“Tapi, kau tidak berhak menghabisi nyawa siapa pun! Apalagi dia adalah adikku!” sergah Christian penuh penekanan. Raut wajah serta nada bicara pria tampan itu benar-benar menakutkan. Christian telah melampaui batas kesabaran yang sejak tadi ditahan.
“Adik macam apa yang berkencan dengan kakaknya?”
Tatapan Christian kian tajam, mendengar ucapan lantang Chelsea. Rahasia yang ditutupi dari semua orang, kini terungkap jelas sehingga membuatnya harus siap menanggung malu. Jatuh cinta bukan suatu kejahatan. Namun, lain cerita bila terhadap adik sendiri, meskipun tidak sedarah.
“Tutup mulutmu!” sentak Christian, hampir kehilangan kontrol diri andai tak mendengar suara lembut Laura yang membuat geraknya seketika terhenti. Christian berdiri membeku. Berat, pria itu menoleh pad
Christian mendongak, menatap paras cantik Laura yang menunduk. “Apa aku terlihat lemah?” tanya pria itu pelan.Laura tersenyum kecil, diiringi gelengan pelan. “Tak ada aturan yang melarang seorang pria agar tidak menangis. Jika seperti itu seharusnya sejak bayi, kanak-kanak, hingga beranjak dewasa pun seorang pria tidak boleh meluapkan emosi lewat air mata,” ucap wanita itu lembut.Sementara Christian kembali membenamkan wajah di perut Laura. Dia mendengarkan semua yang ibunda Harper katakan, sambil berusaha menenangkan diri.“Aku pernah melihat ayah menangis. Entah karena apa. Aku tidak berani bertanya karena yang kutahu dia adalah pria paling tegar. Rasanya memang sangat aneh. Akan tetapi, dari sana aku berpikir bahwa tak ada pantangan bagi siapa pun untuk meluapkan
Laura tersenyum kelu. Dia merasa tersindir atas ucapan Christian tadi. Namun, wanita itu belum berani berbicara jujur karena sudah terlanjur membangun keyakinan di hati Christian, bahwa Harper merupakan darah daging Lewis Bellingham. “Jangan terlalu berlebihan, Christian. Tuhan tak akan pernah membiarkanmu benar-benar sendiri. Walaupun terkadang orang yang datang dalam hidup kita hanya sekadar lewat. Setidaknya, mereka pernah memberikan warna baru.” “Ya, kau benar.” Christian melihat ke dalam kamar. Dia mendapati Harper dan Mairi tengah asyik bermain. “Waktunya makan siang, Nona-nona.” Suara berat Christian membuat kedua gadis kecil yang tengah asyik bermain tadi langsung menoleh, lalu tersenyum lebar. “Papa!” seru Mairi semringah. Gadis kecil itu meletakkan mainannya, kemudian berlari menghampiri sang ayah. “Pesankan kami pizza.” “Siapa yang ingin pizza? Kau atau Harper?” “Kami berdua,” sahut Mairi antusias. “Iya kan, Harper?” Dia menoleh pada teman bermainnya. Harper menganggu
Setelah kenyang menyantap pizza bersama-sama, Laura kembali membujuk Harper. Dengan berbagai cara, wanita itu akhirnya berhasil membawa sang anak pulang dari kediaman Christian. “Aku akan mengantarmu besok ke bandara,” ucap Mairi sambil melambaikan tangan, saat Laura dan Harper sudah turun dari kendaraan. “Pakai pita rambut yang kuberikan, ya,” balas Harper seraya tersenyum lebar. “Kau juga pakai pita yang kuberikan, ya.” Mairi mengatakan hal yang sama. Kedua gadis kecil itu saling tertawa sambil melambaikan tangan. **********Malam datang tanpa terasa. Seusai makan malam, Laura langsung menidurkan Harper. Lagi pula, anak itu terlihat kelelahan. Setelah Harper terlelap, Laura melanjutkan aktivitas mengemas barang-barang bawaan. Namun, belum sempat melakukan itu, wanita cantik tersebut tiba-tiba tersadar akan sesuatu. “Gelangku,” gumam Laura seraya meraba pergelangan kiri, lalu mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Laura mulai mencari perhiasan berharga, yang merupakan hadiah ula
