[Hai, Jamie. Ini aku Fiona. Simpan nomorku.]
Jamie tak segera membalas. Dia justru meletakkan kembali telepon genggam itu di meja, lalu melanjutkan makan.
“Kenapa?” tanya Emma dingin.
“Tidak apa-apa,” jawab Jamie enteng, tak terlalu memedulikan ekspresi sang kekasih yang mulai menegang. Bukannya tak peka, tapi dia malas harus membahas hal seperti itu.
“Aku jadi penasaran akan satu hal,” ujar Emma, berlagak biasa saja. Padahal, rasa jengkel mulai kembali datang mengusiknya.
Jamie berdehem pelan. Pria itu sadar dirinya tidak akan baik-baik saja. Namun, sang CEO tetap terlihat tenang. “Apa yang membuatmu penasaran?” tanyanya.
“Apa kalian akan pergi?” tanya Grace. Dia sudah membiasakan diri keluar kamar. “Kami akan ke kebun binatang, Bu,” jawab Laura sambil memasukkan bekal makanan buatannya ke wadah khusus. “Apa Emma sudah pulang?”“Ya. Dia datang pagi-pagi sekali dan langsung bersiap pergi ke kantor,” jawab Grace seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Di mana Harper?” tanyanya.“Aku di sini, Nenek,” seru Harper. Gadis kecil itu muncul dengan membawa ransel kesayangan. “Lihat ini, Nek. Aku membawa koleksi pita rambut.” Dia memperlihatkan isi tasnya. Grace menautkan alis, lalu menatap heran cucunya. “Untuk apa kau membawa pita rambut ke kebun binatang?” “Aku akan menukarnya dengan punya Mairi,” sahut Harper polos. “Mairi? Siapa dia?” tanya Grace. Namun, belum sempat Harper memberikan jawaban, Laura yang tadi berlalu dari sana kembali lagi. “Apa kau sudah siap, Sayang?” “Iya, Bu,” sahut Harper seraya turun dari kursi. Gadis kecil itu memeluk serta mencium hangat Grace, sebelum berlari ke
“Berkemah?” ulang Laura.Mairi mengangguk yakin. “Aku punya tenda baru. Ukurannya besar. Papa mengatakan aku bisa membawa semua boneka ke dalamnya. Tapi, aku juga ingin mengajak Harper,” jelas gadis kecil itu. Laura tak langsung mengiyakan. Dia mengalihkan perhatian pada Christian, yang memasang raut terkejut atas ide putrinya. Laura menatap pria tampan itu, seakan meminta penjelasan. “Ah, iya. Aku membelikan Mairi tenda beberapa hari yang lalu. Dia ingin mencoba berkemah di halaman samping rumah kami. Namun, jujur saja aku tak tahu bahwa Mairi akan mengajak Harper untuk bergabung,” jelas Christian agak kikuk. “Oh.” Hanya itu tanggapan dari Laura. Wanita cantik tersebut tampak bingung. Apalagi, saat melihat Harper begitu antusias menerima ajakan Mairi. Hingga mereka puas berkeliling di kebun binatang, Laura belum juga memberikan izin secara langsung. Dia jadi bimbang, berhubung seharusnya besok sudah harus kembali ke Amerika. Laura bahkan terus terdiam selama perjalanan pulang. Se
“Hai, Mairi,” sapa Harper sambil melambaikan tangan. Gadis kecil itu tersenyum lebar, menandakan dirinya sedang bahagia.“Kalian sudah siap?” tanya Christian sedikit ragu. Pasalnya, dia tak melihat koper atau barang lain di dekat Laura. Wanita itu hanya membawa tas kecil, sedangkan Harper dengan ransel kesayangannya.Christian tak mengerti. Dia ingin bertanya, tetapi bingung bagaimana cara merangkai kata. Terlebih karena Grace datang menghampirinya dan Laura yang masih berdiri di ambang pintu.“Nyonya Pearson,” sapa Christian agak kikuk. Setelah bertahun-tahun berlalu, baru kali ini dia bertemu lagi dengan ibunda Laura tersebut. “Apa kabar?”“Hai, Christian. Kabarku baik, meskipun masih belum b
“Kita masih memiliki sekitar dua jam sebelum mendirikan tenda. Terserah kau ingin melakukan apa. Bersantai di beranda, berenang atau ….” Christian tak melanjutkan kata-katanya. Dia bergerak makin mendekat ke hadapan Laura. Wanita itu hanya terpaku, bagaikan ada kekuatan besar yang membuatnya tak bisa bergerak ke manapun.“Ada apa ini? Kenapa kita dipertemukan lagi?” Christian berdiri tepat di hadapan Laura, yang terdiam menatapnya. “Kenapa kau tidak marah atau membenciku setengah mati?” Makin lama, suara pria tampan berambut gelap itu makin pelan dan dalam.“Kau ingin aku membencimu?” Laura balik bertanya.Christian menggeleng. “Kita sudah sama-sama dewasa,” ucapnya. “Aku tahu dan sadar betul akan semua rasa kecewamu selama me
