. Dia menghabiskan waktu untuk menggeluti hobi dan segala hal yang bisa membuatnya sibuk,” ujar
Laura menoleh ragu. Seketika, jantungnya seperti berhenti berdetak. Di sebelahnya ada pria tampan berambut gelap, yang sudah sekian lama dilupakan. Pria yang juga tengah menatap kepadanya.Rasa terkejut luar biasa, tergambar jelas dari paras tampan si pemilik rambut gelap yang tak lain adalah Christian. Dia tak percaya bisa bertemu lagi dengan mantan istri, yang selama ini tak ditemui dan berusaha dihilangkan dari ingatan.Mereka saling pandang beberapa saat, sebelum tersadar dan langsung mengalihkan perhatian ke panggung karena pertunjukkan akan segera dimulai. Namun, ekspresi tak nyaman terlihat jelas dari wajah keduanya.Laura menonton aksi para penari balet, sambil meremas pelan tali tas di pangkuannya. Dia melakukan itu demi menghalau perasaan aneh yang mulai mengganggu ketenangan karena kehad
Laura mengembuskan napas pelan bernada keluhan, mendengar ucapan Harper. Wanita itu memijat pelan keningnya. “Aku sakit kepala, Sayang,” ucap Laura mencari alasan.Harper terlihat kecewa. Namun, dia tak mengatakan apa pun. Hanya raut wajah masam yang menjadi penanda rasa tak suka, atas sikap ibunya.Melihat ekspresi Harper, membuat Laura merasa tak tega. Wanita cantik berambut pirang itu mengembuskan napas pelan, lalu mengarahkan perhatian pada Christian. “Baiklah. Tapi, sebentar saja,” putusnya. Meskipun tampak jelas rona keterpaksaan, tapi Laura berhasil membuat Harper kembali tersenyum.Begitu juga dengan Christian. Pria dengan rambut agak gondrong itu segera membalikkan badan menuju mobil, sambil tersenyum. Dia tak memiliki niat mencari perhatian lebih dari Laura karena
“Ada delapan puluh persen orang di dunia yang memiliki iris mata gelap. Tak ada yang salah jika Harper menjadi salah satunya,” jawab Laura, seraya memasukkan satu sendok es krim ke mulut. Dia berusaha terlihat setenang mungkin, agar Christian tak dapat membaca keresahan yang hadir dan mengusik. Membuatnya merasa tak nyaman.Christian tersenyum kalem, seraya melakukan hal yang sama seperti Laura. Coffee ice cream yang disantap pria itu jadi terasa berbeda, saat dinikmati sambil berhadapan dengan Laura. “Memang tidak ada yang salah. Namun, seingatku warna mata Lewis berbeda,” balas Christian tenang. Dia menatap wanita cantik di hadapannya, sambil memegangi sendok kecil dengan tangan kanan. “Aku tidak terlalu paham akan rumus percampuran gen,” ujarnya lagi.“Maksudmu?” tanya Laura tak mengerti.
“Aku akan mengantarmu pulang terlebih dulu,” ucap Christian, setelah menutup sambungan telepon. Dia tak terlihat tenang lagi seperti tadi. “Ada apa? Apa ada masalah?” tanya Laura penasaran. “Aku harus segera ke rumah sakit,” jawab Christian. Raut wajahnya tampak gelisah. “Apa terjadi sesuatu dengan Delila?” tanya Laura lagi, kian penasaran. Christian tak segera menjawab. Dia terus menatap lurus ke depan, seperti tak ada niat memberikan penjelasan pada Laura yang menatap penuh harap, agar diberi tahu apa yang terjadi sebenarnya. Laura yang awalnya setengah menghadapkan tubuh pada Christian, terpaksa kembali menatap ke depan sepenuhnya. Walaupun sudah berpisah lama, tetapi dia belum lupa dengan karakter sang mantan suami. Christian tak akan bicara, jika dirinya tak berkehendak. Dia tak peduli, meskipun telah membuat orang lain begitu penasaran. “Kita langsung ke rumah sakit saja,” ujar Laura, setelah terdiam beberapa saat. Christian tak menyahut. Namun, pria itu sempat menoleh pa
Christian memperhatikan Laura yang masih menggendong Mairi, sambil sesekali mengusap-usap punggung serta mencium anak itu. Pengusaha tampan tersebut merasa heran karena sang putri tidak menolak, saat diperlakukan demikian oleh Laura. Biasanya Mairi selalu membatasi diri dari orang yang tidak benar-benar dekat. Terlebih, jika masih asing baginya. Sang pemilik Lynch Company tersebut tak mengalihkan tatapan sedikit pun, hingga Laura tiba-tiba menoleh dan memberi isyarat bahwa Mairi sudah tertidur lelap.“Sepertinya Mairi kelelahan. Apa dia sudah makan?” tanya Laura, sebelum memberikan anak itu pada Christian.Christian mengangguk. “Aku selalu memastikan perutnya terisi, sebelum melakukan apa pun,” jawab pria itu yakin.“Dia pasti sangat sedih. Aku bisa merasakann
“Wanita apa maksudmu?” tanya Christian pura-pura tak mengerti.“Wanita yang membuatku harus melarikan diri darimu,” jawab Laura pelan.Christian menatap lekat wanita cantik di hadapannya. Keraguan itu tampak kian jelas, dalam sepasang iris gelap pengusaha tampan tersebut. “Kau tak perlu tahu siapa wanita itu,” ucapnya.“Apakah dia terlalu berarti untukmu?”Lagi-lagi, Christian terlihat ragu. Namun, akhirnya dia mengangguk. “Dia sangat berarti. Akan tetapi, aku telah mengembalikan perasaan tersebut dan menguburnya dalam-dalam. Setelah perpisahan kita waktu itu, aku juga melepaskan segala hal yang berkaitan dengan cerita masa lalu,” jelasnya tenang.
“Oh, bagaimana kau bisa berpikir demikian?” Laura kembali tertawa renyah. “Bukankah itu benar, Bu?” Harper menatap Laura, dengan sorot tak dapat diartikan. Laura menghentikan tawa, lalu mencubit pipi putri kecilnya. Dia menggeleng pelan. “Aku sudah lama mengenal ayah Mairi. Namun, dia tidak menyukaiku … maksudku ini tak seperti yang kau pikirkan, Sayang,” jelasnya lemah-lembut.“Lalu, kenapa dia terus tersenyum padamu?” tanya Harper lagi.“Kau tahu dari mana bahwa dia terus tersenyum padaku?” Laura balik bertanya. “Hmm.” Harper mengetuk-ngetukkan telunjuk ke dagu, seakan-akan tengah berpikir. “Waktu di kedai es krim, paman tampan itu berkali-kali melihat ke arahmu sambil tersenyum. Kau tidak melihatnya karena sedang makan es krim, Bu.” “Oh, ya?” Kali ini, giliran Laura yang menggerakkan bola mata ke kiri dan kanan, seolah-olah tengah memikirkan sesuatu. “Aku memang tidak tahu,” ucapnya. “Kalau begitu, apa kau mau tinggal di sini, Bu?” Laura mengembuskan napas bernada keluhan, di