Laura tertegun beberapa saat, tanpa melepaskan genggaman tangan dari pergelangan Harper. Pandangan ibu dan anak itu sama-sama tertuju pada seseorang, yang berdiri di dekat sedan pinggir jalan depan kediaman Keluarga Pearson. Pria dengan T-Shirt hitam berlapis jaket kulit cokelat. “Hai, Haper!” sapa gadis kecil dengan setengah berseru. Dia menyembulkan kepala lewat jendela kaca mobil. “Hai, Mairi!” balas Harper seraya melambaikan tangan. Kedua gadis kecil itu saling melempar senyum lucu yang terlihat sangat menggemaskan. “Maaf. Mairi memaksa ingin bertemu Harper,” ucap pria yang tak lain adalah Christian. “Hari ini putriku tidak berangkat ke sekolah.” Christian sedikit kikuk, saat berhadapan langsung dengan Laura. Namun, pengusaha yang makin terlihat menawan di usia empat puluh tahun itu berusaha tetap terlihat tenang serta berwibawa. Laura tersenyum kecil seraya mengangguk pelan. Perhatiannya langsung tertuju pada Mairi, yang kali ini bahkan mengeluarkan sebagian tubuh melalui
“Mengapa kau berpikir demikian?” Christian memicingkan mata seraya menoleh pada Laura, yang lebih memilih menatap ke depan. “Aku tidak bermaksud membuatmu begitu. Namun, lihatlah kebahagiaan Harper dan Mairi atas kebersamaan mereka. Kurasa putri kita cocok dan bisa berteman baik.”“Aku tidak mempermasalahkan dan justru senang melihat keakraban mereka. Akan tetapi, kau tahu kami harus kembali ke Amerika. Sementara Harper menolak ikut karena merasa nyaman di sini. Dia mengatakan senang memiliki teman baru dan berkali-kali menyebut nama Mairi. Aku hanya …..” Laura mengembuskan napas pelan karena merasa serba salah.“Putrimu anak yang cerdas. Dia pasti paham jika diberi pengertian. Aku biasa melakukan itu pada Mairi. Meskipun terkadang … ya kau tahu sendiri seperti apa karakter anak seusia mereka.
Laura baru selesai menata meja makan, ketika Emma muncul dari lantai dua. “Apa kau akan pergi?” tanya ibunda Harper tersebut, melihat penampilan saudara kembarnya yang sudah rapi. Emma mengenakan celana jeans ketat yang dipadukan T-Shirt press body berlapis jaket. Dia juga mengikat rambut panjangnya.Laura menatap heran karena Emma berpenampilan seperti itu di malam hari. “Kau mau ke mana?” tanya wanita itu lagi, berhubung saudara kembarnya tak memberikan jawaban.“Jamie mengajakku keluar.” Akhirnya Emma bicara, meskipun sambil mengunyah apel yang diambil dari keranjang buah.“Dengan baju seperti itu?” Laura menautkan alis.“Ya. Apanya yang salah?” Emma tak melanjutkan percakapan, berhubu
Emma menutup layar ponsel, lalu berdiri seraya berdehem pelan. “Kemarilah.” Jamie melepaskan diri dari pelukan wanita berambut cokelat tembaga itu. Dia meraih tangan Emma, sedikit menariknya agar mendekat. CEO dari SRC Company tersebut bahkan merengkuh pundak sang kekasih, lalu mengecup lembut keningnya. “Ini Emma,” ucap Jamie, memperkenalkan saudara kembar Laura tersebut. Mendapat perlakuan seperti tadi di hadapan wanita lain, membuat Emma merasa percaya diri. Wanita cantik bermata biru itu tersenyum puas. “Dia adalah Fiona Kyleigh. Kami pernah kuliah di universitas yang sama, sebelum diriku pindah ke Manchester,” ucap Jamie lagi. Wanita bernama Fiona itu tersenyum manis. “Aku sangat kehilangan saat Jamie pindah dari London. Namun, untung saja kami masih bisa berkomunikasi di dunia maya,” ujarnya seraya kembali mengarahkan perhatian pada Jamie. “Tapi, sepertinya kau sudah jarang sekali membuka sosial media.” “Aku sangat sibuk dalam beberapa waktu terakhir,” ujar Jamie, tanpa me
[Hai, Jamie. Ini aku Fiona. Simpan nomorku.]Jamie tak segera membalas. Dia justru meletakkan kembali telepon genggam itu di meja, lalu melanjutkan makan.“Kenapa?” tanya Emma dingin.“Tidak apa-apa,” jawab Jamie enteng, tak terlalu memedulikan ekspresi sang kekasih yang mulai menegang. Bukannya tak peka, tapi dia malas harus membahas hal seperti itu.“Aku jadi penasaran akan satu hal,” ujar Emma, berlagak biasa saja. Padahal, rasa jengkel mulai kembali datang mengusiknya.Jamie berdehem pelan. Pria itu sadar dirinya tidak akan baik-baik saja. Namun, sang CEO tetap terlihat tenang. “Apa yang membuatmu penasaran?” tanyanya.