Laura menoleh, saat mendengar irama yang dihasilkan dari petikan gitar Christian. Jelas sudah dia tak benar-benar mengenal mantan suaminya. Laura tidak tahu bahwa pengusaha tampan itu piawai bermain alat musik. Karakter Christian yang dulu cenderung kaku, membuatnya tak berpikir pria itu memiliki ketertarikan pada musik atau hal menyenangkan lain. “Kenapa tidak bernyanyi?” Pertanyaan tadi membuat Christian seketika menghentikan permainan gitarnya. Dia menoleh, lalu tersenyum simpul. “Aku tidak bisa bernyanyi. Suaraku jelek,” jawabnya enteng. “Baiklah. Kalau begitu tidak usah,” ujar Laura menanggapi. “Kenapa bukan kau saja yang bernyanyi?” Laura langsung melayangkan tatapan protes. “Aku pernah mendengarmu melakukannya,” ucap Christian. “Saat kau sedang mandi.” “Astaga. Kau ….” “Seharusnya aku masuk dan ikut bernyanyi denganmu,” gurau Christian diakhiri tawa pelan, sedangkan Laura hanya mendelik. Christian melanjutkan permainan gitarnya. Meskipun hanya alunan musik akus
“Lelucon macam apa ini, Christian?” Laura menatap tak suka pria di hadapannya.Christian menggeleng penuh keyakinan. “Ini bukan lelucon,” sanggahnya.Namun, Laura justru menanggapi dengan senyum sinis. “Dulu kau mengatakan tidak akan pernah jatuh cinta padaku karena cintamu sudah jadi milik wanita lain. Sekarang menyatakan sebaliknya. Kau sangat menyedihkan, Christian.”Laura menatap tajam mantan suaminya. “Kau pria kesepian. Aku tidak tahu dan tak bisa memastikan kebenaran semua ucapanmu tadi. Christian Lynch tak akan bisa hidup tanpa bersenang-senang dengan wanita. Kenapa? Apa kau kehabisan pelacur di negara ini?” Ucapan Laura makin lama makin pedas.“Jaga bicaramu, Laura!” sergah Chris
“Aku,” jawab seseorang, yang membuat Christian langsung menoleh. Dia yang tadinya tengah mengawasi anak-anak di kolam sambil sesekali bermain air, segera berdiri. Christian menatap lekat tamu yang tak pernah diduga kedatangannya. “Kau?” Wajah Christian menegang.“Ya. Aku,” balas seseorang yang tak lain adalah Chelsea. Dia datang bersama wanita paruh baya, yaitu ibundanya yang bernama Mirren Wright. “Kenapa kau begitu terkejut?” tanya Chelsea, dengan tatapan keheranan.“Tidak apa-apa. Aku hanya tak menyangka kau akan datang kemari,” jawab Christian, berusaha terlihat tenang dan tetap menjaga wibawa. Dia menoleh sekilas pada pelayan yang melintas di beranda samping. “Lorna!” panggilnya cukup nyaring. Wanita bernama Lorna yang dipanggil Christian tadi, segera menoleh. Dia berjalan terburu-buru menghadap sang majikan. Lorna mengangguk sopan, menunggu perintah yang sepertinya akan segera diberikan pria itu. “Bawa anak-anak masuk,” titah Christian seraya menoleh ke kolam yang khusus dibu
“Kau tidak berhak mengatakan itu, Christian! Apa atau bagaimanapun kehidupanku, itu bukan urusanmu!” sergah Mirren tak suka. Jari telunjuk wanita paruh baya tersebut terarah lurus ke depan wajah Christian, yang tetap bersikap tenang.Christian menggaruk pelan pelipis, lalu tersenyum kalem. “Aku merawat Mairi dari bayi hingga berusia lima tahun. Tak lama lagi dia akan berulang tahun yang ke-6. Walaupun tak termasuk ke dalam jajaran pria baik berhati malaikat, setidaknya diriku bukan pecandu minuman keras apalagi pernah mengalami gangguan kejiwaan,” ujar pria itu tenang, dengan nada setengah meledek.“Tutup mulutmu, Christian!” Kali ini, telunjuk Chelsea yang mengarah ke wajah sang pemilik Lynch Company. “Aku jadi gila karena dirimu! Kaulah penyebab semua kesialan ini! Kau yang menghancurkan seluruh hidupku!&r