“Hai, Mairi,” sapa Harper sambil melambaikan tangan. Gadis kecil itu tersenyum lebar, menandakan dirinya sedang bahagia.
“Kalian sudah siap?” tanya Christian sedikit ragu. Pasalnya, dia tak melihat koper atau barang lain di dekat Laura. Wanita itu hanya membawa tas kecil, sedangkan Harper dengan ransel kesayangannya.
Christian tak mengerti. Dia ingin bertanya, tetapi bingung bagaimana cara merangkai kata. Terlebih karena Grace datang menghampirinya dan Laura yang masih berdiri di ambang pintu.
“Nyonya Pearson,” sapa Christian agak kikuk. Setelah bertahun-tahun berlalu, baru kali ini dia bertemu lagi dengan ibunda Laura tersebut. “Apa kabar?”
“Hai, Christian. Kabarku baik, meskipun masih belum b
“Kita masih memiliki sekitar dua jam sebelum mendirikan tenda. Terserah kau ingin melakukan apa. Bersantai di beranda, berenang atau ….” Christian tak melanjutkan kata-katanya. Dia bergerak makin mendekat ke hadapan Laura. Wanita itu hanya terpaku, bagaikan ada kekuatan besar yang membuatnya tak bisa bergerak ke manapun.“Ada apa ini? Kenapa kita dipertemukan lagi?” Christian berdiri tepat di hadapan Laura, yang terdiam menatapnya. “Kenapa kau tidak marah atau membenciku setengah mati?” Makin lama, suara pria tampan berambut gelap itu makin pelan dan dalam.“Kau ingin aku membencimu?” Laura balik bertanya.Christian menggeleng. “Kita sudah sama-sama dewasa,” ucapnya. “Aku tahu dan sadar betul akan semua rasa kecewamu selama me
Laura menoleh, saat mendengar irama yang dihasilkan dari petikan gitar Christian. Jelas sudah dia tak benar-benar mengenal mantan suaminya. Laura tidak tahu bahwa pengusaha tampan itu piawai bermain alat musik. Karakter Christian yang dulu cenderung kaku, membuatnya tak berpikir pria itu memiliki ketertarikan pada musik atau hal menyenangkan lain. “Kenapa tidak bernyanyi?” Pertanyaan tadi membuat Christian seketika menghentikan permainan gitarnya. Dia menoleh, lalu tersenyum simpul. “Aku tidak bisa bernyanyi. Suaraku jelek,” jawabnya enteng. “Baiklah. Kalau begitu tidak usah,” ujar Laura menanggapi. “Kenapa bukan kau saja yang bernyanyi?” Laura langsung melayangkan tatapan protes. “Aku pernah mendengarmu melakukannya,” ucap Christian. “Saat kau sedang mandi.” “Astaga. Kau ….” “Seharusnya aku masuk dan ikut bernyanyi denganmu,” gurau Christian diakhiri tawa pelan, sedangkan Laura hanya mendelik. Christian melanjutkan permainan gitarnya. Meskipun hanya alunan musik akus
“Lelucon macam apa ini, Christian?” Laura menatap tak suka pria di hadapannya.Christian menggeleng penuh keyakinan. “Ini bukan lelucon,” sanggahnya.Namun, Laura justru menanggapi dengan senyum sinis. “Dulu kau mengatakan tidak akan pernah jatuh cinta padaku karena cintamu sudah jadi milik wanita lain. Sekarang menyatakan sebaliknya. Kau sangat menyedihkan, Christian.”Laura menatap tajam mantan suaminya. “Kau pria kesepian. Aku tidak tahu dan tak bisa memastikan kebenaran semua ucapanmu tadi. Christian Lynch tak akan bisa hidup tanpa bersenang-senang dengan wanita. Kenapa? Apa kau kehabisan pelacur di negara ini?” Ucapan Laura makin lama makin pedas.“Jaga bicaramu, Laura!” sergah Chris
“Aku,” jawab seseorang, yang membuat Christian langsung menoleh. Dia yang tadinya tengah mengawasi anak-anak di kolam sambil sesekali bermain air, segera berdiri. Christian menatap lekat tamu yang tak pernah diduga kedatangannya. “Kau?” Wajah Christian menegang.“Ya. Aku,” balas seseorang yang tak lain adalah Chelsea. Dia datang bersama wanita paruh baya, yaitu ibundanya yang bernama Mirren Wright. “Kenapa kau begitu terkejut?” tanya Chelsea, dengan tatapan keheranan.“Tidak apa-apa. Aku hanya tak menyangka kau akan datang kemari,” jawab Christian, berusaha terlihat tenang dan tetap menjaga wibawa. Dia menoleh sekilas pada pelayan yang melintas di beranda samping. “Lorna!” panggilnya cukup nyaring. Wanita bernama Lorna yang dipanggil Christian tadi, segera menoleh. Dia berjalan terburu-buru menghadap sang majikan. Lorna mengangguk sopan, menunggu perintah yang sepertinya akan segera diberikan pria itu. “Bawa anak-anak masuk,” titah Christian seraya menoleh ke kolam yang khusus dibu