“Apa kalian akan pergi?” tanya Grace. Dia sudah membiasakan diri keluar kamar. “Kami akan ke kebun binatang, Bu,” jawab Laura sambil memasukkan bekal makanan buatannya ke wadah khusus. “Apa Emma sudah pulang?”“Ya. Dia datang pagi-pagi sekali dan langsung bersiap pergi ke kantor,” jawab Grace seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Di mana Harper?” tanyanya.“Aku di sini, Nenek,” seru Harper. Gadis kecil itu muncul dengan membawa ransel kesayangan. “Lihat ini, Nek. Aku membawa koleksi pita rambut.” Dia memperlihatkan isi tasnya. Grace menautkan alis, lalu menatap heran cucunya. “Untuk apa kau membawa pita rambut ke kebun binatang?” “Aku akan menukarnya dengan punya Mairi,” sahut Harper polos. “Mairi? Siapa dia?” tanya Grace. Namun, belum sempat Harper memberikan jawaban, Laura yang tadi berlalu dari sana kembali lagi. “Apa kau sudah siap, Sayang?” “Iya, Bu,” sahut Harper seraya turun dari kursi. Gadis kecil itu memeluk serta mencium hangat Grace, sebelum berlari ke
“Berkemah?” ulang Laura.Mairi mengangguk yakin. “Aku punya tenda baru. Ukurannya besar. Papa mengatakan aku bisa membawa semua boneka ke dalamnya. Tapi, aku juga ingin mengajak Harper,” jelas gadis kecil itu. Laura tak langsung mengiyakan. Dia mengalihkan perhatian pada Christian, yang memasang raut terkejut atas ide putrinya. Laura menatap pria tampan itu, seakan meminta penjelasan. “Ah, iya. Aku membelikan Mairi tenda beberapa hari yang lalu. Dia ingin mencoba berkemah di halaman samping rumah kami. Namun, jujur saja aku tak tahu bahwa Mairi akan mengajak Harper untuk bergabung,” jelas Christian agak kikuk. “Oh.” Hanya itu tanggapan dari Laura. Wanita cantik tersebut tampak bingung. Apalagi, saat melihat Harper begitu antusias menerima ajakan Mairi. Hingga mereka puas berkeliling di kebun binatang, Laura belum juga memberikan izin secara langsung. Dia jadi bimbang, berhubung seharusnya besok sudah harus kembali ke Amerika. Laura bahkan terus terdiam selama perjalanan pulang. Se
“Hai, Mairi,” sapa Harper sambil melambaikan tangan. Gadis kecil itu tersenyum lebar, menandakan dirinya sedang bahagia.“Kalian sudah siap?” tanya Christian sedikit ragu. Pasalnya, dia tak melihat koper atau barang lain di dekat Laura. Wanita itu hanya membawa tas kecil, sedangkan Harper dengan ransel kesayangannya.Christian tak mengerti. Dia ingin bertanya, tetapi bingung bagaimana cara merangkai kata. Terlebih karena Grace datang menghampirinya dan Laura yang masih berdiri di ambang pintu.“Nyonya Pearson,” sapa Christian agak kikuk. Setelah bertahun-tahun berlalu, baru kali ini dia bertemu lagi dengan ibunda Laura tersebut. “Apa kabar?”“Hai, Christian. Kabarku baik, meskipun masih belum b