Laura terpaku. Dia sadar betul dengan apa yang akan Christian lakukan. Terlebih, paras tampan pria itu sudah sangat dekat. Laura bahkan dapat merasakan embusan napas hangat yang menerpa wajahnya. Ibunda Harper tersebut ingin beranjak dari sana. Melarikan diri sejauh mungkin dari godaan pengusaha tampan empat puluh tahun itu. Namun, entah mengapa dia tak dapat menggerakkan kaki. Jangankan berlari, memalingkan wajah saja tak mampu. Apalagi, saat Christian meraih tangan dan meletakkannya di pundak. “Kau masih ingat?” bisik Christian. Suaranya terdengar sangat dalam sehingga menghadirkan getaran berbeda di hati Laura yang hanya diam membisu, meskipun kedua tangannya sudah melingkar di leher sang mantan suami.“Kau yakin akan kembali ke Amerika besok?” tanya Christian, kembali mengajak Laura berinteraksi.Kali ini, Laura menanggapi dengan anggukan pelan. “Aku sudah memesan tiket untuk penerbangan siang,” jawabnya. “Apakah Harper setuju dan tidak merasa terpaksa?” tanya Christian lagi,
Malam terus beranjak. Suasana sepi kian terasa. Padahal, waktu baru menunjukkan pukul sepuluh, ketika sedan hitam milik Christian berhenti di jalan depan kediaman Keluarga Pearson. Tak ada perbincangan berarti di antara dua insan, yang telah menyelesaikan ritual pelepasan hasrat beberapa saat lalu tersebut. Mereka seperti sama-sama menyadari, atas apa yang terjadi tadi. Namun, saat ini yang terlihat justru kecanggungan. Baik Laura maupun Christian, tampak bingung memulai pembicaraan.“Maaf,” ucap Christian tanpa menoleh. Kedua tangannya masih memegang kemudi. Raut wajah pria empat puluh tahun tersebut tampak begitu datar. Akan tetapi, sorot matanya menyiratkan perasaan lain dalam dada. Christian sedikit tak nyaman dengan suasana d antara dirinya dengan Laura. Namun, dia berusaha menyembunyikan perasaan tersebut, dengan berpura-pura tenang. Walaupun, embusan napas berat sempat terdengar beberapa kali. “Aku juga minta maaf,” balas Laura, yang tak bisa menyalahkan Christian. Sejujurny
Laura sontak membuka mata. Napasnya sedikit terengah. Dia memberanikan diri menoleh ke samping. Laura dapat bernapas lega karena Harper masih terlelap di sebelahnya. “Kau ada di sini,” ucapnya pelan seraya meraba pucuk kepala sang putri, kemudian mengecupnya pelan. Harper menggeliat, lalu membuka mata perlahan. “Ibu …,” ucapnya dengan suara parau. “Selamat pagi, Sayang. Bagaimana kabarmu?” sapa Laura lembut, diiringi senyum hangat. “Selamat pagi, Ibu,” balas Harper. “Apa kita jadi pulang?” tanya anak itu polos. Laura kembali tersenyum, lalu mengangguk. “Ayo, kita bersiap-siap sekarang.” Dia turun dari tempat tidur, kemudian menggendong Harper yang menghambur ke dalam pelukannya. “Biar kubersihkan dulu badanmu, Sayang. Jangan sampai sikat gigi kesayanganmu tertinggal di sini,” ujar Laura seraya berjalan masuk ke kamar mandi. Laura begitu bersyukur karena yang dilihatnya tadi hanyalah mimpi. Dia tak tahu apa yang akan terjadi, andai semua itu benar-benar terjadi. “Aku akan menjaga
“Apa maksudmu, Christian?” Laura menatap heran mantan suaminya, yang terlihat percaya diri setelah berkata demikian.“Seperti yang kau dengar tadi. Aku bukan Christian yang berperangai buruk seperti dirimu kenal dulu. Oleh karena itulah aku meyakinkan diri mengatakan ini padamu. Mari perbaiki semua dari awal.”Bukannya menjawab, Laura justru tersenyum sinis setengah mencibir. “Jangan hanya karena semalam kita bercinta, lantas kau berpikir bahwa aku bersedia kembali padamu,” bantahnya, diiringi gelengan pelan. “Tidak, Christian. Aku tak memiliki pikiran seperti itu, meskipun hanya sedikit. Jangan berharap lebih dari kebaikanku selama ini. Itu semua demi Harper, berhubung putriku berteman akrab dengan Mairi,” tegas wanita cantik dua puluh sembilan tahun tersebut.N
“Chelsea?” Christian memicingkan mata, setengah tak percaya atas apa yang dilihatnya.“Ya,” balas Mirren. “Putriku meninggal beberapa hari yang lalu.”Christian menoleh. Menatap lekat ibunda Chelsea beberapa saat, sebelum kembali mengarahkan perhatian ke pusara mantan kekasihnya. “Apa yang terjadi?” tanya pria itu datar.“Sepulang dari London, Chelsea begitu terpuruk. Dia putus asa karena harapannya bertemu Mairi tidak terlaksana. Putriku … kau tahu dia rentan mengalami depresi. Chelsea mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri,” tutur Mirren dengan wajah sendu.“Menggantung diri,” gumam Christian, mengulang pernyataan Mirren. Pria itu terdiam beberapa saat, memi