“Kau tidak berhak mengatakan itu, Christian! Apa atau bagaimanapun kehidupanku, itu bukan urusanmu!” sergah Mirren tak suka. Jari telunjuk wanita paruh baya tersebut terarah lurus ke depan wajah Christian, yang tetap bersikap tenang.Christian menggaruk pelan pelipis, lalu tersenyum kalem. “Aku merawat Mairi dari bayi hingga berusia lima tahun. Tak lama lagi dia akan berulang tahun yang ke-6. Walaupun tak termasuk ke dalam jajaran pria baik berhati malaikat, setidaknya diriku bukan pecandu minuman keras apalagi pernah mengalami gangguan kejiwaan,” ujar pria itu tenang, dengan nada setengah meledek.“Tutup mulutmu, Christian!” Kali ini, telunjuk Chelsea yang mengarah ke wajah sang pemilik Lynch Company. “Aku jadi gila karena dirimu! Kaulah penyebab semua kesialan ini! Kau yang menghancurkan seluruh hidupku!&r
“Tapi, kau tidak berhak menghabisi nyawa siapa pun! Apalagi dia adalah adikku!” sergah Christian penuh penekanan. Raut wajah serta nada bicara pria tampan itu benar-benar menakutkan. Christian telah melampaui batas kesabaran yang sejak tadi ditahan.“Adik macam apa yang berkencan dengan kakaknya?”Tatapan Christian kian tajam, mendengar ucapan lantang Chelsea. Rahasia yang ditutupi dari semua orang, kini terungkap jelas sehingga membuatnya harus siap menanggung malu. Jatuh cinta bukan suatu kejahatan. Namun, lain cerita bila terhadap adik sendiri, meskipun tidak sedarah. “Tutup mulutmu!” sentak Christian, hampir kehilangan kontrol diri andai tak mendengar suara lembut Laura yang membuat geraknya seketika terhenti. Christian berdiri membeku. Berat, pria itu menoleh pad
Christian mendongak, menatap paras cantik Laura yang menunduk. “Apa aku terlihat lemah?” tanya pria itu pelan.Laura tersenyum kecil, diiringi gelengan pelan. “Tak ada aturan yang melarang seorang pria agar tidak menangis. Jika seperti itu seharusnya sejak bayi, kanak-kanak, hingga beranjak dewasa pun seorang pria tidak boleh meluapkan emosi lewat air mata,” ucap wanita itu lembut.Sementara Christian kembali membenamkan wajah di perut Laura. Dia mendengarkan semua yang ibunda Harper katakan, sambil berusaha menenangkan diri.“Aku pernah melihat ayah menangis. Entah karena apa. Aku tidak berani bertanya karena yang kutahu dia adalah pria paling tegar. Rasanya memang sangat aneh. Akan tetapi, dari sana aku berpikir bahwa tak ada pantangan bagi siapa pun untuk meluapkan
Laura tersenyum kelu. Dia merasa tersindir atas ucapan Christian tadi. Namun, wanita itu belum berani berbicara jujur karena sudah terlanjur membangun keyakinan di hati Christian, bahwa Harper merupakan darah daging Lewis Bellingham. “Jangan terlalu berlebihan, Christian. Tuhan tak akan pernah membiarkanmu benar-benar sendiri. Walaupun terkadang orang yang datang dalam hidup kita hanya sekadar lewat. Setidaknya, mereka pernah memberikan warna baru.” “Ya, kau benar.” Christian melihat ke dalam kamar. Dia mendapati Harper dan Mairi tengah asyik bermain. “Waktunya makan siang, Nona-nona.” Suara berat Christian membuat kedua gadis kecil yang tengah asyik bermain tadi langsung menoleh, lalu tersenyum lebar. “Papa!” seru Mairi semringah. Gadis kecil itu meletakkan mainannya, kemudian berlari menghampiri sang ayah. “Pesankan kami pizza.” “Siapa yang ingin pizza? Kau atau Harper?” “Kami berdua,” sahut Mairi antusias. “Iya kan, Harper?” Dia menoleh pada teman bermainnya. Harper menganggu