Semenjak itu, Laura memutuskan kembali menetap di Inggris. Dia membiarkan rumah peninggalan Lewis, meskipun masih sering memantau dengan menghubungi asisten kepercayaannya. Bagaimanapun juga, semua aset peninggalan Lewis merupakan amanat yang harus dijaga. Laura tak ingin mengkhianati pria yang telah begitu baik terhadapnya dan Harper. Dia akan tetap melakukan kewajiban, menjalankan bisnis yang diwariskan Lewis. Setidaknya, itu membuat rasa bersalah sedikit tertutupi karena memilih kembali pada Christian. ********** Waktu terus berlalu. Musim pun, silih berganti. Laura menjalani biduk rumah tangga yang harmonis dengan Christian. Saat ini, dia bahkan tengah mengandung. "Kuharap kau tidak kecewa karena tak jadi memiliki tiga bidadari cantik," ujar Laura, diiringi senyum lembut. Dia menatap penuh cinta pada Christian, yang tengah fokus mengemudi. "Ini sangat menggembirakan. Hidupku terasa begitu sempurna," ucap Christian. Dia tak henti tersenyum. Hasil USG yang sudah dilakukan tadi,
Semenjak malam itu, hubungan Laura dan Christian mulai menghangat. Christian tak sungkan berkunjung, bertemu dan berbincang dengan Grace. Begitu juga Emma dan Jamie, yang akan melangsungkan pernikahan. Hanya tinggal menghitung hari. Momen istimewa yang sudah Jamie nantikan selama bertahun-tahun akan terwujud. Pria itu sudah tak sabar menantikan dirinya dan Emma berdiri di altar, untuk mengucap janji suci pernikahan. Sementara itu, kedekatan antara Harper dan Mairi kian terjalin erat. Mairi yang mengetahui bahwa Harper belum diperbolehkan menari, selalu mengajak putri Laura tersebut melakukan banyak hal menyenangkan. “Kami sangat sibuk hari ini. Kau sudah tahu besok adalah hari pernikahan Emma dengan Jamie,” ucap Laura, saat menjawab panggilan telepon dari Christian. “Sayang sekali karena aku harus menghadiri acara penting sampai sore,” balas Christian, diiringi embusan napas berat. “Bagaimana Mairi? Kuharap dia tak merepotkanmu.” “Oh, tenang s
“Christian …,” desah Laura pelan, merasakan sentuhan lembut menjalari tubuhnya. Dia membiarkan pengusaha tampan itu menurunkan tali kecil dari pundak, hingga bagian atas slip dress yang dikenakannya terbuka lebar.Christian beranjak dari tempat tidur, lalu menarik dress satin merah marun itu. Dia melemparnya sembarang ke lantai. Pria bermata gelap itu terdiam sejenak, memandangi seonggok daging putih mulus yang dulu sering dinikmati kapan saja dirinya inginkan.Perlahan, Christian mencondongkan tubuh. Dia menarik celana dalam Laura. Pelan tapi pasti, segitiga pengaman dengan pinggiran berbahan lace itu terlepas dari kaki kiri Laura dan berhenti di mata kaki sebelah kanan. Christian seperti sengaja melakukannya.“Kau masih secantik dulu,” ucap Christian pelan dan dalam, sera
Laura tersenyum kikuk. Dia berusaha menyembunyikan rasa gugup karena ucapan Christian tadi. Laura mengalihkan semua itu pada anak-anak, yang tengah berbincang asyik. Wanita itu bergabung dengan mereka berdua.Sementara Christian hanya diam memperhatikan interaksi antara Laura dengan kedua gadis kecil itu. Laura tak membeda-bedakan Harper dengan Mairi.Christian teringat pada waktu Laura menyarankan untuk mengambil bayi Chelsea setelah dilahirkan, seakan-akan bersedia merawatnya. Padahal, saat itu dia mengira bayi dalam kandungan Chelsea merupakan darah daging Christian. Oleh karena itulah, kini Laura bersikap baik terhadap Mairi.Malam terus merayap. Jarum jam di arloji Christian telah menunjuk angka sembilan lewat beberapa menit. Setelah berbagai keseruan yang dilakukan, pengusaha tampan tersebut
“Apa? Tapi, kau tahu aku sedang sibuk membantu persiapan pesta pernikahan Bibi Emma. Bukankah itu tujuan kita datang kemari?” Laura menolak ajakan itu secara halus. “Kurasa, kau bisa berkemah lain waktu atau … atau kita bisa melakukannya di sini dengan nenek dan —”“Kau tidak mengizinkanku pergi, Bu?” tanya Harper, menyela ucapan Laura. Gadis kecil itu langsung terlihat murung. Dia menundukkan wajah, kemudian berbalik. Tanpa mengatakan apa pun, Harper meninggalkan Laura dan Christian yang berdiri di ambang pintu.“Harper!” panggil Laura.Namun, gadis kecil itu tak menyahut. Dia bahkan sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan.“Bagus, Laura
Laura tertegun sejenak, lalu menoleh pada Harper yang terbelalak tak percaya. Setelah itu, dia kembali mengalihkan perhatian pada pria tadi, untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti penerimaan barang kiriman.Sepeninggal kedua pria yang sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, Laura menatap aneh putrinya. Dia tak percaya Christian melakukan sesuatu yang dinilai sangat berlebihan. Namun, Laura tak bisa berkomentar apa-apa, melihat antusiasme Harper yang begitu takjub menghadapi setumpuk hadiah bagus.“Ibu tahu kenapa Paman Christian mengirimkan hadiah ini untukku? Apa hari ini aku berulang tahun?” tanya Harper, seraya menoleh pada Laura.“Tidak, Sayang. Ulang tahunmu masih empat bulan lagi,” jawab Laura, diiringi gelengan pelan. Dia mengalihkan pandangan pada Grace, yang memasang
"Ampuni aku, Christian," ucap Laura, di sela isak tangis pelan. Dia menundukkan wajah, tak berani melawan tatapan penasaran yang dilayangkan pria empat puluh tahun di hadapannya."Untuk apa? Kenapa aku harus mengampunimu?" tanya Christian tak mengerti."Aku ... aku sudah melakukan dosa tak termaafkan," sahut Laura, masih terisak pelan.Christian menatap lekat Laura. Pria itu memicingkan mata, mencoba menerka ke mana arah pembicaraan yang Laura maksud. Sesaat kemudian, pengusaha tampan tersebut seperti memahami sesuatu. "Apa ini ada hubungannya dengan Harper?"Laura menghentikan tangisnya, lalu mengangkat wajah. Dia membalas tatapan sang mantan suami. "Aku sangat marah dan membencimu, Christian," ucapnya lirih. "Saat itu, aku tak ingin melihat apalagi sampai bersinggungan denganmu. Tidak. Kau harus kubuang jauh. Sangat jauh. Penolakanmu membuatku terhina dan sakit. Teramat sakit," tuturnya pilu.Christian diam menyimak, tanpa mengalihkan perhatian s
Christian mengembuskan napas pelan. "Aku ingin memaksamu agar bersedia menerimaku lagi. Namun, entah ini jadi ide baik atau sebaliknya," ucap pria itu, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari paras cantik Laura."Jangan memaksakan kehendak lagi, Christian. Kau tahu itu tak akan berakhir baik," ucap Laura menanggapi."Apakah itu berarti kau bersedia kembali padaku dengan sukarela?"Laura tertawa pelan mendengar pertanyaan konyol Christian. Wanita itu menggeleng, lalu mengalihkan perhatian ke sekeliling. Tatapannya tertuju pada kolam renang berbentuk bulat di ujung ruangan, yang dibatasi kaca tebal di sisi sebelah luar.Laura melangkah ke sana. Dia berdiri di tepi kolam renang, lalu meletakkan gelas berisi anggur yang sedari tadi digenggam. "Apa kau pernah berenang di sini?" tanyanya, seraya menoleh pada Christian.Christian menggeleng, sembari berjalan mendekat. Dia berdiri di sebelah Laura. "Aku ingin kau jadi orang pertama yang berenang
“Apa? Kau memberitahu Paman Christian bahwa kita ada di London?”Harper mengangguk, dengan ekspresi teramat polos. “Aku rindu Mairi, Bu,” ujarnya.Laura tak bisa membantah, bila sudah menyebut nama Mairi. Dia tersenyum lembut. “Memangnya, kapan Mairi akan kemari?” “Terserah Paman Christian,” jawab Harper enteng. Gadis kecil itu merebahkan tubuh. “Selimuti aku, Bu,” pintanya.“Kau mau tidur sekarang?” Laura menaikkan sebelah alis.“Aku lelah dan kekenyangan, Bu,” sahut Harper seraya memejamkan mata.Laura kembali tersenyum. Dia meraih ujung selimut, lalu menariknya hingga me